RAA Wiranatakusuma alias Moeharam, pernah dicap buruk oleh sikap politiknya yang kebetulan tidak sesuai dengan apa yang dimaui orang. Tapi sebelumnya, dia juga pejuang yang layak dihormati.
Namanya, jelas-jelas dicap buruk juga dalam sejarah Indonesia. Namanya terkait sebagai gerakan rahasia Westerling menjelang minggatnya Tentara Belanda dari Indonesia. Sebelumnya lagi, dia pernah ditunjuk sebagai walinegara Pasundan—yang katanya eksistensinya tak dianggap oleh rakyat Sunda pada umumnya.
Mari sejenak lupakan dulu hal buruk tentangnya. Puluhan tahun sebelumnya, sebelum tahun 1950an, dirinya adalah priyayi yang vocal juga memperjuangkan nasib baik kaum pribumi, yang didalamnya rakyat Sunda juga.
Dalam persidangan volksraad (Dewan Rakyat) yang membahas penghematan di bidang pendidikan pasca depresi ekonomi dunia 1929, menyatakan pendapatnya bahwa “penghematan (yang dilakukan pemerintah) itu perlu.” Namun, Wiranatakusuma berharap “ tidak mengehentikan perluasan pendidikan rakyat.” Dirinya berharap agar HIS dan MULO untuk kalangan pribumi dipermudah dan jangan dipersempit. Sementara wakil VaderlanscheClub mendukung agenda penghematan itu. Ketika itu, Moeharam Wiranatakusuma yang anggota Volksraad fraksi Nasional pimpinan Husni Thamrin. (Pelita Andalas, 12 Agustus 1932)
Tak hanya itu, ketika isu ordonansi sekolah liar ramai di HIndia Belanda, dirinya sebenarnya juga berdiri di belakang kaum pergerakan nasional. Dalam siding Volksraadpada 8 Oktober 1932, Wiranatakusuma, kala itu adalah wakil Pasundan dalam Volksraad,mengusulkan: agar sekolah swasta cukup memberitahukan saja dan tidak perlu meminta izin. Namun, pemerintah kolonial tetap bersikeras dengan ordonansi sekolah liarnya. (Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia:746)
Sembilan tahun sebelumnya, Wiranatakoesoemah, mengecam pers Belanda yang sering menghina kaum Bumiputera. Misalnya berita mengenai seorang perempuan Bumiputera yang digunting rambutnya secara paksa oleh seorang Belanda di Gang Sekolah, Weltevreden, Batavia. Di lain pihak, suratkabar berbahasa Belanda yang cukup terkemuka, Het Nieuws, membantah pernyataan Wiranatakoesoemah dengan berdalih bahwa pihaknya belum pernah melihat perempuan Pribumi dianiaya dan dihinakan oleh orang Eropa. (Oetoesan Melajoe-Perobahan : Soeara Momok, 30 Juni 1923)
Wiranatakoesoemah, pada 9 November 1923, mengajukan beberapa pertanyaan mengenai pengelolaan ibadah haji kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seputar : Jumlah orang Hindia Belanda yang pergi haji ke Mekkah? Berapa jumlah mereka yang wafat dan apa penyebabnya? Apakah mereka diserang perampok selama perjalanan? Adakah pertolongan dari konsulat Belanda di Jeddah? Apakah Pemerintah turutserta dalam usaha perdamaian di Arab Saudi? Mengingat negeri itu sedang dilanda situasi yang tidak kondusif. (Oetoesan Melajoe-Perobahan, 21 November 1923) Pertanyaan tadi sangat penting bagi kepentingan orang Islam yang ingin berhaji ke Mekkah.
Setahun kemudian, Moeharam Wiranatakusuma pun naik haji juga. Dirinya membuat catatan perjalanan dengan judul: Perjalanan Saya ke Mekkah yang kemudian menjadi cerita bersambung di surat-kabar, De Locomotief. Sepulang dari Mekkah, dirinya digelari nDalem Haji.
Selain ke Mekkah, dirinya juga pernah ke Belanda tahun 1928. Disana dia mempelajari tentang koperasi, dan mendirikan koperasi rakyat. Dirinya ikut mendukung sekolah keutamaan Istri Dewi Sartika. Dia termasuk orang yang berusaha mengubah rawa menjadi sawah untuk memberantas malaria. Ketika Sarekat Islam berkemabng dirinya ikut mendukung. Dirinya terus jadi orang berpengaruh hingga tahun 1940an. Tak heran jika dirnya diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri RI pertama. Tak sampai 3 bulan, dia diangkat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Ketika Jawa Barat menjadi daerah pendudukan Belanda, dirinya dijadikan Walinegara Pasundan, dan orang menyebutnya: Kanjeng Wali, hingga tahun 1950, ketika RIS bubar menjadi RI. Dirinya kembali jadi bupati Bandung lagi. Sampai digantikan anaknya Male Wiranatakusuma, setelah dirinya meninggal 22 Januari 1965. Hal menarik lain dari Moeharam adalah: dia termasuk orang yang mendukung pembuatan film pertama Indonesia: Loetoeng Kasaroeng (1926). (Henri Chambert Loir,Naik Haji di Masa Silam 1900-1950, 556).
Pastinya, boleh-boleh saja Wiranatakusuma membela rakyat, namun kodrat priyayi jaman kolonial, haruslah tunduk pada Ratu Belanda dan punggawanya di tanah koloni dibawah Gubernur Jenderal. Dirinya, jika kita anggap sebagai tokoh pergerakan nasional, maka dirinya tergolong koperatif juga seperti Husni Thamrin.
Membela rakyat Sunda itu boleh, tapi menjaga hubungan baik dengan Ratu Belanda tetap harus. Pada 17 Mei 1940, selaku Bupati Bandung, Wiranatakusumah mengirimkan kawat kepada wali negara, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh di Bogor yang isinya sebagai berikut:
“Kira-kira limapuluh ribu kaum Muslimin, pada bersembahyang pada hari jum’at di dalam masjid besar dan masjid-masjid di pedusunan, dengan sungguh-sungguh mohonkan berkaat Tuhan untuk keluarga raja dan rakyat Nederland (Belanda) yang mendapatkan kesukaran. Juga atas namanya pendudukan bumiputra dari regentschap (daerah kabupaten) Bandung hamba berharap moga-moga tuan besar (Gubernur Jenderal) mendapat kekuatan dan kebijaksanaan di dalam ini waktu yang sukar untuk memerintah dan meyakinkan kita punya percintaan dan kesetiaan pada pemerintah Hindia.” (Kaoem Moeda, 18 Mei 1940)
Pada 6 Juli 1940, ketika menjabat Bupati Bandung, R.A.A.Wiranatakusumah mendapatkan banyak ucapan selamat dari kalangan pejabat maupun keluarganya. Acara selamatandigelar di balai Kabupaten. Kemungkinan itu dalam rangka 30 tahun pengabdian dirinya menjadi pangreh praja. Dirinya memulai dari juru tulis sampai bupati. (Kaoem Moeda, 8 Juli 1940)
Terlahir dari keluarga Wiranatakusuma, yang memang dinasti Bupati di Bandung, dengan nama Moeharam pada 8 Agustus 1888. Ayahnya: Raden Tumenggung Kusumadilaga dan Ibu Raden Ayu Sukarsih. Dirinya dibesarkan di keluarga menak dan diasuh juga oleh orang-orang Belanda, hingga mempengaruhi pemikiran dan wawasan pengetahuannya.
Sebagai turunan Menak, Moeharam bisa sekolah dan lulus di ELS (SD Belanda) dan OSVIA (sekolah pamongpraja) meski tak lulus. Snouck Horgronje juga pernah menjadi mentornya. Melihat, Moeharam pintar, Snouck menyarankan agar dirinya sekolah di HBS (sekolah menengah 5 tahun) meski tidak lulus karena keburu jadi juru tulis di Sumedang. Setelah dua tahun memulai dari juru tulis, mantra polisi, asisten wedana, dirinya pun menjadi bupati Cianjur pada 1912. Moeharam termasuk bupati termuda, di usia 24 tahun.
Sebagai priyayi, maka Moeharam bisa poligami. Darah priyayi adalah dayatarik dirinya untuk mendapat istri. Banyak orang merelakan anak gadisnya untuk dinikahi priyayi. Apalagi priyayi yang sudah jadi bupati. Di usia 28 tahun, dirinya sudah punya 4 istri. Yang belakangan diceraikan karena dia menikahi Syarifah Nawawi—perempuan berpendidikan asal Padang—pada tahun 1916. Syarifah anak dari Engku Nawawi—guru HIK Fort de Kock—yang kesohor dan fotonya masih dipajang di SMA N 2 Bukittinggi. Pernikahan itu tak langgeng. Pada 1924, Syarifah diceraikan melalui telegram. Sejatinya, mereka berdua beda pandangan, Syarifah tak suka sikap feodalisme yang dijunjung Moeharam.
Sebenarnya, Syarifah Nawawi adalah cinta-mati Tan Malaka. Semoga pernikahan Syarifah dengan Moeharam Wiranatakusumah, juga perceraiannya, bukan jadi alasan Tan Malaka menjadi radikal dan marxis nomor wahid di Indonesia.
"Sejarah akan bicara dari mulut anak-anaknya. Sejarah ada karena manusia ada. Hingga akhir dunia sejarah akan tetap ada."
Kamis, Januari 23, 2014
Sisi Lain Sang Bupati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar