Rabu, November 05, 2014

Dr Sitanala

Dokter ini bukan dokter umum, dia ahli lepra dan aktivis kemanusiaan juga
Hatta, dengan bantuan Panitia Lima yang terdiri dari para dokter Indonesia kesohor, membentuk Palang Merah Indonesia pada 17 September 1945. Diantara Panitia Lima itu, terdapat: Bahder Djohan; Djoehana; J.B. Sitanala; R. Muchtar, dan Marzuki. Selain itu terdapat nama dokter Buntaran yang belakangan menjadi pejabat kesehatan.Dokter-dokter itu adalah orang-orang dari Jawa, Sumatra dan Maluku. Sitanala berasal dari Maluku.
                Sosok dokter Sitanala cukuplah menarik. Bukan dokter biasa. Dia terbiasa dengan penelitian. Dia ahli penyakit lepra sekaligus aktivis pergerakan dan kemanusiaan juga. Tentang Sitanala, Rushdy Hoesein menulis:


“JACOB Bernadus Sitanala dilahirkan dalam suatu keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Ia keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon.  Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Ambonsche Burger School” di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada 1904, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu “STOVIA” di Jakarta. Pada tahun 1912 Sitanala berhasil memperoleh ijasah dokter dan ditempatkan di berbagai tempat di Indonesia. Karena prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, ia mendapat tugas belajar ke Negeri Belanda tahun 1923 dan mendalami ilmu Penyakit Kusta (Lepra).  Pada tahun 1926 berhasil memperoleh diploma “Nederlandsche Arts” dan pada tahun 1927 mendapat gelar doctor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Setelah kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai ahli Penyakit Kusta, Dr Sitanala diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia. Dr Sitanala adalah ahli Penyakit Kusta yang bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan Penyakit Kusta, ia dikenal pula di dunia Internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang ia kembangkan.”[1]

                Jacob Sitanala, bukan mahasiswa biasa. Dia juga ikut dalam pergerakan nasional. Namanya, tercatat hadir dalam sebuah pertemuan Ambonsch Studiefonds pada 17 Juli 1910, di Kebun Binatang, Betawi (Jakarta). Acara ini dihadiri sekitar 123 orang. Beberapa personil militer Ambon yang bermarkas di Meester. Cornelis (Jatinegara) juga turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka menyatakan akan menjadi anggota perhimpunan ini. Ketua dan wakil ketua berhalangan hadir, maka pembuka rapat Tuan Hetharin, anggota dari pengurus pusat. Setelah itu, Sitanala, yang kala itu mahasiswa sekolah dokter berpidato. Ia membicarakan tentang keadaan dan kehendak Ambonsch Studiefonds.
                Sitanala tak datang sendiri dari STOVIA. Dia datang dengan Latumeten. Dimana, Latumeten, berpidato mengenai keadaan Ambonsch Voksbond “Mena-Moeria” di Ambon serta cabangnya di Makasar dan Buleleng yang memiliki hubungannya dengan Ambonsch Studifonds Betawi. Ia mencoba mengingatkan para peserta untuk selalu mengingat jasa Tuan dan Nyonya Tehupeiorij yang telah meletakkan batu pertama di bangunan perhimpunan mereka serta menggerakkan Bangsa Ambon untuk berpartisipasi dalam perhimpunan tersebut. Dari pihak militer Ambon, Metekohij, sergeant major schrijver(jurutulis berpangkat sersan mayor) berpidato dengan Bahasa Melayu. Ia mengajak para militer untuk selalu cinta pada vaandel (vandal/kesatuan militer) dan Sri Baginda Raja Belanda.
Di akhir pertemuan, Sitanala mengkritik tajam terhadap kepengurusan saat itu. Ia mencoba mengoreksi ucapan Soselisa ketika baru saja terpilih sebagai ketua perhimpunan. Ia mengeluarkan janji-janji manis bagi perhimpunan, akan tetapi hingga pertemuan ini tidak dapat membuktikan ucapannya tersebut, bahkan tidak hadir dalam pertemuan kali ini.[2] Sebagai orang muda, Sitanala begitu aktif dan kritis.
                Seperti banyak lulusan STOVIA lain, dokter muda yang kadang disebut dokter Jawa itu, umumnya menjadi dokter pemerintah yang dikirim ke berbagai penjuru Hindia Belanda. Setelah lulus di tahun 1912, Sitanala pun bekerja untuk pemerintah kolonial di jawatan kesehatan. Tahun 1914, Belanda mengirim dr Jacob Bernadus Sitanala (1889-1958) ke Merauke untuk mengatasi penyebaran penyakit seks menular.[3]
Sitanala yang sering meneliti, akhirnya sekolah lagi ke negeri Belanda pada 1923. Dimana Sitanala juga ikut tergabung dalam Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Kehadirannya di Perhimpunan Indonesia tak mulus. Setelah rapat pada 11 Januari Perhimpunan Indonesia memutuskan garis politik organisasi adalah non kooperasi, dan memecat seorang anggota bernama J.B. Sitanala karena dipandang telah melanggar garis politik organisasi.[4] Selain itu, dipecat juga Notosuroto.[5] Setelahnya, hingga 1927an, Sitanala lebih fokus pada studinya yang hingga taraf doctor.
Sepulang dari Belanda, Sitanala bekerja lagi jawatan kesehatan pemerintah yang mengurusi Lepra.  Tercatat, pada 1 November 1927, Sitanala ditempatkan di rumah sakit lepra Plantoengan, tak jauh dari Semarang.[6]
Pada 27 Juli 1932, Dr Sitanala melakukan kunjungan ke rumah sakit lepra di Semarang. Setelah itu, Dr Sitanala dan Dr Kadijat pergi ke Surabaya. Tujuan kunjungan kedua dokter pribumi ahli penyakit lepra itu dalam rangka menyelidiki penyebab penyakit yang menyebar di jawa itu. Penyakit lepra atau kusta, banyak diderita oleh masyarakat pribumi.[7] Sitanala juga pernah berdiskusi dengan dr Soetomo untuk membicarakan penanggulangan penyakit lepra di Jawa Timur.[8]
Sitanala tampaknya begitu sohor sebagai dokter. Hingga  Batavia Nieuwsbladmewawancarai dr Sitanalamengenai penyekit lepra. Banyak yang menyebut, pada masa itu, bahwa lepra merupakan penyakit orang-orang melarat. Menurut Sitanala, seperti hasil kunjungannya ke beberapa kampung di Jawa Tengah, ketika seseorang yang terkena lepra, di daerah perkampungan, biasanya jarang langsung diberi pengobatan. Bila dibawa ke rumah sakit umum, maka pengelola rumah sakit akan menyarankan agar dibawa ke rumah sakit lepra. Sesampai di rumah sakit lepra, penderita lepra itu akan memperoleh jawaban yang tidak menyenangkan lagi, rumah sakit penuh dan kembali lagi kemari enam bulan lagi. Akhirnya penyakit lepra itu dibiarkan saja dan terus bertambah parah hingga mengganggu orang-orang yang ada disekitarnya. [9]
                Hingga 24 Januari 1940, Dr J.B.Sitanala yang kala itu tinggal di Semarang,  telah  menjabat Hoofd Leprabestrijding (Kepala Pemberantas Lepra). Dia juga menerima Wasa Orde yang diserahkan oleh Jhr. Ir. F.E. Everts. Penganugerahan itu dilakukan secara sederhana dan dihadiri oleh beberapa orang dokter seperti Dr Sardjito, Dr Djoehana, Dr Rehatta, dan Dr Rosendahl. Hal ini terkait dengan beberapa penyelidikan Sitanala tentang penyakit lepra di Hindia Belanda.[10] 1941, dirinya dipindahkan ke Surabaya.[11]   Selanjutnya, Sitanala terlibat dalam pendirian PMI. Belakangan RUmah sakit khusus Lepra pun diberinama sesuai nama dirinya. Namanya selalu dihafal oleh anggota palang merah remaja di Indonesia setidaknya, sebagai satu dari Panitia Lima.
                Anak Sitanala yang cukup sohor adalah: Harry Sitanala. Dia pernah mendaftar Akademi Militer Belanda di Bandung. Bersama-sama dengan Alex Kawilarang, Nasution dan Simatupang.. Seperti banyak keturunan Ambon di jaman kolonial mereka menjadi anggota militer KNIL. Sitanala yang bekas KNIL kemudian masuk TNI. Dia sempat menjadi komandan di Bali, namun karena sikapnya yang dekat dengan raja-raja lokal di Bali, dirinya tak disukai oleh orang-orang Republik Indonesia.[12]



[1] Rushdy Hoesein, Dr Jacob Bernadus Sitanala dalam (http://sejarahkita.blogspot.com/2013/04/dr-jacob-bernadus-sitanala.html)

[2] Begitulah kata berita dari Selompret Melajoe, 6 Agustus 1910 yang diperoleh kawan saya Poeteri Soraya Mansur.

[3] Saiful W. Harahap, Menyelamatkan (Suku-suku) Tanah Papua dari Ancaman AIDS, KOmpasiana (25 Juni 2011)


[4] Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas, 2004, hlm. 327

[5] Harry Poeze, Di Negeri Penjajah, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 190.

[6] De Indische courant, 2 November 1927.

[7] Bintang Timoer, 1 Agustus 1932

[8] De Indische courant, 27 Januari 1934.

[9] Wawancara itu dimuat lagi oleh suratkabar: Sin Po, 6 Desember 1932.

[10] Kaoem Moeda, 25 Januari 1940

[11] Bataviaasch nieuwsblad, 11 Februari 1941

[12] Ramadhan K.H, Untung Sang Merah Putih, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 15 & 239.