Senin, Januari 06, 2014

Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri Belanda

Nabi Muhamad SAW bersabda: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China.” Dan, trend zaman Kolonial yang western, menuntut pemuda belajar ke Negeri Belanda.

Orang Indonesia masa kini masih selalu menganggap barat adalah hebat dalam banyak hal. Meski pengetahuan yang berkembang di barat pun sebelumnya berkembang di Arab, bahkan sebelumnya lagi Yunani, China dan entah dimana lagi. Jadi, pengetahuan bukan milik dan karena orang barat. Seperti halnya di Arab, maka di Barat (maksudnya Eropa) pun hanya numpang berkembang saja.
Kekaguman pada barat (Eropa, dan sekarang plus Amerika) bukan hal baru. Di abad XVII (tahun 1600an) ada orang Indonesia asal Makassar yang mengoleksi banyak buku, peta dan juga globe dari Eropa. Itu karena orang yang bernama Karaeng Patinggaloang mencintai ilmu pengetahuan. Bukan sekedar gengsi.
Agama Islam boleh dominan di Indonesia. Tapi, tak semua orang Indonesia mau dan punya keinginan belajar ke Arab atau ke negeri yang terkenal Islamnya.  Orang Islam sebenarnya punya cara sendiri dalam menafsir sabda Nabi Muhamad SAW: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China.”  Banyak yang memahami carilah ilmu pengetahuan dimana saja. Bahkan di tempat yang jauh sekalipun. Tak harus ke negeri China. Di jaman Nabi, China dianggap jauh.
Nah, di masa kolonial, karena pengaruh barat yang kuat serta dorongan untuk hidup mapan, maka banyak orang-orang Indonesia bersekolah di sekolah-sekolah berbahasa Belanda (dari level sekolah dasar macam Hollandsch Inlandsch School atau Europe Lager School; level menengah Meer Uitgebrid Lager Onderwijz, Alegemene Midelsbare School, Hogare Burger School) bahkan ke level perguruan tinggi yang didirikan Belanda baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
Tak perlu heran jika orang macam Hatta pergi ke Belanda untuk kuliah. Walau ujung-ujungnya, Hatta kembali sebagai sarjana ekonomi dan belakangan jadi orang pergerakan nasional yang sampai mati tak pernah kaya. Hatta bukan kembali untuk jadi orang mapan, walau dia pernah sebentar kerja pada pamannya, Mak Etek. 
Selain Hatta ada juga seorang dokter Minang bernama Abdul Rivai yang ingin kuliah untuk mencapai persamaan status dengan dokter Belanda. Sebelumnya Rivai hanya dokter lulusan STOVIA Batavia yang hanya disebut dokter jawa (yang mungkin hanya setara mantri atau mungkin diatas mantra dibawah dokter). Jadi dokter yang dipersamakan dengan dokter Belanda tentu akan mendapat gaji yang lebih baik. Di jaman kolonial ada perbedaan gaji antara orang Belanda dengan orang pribumi.
Ada pula Tan Malaka yang pergi ke Belanda untuk sekolah singkat untuk menjadi tenaga pengajar. Tan Malaka memang pulang untuk jadi tenaga pengajar namun belakangan dia lebih dikenal sebagai legenda dari  dunia pergerakan nasional Indonesia.
Sebelum Tan Malaka, ada seorang pelopor pendidikan modern Indonesia bernama Willem Iskander datang ke Belanda untuk belajar tentang pendidikan. Dia datang dua kali. Yang kedua setelah usahanya membuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) sukses di Tapanuli. Sayang, nama Willem Iskander  kalah populer daripada Ki Hajar Dewantara. Padahal Willem jauh lebih dulu.
Ada juga Arnold Mononutu yang masa mudanya sempat diisi foya-foya dan kuliahnya tak rampung, dia juga bagian dari kaum pergerakan nasional juga. Arnold punya kenalan lain seperti Setiadjid dan Abdulmadjid, keduanya masih keturunan priyayi Jawa. Namun belakangan keduanya jadi tokoh kiri terkenal dalam sejarah Indonesia.
Ada hal yang agak menarik bagi orang Indonesia. Ternyata, ada orang Indonesia yang harus merasakan sakitnya menjadi penghuni kamp konsentrasi NAZI di tengah ganasnya perang Eropa. Hal ini dialami Parlindungan Lubis. Bahkan kawannya, Darmasetiawan, yang asal Indonesia, harus meninggal selama di kamp. Mereka berdua datang ke Negeri Belanda sebagai mahasiswa. Lubis adalah mahasiswa kedokteran dan lulus sebagai dokter. Perang Eropa menyisakan trauma mengerikan dalam hidupnya. 
 Tak hanya nama-nama diatas. Ada nama-nama lain lagi. Selain yang datang untuk belajar, ada juga yang hanya singgah dan berkunjung. Menariknya lagi, ada juga orang Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga alias Jongos di Negeri Belanda. Sebelum ke Arab Saudi dan Malaysia, ternyata ada orang-orang Indonesia yang jadi pembantu di Eropa.
Buku yang dalam Bahasa Indonesia berjudul Di Negeri Penjajah (Orang Indonesia di Negeri belanda 1600-1950) ini disusun oleh Harry Albert Poeze (dengan dibantu juga oleh Cees van Dijk dan Inge van der Meulen). Para pecinta Sejarah tentu taka sing dengan nama Harry Poeze yang lebih dari 30 tahun meneliti tentang Tan Malaka. Buku ini jelas referensi yang baik untuk mendalami sejarah Indonesia. Terutama yang ingin mempelajari hubungan Indonesia dengan Belanda.
Orang Indonesia masa kini masih selalu menganggap barat adalah hebat dalam banyak hal. Meski pengetahuan yang berkembang di barat pun sebelumnya berkembang di Arab, bahkan sebelumnya lagi Yunani, China dan entah dimana lagi. Jadi, pengetahuan bukan milik dan karena orang barat. Seperti halnya di Arab, maka di Barat (maksudnya Eropa) pun hanya numpang berkembang saja. Kekaguman pada barat (Eropa, dan sekarang plus Amerika) bukan hal baru. Di abad XVII (tahun 1600an) ada orang Indonesia asal Makassar yang mengoleksi banyak buku, peta dan juga globe dari Eropa. Itu karena orang yang bernama Karaeng Patinggaloang mencintai ilmu pengetahuan. Bukan sekedar gengsi. Agama Islam boleh dominan di Indonesia. Tapi, tak semua orang Indonesia mau dan punya keinginan belajar ke Arab atau ke negeri yang terkenal Islamnya. Orang Islam sebenarnya punya cara sendiri dalam menafsir sabda Nabi Muhamad SAW: “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China.” Banyak yang memahami carilah ilmu pengetahuan dimana saja. Bahkan di tempat yang jauh sekalipun. Tak harus ke negeri China. Di jaman Nabi, China dianggap jauh. Nah, di masa kolonial, karena pengaruh barat yang kuat serta dorongan untuk hidup mapan, maka banyak orang-orang Indonesia bersekolah di sekolah-sekolah berbahasa Belanda (dari level sekolah dasar macam Hollandsch Inlandsch School atau Europe Lager School; level menengah Meer Uitgebrid Lager Onderwijz, Alegemene Midelsbare School, Hogare Burger School) bahkan ke level perguruan tinggi yang didirikan Belanda baik di Indonesia maupun di negeri Belanda. Tak perlu heran jika orang macam Hatta pergi ke Belanda untuk kuliah. Walau ujung-ujungnya, Hatta kembali sebagai sarjana ekonomi dan belakangan jadi orang pergerakan nasional yang sampai mati tak pernah kaya. Hatta bukan kembali untuk jadi orang mapan, walau dia pernah sebentar kerja pada pamannya, Mak Etek. Selain Hatta ada juga seorang dokter Minang bernama Abdul Rivai yang ingin kuliah untuk mencapai persamaan status dengan dokter Belanda. Sebelumnya Rivai hanya dokter lulusan STOVIA Batavia yang hanya disebut dokter jawa (yang mungkin hanya setara mantri atau mungkin diatas mantra dibawah dokter). Jadi dokter yang dipersamakan dengan dokter Belanda tentu akan mendapat gaji yang lebih baik. Di jaman kolonial ada perbedaan gaji antara orang Belanda dengan orang pribumi. Ada pula Tan Malaka yang pergi ke Belanda untuk sekolah singkat untuk menjadi tenaga pengajar. Tan Malaka memang pulang untuk jadi tenaga pengajar namun belakangan dia lebih dikenal sebagai legenda dari dunia pergerakan nasional Indonesia. Sebelum Tan Malaka, ada seorang pelopor pendidikan modern Indonesia bernama Willem Iskander datang ke Belanda untuk belajar tentang pendidikan. Dia datang dua kali. Yang kedua setelah usahanya membuka sebuah Kweekschool (sekolah guru) sukses di Tapanuli. Sayang, nama Willem Iskander kalah populer daripada Ki Hajar Dewantara. Padahal Willem jauh lebih dulu. Ada juga Arnold Mononutu yang masa mudanya sempat diisi foya-foya dan kuliahnya tak rampung, dia juga bagian dari kaum pergerakan nasional juga. Arnold punya kenalan lain seperti Setiadjid dan Abdulmadjid, keduanya masih keturunan priyayi Jawa. Namun belakangan keduanya jadi tokoh kiri terkenal dalam sejarah Indonesia. Ada hal yang agak menarik bagi orang Indonesia. Ternyata, ada orang Indonesia yang harus merasakan sakitnya menjadi penghuni kamp konsentrasi NAZI di tengah ganasnya perang Eropa. Hal ini dialami Parlindungan Lubis. Bahkan kawannya, Darmasetiawan, yang asal Indonesia, harus meninggal selama di kamp. Mereka berdua datang ke Negeri Belanda sebagai mahasiswa. Lubis adalah mahasiswa kedokteran dan lulus sebagai dokter. Perang Eropa menyisakan trauma mengerikan dalam hidupnya. Tak hanya nama-nama diatas. Ada nama-nama lain lagi. Selain yang datang untuk belajar, ada juga yang hanya singgah dan berkunjung. Menariknya lagi, ada juga orang Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga alias Jongos di Negeri Belanda. Sebelum ke Arab Saudi dan Malaysia, ternyata ada orang-orang Indonesia yang jadi pembantu di Eropa. Buku yang dalam Bahasa Indonesia berjudul Di Negeri Penjajah (Orang Indonesia di Negeri belanda 1600-1950) ini disusun oleh Harry Albert Poeze (dengan dibantu juga oleh Cees van Dijk dan Inge van der Meulen). Para pecinta Sejarah tentu taka sing dengan nama Harry Poeze yang lebih dari 30 tahun meneliti tentang Tan Malaka. Buku ini jelas referensi yang baik untuk mendalami sejarah Indonesia. Terutama yang ingin mempelajari hubungan Indonesia dengan Belanda.

Sekitar Selat Sunda Akhir Desember 2013

Tanpa banyak rencana, kami putuskan menuju Anyer. Pantai yang saya dengar pertama kali namanya dari lagunya SLANK: Anyer 10 Maret. Saya lupa bagaimana lagunya. Yang pasti itu lagu ditulis ketika Kaka sang vokalis ulang tahun. 

Selamat Datang di Bumi Kangen Band
Karena berangkat sore, kami tak akan tiba di Anyer pada sore hari. Saya, dan seorang kawan: sebut saja Nurun Najib Ad-Dakhil (maaf jika salah tulis kawan?) seorang sosiolog jebolan UI, memutuskan akan ke Merak. Dimana pelabuhan ferry yang menghubungkan Jawa-Sumatra berada. Kami makan malam di sebuah warung kecil. Dan pemilik warung yang ramah mengajak kami berbincang. Tentu saja kami bicara soal Krakatau yang keramat itu. Karena masih pukul 10.00 malam, kami putuskan naik ferry sembari menunggu pagi. 
Sepanjang perjalanan kami nekad tidur di lantai dan tak peduli dengan orang lain. Ketika mulai tidur, hanya kami berdua yang tidur di lantai ala gelandangan. Ketika kami bangun, ternyata ada juga yang tidur di lantai seperti kami. Sampai pelabuhan Bakauheni, kami turun dan sekedar berjalan-jalan di sekitar pelabuhan saja. Tentu saja kami disambut calo-calo yang tampak sinis dengan orang ingin berjalan kaki dan kere. Dan kami penampik mereka benci pastinya.
Karena berangkat sore, kami tak akan tiba di Anyer pada sore hari. Saya, dan seorang kawan: sebut saja Nurun Najib Ad-Dakhil (maaf jika salah tulis kawan?) seorang sosiolog jebolan UI, memutuskan akan ke Merak. Dimana pelabuhan ferry yang menghubungkan Jawa-Sumatra berada. Kami makan malam di sebuah warung kecil. Dan pemilik warung yang ramah mengajak kami berbincang. Tentu saja kami bicara soal Krakatau yang keramat itu. Karena masih pukul 10.00 malam, kami putuskan naik ferry sembari menunggu pagi. Sepanjang perjalanan kami nekad tidur di lantai dan tak peduli dengan orang lain. Ketika mulai tidur, hanya kami berdua yang tidur di lantai ala gelandangan. Ketika kami bangun, ternyata ada juga yang tidur di lantai seperti kami. Sampai pelabuhan Bakauheni, kami turun dan sekedar berjalan-jalan di sekitar pelabuhan saja. Tentu saja kami disambut calo-calo yang tampak sinis dengan orang ingin berjalan kaki dan kere. Dan kami penampik mereka benci pastinya.
Sayup-sayup terdengar alunan musik. Sebuah Band lokal Lampung yang kondang se-Nusantara: Kangen Band.  Pendengar musik domestic tentu ingat lagu: Yolanda. Saya hanya tahu itu saja hits mereka. Hal lain yang saya tahu tentang Kangen Band, hanyalah mantan vokalisnya yang belakangan bernasib sial: Andhika. Selamat Datang di Bumi Kangen Band!!!
Karena hari masih gelap, kami tidur sebentar di dermaga. Menunggu pagi. Mata saya berhasil terpejam, meski tak sampai satu jam. Ketika mata terbuka, langit mulai sedikit cerah. Pemandangan bagus mulai terlihat. Dan kami mulai memotret. Akhirnya, perut kami merasa lapar. Kami masuk sebuah warung untuk makan nasi untuk mengganjal perut. Sekalian mengisi baterai HP kami yang sudah sekarat. Setelah selesai urusan di warung, kami menuju loket dan naik kapal. 
Pelabuhan mulai ramai. Kali ini bukan sayup-sayup lagi, dan kami berdua dengan jelas mendengar lagu Kangen Band lagi. Suka atau tidak suka kitorang semua pada ini Band, tetap saja mereka berhak didengar, apalagi di kampong halaman mereka: Lampung. Mereka K-Pop, mungkin kita harus memberi hak dengar juga. Perlahan kapal ferry kami meninggalkan Bakauheni. Setelah numpang tidur, buang air, charge HP dan ambil beberapa foto. Selamat tinggal Lampung. Selamat tinggal Kangen Band. Selamat tinggal Andhika.
Sayup-sayup terdengar alunan musik. Sebuah Band lokal Lampung yang kondang se-Nusantara: Kangen Band. Pendengar musik domestic tentu ingat lagu: Yolanda. Saya hanya tahu itu saja hits mereka. Hal lain yang saya tahu tentang Kangen Band, hanyalah mantan vokalisnya yang belakangan bernasib sial: Andhika. Selamat Datang di Bumi Kangen Band!!! Karena hari masih gelap, kami tidur sebentar di dermaga. Menunggu pagi. Mata saya berhasil terpejam, meski tak sampai satu jam. Ketika mata terbuka, langit mulai sedikit cerah. Pemandangan bagus mulai terlihat. Dan kami mulai memotret. Akhirnya, perut kami merasa lapar. Kami masuk sebuah warung untuk makan nasi untuk mengganjal perut. Sekalian mengisi baterai HP kami yang sudah sekarat. Setelah selesai urusan di warung, kami menuju loket dan naik kapal. Pelabuhan mulai ramai. Kali ini bukan sayup-sayup lagi, dan kami berdua dengan jelas mendengar lagu Kangen Band lagi. Suka atau tidak suka kitorang semua pada ini Band, tetap saja mereka berhak didengar, apalagi di kampong halaman mereka: Lampung. Mereka K-Pop, mungkin kita harus memberi hak dengar juga. Perlahan kapal ferry kami meninggalkan Bakauheni. Setelah numpang tidur, buang air, charge HP dan ambil beberapa foto. Selamat tinggal Lampung. Selamat tinggal Kangen Band. Selamat tinggal Andhika.
Bakauheni terlihat menjauh. Dan dari kejauhan kami melihat pulau-pulau kecil termasuk Rakata. Dan Gunung Krakatau. Krakatau, bukan sekedar gunung yang ledakan dasyat di abad lalu. Krakatau juga satu dari sekian legenda besar Nusantara. Sialnya, kami hanya bisa lihat dari kejauhan saja. Tentang ledakannya yang dasyat, Simon Wincester pernah menulis: Krakatoa. Bahkan ada film berjudul sama yang dibuat orang-orang asing. Bahkan, ada sebuah film silat yang sangat bagus berjudul Krakatau. Dimainkan Dicky Zulkarnaen—yang beken dengan karakter Pitung. Ceritanya: tentang pencarian murid perguruan Krakatau yang kabur. Berakhir dengan pertarungan menjelang meletusnya gunung Krakatau.
Bakauheni terlihat menjauh. Dan dari kejauhan kami melihat pulau-pulau kecil termasuk Rakata. Dan Gunung Krakatau. Krakatau, bukan sekedar gunung yang ledakan dasyat di abad lalu. Krakatau juga satu dari sekian legenda besar Nusantara. Sialnya, kami hanya bisa lihat dari kejauhan saja. Tentang ledakannya yang dasyat, Simon Wincester pernah menulis: Krakatoa. Bahkan ada film berjudul sama yang dibuat orang-orang asing. Bahkan, ada sebuah film silat yang sangat bagus berjudul Krakatau. Dimainkan Dicky Zulkarnaen—yang beken dengan karakter Pitung. Ceritanya: tentang pencarian murid perguruan Krakatau yang kabur. Berakhir dengan pertarungan menjelang meletusnya gunung Krakatau.

Mencari Ujung Jalan Deandels
Kami sampai lagi di Merak. Kembali ke misi awal: Anyer. Setelah ganti Angkot, kami temukan angkot khusus ke Anyer. Tidak sebentar untuk naik angkot ini menuju Anyer. Jalannya panjang dan berdebu. Sialnya lagi, kami lupa bawa masker. Karena lama, kami sempat tertidur di angkot. Angkot kami harus melewati komplek industri Krakatau Steel. Sambil saya memaki rezim orde baru dalam hati. Memaki sambil mengingat kata Max Lane, selama tigapuluh tahun lebih berkuasa, orde baru cuma punya Krakatau Steel saja untuk negeri sebesar NKRI. Mungkin import baja itu pahalanya besar, mungkin begitu dalam otak penguasa orba. 
Begitu lewat itu komplek industri, makian pun hilang. Mata kami mulai lihat laut, pantai dan pohon kelapa. Kami sudah sampai Anyer. Saatnya memaki Herman Deandels atas kekejamannya membangun jalan Anyer Panarukan. Dimana ribuan orang jadi korban. Darah dan keringat kaum kromo diperas habis-habisan. Mega-proyek Anyer-Panarukan itu sejatinya juga milik kaum kromo yang membangunnya. Dan keturunan kaum kromo itu layak menikmati jalanan yang dulu bagian dari jalan yang disebut Jalan Deandels itu. Jadi bukan melulu milik Deandels yang punya ide dan perintah.
Kami sampai lagi di Merak. Kembali ke misi awal: Anyer. Setelah ganti Angkot, kami temukan angkot khusus ke Anyer. Tidak sebentar untuk naik angkot ini menuju Anyer. Jalannya panjang dan berdebu. Sialnya lagi, kami lupa bawa masker. Karena lama, kami sempat tertidur di angkot. Angkot kami harus melewati komplek industri Krakatau Steel. Sambil saya memaki rezim orde baru dalam hati. Memaki sambil mengingat kata Max Lane, selama tigapuluh tahun lebih berkuasa, orde baru cuma punya Krakatau Steel saja untuk negeri sebesar NKRI. Mungkin import baja itu pahalanya besar, mungkin begitu dalam otak penguasa orba. Begitu lewat itu komplek industri, makian pun hilang. Mata kami mulai lihat laut, pantai dan pohon kelapa. Kami sudah sampai Anyer. Saatnya memaki Herman Deandels atas kekejamannya membangun jalan Anyer Panarukan. Dimana ribuan orang jadi korban. Darah dan keringat kaum kromo diperas habis-habisan. Mega-proyek Anyer-Panarukan itu sejatinya juga milik kaum kromo yang membangunnya. Dan keturunan kaum kromo itu layak menikmati jalanan yang dulu bagian dari jalan yang disebut Jalan Deandels itu. Jadi bukan melulu milik Deandels yang punya ide dan perintah.
Kami berusaha mencari titik awal jalan Deandels di Anyer. Sepanjang jalan kami mencari tulisan besar atau semacam tugu peringatan namun tak kami temui. Ternyata kami melewatkan Mercusuar. Saya hanya teringat mercusuar, yang mirip dalam film Krakatoa, yang habis disikat amukan Krakatau yang meletus 27 Agustus 1883. Ngeri sekali membayangkannya.
Kami nekad berhenti dan mulai bertanya dimana tugu peringatan titik nol Jalan Deandels. Agak sulit juga. Jarang ada orang yang tahu soal tugu kecil yang kami cari. Koneksi internet HP kami tak membantu.  Akhirnya kami dapat petunjuk, mungkin tugu itu di Mercusuar. Kami pun naik angkot lagi ke mercusuar. 
Di angkot kami berbincang dengan orang berpakaian rapi dan sedikit punya tampang agak garang. Kami bicara soal jalan di Banten, yang terkait dengan keluarga Ratu Atut. Orang ini agak membela adik si Ratu Atut dalam Bahasa yang halus dan ramah kepada kami. Kami hanya mengangguk. Mungkin dia jawara Banten juga (yang bisa jadi bagian dari APRA: Angkatan Perang Ratu Atut).
Kami berusaha mencari titik awal jalan Deandels di Anyer. Sepanjang jalan kami mencari tulisan besar atau semacam tugu peringatan namun tak kami temui. Ternyata kami melewatkan Mercusuar. Saya hanya teringat mercusuar, yang mirip dalam film Krakatoa, yang habis disikat amukan Krakatau yang meletus 27 Agustus 1883. Ngeri sekali membayangkannya. Kami nekad berhenti dan mulai bertanya dimana tugu peringatan titik nol Jalan Deandels. Agak sulit juga. Jarang ada orang yang tahu soal tugu kecil yang kami cari. Koneksi internet HP kami tak membantu. Akhirnya kami dapat petunjuk, mungkin tugu itu di Mercusuar. Kami pun naik angkot lagi ke mercusuar. Di angkot kami berbincang dengan orang berpakaian rapi dan sedikit punya tampang agak garang. Kami bicara soal jalan di Banten, yang terkait dengan keluarga Ratu Atut. Orang ini agak membela adik si Ratu Atut dalam Bahasa yang halus dan ramah kepada kami. Kami hanya mengangguk. Mungkin dia jawara Banten juga (yang bisa jadi bagian dari APRA: Angkatan Perang Ratu Atut).
Banten, dalam pandangan saya adalah daerah yang ironis. Padahal, di awal abad lalu, Husein Djajadiningrat (keturunan Bupati Banten) adalah orang Indonesia pertama yang jadi doctor di Universiteit Leiden. Bisa kita artikan orang Banten pintar sejak dulu. Sayang ini tidak bisa direfleksikan dengan baik. Di masa lalu boleh saja si Husein yang pintar, tapi harusnya setelah puluhan tahun, orang pintar di Banten terutama di masa depan haruslah seluruhnya. Sekarang kami sering lihat berita anak SD di banten harus menyebrangi jembatan rusak untuk pergi ke sekolah, itu tak hanya makan waktu tapi juga mempertaruhkan nyawa. Semoga ada perubahan.
Tak terasa angkot kami sampai di mercusuar. Kami langsung menuju Mercusuar. Dengan akal Yahudi si Najib yang punya tampang mirip Karl Marx, penjaga parkir yang mau pungut duit dari pejalan kaki tak mau pungut setelah Najib dengan tekanan bicara ala birokrat bilang: “Mau ke kantor!!!” Kami lolos dari pungli (pungutan liar). Jebakan pungli belum selesai, begitu mau masuk kami dicegat lagi. Sikap Keyahudian Najib hilang, dan dia langsung kasih uang Rp 10.000 untuk dia dan saya masuk mercusuar.
Banten, dalam pandangan saya adalah daerah yang ironis. Padahal, di awal abad lalu, Husein Djajadiningrat (keturunan Bupati Banten) adalah orang Indonesia pertama yang jadi doctor di Universiteit Leiden. Bisa kita artikan orang Banten pintar sejak dulu. Sayang ini tidak bisa direfleksikan dengan baik. Di masa lalu boleh saja si Husein yang pintar, tapi harusnya setelah puluhan tahun, orang pintar di Banten terutama di masa depan haruslah seluruhnya. Sekarang kami sering lihat berita anak SD di banten harus menyebrangi jembatan rusak untuk pergi ke sekolah, itu tak hanya makan waktu tapi juga mempertaruhkan nyawa. Semoga ada perubahan. Tak terasa angkot kami sampai di mercusuar. Kami langsung menuju Mercusuar. Dengan akal Yahudi si Najib yang punya tampang mirip Karl Marx, penjaga parkir yang mau pungut duit dari pejalan kaki tak mau pungut setelah Najib dengan tekanan bicara ala birokrat bilang: “Mau ke kantor!!!” Kami lolos dari pungli (pungutan liar). Jebakan pungli belum selesai, begitu mau masuk kami dicegat lagi. Sikap Keyahudian Najib hilang, dan dia langsung kasih uang Rp 10.000 untuk dia dan saya masuk mercusuar.
Selanjutnya, kami naiki tangga-tangga besi menuju lantai 16 mercusaur. Cukup melelahkan. Phobia ketinggian kambuh lagi. Dari atas mercusuar pemandangan Selat Sunda begitu indah. Dari jauh Krakatau terlihat juga, walau kecil sekali. Setelah mengambil beberapa gambar, kami turun.
Kami temukan informasi soal Mercusuar yang dibangun setelah letusan Krakatau, jelas tertulis itu mercusuar dibangun dimasa Raja Willem III dari Belanda—yang waktu itu kuasai nusantara alias Hindia Belanda. Tak jauh dari mercusuar kami temukan apa yang kami cari.
Selanjutnya, kami naiki tangga-tangga besi menuju lantai 16 mercusaur. Cukup melelahkan. Phobia ketinggian kambuh lagi. Dari atas mercusuar pemandangan Selat Sunda begitu indah. Dari jauh Krakatau terlihat juga, walau kecil sekali. Setelah mengambil beberapa gambar, kami turun. Kami temukan informasi soal Mercusuar yang dibangun setelah letusan Krakatau, jelas tertulis itu mercusuar dibangun dimasa Raja Willem III dari Belanda—yang waktu itu kuasai nusantara alias Hindia Belanda. Tak jauh dari mercusuar kami temukan apa yang kami cari.
Tugu kecil titik nol dari Jalan Raya Anyer Panarukan yang legendaris itu. Mungkin, dari sinilah Deandels memulai jalan bersejarah dan penuh darah itu. Sebelum jaman Deandels, kata orang Portugis pernah bikin bangunan juga, kemungkinan bangunan itu sudah hancur. 
Hari sudah siang ketika kami temukan  tugu kecil itu.  Karena perdamaian dunia terletak pada masalah perut, kami pun pergi makan. Untuk mengenang kolonialisme di nusantara sekali menghormati laut, maka nasi goreng seafood pilihan yang tepat.
Awalnya, niat kami adalah menunggu matahari terbenam. Karena awan tak mendukung kami meninggalkan Anyer lebih cepat dari jadwal.  Perjalanan membosankan akan menemui kami sepanang pulang. Mungkin melewati tinggalan Deandels juga sedikit  barangkali.
Tugu kecil titik nol dari Jalan Raya Anyer Panarukan yang legendaris itu. Mungkin, dari sinilah Deandels memulai jalan bersejarah dan penuh darah itu. Sebelum jaman Deandels, kata orang Portugis pernah bikin bangunan juga, kemungkinan bangunan itu sudah hancur. Hari sudah siang ketika kami temukan tugu kecil itu. Karena perdamaian dunia terletak pada masalah perut, kami pun pergi makan. Untuk mengenang kolonialisme di nusantara sekali menghormati laut, maka nasi goreng seafood pilihan yang tepat. Awalnya, niat kami adalah menunggu matahari terbenam. Karena awan tak mendukung kami meninggalkan Anyer lebih cepat dari jadwal. Perjalanan membosankan akan menemui kami sepanang pulang. Mungkin melewati tinggalan Deandels juga sedikit barangkali.