Rabu, November 05, 2014

Dr Sitanala

Dokter ini bukan dokter umum, dia ahli lepra dan aktivis kemanusiaan juga
Hatta, dengan bantuan Panitia Lima yang terdiri dari para dokter Indonesia kesohor, membentuk Palang Merah Indonesia pada 17 September 1945. Diantara Panitia Lima itu, terdapat: Bahder Djohan; Djoehana; J.B. Sitanala; R. Muchtar, dan Marzuki. Selain itu terdapat nama dokter Buntaran yang belakangan menjadi pejabat kesehatan.Dokter-dokter itu adalah orang-orang dari Jawa, Sumatra dan Maluku. Sitanala berasal dari Maluku.
                Sosok dokter Sitanala cukuplah menarik. Bukan dokter biasa. Dia terbiasa dengan penelitian. Dia ahli penyakit lepra sekaligus aktivis pergerakan dan kemanusiaan juga. Tentang Sitanala, Rushdy Hoesein menulis:


“JACOB Bernadus Sitanala dilahirkan dalam suatu keluarga pengusaha kecil pada 18 September 1889 di Kayeli, Pulau Buru. Ia keturunan keluarga besar Sitanala dari Desa Suli di Pulau Ambon.  Setelah menamatkan pendidikan dasar pada “Ambonsche Burger School” di Ambon dan pendidikan menengah MULO pada 1904, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran yaitu “STOVIA” di Jakarta. Pada tahun 1912 Sitanala berhasil memperoleh ijasah dokter dan ditempatkan di berbagai tempat di Indonesia. Karena prestasinya yang tinggi dalam tugas pelayanan kedokteran dan penelitian ilmiah, ia mendapat tugas belajar ke Negeri Belanda tahun 1923 dan mendalami ilmu Penyakit Kusta (Lepra).  Pada tahun 1926 berhasil memperoleh diploma “Nederlandsche Arts” dan pada tahun 1927 mendapat gelar doctor dan guru besar dalam Ilmu Penyakit Kusta. Setelah kembali ke Indonesia dan bertugas sebagai ahli Penyakit Kusta, Dr Sitanala diangkat sebagai Kepala Pemberantasan Penyakit Kusta di Indonesia. Dr Sitanala adalah ahli Penyakit Kusta yang bertama di Indonesia. Sebagai perintis pemberantasan Penyakit Kusta, ia dikenal pula di dunia Internasional karena karya-karya ilmiah hasil penelitian dan metode baru pengobatan Penyakit Kusta yang ia kembangkan.”[1]

                Jacob Sitanala, bukan mahasiswa biasa. Dia juga ikut dalam pergerakan nasional. Namanya, tercatat hadir dalam sebuah pertemuan Ambonsch Studiefonds pada 17 Juli 1910, di Kebun Binatang, Betawi (Jakarta). Acara ini dihadiri sekitar 123 orang. Beberapa personil militer Ambon yang bermarkas di Meester. Cornelis (Jatinegara) juga turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka menyatakan akan menjadi anggota perhimpunan ini. Ketua dan wakil ketua berhalangan hadir, maka pembuka rapat Tuan Hetharin, anggota dari pengurus pusat. Setelah itu, Sitanala, yang kala itu mahasiswa sekolah dokter berpidato. Ia membicarakan tentang keadaan dan kehendak Ambonsch Studiefonds.
                Sitanala tak datang sendiri dari STOVIA. Dia datang dengan Latumeten. Dimana, Latumeten, berpidato mengenai keadaan Ambonsch Voksbond “Mena-Moeria” di Ambon serta cabangnya di Makasar dan Buleleng yang memiliki hubungannya dengan Ambonsch Studifonds Betawi. Ia mencoba mengingatkan para peserta untuk selalu mengingat jasa Tuan dan Nyonya Tehupeiorij yang telah meletakkan batu pertama di bangunan perhimpunan mereka serta menggerakkan Bangsa Ambon untuk berpartisipasi dalam perhimpunan tersebut. Dari pihak militer Ambon, Metekohij, sergeant major schrijver(jurutulis berpangkat sersan mayor) berpidato dengan Bahasa Melayu. Ia mengajak para militer untuk selalu cinta pada vaandel (vandal/kesatuan militer) dan Sri Baginda Raja Belanda.
Di akhir pertemuan, Sitanala mengkritik tajam terhadap kepengurusan saat itu. Ia mencoba mengoreksi ucapan Soselisa ketika baru saja terpilih sebagai ketua perhimpunan. Ia mengeluarkan janji-janji manis bagi perhimpunan, akan tetapi hingga pertemuan ini tidak dapat membuktikan ucapannya tersebut, bahkan tidak hadir dalam pertemuan kali ini.[2] Sebagai orang muda, Sitanala begitu aktif dan kritis.
                Seperti banyak lulusan STOVIA lain, dokter muda yang kadang disebut dokter Jawa itu, umumnya menjadi dokter pemerintah yang dikirim ke berbagai penjuru Hindia Belanda. Setelah lulus di tahun 1912, Sitanala pun bekerja untuk pemerintah kolonial di jawatan kesehatan. Tahun 1914, Belanda mengirim dr Jacob Bernadus Sitanala (1889-1958) ke Merauke untuk mengatasi penyebaran penyakit seks menular.[3]
Sitanala yang sering meneliti, akhirnya sekolah lagi ke negeri Belanda pada 1923. Dimana Sitanala juga ikut tergabung dalam Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Kehadirannya di Perhimpunan Indonesia tak mulus. Setelah rapat pada 11 Januari Perhimpunan Indonesia memutuskan garis politik organisasi adalah non kooperasi, dan memecat seorang anggota bernama J.B. Sitanala karena dipandang telah melanggar garis politik organisasi.[4] Selain itu, dipecat juga Notosuroto.[5] Setelahnya, hingga 1927an, Sitanala lebih fokus pada studinya yang hingga taraf doctor.
Sepulang dari Belanda, Sitanala bekerja lagi jawatan kesehatan pemerintah yang mengurusi Lepra.  Tercatat, pada 1 November 1927, Sitanala ditempatkan di rumah sakit lepra Plantoengan, tak jauh dari Semarang.[6]
Pada 27 Juli 1932, Dr Sitanala melakukan kunjungan ke rumah sakit lepra di Semarang. Setelah itu, Dr Sitanala dan Dr Kadijat pergi ke Surabaya. Tujuan kunjungan kedua dokter pribumi ahli penyakit lepra itu dalam rangka menyelidiki penyebab penyakit yang menyebar di jawa itu. Penyakit lepra atau kusta, banyak diderita oleh masyarakat pribumi.[7] Sitanala juga pernah berdiskusi dengan dr Soetomo untuk membicarakan penanggulangan penyakit lepra di Jawa Timur.[8]
Sitanala tampaknya begitu sohor sebagai dokter. Hingga  Batavia Nieuwsbladmewawancarai dr Sitanalamengenai penyekit lepra. Banyak yang menyebut, pada masa itu, bahwa lepra merupakan penyakit orang-orang melarat. Menurut Sitanala, seperti hasil kunjungannya ke beberapa kampung di Jawa Tengah, ketika seseorang yang terkena lepra, di daerah perkampungan, biasanya jarang langsung diberi pengobatan. Bila dibawa ke rumah sakit umum, maka pengelola rumah sakit akan menyarankan agar dibawa ke rumah sakit lepra. Sesampai di rumah sakit lepra, penderita lepra itu akan memperoleh jawaban yang tidak menyenangkan lagi, rumah sakit penuh dan kembali lagi kemari enam bulan lagi. Akhirnya penyakit lepra itu dibiarkan saja dan terus bertambah parah hingga mengganggu orang-orang yang ada disekitarnya. [9]
                Hingga 24 Januari 1940, Dr J.B.Sitanala yang kala itu tinggal di Semarang,  telah  menjabat Hoofd Leprabestrijding (Kepala Pemberantas Lepra). Dia juga menerima Wasa Orde yang diserahkan oleh Jhr. Ir. F.E. Everts. Penganugerahan itu dilakukan secara sederhana dan dihadiri oleh beberapa orang dokter seperti Dr Sardjito, Dr Djoehana, Dr Rehatta, dan Dr Rosendahl. Hal ini terkait dengan beberapa penyelidikan Sitanala tentang penyakit lepra di Hindia Belanda.[10] 1941, dirinya dipindahkan ke Surabaya.[11]   Selanjutnya, Sitanala terlibat dalam pendirian PMI. Belakangan RUmah sakit khusus Lepra pun diberinama sesuai nama dirinya. Namanya selalu dihafal oleh anggota palang merah remaja di Indonesia setidaknya, sebagai satu dari Panitia Lima.
                Anak Sitanala yang cukup sohor adalah: Harry Sitanala. Dia pernah mendaftar Akademi Militer Belanda di Bandung. Bersama-sama dengan Alex Kawilarang, Nasution dan Simatupang.. Seperti banyak keturunan Ambon di jaman kolonial mereka menjadi anggota militer KNIL. Sitanala yang bekas KNIL kemudian masuk TNI. Dia sempat menjadi komandan di Bali, namun karena sikapnya yang dekat dengan raja-raja lokal di Bali, dirinya tak disukai oleh orang-orang Republik Indonesia.[12]



[1] Rushdy Hoesein, Dr Jacob Bernadus Sitanala dalam (http://sejarahkita.blogspot.com/2013/04/dr-jacob-bernadus-sitanala.html)

[2] Begitulah kata berita dari Selompret Melajoe, 6 Agustus 1910 yang diperoleh kawan saya Poeteri Soraya Mansur.

[3] Saiful W. Harahap, Menyelamatkan (Suku-suku) Tanah Papua dari Ancaman AIDS, KOmpasiana (25 Juni 2011)


[4] Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas, 2004, hlm. 327

[5] Harry Poeze, Di Negeri Penjajah, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 190.

[6] De Indische courant, 2 November 1927.

[7] Bintang Timoer, 1 Agustus 1932

[8] De Indische courant, 27 Januari 1934.

[9] Wawancara itu dimuat lagi oleh suratkabar: Sin Po, 6 Desember 1932.

[10] Kaoem Moeda, 25 Januari 1940

[11] Bataviaasch nieuwsblad, 11 Februari 1941

[12] Ramadhan K.H, Untung Sang Merah Putih, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 15 & 239.

Minggu, Oktober 26, 2014

Tentang (Filmnya) Likas

Untuk Siapa Kau Bernafas? 
Di akhir film ini, saya agak kecewa sama ini film. Gambaran perangnya, bagi saya, cukup lebay. Seolah ada perang parit di Indonesia waktu Serdadu Balatentara Jepang di Indonesia merajalela.  Agak fatal buat saya—yang sok historis—adalah soal PETA di Sumatra. Itu konyol! Memang ada tentara sukarela macam PETA di Jawa, tapi orang menyebutnya: Gyugun (tentara sukarela), bukan PETA! Dasar Jawasentris!!! Terserah mereka, saya gak berhak mengatur pikiran dan lidah mereka, tapi mereka salah menggambarkan dan melupakan sejarah dan fakta.
Mata saya risih sekali dengan sepatu lars ala serdadu Amerika yang dipakai oleh Vino G Bastian (anak pengarang kisah Wiro Sableng) yang dapat peran jadi Djamin Ginting. Djamin Ginting, bekas perwira didikan Jepang juga. Ada yang menyebut dia pernah dilatih Jepang di Aceh.  Umumnya, sepatu serdadu Jepang lebih mirip sepatu KNIL sebelum Perang Dunia II. Sedang perwiranya ada yang pakai sepatu boot mirip orang berkuda.
Djamin Ginting, di dunia nyata adalah perwira karir yang mengakhiri karir militernya ketika berpangkat Mayor Jenderal. Dia adalah asisten dari Ahmad Yani di staf Umum Angkatan Darat yang tidak diculik. Bukan karna dia ikutan G 30 S sepertinya, dia hanya loyalis Sukarno. Nah, sudah biasa kalau Suharto mulai tidak suka pada seorang Jenderal, maka sang Jenderal akan ditendang jadi Duta Besar. Bagi orang sipil jadi Duta Besar itu keren, namun bagi prajurit sejati yang terbiasa jadi komandan pasukan, itu mungkin ada sesuatu.
Mari kita lupakan soal Djamin Ginting—yang di dalam film ini nampaknya tak begitu bahagia dengan posisinya setelah ditempatkan di Jakarta, bahkan sampai di-dubes-kan di Kanada. Film ini sebenarnya bicara soal Likas Tarigan sebenarnya. Yang tak lain istri perjuangan sang Jenderal. Yang maunya sampai mati bareng sang suami. Namun, suaminya pulang lebih dulu ke Bapa di Surga. Hidup tak mulus buat siapapun, termasuk Likas. 
Dalam film ini Likas diperankan dengan cukup baik oleh Atiqah Hasiholan, yang masih punya darah Batak.

Nampaknya, film ini ingin memaparkan omongan klasik: disamping laki-laki hebat ada perempuan hebat juga. Di samping sang Jenderal, ada Bu Jenderal.  Ehm… Tapi, saya suka penggambaran Likas dalam film ini. Memang ada adegan Likas berkumpul dengan istri-istri tentara atau pejabat, tapi tak banyak. Penggambaran Likas sebagai Ibu Rumah Tangga agak banyak dibanding jadi istri pejabat. Wanita hebat itu bukan hidup dibawah bayang-bayang pasangannya. Melainkan bisa jadi dirinya sendiri. Memangnya Ibu Rumah Tangga gak hebat? 
Meski pintar dan berpendidikan, Likas tergambar sebagai wanita lugu. Dia begitu sayang pada suaminya. Ada adegan dimana Likas telepon Jenderal Muskita—jenderal lain yang lolos dari G 30 S juga. Likas minta panser untuk temui Subandrio, namun tak langsung diberi karena Subandrio dan suaminya di Medan, jadi Likas titip surat lewat pesawat AURI. Meski nampak konyol, itu karena dia sayang Djamin Ginting. Djamin akhirnya pulang, naik panser sambal cengar-cengir. Dan kekhawatiran Likas pada Djamin hilang. Tentu saja itu bukan kekhawatiran pertama karena ditinggal tugas tanpa berita. Di jaman revolusi, itu lebih mengesalkan lagi buat Likas. Nyatanya, istri orang hebat itu biasanya lebih sering khawatir daripada merasa hebat.
Entahlah, saya merasa ada yang agak sisi religious di film ini. Walau tak ada pakai ayat-ayat dengan lebay-nya, ada ajaran Tuhan tentang kejujuran dan Keiklhasan di film ini. Djamin dan Likas orang Kristen, tapi sepanjang film saya tak merasa gambaran norak kalau Likas itu Kristen. Likas memang sekolah di Normal School yang Kristen, juga ada sekali sebut Djamin yang bilang Bapa di Surga adalah rumah untuk pulang.  Ya. Agama dan Tuhan itu di hati.
Buat saya, bagian menarik dari film ini adalah ketika Likas kecil. Dimana ayah Likas mengajari anaknya jujur sampai menangis, tapi tidak dengan kekerasan.  Likas keras hati sejak kecil. Dia tak biarkan marganya dihina kawan sepermainnya yang dikalahkan Likas waktu main gundu. Likas punya cita-cita tinggi dan peduli dengan persamaan derajat antara pria dan wanita. Itu alasan kenapa Djamin Ginting suka padanya.
Beruntung, ayah dan kakaknya mewujudkan mimpinya jadi guru. Meski ibunya yang lugu dengan keras menolaknya. Tentang Likas, yang dalam masa pertumbuhan lebih menarik bagi Anda-anda yang dalam masa pertumbuhan atau galau untuk menjadi orang jujur dan bangga jadi wanita berpendirian. Bagian awal film ini, jadi alasan buat saya jika film ini layak ditonton. Setidaknya, film ini cukup menggambarkan wanita Karo bernama Likas Tarigan. Serta bagaimana dia meresapi hidupnya dalam sejarah Indonesia yang bergolak. 
Tentu saja, akhir film Anda akan tahu, apa maksud dari 3 Nafas Likas; juga "untuk siapa Likas Bernafas?"

Rabu, Oktober 15, 2014

Trik Oentoek Hidoep dan Mati ala KNIL

Ada tjara unik serdadu balatentara Belanda pimpinan Djenderal Spoor hadapi Pedjuang Republik. Pake buku bergambar en foto jang lumajan kotjak.
AKHIRNJA. Setelah bertahun-tahun, saia jang penasaran pada Voorschrift Politiek-Politionele Taak Leger (kitorang batja sadja VPTL) atawa Undang2 kewadjiban politik dan kepolisian tentara, sedikit terobati dengan nongolnja  buku panduan jang merupakan penjabaran dari  VPTL, itu pun salinannja sadja. Ta’ apa. Buku berdjudul  Kennis van het VPTL : Een kwestie van leven of dood  (jang Di-Indonesia-kan djadi: Mengetahoei akan VPTL: Soal Hidoep atau Mati) ini, sepertinja dikeluarken djaman Djenderal Simon Hendrik Spoor djadi Legercommandant segala balatentara Belanda di Indonesia waktu djaman revolusi dulu.Ini buku, sepertinja disediaken bagi balatentara Belanda jang dari orang-orang Indonesia aseli. Basaha buku ini adalah Bahasa belanda dan Melaju Pasar (boleh dibilang Bahasa Indonesia djuga). Ingat, tak semua orang Indonesia djaman colonial en sesudahnja bisa omong pake Bahasa Belanda. Nah, ini buku pastinja bagus buat soldadu rendahan jang tahunja Bahasa Indonesia sadja
Dalam buku ini, dibahas banjak hal tentang bagaimana harusnja seorang serdadu KNIL patroli menghadapi geriljawan Indonesia jang ogah menjerah tapi minta ampun susahnja ditemukan sama serdadu-serdadu Ratu Olanda ini. Ada bagian berdjudul Even Rusten atawa Melepaskan Lelah sebentar. Ini fatsal soal posisi jang baik dan benar kalo pasukan sedang melepas lelah.  Ada djuga bagian soal bagaimana bahajanja kalau melepas lelah di warung. Ada pantangan, melepas lelah di warung atawa rumah-rumah penduduk. Tapi, dimana pun itu, semua seradu KNIL harus ingat: Djangan sampe tidak awas en djangan sampai sekonjong-konjong dapet serangan dari musuh!Bagian Inlichtingen (keterangan), tak lain bitjara soal bersikap pada djurubahasa pribumi. Pantang buat pertjaja buta sama djurubahasa. Bisa sadja, si djurubahasa berlebihan djikalau bertanja atau berbohong pada pasukan. Nampaknja, ada kewadjiban bagi semua serdadu Belanda untuk paham Bahasa pribumi. Untung sadja, serdadu KNIL berasal dari suku2 di Indonesia.
Ada djuga tata tjara memeriksa orang untuk mentjari sendjata atawa surat-surat berharga. Salah posisi, bisa-bisa serdadu Ratu Olanda bisa disepak sama jang terperiksa.  Ada djuga bagian tentang bagaimana mengikat tawan, serta bagaimana djuga membawanja dalam perdjalanan. Nah, dasar buku buat serdadu KNIL jang ndeso2, sudah pasti selain ada bagian bagaimana bertanja pada tawanan; bagian bagaimana tjaranja menghadang lawan serta bergerak madju menudju daerah lawan djuga dibahas. Bagaimana posisi barisan djika hanja berdua atau lebih tentu berbeda. Tjara mengepung kampong atawa rumah pun ada dibuku ini. Dalam menjeberang kali (sungai) pun bukan urusan sembarangan. Dibahas djuga bagaimana kalau melewati pusaran air dan menjebrangi jembatan ketjil tak lupa dibahas.
Kesalahan fatal serdadu KNIL terdahulu djuga tak lupa dibahas. Waktu di Atjeh dulu ada  kesalahan komandan Marsose dan kurang awas pada (waspada) musuh di sebuah rumah. Sepasukan Marsose djatuh korban. Si komandan mampus en pasukannja luka2. Ini ketjelakaan jang bikin malu serdadu Ratu Olanda jang ganas ini.Saia pribadi merasa ini buku bagus, jang disadjikan dengan kotjak. Selain terhibur, para serdadu2 jang batja ini buku bakal bertambah ilmu2 patrolinja en bisa djadi makin awas lagi kalo patrol. Nah begitulah dulu serdadu2  Ratu Olanda melawan pedjuang2 Indonesia. Belum ditemukan, apakah Republik bikin buku paduan buat serdadu, atau tidak?Saia pesankan, djikalau dibatja ini buku, djangan tersinggung kalo musuh2 jang dihadapi ini serdadu2 Belanda sebagai orang djahat. Dibuku inilah ada trik atawa tjara selamat buat serdadu buat selamat dalam patrol dan betempur sama orang Indonesia. Djudulnja sadja pake kata2, soal hidoep dan mati!!

Senin, Oktober 06, 2014

Film-film (Sejarah) Wajib tentang Sejarah Indonesia

Sejarah adalah bagaimana melihat dan mencari kebenaran. Ada banyak cara selain belajar sejarah selain membaca. Membaca memang harus, namun ada beberapa cara lain yang harus dilakukan untuk menikmati dan membumikan sejarah. Berziarah ke tempat sejarah dan menonton film-film sejarah. Nah, film yang ditonton pun tak melulu harus yang dokumenter.
 Sudah lazim jika sejarah yang difilmkan sering diberi bumbu agar menarik—dan komersil. Film tak bermaksud bohong, tapi sutradara punya subyektifitasnya sendiri.  Mari menjadi bijak untuk melihat film sebagai referensi belajar sejarah yang seru. Seperti buku sejarah, film sperti juga novel sejarah bisa membantu kita membayangkan bagaimana kondisi  atau kehidupan di masa lalu. Tentu saja bukan untuk dipercaya sepenuhnya, tapi setidaknya bisa ditangkap sisi positifnya.
Film bisa menjadi bahan pembelajaran di sekolah.
Pastinya, ada beberapa film yang layak ditonton untuk lebih bisa membayangkan bagaimana kehidupan atau sejarah Indonesia di masa lalu. Tentu saja film-film ini bukan dijadikan kebenaran mutlak, hanya bisa jadi sumber mencari kebenaran, atau setidaknya jadi pembanding. Beberapa film bahkan bisa ditemukan di Youtube. Diantara film-film itu adalah:
  1. Moeder Dao, ini adalah film documenter. Gambar yang diambil adalah Indonesia era 1912 sampai 1930an. Kita bisa melihat bagaimananya sederhananya orang Indonesia dalam berpakaian dan hidup. Dunia teknologi  industri di Indonesia yang mulai modern juga terlihat. Perbedaan hidup antara pribumi dengan Eropa juga bisa dilihat. Itu alasan mengapa film ini wajib ditonton.
  2. Max Havelaar, ini film berdasar novel curhat dari Eduard Douwes Dekker—yang mengisahkan dirinya sebagai Max Havelaar—pegawai  pangrehpraja Belanda yang kecewa dengan Tanam Paksa. Max hendak melaporkan kesewenangan Bupati Lebak pada pemerintah di pusat, namun laporan itu tak diterima. Max bahkan dimutasikan. Film ini mungkin bisa membantu kita melihat bahwa feodalisme adalah akar korupsi dan kesewenangan di Indonesia.
  3. Oeroeg, film ini diadaptasi dari novel Hella Hesse. Tentang persahabatan Oeroeg dan Johan Ten Berge, tentang anak pribumi dan Belanda di era kolonialisme. Dimana diskriminasi rasial begitu kuat. Mereka terpisah, namun bertemu lagi ketika Belanda harus dilawan.
  4. Soegija, tak butuh jadi seorang Katolik untuk mengenal Uskup (pribumi pertama) Romo Soegijopranoto. Film ini menggambarkan betapa humanisnya Sang Romo. Ceritanya tak melulu soal Sang Romo, tapi juga tentang orang disekitarnya yang hidup di masa-masa perang (mulai dari Perang Pasifik lalu Perang Kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1942-1949). Film ini cukup mengajarkan pluralism.
  5. Riding the Tiger, film ini adalah dokumentasi tentang Indonesia dari jaman Jepang, perang kemerdekaan, orde lama hingga orde baru. Selain rangkaian video dokumentasi, terdapat juga wawancara dengan saksi dan pelaku  sejarah, buruh pabrik, pejabat militer Indonesia, aktivis seperti Arif Budiman atau Romo Mangun.
  6.  Indo Calling, film documenter ini akan menunjukan kepada kita bagaimana perjuangan orang-orang Indonesia di Australia, yang diantara adalah pelaut-pelaut Indonesia. Rupanya, banyak orang-orang Australia yang menentang sikap Belanda yang ingin menjadikan Indonesia daerah kolonialisasi kembali. Gambar-gambar ini bisa jadi terkait dengan mogoh buruh pelabuhan Australia yang ogah bongkarmuat barang-barang ke kapal Belanda yang akan berangkat ke Indonesia.
  7. Tjoet Njak Dien, Dari judulnya, film ini jelas tentang perjuangan Cut Nyak Din dan pengikutnya melawan masuknya Tentara Belanda ke Aceh. Ini termasuk film sejarah terbaik, dengan dukungan aktor dan aktris terbaik Indonesia.
  8.   Soekarno, adalah fragmen tentang kehidupan Sukarno sejak di Bengkulu dia bertemu Fatma hingga kepindahan Sukarno ke Jakarta. Dimana Inggit kemudian meninggalkan Sukarno. Dimana Sukarno jadi penasehat militer Jepang, dengan harapan Jepang mengurangi tekanan terhadap rakyat Indonesia. Belakangan, Sukarno pun tampil sebagai Presiden RI pertama.
  9.  Sang Pencerah, film ini bercerita tentang Ahmad Dahlan sang pendiri Muhamadiyah. Dia bisa menampilkan orang-orang Islam sebagai orang yang juga bisa berpikiran maju. Dimana perubahan yang dibawa Ahmad Dahlan tak merusak tatanan nilai-nilai lain yang sudah ada.  
  10.  Sang Kiai, film ini tentang Kiai Haji Hasyim Asyhari pendiri pesantren Tebu Ireng. Film ini merekam imaji bagaimana kaum santri menghadapi sejarah Indonesia. Mereka ikut menderita di bawah Jepang dan ikut ambil bagian dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.  
  11.   Pengkhianatan G 30 S/PKI, terlepas dari kontraversi, film ini tetap layak ditonton. Setidaknya film ini memberikan kesan betapa tegangnya tahun 1965. Tentang adegan penyiksaan, yang katanya tidak ada, setidaknya itu memberi gambaran pada kita betapa bencinya orang-orang orde baru pada komunis.
  12. Act of Killing,Biar imbang setelah nonton film Pengkhianatan G 30 S/PKI, boleh dong kita nonton film tentang orang yang mengaku pernah menjadi algojo di Medan. Anwar Kongo, sang algojo bisa menjadi contoh orang yang anti komunis di Indonesia. Tentu saja tak bermaksud mengajari sadism atau menjelek-jelekan, tapi harapannya agar tak ada lagi penghilangan nyawa.

Tentu saja, bukan film-film ini saja yang layak ditonton. Masih banyak yang lain, yang belum saya saya sebut dan saya tonton. 12 film diatas bagi saya cukup menarik untuk menemani Anda belajar sejarah.
Silahkan mengkritik….
Selamat menonton…

Jenderal Hitam: Penerus Tradisi Warlord


Belakangan, banyak kawan-kawan marah perihal  bekas Jenderal yang akan dijadikan penasehat calon Presiden terbaru RI (2014-2019). Bagi yang tahutrack record ini Jenderal akan paham, kenapa ini Jenderal harus dijauhkan dari kekuasaan. Apapun jasanya, dalam menaikan Presiden terbaru itu, dia tetaplah harus dijauhkan. Toch banyak orang yang berjasa dalam menaikkan ini Presiden baru juga jauh dari kekuasaan.  Selanjutnya, mari kita lihat seberani ihklas ini Jenderal. Kalau dia minta macam-macam, terlihat betapa tak ihklasnya dia.
Bicara dosa yang dikerjakan atas nama Negara, Jenderal yang kita maksud diatas, Peristiwa Talangsari sejatinya lekat nama sang jenderal. Apapun yang dia dan pembelanya katakanya, penghilangannya nyawa tak bisa dibenarkan.
Kita sedang bicara tentang Hendropriyono. Satu dari sekian Jenderal yang ahli Intelejen. Catatan karirnya sebagai militer sudah pasti gemilang.  Nah, orang-orang Islam yang merasakan bahayanya Hendropriyono harusnya tahu apa itu Peristiwa Talangsari 1989. Hanya karena curiga ada gerakan berbahaya (tentu dalam versi Hendropriyono cs), maka tengah malam menjelang 7 Februari 1989, Kolonel Hendropriyono, memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton batalyon 143 dan sepeleton Brigade Mobil (Polisi). Pukul 04.00 tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung. Sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri.[1] Begitulah cerita hitam Talangsari.

Tentang Perwira-perwira Yang Seenak Udel
Sejarah sudah kasih bukti betapa buruknya kelakuan Jenderal-jenderal kebanyakan.  Segelintir orang Indonesia yang tidak terpana dengan sejarah hebatnya Pahlawan Revolusi, mungkin pernah dengar poligami-nya Ahmad Yani—walau kata Soe Hok Gie dia pernah kasih peringatan pada anggota Angkatan Darat yang dia pimpin untuk tidak beristri lebih dari satu, tapi Ahmad Yani pun punya simpanan. Sudah jadi “tradisi” kalau Jenderal bolehngapain aja di negeri ini.
Itu masih belum apa-apa.  Masih ada cerita-cerita buruk yang katanya buruk tentang para Jenderal di Indonesia. Jangankan jenderalnya, banyak orang-orang tua yang paham soal kelakuan para komandan di daerah-daerah.  Di Sulawesi Selatan ada Andi Selle, Andi Sose atau Kahar Muzakkar.  Dua nama pertama dikenal sebagai perwira kaya. Mereka menumpuk kekayaan dari bisnis mereka dan memiliki banyak pasukan (diluar dari jumlah semestinya yang ditetapkan pemerintah). Bukan hanya mereka berdua yang bisa semena-mena, tapi juga bawahan mereka. Tentang Selle Barbara Sillars Harvey dalam risetnya menulis:
Selle dianggap sumber utama suplai barang bagi DI. Selle terkenal sebagai komandan yang kaya. Kancing baju dan lencananya terbuat dari emas. Dia bisa seenaknya memberikan jam tangan begitu saja kepada gadis-gadis cantik yang dia lihatnya di kota Makassar. Selle pernah memberikan hadiah Marcedes Benz kepada dokter yang merawatnya ketika sakit ringan di Rumah Sakit Pelamonia—yang merupakan rumah sakit militer. Dia juga pernah memberikannya pada istri Warouw.  Dua anak buah Selle yang sedang mabuk pernah buat onar di sebuah pesta perkawinan. Kekacauan itu membuat salah seorang prajurit itu terbunuh yang satunya terluka namun bisa kembali ke barak. Solidaritas buta kawan-kawan dua serdadu mabuk yang naas itu pun bergerak. Mereka datangi lokasi pesta. Pembantaian pun terjadi dimana orang-orang yang ada di sana terbunuh.[2]
                Tentu saja, Nasution tak suka dengan kelakuan perwira macam Selle. Nasution tentu berusaha menghancurkan Selle, dengan memakai tangan M. Jusuf—yang belakangan jadi Panglima ABRI jaman Orde Baru. Jusuf sukses, Selle tewas. Sementara Sose ditahan di Jakarta.[3] Tak hanya di Sulawesi Selatan, Pahlawan Toraja, Frans Karangan pun dicap sebagai Warlord juga ketika menjadi komandan di Sulawesi Tengah.
Kengerian perwira-perwira penguasa terjadi juga di kota Makassar sendiri. Kota yang nampaknya kota teraman di Sulawesi Selatan di masa-masa merajalelanya gangguan keamanan di sana.
Alkisah, seorang di antara perwira pengendali kekuasaan ini – yang dalam banyak hal perilakunya masih tergolong jauh kurang buruknya dari yang lain – memiliki isteri muda yang jatuh hati kepada seorang pria muda penyanyi band terkenal di daerah ini yang rekaman piringan hitamnya di Perusahaan Rekaman Lokananta menembus pasar nasional. Kisah jatuh cinta ini menjadi pangkal tragedi. Sang penyanyi, yang sebenarnya juga sudah punya seorang isteri yang cantik, lenyap bagai ditelan bumi dan hanya menyisakan kabar telah dieksekusi dengan cara-cara yang menyengsarakan tanpa belas kasihan. Penyanyi muda yang dimaksud adalah Djajadi Djamain putera sebuah keluarga Jawa di Sulawesi Selatan. Tetapi mampu mempopulerkan lagu-lagu daerah setempat ke tingkat nasional. Beberapa adik perempuannya yang hijrah ke Jakarta juga mengikuti jejaknya menjadi penyanyi yang cukup dikenal.[4]
Cerita ngeri yang terkait infotainment  ini nampaknya dengan cepat dilupakan orang. Saya tak tahu siapa perwira pengendali kekuasaan yang dimaksud? Nasib naas macam Djajadi Djamain ini tentu bisa terjadi pada siapa saja. Pembunuhan Djajadi Djamain itu, mungkin peringatan: jangan macam-macam dengan perwira itu!!! Nampaknya nasib yang serupa Djamadi Djamain bisa terjadi pada siapa saja.

Warlord No 1 di Indonesia
Mari kita bicara soal Warlord terbesar di Indonesia. Siapa yang tak mengenal Suharto. Jika tak mengenalnya sebagai warlord no 1 se-Indonesia, Anda pasti mengenalnya sebagai Presiden ke-2 RI, yang gelarnya “Bapak Pembangunan”.
Sebegai Jenderal dengan puluhan ribu tentara, kiprah Suharto jauh lebih besar daripada Selle, Sose atau warlord-warlord manapun di Indonesia.  Berkedok sebagai Presiden RI, dia bisa melakukan apapun. Bahkan sebelum Presiden, jejaknya sudah cukup hitam.
Tak banyak buku sejarah Indonesia menyinggung kasus dan bisnisnya ketika jadi Panglima di Jawa Tengah dengan Liem Sioe Liong (Sudono Salim mantan pemilik BCA) dan Bob Hasan di akhir decade 1950an. Mereka bertiga dipersatukan karena kedekatan dengan Letnan Jenderal Gatot Subroto. Bob Hasan diklaim sebagai anak angkat Jenderal Gatot Subroto. Suharto nyaris dipecat dari AD. Beruntung Gatot Subroto masih punya pengaruh di AD—hingga akhirnya Suharto hanya dicopot jadi Panglima dan hanya disekolahkan di Seskoad Bandung. Nama Suharto nampaknya jadi bersih setelah Operasi Mandala Trikora, dimana dia jadi Panglima. Penyerangan Papua yang disiapkan Suharto dan stafnya tak pernah terlaksana karena Diplomasi bersama Amerika mengakhiri sengketa Indonesia Belanda berebut Papua.
Setelah G 30 S 1965, Suharto jadi ”kuda hitam”. Dari Jenderal tak dianggap, yang jauh dari lingkaran Staf Umum Angkatan Darat yang didominasi grup dari Ahmad Yani, Suharto mulai bersinar setelah kematian Yani dan stafnya oleh pasukan G 30 S yang dipimpin Untung.
Jejak hitam terbesar Suharto adalah pembantaian pasukan AD terhadap orang-orang yang diduga PKI yang tak terhitung jumlahnya. Sarwo Edhi Wibowo, komandan pasukan khusus Resimen Para Komando Angkatan Darat, yang memimpin langsung pembersihan PKI di Jawa, pernah mencatat jumlah korban nyaris mencapai 3.000.000 jiwa.
Jejak hitam Suharto terkait korupsi, plus Kolusi dan Nepotisme-nya, jelas bukan rahasia lagi. Apapun dosa Suharto, bagi pendukung yang pernah hidup enak di jamannya akan tetap memujanya. Sementara bagi yang merasa jadi korban akan memcacinya, bahkan setelah kematian Suharto.
Mental Tentara Pendudukan
Sebagian besar perwira Indonesia  yang menguasai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di tahun 1960an, sebagian terbesar adalah perwira-perwira didikan Jepang. Mereka pernah jadi tentara sukarela Jepag Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa atau Gyugun di Sumatera.
Mereka nampaknya kurang diajari teori-teori militer atau hukum perang, dibanding pribumi Indonesia yang pernah dilatih jadi Tentara Belanda,Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Mereka hanya diajari semangat bertempur, namun kurang di teknik-teknik bertempur dalam skala besar.
Sialnya, selaku tentara pendudukan di Indonesia Balatentara Nippon alias Jepang itu rupanya mewariskan semangat tentara pendudukan pada perwira-perwira muda macam Suharto dan ratusan lainnya.    
Revolusi yang kacau 1945-1949 semakin memantapkan mental pendudukan tadi. Tentara Republik seringnya lebih mirip preman yang rebutan lahan parker dengan sesame tentara Republik yang lain. Mereka tampaknya kurang begitu intens menggempur tentara Belanda. Di mata beberapa orang, tentara-tentara Republik yang kebanyakan bermental Nippon ini kalah heroik dibanding laskar-laskar rakyat.
Tentara-tentara itu kurang mendidik dirinya untuk menjadi tentara professional yang terlatih. Mereka kadang berebut wilayah. Belakangan muncul istilah daerah militer mulai dari level Komando Daerah Militer (KODAM) sampai Komando Rayon Militer (Koramil).  Di level terbawah, terdapat Babinsa (bintara Pembina desa). Tak jarang mereka mirip Warlord. Di Negara berkembang, Tentara punya wilayah kekuasaan. Begitu juga di Indonesia.
Pewarisan semangat Balatentara Jepang sebagai tentara pendudukan nampaknya ditradisikan Suharto. Jangankan militer, orang sipil saja disuruh baris-berbaris. Barisan penjaga kampung macam Hansip diadakan. Di kampus ada Resimen Mahasiswa (yang mirip ROTC di Amerika tapi tak dijadikan perwira jika di Menwa). Sebagian besar anak-anak Indonesia merasakan Senam Kesegaran Jasmanai tiap jum’at pagi yang mirip Taiso di jaman pendudukan Jepang.
Mental fasis yang diwariskan Suharto jelas menjangkit ke beberapa Jenderal. Mereka terlihat menghalalkan segala cara dalam menghadapi masalah—termasuk pada orang-orang yang berbeda pandangan. Orang-orang pasti tahu bagaimana nasib Theys Eluwe atau orang-orang dalam peristiwa Tanjung Priuk yang mirip pembantaian terhadap Kiai Haji Zaenal Mustofa di Sukamanah waktu jaman Jepang.
Orang-orang Fasis menghalalkan segala cara, tentu saja atas nama Bangsa dan Negara. Keburukan pemimpin mereka, demi Bangsa Negara maka harus ditutupi. Yang tak sepaham dengan  mereka adalah musuh besar Negara yang harus dihabisi. Orang-orang Indonesia tak sadar jika mereka diarahkan menjadi fasis di sekolah-sekolah. Pelajaran sejarah dijadikan media penting dalam doktrinasi Fasis.
Efek dari pendidikan yang fasis itu, karena diajarkan keggahan tentara, maka banyak orang suka berseragam dan belakangan pakai baret. Lucunya, belakangan ada Jenderal marah-marah jika ada ormas-ormas yang baretnya mirip TNI (termasuk baret merah). Jenderal ini sangatlah bodoh, dia tak tahu sejarah: seniornya di AD bernama SUhartolah yang membuat orang-orang Indonesia doyan berdandan Army Look.
Note:
[1] Tempo, 18 Februari 1989: Abdul Syukur, Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, Jogjakarta, Ombak, 2003, hlm. 125-139.

[2]Barbara Sillard Harvey,  Pemberontakan Kahar Muzakkar: dari tradisi ke DI/TII, Grafitipers, 1989 hlm. 326.

[3] Meski hartanya disita, Sose yang kemudian keluar dari TNI akhirnya jadi lebih kaya setelah tak jadi warlord lagi. Pengaruh Sose nampaknya tak hanya masih kuat di kampung kelahirannya, Duri (Enrekang) saja, tapi bahkan di Makassar.

[4] Rum Aly, Titik silang jalan kekuasaan tahun 1966: mitos dan dilema : mahasiswa dalam proses perubahan politik, 1965-1970,Jakarta, Hasta Mitra, 2006, hlm. 9.

Jejak Harta Karun Nakamura


Sabtu siang, kami menginjak Jalan Braga, Bandung. Jalan yang pertama kali dengar namanya ketika bikin skripsi dulu. Setiap lewati jalan ini, Toko Buku Djawa no 79 jadi tujuan saya. Tak seramai Gramedia dagangannya. Tapi, ada buku menarik yang barangkali tak diditemukan di Gramedia. Disini, bersama adik sepupu saya, Yudha Pradita, kami temukan sebuah buku unik: Rampok. Tulisan Musa Dahlan, terbitan Granesia.
Buku ini sepertinya ditulis berdasarkan riset beberapa fakta sejarah ini, apapun opini sejarawan atas buku ini, tetap saja buku ini punya cerita yang cukup menarik.  Tentu saja cerita tentang perampokan. Bukan perampokan bank ala film-film koboi Hollywood-nya John Wayne. Melainkan perampokan emas dan berlian yang bukan main banyaknya.
Perampokan ini diklaim sebagai perampokan terbesar abad lalu, abad XX maksudnya. Setidaknya 960 Kg emas berhasil digasak dari Pegadaian di daerah Kramat, Jakarta. Emas-emas ini adalah emas yang dikumpulkan saudara tua alias balatentara Nippon (Jepang) dari emas-emas rakyat Indonesia alias saudara muda semasa perang Pasifik.
Hukum yang berlaku di jaman pendudukan Jepang: apapaun yang saudara  tua mau, makasaudara muda harus kasih. Apapun klaim atas emas-emas dan perhiasan lainnya, tetap saja itu milik saudara muda alias rakyat Indonesia.
Perampokan ini dilakukan oleh Kapten Nakamura—ahli politik militer Jepang di Jawa. Tentu saja atas sepengetahuan atasan-atasannya. Modus perampokannya cukup sederhana: Petinggi Militer Jepang ingin mengamankan emas-emas itu melalui tangan Kapten Nakamura.  Nakamura dibantu supir pribumi andalan atasannya yang bernama Akas; dua orang serdadu jepang.
Meski truk yang dipakai merampok sempat sulit dinyalakan mesinnya, tetap saja pemindahan emas atau perampokan itu sukses. Semua ditampung di rumah Nakamura. Oleh Nakamura, hasil rampokan itu dibagi dalam beberapa bagian untuk disebar ke beberapa komandan Jepang untuk dana operasional tentara Jepang selama di Indonesia. Pasca 14 Agustus 1945, militer Jepang di Indonesia tak disuplai lagi dari pusat. Karenanya, atasan-atasan Nakamura memutar akal untuk mencari dana. Kebetulan Nakamura tahu dimana emas-emas dikumpulkan.
Hasil rampokan itu pun bocor, karena gundik Nakamura yang keturunan Indo bernama Carla Wolff diam-diam mencuri jarahan Nakamura tadi. Sebagai wanita boros, Carla memakai uang itu berfoya-foya. Nama Carla Wolff juga dikenal karena terlibat dalam gerombolan bule bernama Nederland Indische Geurilla Organization (NIGO)—yang terkait dengan gerakan Westerling. Mungkin cerita ini ada kaitan dengan  mitos-mitos soal Harta Karun Nakamura.  Cerita perampokan ini lalu bergulir dan melibatkan lebih banyak orang lagi: perwira-perwira Inggris dan belanda; dan tentu saja perempuan-perempuan haus harta yang rela ditiduri.
Bagi saya pribadi, yang terhebat dari perampokan ini bukan hanya jumlah rampokannya yang besar, tentu saja karena orang-orang Indonesia nyaris tak pernah tahu soal perampokan besar-besaran itu. Bahkan berpikir perampokan itu tak pernah ada. Maklum, negeri terjajah yang selalu dirampok puluhan tahun.  
Orang-orang Indonesia tentu saja lebih asyik dengan Proklamasi  Kemerdekaan Indonesia oleh Sukarno cs di Pegangsaan Timur no 56. Merdeka dan dirampok, itulah Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Dan belakangan jadi Negara yang terus dirampok oleh penguasa bangsa lain dan bangsa sendiri. Mungkin Indonesia lahir untuk dirampok. Para perampok itu, pintar memilih ‘hari baik’ untuk beraksi.
Para sopir dan dua serdadu Jepang tak merasa jika mereka terlibat sebuah perampokan besar—tentu saja mereka tak dapat bagian yang pantas. Perampokan ini, menurut saya jauh lebih rapi ketimbang perampokan Kusni Kasdut di Museum Gajah yang heroik itu karena harus ada peluru yang meletus. Nakamura melakukannya dengan tenang. Kisah perampokan ini, boleh dipercaya boleh tidak, tapi pastinya menarik sekali untuk dijadikan film. Karena itulah kami beli buku Rampok di Jalan Braga 79.

Robohnya Surau Kami

Surau menghilang, Masjid menjamur.

Sebelumnya, saya minta beribu maaf pada Ali Akbar Navis—karena mencomot judul cerpen sohornya itu. Ini semua karena obrolan ngawur ngalor ngidul  bersama murid saya: Nyak Arzaq. Senja tadi, Nyak Arzaq bercerita: Di beberapa kota di Aceh jumlah Masjid tidak banyak. Masjid hanya di pusat kota. Di kampung-kampung atau dusun, surau-surau (atau langgar atau mushola) masih ditemukan. Orang-orang mungkin akan shalat Subuh; Dzuhur; Ashar; Magrib dan Isya di surau. Sepertinya, orang-orang harus pergi ke Masjid yang letaknya jauh di pusat kota.
Cerita bocah yang ngebet  (ingin) kuliah Arkeologi ini, jelas bertolak belakang dengan apa yang saya alami saat ini. Soalnya, saya bisa temukan Masjid di tiap sudut jalan. Begitulah yang saya alami sekitar  19 tahun terakhir.
Saya baru sadar kenapa saya jarang lihat langgar atau Mushala atau Surau. Dulu masih banyak Surau-surau atau Mushola yang sering dipakai shalat wajib dan tempat anak-anak belajar mengaji. Serta harus jalan jauh ke Masjid jika ingin shalat Jum’at.  Saya pernah alami itu semua waktu tinggal di sebuah desa urban bernama Loa Janan (perbatasan Kutai Kartanegara dengan Samarinda).  Dan juga ketika awal-awal tinggal di Balikpapan.
Kata orang Islam Indonesia masa kini, banyak masjid itu bagus. Mungkin sebuah masyrakat akan terlihat religius kalau banyak masjidnya. Atau, orang-orang percaya kalau “penghuni surga itu dekat dengan masjid.” Jadi kalau gagal tinggal di dekat atau samping masjid—karena mahalnya harga tanah atau rumah di daerah strategis yang juga dekat masjid—maka otak diputar. Agar rumah dekat masjid, sementara masjid tak mungkin dipindah, maka dibuatlah masjid baru dekat rumah. Lalu masjid pun bisa kita temui dimana saja.
Hak azasi orang-orang itu untuk membangun masjid sekehendak mereka. Entah pakai duit pribadi, atau sumbangan-sumbangan, masjid selalu bisa dibangun. Konon, Ir Sukarno sang Presiden cum Arsitek Indonesia pernah bilang: tak ada masjid yang tak selesai (dibangun). Kita sering melihat ada orang-orang yang menarik sumbangan yang entah apa istilahnya berdiri di jalan dengan menodongkan ember ke mobil-mobil yang melintas jalan. Tentu saja, toa masjid dengan nyaringnya mengiangkan doa-doa atau shlawat untuk menarik perhatian. Itu semua dalam rangka mencari duit buat bangun masjid baru. Begitulah kira-kira bagaimana sebuah masjid baru muncul. Penduduk bertambah banyak, jadi masjid tua yang besar pun tak muat lagi daya tampungnya. Itu mungkin alasan kenapa jumlah masjid terus bertambah. Itu tidak bisa disalahkan.
Kembali ke masa lalu. Dulu, pergi ke masjid waktu shalat Jum’at, walau melelahkan karena jauh tetap hal menyenangkan. Biasanya, ada uang jajan buat bocah nakal seperti saya. Pulang dari masjid bisa jajan es buah kesukaan di belakang masjid. Masjid selalu ramai karena semua orang yang ‘ingin’ shalat jumat pasti ke masjid satu-satunya. Bahkan banyak orang-orang yang rela shalat di luar. Sudah pasti, daerah sekitar masjid itu pun jadi ramai pada hari Jum’at. Sebagai anak kecil, daerah itu hanya ramai di hari Jum’at—tepatnya menjelang dan sesudah Shalat Jum’at.
Banyaknya masjid, mungkin membuat masjid besar di Loa Janan yang terletak tak jauh dari pertigaan jalan ke Tenggarong; Samarinda dan Balikpapan itu tak seramai waktu saya kecil dahulu. Begitu juga masjid Darusalam, dekat SMP 3, tak seramai dulu lagi. Karena para Jamaah tersebar ke masjid lain yang letaknya lebih dekat dengan rumah. Dan Jum’at pun bukan hari besar lagi buat saya. Sama saja dengan hari lain, hanya bedanya jam kantor lebih sedikit dari hari lain (kecuali Sabtu Minggu yang biasanya libur). Tak jarang, masjid jadi pasar kaget setelah shalat jum’at.
Masjid-masjid di kota-kota jaman dulu, biasanya berada di alun-alun. Dimana dekat alun-alun selalu ada rumah atau kantor penguasa; kadang ada pasar; dan jika di Jawa nyaris selalu ditemukan masjid. Keramaian hari jumat tentu bisa jadi sumber rezeki bagi para pedagang di sekitar masjid. Apalagi orang-orang yang datang ke masjid harus jalan jauh dan kadang merasa perlu membeli sesuatu di kota.
Shalat di masjid dekat alun-alun selalu didatangi para pejabat. Jumat mungkin waktunya penguasa dan rakyat berkumpul. Bahkan, kawan-kawan jauh dari kampung sebelah atau yang beda kampung lain yang letaknya jauh pun bisa Anda temui.
 Jumat, harusnya bisa jadi hari silaturahmi bagi orang-orang Islam—tentu saja bukan untuk bikin Negara Islam. Semacam kumpul-kumpul tentu tak sekedar simbol kerukunan, tapi juga bisa untuk merukunkan. Bertukar kabar dan bertukar pikiran dengan kenalan lama setelah shalat Jum’at kadang lebih tenang dan nyaman di hari jumat.
Yang saya tangkap, terbatas dan terpusatnya masjid jelas bikin orang-orang bisa lebih saling kenal dan mengakrabkan lebih banyak orang di masjid besar ketimbang sekedar datang ke masjid kecil di dekat rumah. Dan bisa menjadi pintu dalam mencari rezeki. Barangkali Anda bisa bicara bisnis seusai shalat.
Tentu saja ada yang hilang dari maraknya masjid itu. Jum’at  jadi hari yang biasa-biasa saja. Banyaknya langgar-langgar; mushala-mushala; atau surau-surau yang menyulap diri jadi masjid, maka tiap jumat Anda akan mendengar suara Adzan yang saling bersautan.
Tak jarang, tiap Masjid pun akan punya ideologinya masing-masing. Yang terlihat, orang-orang Islam menjadi orang-orang yang terpecah-pecah.  Surau-surau pun, tempat anak-anak biasa mengaji, banyak menghilang. Surau-surau itu tak dihancurkan kaum vandalis, tapi “dibunuh” masjid-masjid baru yang menjamur. Begitulah Surau-surau roboh dan jadi masjid.





Rabu, April 30, 2014

Kisah Haru Si Bekas Romusha

Jadi KNIL, bisa jadi pilihan. Tapi orang Bagelen tak ingin jadi Romusha.

Suatu siang, bersama nenek dan sepupu lainnya, Nenek kisah cerita menarik. Bukan tentang keluarga kami. Cerita tentang orang lain yang Nenek lupa nama orang itu. Tentang pemuda desa yang dipaksa jadi romusha. Ini hanya cerita versi Nenek. 
Menten adalah seorang lurah. Dimana dengan posisinya, dia cukup dituruti orang-orang kampung. Ketika Balatentara Jepang datang, dia masih lurah. Tapi, Menten harus menurut pada petinggi Balatentara Nippon. Jika tidak, hidupnya dijamin susah.
Balatentara Nippon adalah saudara tua yang harus dituruti maunya. Jika minta beras, maka rakyat nusantara si saudara muda harus setor beras. Jika radio harus disetor,maka harus dengan sukarela semua orang harus serahkan mereka punya radio. Jika saudara tua minta wanita penghibur, saudara muka harus relakan selangkangan saudari-saudarinya demi birahi serdadu turunan matahari. Begitulah indahnya persahabatan Saudara Tua si Nippon dengan Saudara Muda yang belakangan mengaku orang Indonesia.
Suatu kali, petinggi balatentara Nippon minta tenaga kerja gratisan. Maka semua kepala orang Indonesia harus sediakan permintaan itu petinggi. Jepang harus membuat banyak jalan dan lubang perlindungan untuk menghadapi tentara sekutu. Serdadu-serdadu Nippon tak mungkin mengerjakan dengan tangan mereka. Bagi mereka, sebaiknya tangan-tangan saudara muda yang mengerjakan.
Pahlawan Pekerja alias Romusha pun diadakan. Nyatanya, Romusha tak lebih pekerja paksa yang direndahkan derajatnya. Tanpa upah, makanan dan kesehatan layak. Mereka harus bikin banyak bangunan dan jalan yang sangat panjang. Kerja mereka berat. Ada cerita mengerikan yang berkembang dikalangan romusha. Sekelompok romusha baru saja menyelesaikan bangunan rahasia yang diinginkan serdadu Jepang.  Demi menjaga keamanan (keharasiaan) para pekerja paksa itu kemudian dibunuh, agar bangunan itu itu terjaga kerahasiaanya dari siapa saja, termasuk dari tentara sekutu.
Menten, sang lurah pun kebagian jatah menyetor tenaga kerja dari kampungnya. Sudah tentu ada puji-pujian bagi pekerja paksa itu. Namun, bekerja tanpa upah untuk orang asing yang kejam tentu bukan keinginan orang sehat akal.
Suatu siang, bersama nenek dan sepupu lainnya, Nenek kisah cerita menarik. Bukan tentang keluarga kami. Cerita tentang orang lain yang Nenek lupa nama orang itu. Tentang pemuda desa yang dipaksa jadi romusha. Ini hanya cerita versi Nenek. Menten adalah seorang lurah. Dimana dengan posisinya, dia cukup dituruti orang-orang kampung. Ketika Balatentara Jepang datang, dia masih lurah. Tapi, Menten harus menurut pada petinggi Balatentara Nippon. Jika tidak, hidupnya dijamin susah. Balatentara Nippon adalah saudara tua yang harus dituruti maunya. Jika minta beras, maka rakyat nusantara si saudara muda harus setor beras. Jika radio harus disetor,maka harus dengan sukarela semua orang harus serahkan mereka punya radio. Jika saudara tua minta wanita penghibur, saudara muka harus relakan selangkangan saudari-saudarinya demi birahi serdadu turunan matahari. Begitulah indahnya persahabatan Saudara Tua si Nippon dengan Saudara Muda yang belakangan mengaku orang Indonesia. Suatu kali, petinggi balatentara Nippon minta tenaga kerja gratisan. Maka semua kepala orang Indonesia harus sediakan permintaan itu petinggi. Jepang harus membuat banyak jalan dan lubang perlindungan untuk menghadapi tentara sekutu. Serdadu-serdadu Nippon tak mungkin mengerjakan dengan tangan mereka. Bagi mereka, sebaiknya tangan-tangan saudara muda yang mengerjakan. Pahlawan Pekerja alias Romusha pun diadakan. Nyatanya, Romusha tak lebih pekerja paksa yang direndahkan derajatnya. Tanpa upah, makanan dan kesehatan layak. Mereka harus bikin banyak bangunan dan jalan yang sangat panjang. Kerja mereka berat. Ada cerita mengerikan yang berkembang dikalangan romusha. Sekelompok romusha baru saja menyelesaikan bangunan rahasia yang diinginkan serdadu Jepang. Demi menjaga keamanan (keharasiaan) para pekerja paksa itu kemudian dibunuh, agar bangunan itu itu terjaga kerahasiaanya dari siapa saja, termasuk dari tentara sekutu. Menten, sang lurah pun kebagian jatah menyetor tenaga kerja dari kampungnya. Sudah tentu ada puji-pujian bagi pekerja paksa itu. Namun, bekerja tanpa upah untuk orang asing yang kejam tentu bukan keinginan orang sehat akal.
Menten menunjuk banyak pemuda, baik yang sudah nikah atau belum. Seorang pemuda (kita sebut saja Bejo, bukan nama sebenarnya) kena tunjuk. Bejo sudah menikah. Dikirim romusha berarti harus pisah dengan istrinya. Sebagai orang kecil, Bejo harus menurut apa kata pemimpin desa.
Bejo dan pemuda lain pun dikirim. Tak jelas kemana dia dikirim. setelah kepergia Bejo, istrinya pun hamil lalu melahirkan anak Bejo. Tak ada pertukaran kabar antara suami istri muda itu. 
Setelah tahun-tahun berlalu, balatentara Jepang akhirnya dikalahkan. Tak lama Jepang kalah, Menten pun menghilang. Tak ada orang yang tahu kabarnya. Setelah menghilang, dia mungkin ganti nama. Dia takut akan adanya balas dendam dari orang desa yang saudaranya, ayahnya atau siapanya dikirim sebagai romusha tanpa kejelasan kabar. Maklum, orang-ornag desa umumnya butahuruf. Tentang kehilangan ini, Menten pasti harus jadi orang yang paling disalahkan oleh penduduk desa.
Para pekerja paksa pun dibebaskan. Kesehatan mereka dipulihkan oleh tentara sekutu. Bersama tentara sekutu itu, terdapat tentara Belanda. Dengan fasilitas tentara sekutu, Bekas romusha itu, juga tawanan sekutu yang semula adalah Heiho, dilatih menjadi tentara Belanda. Romusha dan tawanan perang Jepang bisa ditemukan di Jawa dan Sumatra. Bekas Heiho banyak yang tertangkap sekutu di sekitar Pasifik,  
Bejo termasuk bekas romusha yang dijadikan tentara Belanda KNIL. Diperkirakan, pangkat Bejo adalah Soldaat (prajurit rendahan). Bejo pun tergabung dalam KNIL yang merebut Indonesia kembali. Bejo hanya orang desa yang tak paham politik. Bejo tak paham apa itu nasionalisme. Penglihatan Bejo bahwa Jepang kejam itu jelas sudah. Kebetulan, Republik Indonesia dicap sebagai negara bikinan Jepang. Itulah yang dipercaya Bejo hingga dia mau bertahan di KNIL.
Empat tahun sudah berlalu. Tanpa diduga Bejo yang sudah tidak tahu kabar istrinya, yang mungkin sudah dia anggap hilang, akhirnya datang kesempatan untuk bertemu. Pasukan dimana Bejo bergabung bergerak di sekitar Purworejo. Bejo pun berpikir untuk singgah. Berharap menengok istrinya. Meski bukan tidak mungkin istrinya sudah jadi kawin lagi dengan laki-laki lain yang tersisa di desa.
Menten menunjuk banyak pemuda, baik yang sudah nikah atau belum. Seorang pemuda (kita sebut saja Bejo, bukan nama sebenarnya) kena tunjuk. Bejo sudah menikah. Dikirim romusha berarti harus pisah dengan istrinya. Sebagai orang kecil, Bejo harus menurut apa kata pemimpin desa. Bejo dan pemuda lain pun dikirim. Tak jelas kemana dia dikirim. setelah kepergia Bejo, istrinya pun hamil lalu melahirkan anak Bejo. Tak ada pertukaran kabar antara suami istri muda itu. Setelah tahun-tahun berlalu, balatentara Jepang akhirnya dikalahkan. Tak lama Jepang kalah, Menten pun menghilang. Tak ada orang yang tahu kabarnya. Setelah menghilang, dia mungkin ganti nama. Dia takut akan adanya balas dendam dari orang desa yang saudaranya, ayahnya atau siapanya dikirim sebagai romusha tanpa kejelasan kabar. Maklum, orang-ornag desa umumnya butahuruf. Tentang kehilangan ini, Menten pasti harus jadi orang yang paling disalahkan oleh penduduk desa. Para pekerja paksa pun dibebaskan. Kesehatan mereka dipulihkan oleh tentara sekutu. Bersama tentara sekutu itu, terdapat tentara Belanda. Dengan fasilitas tentara sekutu, Bekas romusha itu, juga tawanan sekutu yang semula adalah Heiho, dilatih menjadi tentara Belanda. Romusha dan tawanan perang Jepang bisa ditemukan di Jawa dan Sumatra. Bekas Heiho banyak yang tertangkap sekutu di sekitar Pasifik, Bejo termasuk bekas romusha yang dijadikan tentara Belanda KNIL. Diperkirakan, pangkat Bejo adalah Soldaat (prajurit rendahan). Bejo pun tergabung dalam KNIL yang merebut Indonesia kembali. Bejo hanya orang desa yang tak paham politik. Bejo tak paham apa itu nasionalisme. Penglihatan Bejo bahwa Jepang kejam itu jelas sudah. Kebetulan, Republik Indonesia dicap sebagai negara bikinan Jepang. Itulah yang dipercaya Bejo hingga dia mau bertahan di KNIL. Empat tahun sudah berlalu. Tanpa diduga Bejo yang sudah tidak tahu kabar istrinya, yang mungkin sudah dia anggap hilang, akhirnya datang kesempatan untuk bertemu. Pasukan dimana Bejo bergabung bergerak di sekitar Purworejo. Bejo pun berpikir untuk singgah. Berharap menengok istrinya. Meski bukan tidak mungkin istrinya sudah jadi kawin lagi dengan laki-laki lain yang tersisa di desa.
Dengan ijin komandannya, Bejo akhirnya memasuki desa. Dalam perjalanan menuju rumahnya, Bejo bertemu bocah kecil yang sedang bermain. Bejo nampaknya suka anak kecil. Apalagi anak kecil itu berkeliaran di kampungnya. 
Anak kecil itu seperti karpet merah yang menyabutnya. Dengan ramah bocah kecil itu ditanya: “dimana rumahnya?” Rupanya anak kecil itu menunjuk sebuah rumah Bejo dan istrinya dulu sebelum jadi romusha. Bejo terkejut lalu bertanya lagi, “simbok ada?” Bocah itu mengiyakan. 
Mereka berdua masuk rumah. Dan bertemulah Bejo dengan istrinya yang bertahun-tahun terpaksa dia tinggakan karena kerja paksa gila bikinan Nippon. Mereka tampaknya terpaksa mengerti atas keadaan mengerikan di jaman perang yang membuat mereka berpisah dan bisa jadi celaka. 
Rasa kangen mereka terluapkan. 
Bejo akhirnya mengajak istri dan bocah kecil yang ternyata anaknya itu meninggalkan kampung. Mereka mungkin hidup di tangsi. Tinggal di kampung jelas tak aman. Sebagai serdadu KNIL, istri Bejo bisa celaka karena oleh orang-orang pro Indonesia bisa main tuduh: mata-mata Belanda pada istri Bejo. 
Setelah pertemuan itu, tak ada lagi kabar dari Bejo setelah Pengembalian Kedaulatan pasca KMB 1949. Orang-orang hanya bisa saja berspekulasi tentang Bejo dan keluarganya: ikut gabung ke TNI bersama KNIL lain, tapi malu balik ke kampung karena mungkin merasa dimusuhi orang karena pernah jadi KNIL; masuk KL bersama tentara Belanda lain lalu ikut ke Belanda; terbunuh selama revolusi lalu keluarganya terlantar lagi seperti saat Bejo jadi romusha (ini adalah spekulasi yang paling tidak diinginkan pembaca yang budiman dan bisa memahami derita si Bejo). 
Bejo, mantan romusha Begelen itu tergolong beruntung. Dia tak diterjang peluru serdadu Jepang atau mati kelaparan, meski tubuhnya pernah dikuruskan serdadu Nippon. Selain selamat Bejo bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang dia sayangi.
Dengan ijin komandannya, Bejo akhirnya memasuki desa. Dalam perjalanan menuju rumahnya, Bejo bertemu bocah kecil yang sedang bermain. Bejo nampaknya suka anak kecil. Apalagi anak kecil itu berkeliaran di kampungnya. Anak kecil itu seperti karpet merah yang menyabutnya. Dengan ramah bocah kecil itu ditanya: “dimana rumahnya?” Rupanya anak kecil itu menunjuk sebuah rumah Bejo dan istrinya dulu sebelum jadi romusha. Bejo terkejut lalu bertanya lagi, “simbok ada?” Bocah itu mengiyakan. Mereka berdua masuk rumah. Dan bertemulah Bejo dengan istrinya yang bertahun-tahun terpaksa dia tinggakan karena kerja paksa gila bikinan Nippon. Mereka tampaknya terpaksa mengerti atas keadaan mengerikan di jaman perang yang membuat mereka berpisah dan bisa jadi celaka. Rasa kangen mereka terluapkan. Bejo akhirnya mengajak istri dan bocah kecil yang ternyata anaknya itu meninggalkan kampung. Mereka mungkin hidup di tangsi. Tinggal di kampung jelas tak aman. Sebagai serdadu KNIL, istri Bejo bisa celaka karena oleh orang-orang pro Indonesia bisa main tuduh: mata-mata Belanda pada istri Bejo. Setelah pertemuan itu, tak ada lagi kabar dari Bejo setelah Pengembalian Kedaulatan pasca KMB 1949. Orang-orang hanya bisa saja berspekulasi tentang Bejo dan keluarganya: ikut gabung ke TNI bersama KNIL lain, tapi malu balik ke kampung karena mungkin merasa dimusuhi orang karena pernah jadi KNIL; masuk KL bersama tentara Belanda lain lalu ikut ke Belanda; terbunuh selama revolusi lalu keluarganya terlantar lagi seperti saat Bejo jadi romusha (ini adalah spekulasi yang paling tidak diinginkan pembaca yang budiman dan bisa memahami derita si Bejo). Bejo, mantan romusha Begelen itu tergolong beruntung. Dia tak diterjang peluru serdadu Jepang atau mati kelaparan, meski tubuhnya pernah dikuruskan serdadu Nippon. Selain selamat Bejo bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang dia sayangi.

Jumat, Maret 21, 2014

Demi Kebo Kalang

Kebo itu sutji, bukan karna agama sadja. Tapi bagaimana kebo ikut kasih hidup pada kitorang semua
Sudah djadi tradisi orang Indonesia  memaki pake kata benda. Dimana benda-benda itu djelas-djelas barang berguna: andjing (hampir dipake merata di Indonesia bagian barat terutama); batu (di Nias); Kebo (djuga merata meski tak sebanjak pemakaian kata andjing). Kenapa barang berguna, kenapa tidak pake kata: koruptor atau sebangsanja sadja?
 Mungkin koruptor lebih lajak disembah di ini negeri? Meski kelakuan itu koruptor mmirip tikus jang kalo disawah bisa bikin habis lumbung petani kitorang semua jang mulia. 
Djika menjamakan kebo dengan kebodohan, artinja orang Indonesia hidup dari kebodohan. Karena kerbau petani bisa badjak sawah, bahkan tahi kerbau—jang otaknja dianggap bodoh itu pun bisa menjuburkan tanah. Orang Indonesia gagal didik diri untuk menghargai hal sepele, bahkan tak bisa memberi hormat sepantasnja pada kerbau jang djuga kasih mereka hidup.
Waktu kuliah, kawan saaia, Isklowor pernah njanji-njanji: "kerbauku kerbau petani..ularku ular sanca."  Belakangan saia dikasih tahu sama ini mahluk, kalo lagu itu djudulnja Cikal. Iwan Fals tulis itu lagu. Iwan Fals setidaknya bisa mengajak kitorang semua untuk menghormati kerbau kawan petani yang memberi hidup pada kitorang smua jang makan nasi atawa beras. (Maaf ini lagu pake edjaan baru en bukan djadul)
Sudah djadi tradisi orang Indonesia memaki pake kata benda. Dimana benda-benda itu djelas-djelas barang berguna: andjing (hampir dipake merata di Indonesia bagian barat terutama); batu (di Nias); Kebo (djuga merata meski tak sebanjak pemakaian kata andjing). Kenapa barang berguna, kenapa tidak pake kata: koruptor atau sebangsanja sadja? Mungkin koruptor lebih lajak disembah di ini negeri? Meski kelakuan itu koruptor mmirip tikus jang kalo disawah bisa bikin habis lumbung petani kitorang semua jang mulia. Djika menjamakan kebo dengan kebodohan, artinja orang Indonesia hidup dari kebodohan. Karena kerbau petani bisa badjak sawah, bahkan tahi kerbau—jang otaknja dianggap bodoh itu pun bisa menjuburkan tanah. Orang Indonesia gagal didik diri untuk menghargai hal sepele, bahkan tak bisa memberi hormat sepantasnja pada kerbau jang djuga kasih mereka hidup. Waktu kuliah, kawan saaia, Isklowor pernah njanji-njanji: "kerbauku kerbau petani..ularku ular sanca." Belakangan saia dikasih tahu sama ini mahluk, kalo lagu itu djudulnja Cikal. Iwan Fals tulis itu lagu. Iwan Fals setidaknya bisa mengajak kitorang semua untuk menghormati kerbau kawan petani yang memberi hidup pada kitorang smua jang makan nasi atawa beras. (Maaf ini lagu pake edjaan baru en bukan djadul)

Kerbau di kepalaku ada yang suci Kerbau di kepalamu senang bekerja Kerbau di sini teman petani
Ular di negara maju menjadi sampah nuklir Ular di dalam buku menjadi hiasan tato Ular di sini memakan tikus
Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca Kerbauku teman petani, ularku memakan tikus
Kerbauku besar kerbauku seram Tetapi ia buka pemalas Hidupnya sederhana
Sancaku besar sancaku seram Mengganti kulit luar sarang makan dan bertapa Hidupnya sederhana
Ularku ular sanca, kerbauku kerbau petani Ularku memakan tikus, kerbauku teman petani
Walau kerbauku bukan harimau Tetapi ia bisa seperti harimau Kerbauku tetap kerbau Kerbau petani yang senang bekerja Sancaku melilitnya Kerbauku tidak terganggu Karena sancaku dan kerbau temannya petani
Lalu di mana anak-anak sang tikus Bayi bayi bayi murni dan kosong Bayi bayi bayi, bayi ya bayi
Kalu kita sedang tidur dan tiba-tiba saja kita terbangun Karena lubang hidung kita terkena kumis harimau Lalu kita kan lari, ya lari Tetapi bayiku tidak Bukan karena bayiku belum bisa berlari Aku percaya aku percaya!
Bayiku tidak akan pernah berpikir bahwa harimau itu jahat Bayiku menari-narik kumis dan memukul-mukul mulut harimau Harimau malah memberikan bayiku mainan Bayiku menjadi bayi harimau Bayi harimau anak petani Seperti sanca melilit kerbau Dia ada di gorong-gorong kota Lantas apa agamanya?!
Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca Bayiku murni dan kosong dia ada di gorong-gorong kota Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca Bayiku bayi harimau dia ada di gorong-gorong kota
Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca (Bayi bayi bayi murni dan kosong) Bayiku murni dan kosong dia ada di gorong-gorong kota
Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca (Bayi bayi bayi bayi harimau) Bayiku bayi harimau dia ada di gorong-gorong kota
Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca (Bayi bayi bayi yang berkalung sanca) Bayiku murni dan kosong dia ada di gorong-gorong kota
Kerbauku kerbau petani, ularku ular sanca (Bayi bayi bayi yang disusui kerbau) Bayiku bayi harimau dia ada di gorong-gorong kota
Nah, kitorang punja kawan. Sedjarawan van Amoentai, sebut sadja doi punja nama Muhammad Iqbal alias Gus Iq. Doi bikin kitorang kaget, sebab tahu-tahu setelah lama tak sua, doi bikin gerakan melindungi kebo kalang. Kitorang tak paham kenapa itu kebo dikasih nama kalang? Apa ada kaitan sama orang kalang di Djawa. Biarlah!!
Ternjata ini kebo terantjam djuga, karna orang2 pada rakus pengen gendutin mereka punja rekening. 
Sedjarah Kalimantan sebetulnja terkait sama kebo djuga. Paling tidak, Radja Mulawarman pernah kasih 20.000 ekor kebo pada para Brahamana di tahun 400an. itu kata prasasti Yupa. Kata Kamus Sejarah Indonesia bikinan Audrey Kahin en Robert Cribb, kebo sudah masuk ke Indonesia sekitar 1000 SM. Kitorang bisa tarik kesimpulan, kebo sudah eksis di ini negeri sudah 3000 tahun. 
Mari kitorang lupakan orang2 jang  hina kebo2 jang kitorang sajangi.  Sebaiknja kalo ada petisi buat kasih lindung ini kebo kalang, kitorang teken sadja. Tjukup sudah sawitnja. Kebo kalang lebih punja hak hidup ketimbang sawit jang sudah kasih rusak hutan Kalimantan. Bukan hanya itu, banjak orang utan djuga mati gara2 sawit. Sebagai orang jang lahir di Kalimantan, sangat sedih kalau kebo kalang ilang dari mata dunia....
Nah, kitorang punja kawan. Sedjarawan van Amoentai, sebut sadja doi punja nama Muhammad Iqbal alias Gus Iq. Doi bikin kitorang kaget, sebab tahu-tahu setelah lama tak sua, doi bikin gerakan melindungi kebo kalang. Kitorang tak paham kenapa itu kebo dikasih nama kalang? Apa ada kaitan sama orang kalang di Djawa. Biarlah!! Ternjata ini kebo terantjam djuga, karna orang2 pada rakus pengen gendutin mereka punja rekening. Sedjarah Kalimantan sebetulnja terkait sama kebo djuga. Paling tidak, Radja Mulawarman pernah kasih 20.000 ekor kebo pada para Brahamana di tahun 400an. itu kata prasasti Yupa. Kata Kamus Sejarah Indonesia bikinan Audrey Kahin en Robert Cribb, kebo sudah masuk ke Indonesia sekitar 1000 SM. Kitorang bisa tarik kesimpulan, kebo sudah eksis di ini negeri sudah 3000 tahun. Mari kitorang lupakan orang2 jang hina kebo2 jang kitorang sajangi. Sebaiknja kalo ada petisi buat kasih lindung ini kebo kalang, kitorang teken sadja. Tjukup sudah sawitnja. Kebo kalang lebih punja hak hidup ketimbang sawit jang sudah kasih rusak hutan Kalimantan. Bukan hanya itu, banjak orang utan djuga mati gara2 sawit. Sebagai orang jang lahir di Kalimantan, sangat sedih kalau kebo kalang ilang dari mata dunia....