Minggu, Oktober 26, 2014

Tentang (Filmnya) Likas

Untuk Siapa Kau Bernafas? 
Di akhir film ini, saya agak kecewa sama ini film. Gambaran perangnya, bagi saya, cukup lebay. Seolah ada perang parit di Indonesia waktu Serdadu Balatentara Jepang di Indonesia merajalela.  Agak fatal buat saya—yang sok historis—adalah soal PETA di Sumatra. Itu konyol! Memang ada tentara sukarela macam PETA di Jawa, tapi orang menyebutnya: Gyugun (tentara sukarela), bukan PETA! Dasar Jawasentris!!! Terserah mereka, saya gak berhak mengatur pikiran dan lidah mereka, tapi mereka salah menggambarkan dan melupakan sejarah dan fakta.
Mata saya risih sekali dengan sepatu lars ala serdadu Amerika yang dipakai oleh Vino G Bastian (anak pengarang kisah Wiro Sableng) yang dapat peran jadi Djamin Ginting. Djamin Ginting, bekas perwira didikan Jepang juga. Ada yang menyebut dia pernah dilatih Jepang di Aceh.  Umumnya, sepatu serdadu Jepang lebih mirip sepatu KNIL sebelum Perang Dunia II. Sedang perwiranya ada yang pakai sepatu boot mirip orang berkuda.
Djamin Ginting, di dunia nyata adalah perwira karir yang mengakhiri karir militernya ketika berpangkat Mayor Jenderal. Dia adalah asisten dari Ahmad Yani di staf Umum Angkatan Darat yang tidak diculik. Bukan karna dia ikutan G 30 S sepertinya, dia hanya loyalis Sukarno. Nah, sudah biasa kalau Suharto mulai tidak suka pada seorang Jenderal, maka sang Jenderal akan ditendang jadi Duta Besar. Bagi orang sipil jadi Duta Besar itu keren, namun bagi prajurit sejati yang terbiasa jadi komandan pasukan, itu mungkin ada sesuatu.
Mari kita lupakan soal Djamin Ginting—yang di dalam film ini nampaknya tak begitu bahagia dengan posisinya setelah ditempatkan di Jakarta, bahkan sampai di-dubes-kan di Kanada. Film ini sebenarnya bicara soal Likas Tarigan sebenarnya. Yang tak lain istri perjuangan sang Jenderal. Yang maunya sampai mati bareng sang suami. Namun, suaminya pulang lebih dulu ke Bapa di Surga. Hidup tak mulus buat siapapun, termasuk Likas. 
Dalam film ini Likas diperankan dengan cukup baik oleh Atiqah Hasiholan, yang masih punya darah Batak.

Nampaknya, film ini ingin memaparkan omongan klasik: disamping laki-laki hebat ada perempuan hebat juga. Di samping sang Jenderal, ada Bu Jenderal.  Ehm… Tapi, saya suka penggambaran Likas dalam film ini. Memang ada adegan Likas berkumpul dengan istri-istri tentara atau pejabat, tapi tak banyak. Penggambaran Likas sebagai Ibu Rumah Tangga agak banyak dibanding jadi istri pejabat. Wanita hebat itu bukan hidup dibawah bayang-bayang pasangannya. Melainkan bisa jadi dirinya sendiri. Memangnya Ibu Rumah Tangga gak hebat? 
Meski pintar dan berpendidikan, Likas tergambar sebagai wanita lugu. Dia begitu sayang pada suaminya. Ada adegan dimana Likas telepon Jenderal Muskita—jenderal lain yang lolos dari G 30 S juga. Likas minta panser untuk temui Subandrio, namun tak langsung diberi karena Subandrio dan suaminya di Medan, jadi Likas titip surat lewat pesawat AURI. Meski nampak konyol, itu karena dia sayang Djamin Ginting. Djamin akhirnya pulang, naik panser sambal cengar-cengir. Dan kekhawatiran Likas pada Djamin hilang. Tentu saja itu bukan kekhawatiran pertama karena ditinggal tugas tanpa berita. Di jaman revolusi, itu lebih mengesalkan lagi buat Likas. Nyatanya, istri orang hebat itu biasanya lebih sering khawatir daripada merasa hebat.
Entahlah, saya merasa ada yang agak sisi religious di film ini. Walau tak ada pakai ayat-ayat dengan lebay-nya, ada ajaran Tuhan tentang kejujuran dan Keiklhasan di film ini. Djamin dan Likas orang Kristen, tapi sepanjang film saya tak merasa gambaran norak kalau Likas itu Kristen. Likas memang sekolah di Normal School yang Kristen, juga ada sekali sebut Djamin yang bilang Bapa di Surga adalah rumah untuk pulang.  Ya. Agama dan Tuhan itu di hati.
Buat saya, bagian menarik dari film ini adalah ketika Likas kecil. Dimana ayah Likas mengajari anaknya jujur sampai menangis, tapi tidak dengan kekerasan.  Likas keras hati sejak kecil. Dia tak biarkan marganya dihina kawan sepermainnya yang dikalahkan Likas waktu main gundu. Likas punya cita-cita tinggi dan peduli dengan persamaan derajat antara pria dan wanita. Itu alasan kenapa Djamin Ginting suka padanya.
Beruntung, ayah dan kakaknya mewujudkan mimpinya jadi guru. Meski ibunya yang lugu dengan keras menolaknya. Tentang Likas, yang dalam masa pertumbuhan lebih menarik bagi Anda-anda yang dalam masa pertumbuhan atau galau untuk menjadi orang jujur dan bangga jadi wanita berpendirian. Bagian awal film ini, jadi alasan buat saya jika film ini layak ditonton. Setidaknya, film ini cukup menggambarkan wanita Karo bernama Likas Tarigan. Serta bagaimana dia meresapi hidupnya dalam sejarah Indonesia yang bergolak. 
Tentu saja, akhir film Anda akan tahu, apa maksud dari 3 Nafas Likas; juga "untuk siapa Likas Bernafas?"