Senin, Oktober 10, 2011

Pasar 16

Cara terbaik mengenal sebuah kota adalah dengan menyusurinya. Bukan saja butuh waktu lama, tapi juga melelahkan. Begitu yang kami lakukan siang ini (9 Oktober 2011). Awalnya, hanya Museum Sultan Mahmud Badarudin saja tujuan kami. Beberapa peninggalan Kesultanan Palembang Darusalam kami bisa lihat disana.


Pasar 16 tempo dulu

Warisan Sriwijaya

Cukup membayar Rp 2.000 saja, Museum—yang dulunya berfungsi sebagai Kraton—itu bisa kami masuki. Beberapa koleksi bukanlah barang original. Foto dan barang kerajinan adalah yang paling dominan. Koleksi uang kuno, seperangkat alat musik brassband, juga senjata tradisional khas Palembang adalah yang paling menarik.

Koleksi tidak hanya didalam gedung museum. Di luar museum terdapat patung Budha dan Ganesha. Patung Budha jelas tinggal kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan Budha. Seperti ditempat lain, Budha bediri diatas teratai. Ganesha, dalam agama Hindu adalah Dewa Ilmu Pengetahuan. Terdapat 2 arca Ganesha. Satu diantaranya adalah arca yang belum selesai dipahat. Arca itu terbuat dari batu andesit. Ganesha itu berasal dari Musi Rawas, Sumatra Selatan.

Keberadaan Arca Ganesha sesuatu yang luar bisa buat kami. Kita semua tahu kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Budha. Sementara Ganesha jelas sekali warisan Hindu. Jika arca Ganesha itu satu zaman dengan kerajaan Sriwijaya, maka kita bisa menafsirkan bahwa ada lebih dari satu agama di Sriwijaya. Dimana Kerajaan Sriwijaya yang Budha terdapat beragam kepercayaan. Ini jelas bukan sesuatu yang buruk. Tidak ditemukan catatan tentang penindasan terhadap penganut agama lain yang berbeda. Berbanggalah, orang-orang Sumatra selatan jika di tanah mereka ini, dahulunya sudah ada keberagaman antar pemeluk agama. Seperti dibanyak tempat, Ganesha yang ditemukan adalah Ganesha duduk. Setahu saya, Ganesha berdiri hanya ada di Karangkates, dekat Malang.

Berkah Musi

Tidak terlalu lama, kami keluar museum. Mungkin karena koleksi museum tidak begitu banyak. Pemandangan paling dominan diluar adalah Sungai Musi. Bisa kami bayangkan betapa pentingnya Sungai Musi bagi orang-orang Palembang. Seperti pentingnya Sungai Nil bagi orang-orang Mesir. Sungai adalah pembawa kemakmuran bagi masyarakat di sekitarnya. Kutai punya Mahakam. Majapahit dan Singasari punya Brantas. Mataram Islam punya Bengawan Solo. Entah masyarakat lain dengan dengan sungainya.

Sungai adalah jalur transportasi selama berabad-abad silam. Dimana orang pergi menjual atau membeli sesuatu, atau hanya sekedar bepergian. Sungai adalah jalur perekonomian juga. Karena ribuan pedagang dan jutaan kwintal barang melintas diatasnya.

Musi juga jalur melintasnya para pedagang itu sejak lebih dari seribu tahun silam. Ketika Sriwijaya berjaya. Bisa jadi juga sebelum Sriwijaya berjaya. Sriwijaya juga kerajaan niaga dengan armada laut yang baik. Dari banyak catatan, Sriwijaya unggul di lautan dan cukup disegani oleh banyak kerajaan dimasa itu.

Pasar 16, adalah tempat dimana para saudagar mengadu untung dengan berjual-beli barang. Dan banyak kuli mengadu nasib. Sudah pasti di tempat ini pula kebutuhan hidup orang-orang di Palembang dan sekitarnya bisa terpenuhi. Sudah pasti, pasar ini awalnya berupa pasar kecil yang sekarang menjadi pasar yang besar.

Mengapa pasar ini begitu besar? Bisa jadi karena pasar ini terletak di pinggir Musi. Dimana banyak kapal berlalu-lalang. Pasar ini nampaknya berawal ditepi Musi. Perlahan semakin meluas jauh ke arah Pasar Cinde. Dan diantara pasar itu banyak terdapt pertokoan. Dengan kata lain ini adalah kawasan niaga penting di Palembang.

Saya bertanya pada dua murid saya, kapan Pasar 16 mulai ada? Mereka belum berani menjawab. Kami lalu berjalan dan melintasi sisa-sisa gedung tua yang rasanya tidak diketahui banyak orang. Lalu sampailah kami di gedung besar. Dibagian atas gedung itu, terdapat tulisan angka 1924. Murid-murid saya yang lucu itu terkejut melihatnya. Ternyata Pasar 16 begitu tua. Kami hanya bisa perkiraan, gedung bertuliskan angka 1924 itu termasuk bagian pasar tertua. Letaknya tidak jauh dari Musi. Dan rasanya pasar ini memang sudah ada sejak sebelumnya.

Kami lalu susuri bagian pasar yang lain. Dimana kami lihat banyak ruko dengan jendela yang begitu besar. Jendela besar, adalah ciri jendela di bangunan tropis tinggalan kebudayaan Indies jaman Belanda. Lalu kemi perhatikan atap-atap ruko yang mirip dengan rumah-rumah Tionghoa. Awal abad XX, sudah banyak orang-orang Tionghoa yang menjadi pedagang di Indonesia. Dan tidak aneh jika bentuk atap di ruko-ruko itu mirip rumah Tionghoa. Bisa jadi pemilik awal adalah orang Tionghoa. Dan bukan rahasia jika pengaruh budaya Tionghoa begitu besar di Palembang.

Letak Pasar 16, sedari awal cukup strategis. Terdapat kraton Sultan Palembang, Masjid Raya dan kemudian kantor-kantor penting—yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Letak pasar yang 16 dengan sudah satu paket dalam sebuah kota kuno. Ada tempat peribadatan dan tanah lapang dimana banyak orang bisa berkumpul, pasar yang didekatnya adalah pelabuhan, ada kraton tempat raja bertahta.

Sejarah pasar 16 menarik juga. Dari pasar kita belajar bagaimana sebuah kota bisa terbangun. Dan peran pasar, juga sungai ternyata sangat penting dalam perjalanan sejarah sebuah masyrakat aatau kerajaan dimasa lalu. Bahkan juga bagi sebuah masyarakat di masa sekarang. Begitulah perjalanan singkat kami hari ini.


Minggu, Oktober 09, 2011

Baju Bodo

Seminggu yang lalu, seorang murid yang tidak pernah saya temui lagi selama berbulan-bulan muncul di dunia maya dengan foto-fotonya. Saya mengira, dalam foto itu dia memakai baju bodo, tapi kemudian saya tidak yakin karena samar-samar. Saya tidak peduli, tetap saja pikiran saya terus tertuju pada baju bodo.


Baju Bodo di masa lalu

Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia.[1] Baju bodo dikenal sebagai pakaian adat bagi wanita Sulawesi Selatan, baik Bugis maupun Makassar. Sedangkan Lipa’ sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo.[2]

Belum saya temukan catatan sejak kapan baju bodo mulai dikenakan wanita Bugis dan Wanita Makassar. Apa mungkin sudah ada di zaman La Galigo (karya sastra Bugis yang legendaris itu) diciptakan. Bisa dipastikan dari catatan James Broke, seorang petualang Inggris yang kemudian menjadi raja di Serawak, bahwasanya baju bodo sudah dipakai sebelum 1840. Broke menulis:

“Perempuan (Bugis) mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung (menutupi pinggang) hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan lekuk-lekuk dada. Rambut mereka panjang dan hitam, biasanya ditarik kebelakang dengan ketat dan kondenya berdiri ke atas. Perempuan bangsawan dan perempuan pengawalnya, berkuku panjang dengan ‘sarung kuku’ amat mewah.” (catatan perjalanan James Broke ke Sulawesi Selatan tahun 1840).[3]

Lebih lanjut Broke menggambarkan bahwa wanita bugis mengenakan blus transparan warna-warni model kuno, yang dikenal sebagai baju bodo. Di masalalu, warna dianggap mewakili kelompok tertentu. Hijau untuk bangsawan. Putih untuk pengasuh anak bangsawan. Kuning untuk dukun. Aturan soal warna dianggap sebagai tahapan kehidupan (usia). Berdasar catatan Christian Pelras, aturan soal warna masih berlalu hingga tahun 1970an.

Selain itu ada warna merah jambu untuk wanita yang belum menikah. Merah muda bagi yang sudah menikah. Merah tua bagi yang sudah melahirkan anak pertama. Hitam bagi wanita yang sudah tua. Semakin gelap warna baju bodo semakin tebal kainnya. Gadis-gadis kecil dimasa lalu, mungkin bertelanjang dada hingga memasuki akil balig. Mereka baru memakai bodo ketika ripang’ala (upacara mengenakan baju pertama kali).[4] Warna jingga adalah warna baju bodo untuk anak berusia sekitar 10 tahunan.[5]

Tahun 1930an, ketika BH belum diperkenalkan, baju bodo merang jambu yang terbuat dari bahan kain yang transparan, membuat payudara wanita yang memakainya terlihat. Begitu yang tergambar dalam foto yang diambil orang-orang Belanda, yang sekarang sepertinya tersimpan dalam Troepenmeuseum, sebuah Museum militer, di Negeri Belanda.

Saya kira banyak wanita hebat dari Sulawesi Selatan, seperti Basse Kajuara (raja Wanita Bone) atau We Tenriolle (Raja wanita Tanette), memakai pakaian ini dimasa lalu. Dimana mereka terlihat anggun karenanya. Juga banyak wanita Bugis atau Makassar lainnya

Baju bodo terus terpelihara. Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan. Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti lomba menari atau acara penting lainnya. Termasuk juga menyambut tamu agung.[6]

Hingga kini, baju bodo jadi pakaian kebanggaan wanita Sulawesi Selatan. Bersama baju bodo mereka terus memelihara kebudayaan mereka. Jelasnya baju bodo membuat mereka terlihat cantik.

[1] Baju Bodo, Salah Satu Busana Tertua di Dunia, Suara Pembaruan: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/18/Gaya/gaya02.htm.

[2] Andi Tenriadjeng, Mencari Perempuan Bugis, Kompasiana; http://umum.kompasiana.com/2009/06/21/mencari-perempuan-bugis/

[3] Saya kutip kembali dari Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar, 2005, hlm. 271. Kutipan ini juga saya masukan dalam tulisan panjang saya yang termuat dalam buku 7 Ibu Bangsa terbitan Indonesia Buku tahun 2008.

[4] Christian Pelras, op. cit., hlm. 272.

[5] Andi Tenriadjeng, loc. cit.

[6] Bangga dengan Pakaian Adat, Harian Ujungpandang Ekspres: http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=25344&jenis=Life