Senin, Juni 27, 2011

Garudaye

Suatu hari, April 2003, bus kami menuju sebuah candi di pinggir Malang. Tur histories pertama kami. Kami menuju Candi Kidal. Sebuah perhormatan bagi Anusapati. Anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung, Akuwu Tumapel. Anusapati jadi raja setelah membunuh ayah tirinya, Ken Arok. Seperti Ken Arok, Anusapti juga mati dibunuh ketika sabung ayam. Tohjaya, anak Ken Arok dari Ken Umang, adalah dalang pembunuhan karena merasa berhak atas kerajaan, yang dikenal dengan nama Singosari itu.

Garudaye

Candi ini mirip dengan candi-candi Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit. Seperti candi lain, ada bagian tertentu yang hilang dari candi ini. Candi ini mulai dibangun sejak 1248 hingga 1260. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan. Seperti biasa selalu ada kalamakara yang menyeramkan. Sebagai pelindung yang letaknya diatas pintu candi.

Ciri khas candi ini adalah adanya narasi cerita Garuda terlengkap yang terpahat pada kaki candi. Cara membacanya dengan berjalan berlawanan arah jarum jam, dimulai dari sisi sebelah selatan.

Relief pertama, menggambarkan Garuda menggendong tiga ekor ular besar; Kedua, melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, Ketiga Garuda menyangga seorang wanita. Kini, hanya relief kedua yang paling indah dan masih utuh. Menurut kesusasteraan Jawa Kuno, Garudaye, ketiga relief tersebut menggambarkan perjalanan Garuda dalam membebaskan Ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta'mentana..[1]

Tersebutlah, resi Kasiapa yang punya dua orang istri, Kadru dan Winata. Kedua wanita itu adalah bersaudara. Dua wanita itu punya anak angkat. Kadru punya tiga ular sebagai anak angkat. Winata hanya punya Garuda. Kadru yang malas mengurus tiga anak angkatnya itu kemudian berhasil memperbudak Winata dengan sebuah taruhan. Ketiga garuda beranjak dewasa Garuda berusaha membebaskan ibunya.

Dimana Garuda kemudian melakukan perjalanan dan mencari Amertamentana. Demi membebaskan ibunya, Winata. Air itu disimpan di khayangan dan dijaga para dewa. Air suci itu berasal dari lautan susu. Itulah air keabadian.

Garuda rela melakukan apa saja untuk dapatkan air itu. Termasuk berkelahi dengan para dewa. Demi kemerdekaan Winata. Ketika para dewa di khayangan bias dikalahkan Garuda, Batara Wisnu pun turun. Garuda dikalahkan. Namun, dengan bijak, Wisnu sebagai sang pemenang, mau mendengar cerita Garuda—tentang derita Winata ibunya.

Wusnu pun mengerti. Wisnu mau memberikan Amertamentana, dengan syarat, Garuda mau menjadi tunggangannya. Demi kemerdekaan Winata, Garuda pun rela. Garuda pun berhasil membebaskan Winata. Dalam relief Garuda menggendong Winata. Jadilah Garuda tunggangan Dewa Wisnu paling sohor, Garuda Wisnu Kencana.

Mengapa Anusapati diagungkan seperti Garuda? Tak lain karena dia adalah anak yang berbakti pada Ibunya. Seperti kisah Garudaye.Anusapati tertulis dalam kitab kuno, Negarakartagama:

Bathara Anusapati menjadi raja

Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa

Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M),

Beliau berpulang ke Siwabudaloka

Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal.[2]

Itulah kenapa Indonesia jadikan garuda sebagai lambang Negara. Tidak penting burung garuda itu pernah ada atau tidak. Kandungan dari cerita Garudaye, tentang anak berbakti dan bermental pejuang itulah yang layak diteladani orang Indonesia. Ketika mengunjungi candi Kidal, cerita Garudaye adalah cerita yang ingin sekali saya ceritakan pada adik sepupu saya yang masih kecil atau pada siapa saja. Ini cerita paling hebat yang pernah saya dengar.

[1] Sumber: http://id.shvoong.com/society-and-news/culture/2147808-candi-kidal-peninggalan-anusapati-bakti/#ixzz1QRzvTa29

[2] Nagarakretagama, pupuh 41 / bait 1 berdasar tafsiran Slamet Mulyono.