Minggu, Mei 03, 2009

Yang Terendam Buku


Lorong perpus SMA menjadi favoritku, meski jutaan orang Indonesia menghindarinya, kecuali hanya uuntuk bercumbu demi nafsu. Tapi, lorong perpus itu suci dan bukan untuk bercumbu. itu tempat pelarianku.

Aku bosan dengan Indonesia yang menyedihkan. Mungkin sama menyedihkannya dengan kondisi yang tidak nayaman di kelas 2 SMA ku.Ya mungkin sama menyedihkannya dengan kondisi dan mentalitas kawan-kawanku. Beragam, tapi pola pikirnya seragam hingga gak bisa hargai keberagaman. Sama seperti Indoensia. Indonesia tidak pernah damai karena sebenarnya orang yang beragam dipaksakan untuk seragam.
Seperti dunia kecil dalam kelas 2-1 SMA ku di SMA Negeri 2 Balikpapan. Dimana kawan mereka yang berbeda akan dianggap sok, gila, dan layak dibenci barangkali.

Aku terbilang beruntung menurut beberapa kawan SMP Negeri 3 Balikpapan, aku diterima di SMA Negeri 2 Balikpapan. Ya awal-awal cukup menyenangkan, tapi tidak seterusnya. Ada masa dimana keberadaanku tidak diakui. Karakterku tidak dibenarkan oleh kawan-kawan. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Rasanya semua harus seragam pola pikirnya. Tidak ada perbedaan, semua harus seperti kata orang-orang itu (kawan-kawan yang kerap mengkritiku tanpa mengerti apa duniaku).
Akhirnya, kelas menjadi tidak menyenangkan. Aku mulai muak dengan kelasku dan aku lebih senang bergaul dengan anak palang Merah, ato dengan anak kelas lain. Buruknya lagi, kami seperti disetting untuk ikut les. Beruntung aku tidak mau ikut. Dulu tidak ikut les menyakitkan, bakal ketinggalan pelajaran. Tapi sekarang, ketika aku telah melewati masa itu, aku merasa aku adalah manusia bebas ketika itu.
Sebuah tempat kemudian menyelamatkanku dari tekanan manusia-manusia sok sempurna itu. Ya, sebuah perpustakaan. Dimana buku-buku sejarah dan sastra tersimpan rapi dan menggiurkanku untuk dibaca. Tapi, kondisi sekarang sudah tidak seperti dulu. penyajian di Perpustakaan itu sudah tidak menarik lagi. Tidak seperti ketika Bu Satiyati mengurusnya. Semua berubah. Bu Satiayati, saperti juga Bu Asnalin (Guru Sejarah), termasuk orang yang membuat aku rajin membaca.
Di perpus aku temukan buku-buku yang buat aku menjadi manusia. Di kelas, aku adalah siswa yang paling rajin ke perpus dan pinjam buku. siswa yang nilainya paling baik pun jarang meminjam buku. mereka lebih banyak berkutat dengan buku-buku pelajaran saja. Gila, mereka dianggap pintar, tapi ogah membaca buku lebih banyak daripadaku. Membaca buku menjadi ritual paling asyik, meski aku dua kali hampir tidak naik kelas. Pokoknya, dan memang yang sebenarnya, bahwa buku adalah segala-galanya. Buku jauh lebih penting daripada buku-buku teks Eksakta, yang memuakan dan tidak manusiawi.
Buku-buku di Perpus itu membuat aku menjadi seperti sekarang, suka menulis dan mengkritik. Aku tidak merasa pintar, hanya saja aku menjadi semakin bisa melihat dunia, meski hanya dalam kacamataku saja. Aku suka buku dan cinta pada buku mulai menghebat waktu SMA. Aku berkenalan dengan tulisan Gibran yang dasyat. Tentu saja buku-buku sejarah juga mulai menggodaku, sebelum kuputuskan untuk menjad sejarawan.
Buku menyelamatku dari pola pikir konyol kawan-kawan SMA, yang merasa lebih dewasa. Buku seperti menutupi masa laluku yang tidak menyenangkan. Selama kuliah dan bergelut dengan buku, aku seolah melupakan sebuah peristiwa di kelas 2 SMA (2000-2001). Dulu ada berita kehilangan uang.kami sekelas jadi tersangka.seorang teman bernama Andre yang lagi iseng bilang, "Trik kayaknya kamu deh yang dituduh". sontak aku langsung bilang dengan tegas, "kalo sampe aku yang dituduh, bakal ada perang antar kelas!". aku wakil kelas miskin dan penuduh tentu wakil ato anjing kelas kaya. aku tahu Andre bercanda,tapi reaksiku sadarkan aku bahwa ajaran Marx dah merasuk dalam otakku.
Akhirnya, aku tahu bahwa dalam sejarah manusia ada istilah The Have & The Have Not. Dimana ada kaum The Have yang berpunya dan juga berkuasa dan ada The Have Not yang tidak memiliki apa-apa dan kerap tereksploitasi. Aku adalah kelompok yang The Have Not itu. Kuharap tak ada lagi orang sepertiku di sekolah. biar gak ada strugle class!!! Beberapa waktu buku bantu aku lupakan hal-hal konyol itu.
Itu semua karena buku. Aku juga menjadi orang yang tidak percaya dengan omongan orang, dan hanya buku yang bisa untuk dipercaya. Buku juga yang memperkenalkan aku pada Karl Marx--penulis Das Kapital yang pernah mengobrak-abrik Kapitalisme. Buku membuat aku berteriak, dan akhirnya jadi pemberontak.
Rasanya aku sedang balas dendam dengan masalalu.yang tak bermodal dilarang berekpresi oleh kawan sekelasnya.kemiskinan dan kerendahanku dibalas dengan cacian, kebencian pada tindak tandukku yang sebenarnya tidak mengganggu mereka. aku benci kelas 1 dan kelas 2 ku di SMA 2 tahun 2000-2001. Tapi, Kebencian itu bisa tertutupi dengan buku-buku yang kubaca, kukoleksi, atau yang kutulis.