Rabu, November 11, 2015

Hilangnya Ruang Publik

PULUHAN tahun silam, Tjutjup Suparna, mantan Walikota Balikpapan (periode 1991-2001) dijuluki Wagiman-alias Walikota Gila Taman. Ada banyak taman di kota Balikpapan, yang dianggap bukan kota besar. Masyarakat sadar berkah taman hijau di kota Balikpapan yang panas. Barangkali semakin banyak taman semakin bagus. Salut untuk Pak Tjutjup dan jajarannya yang membuat Balikpapan punya banyak taman.
Taman hijau yang penuh pohon dan tanaman tak hanya untuk mengurangi panasnya terik matahari yang menyiksa kulit manusia kala siang. Di sore hari, taman bisa menjadi tempat bermain anak-anak. Di antaranya ada anak-anak yang belajar berjalan. Di malam hari, taman yang kerlip-kerlip lampunya itu, adalah tempat berkumpul anak muda yang melepas penat setelah sibuk bekerja seharian. Pagi buta saja, taman adalah tempat berolahraga yang murah. Di mana para orangtua (yang biasa kita sebut manula) sering menghabiskan pagi di taman untuk olahraga ringan. Betapa pentingnya taman.
Di Balikpapan, Taman Bekapai adalah satu dari sekian banyak taman yang ada di Balikpapan. Taman ini begitu penting. Letaknya dekat dengan pusat perbelanjaan. Di mana ibu-ibu yang lelah belanja bisa duduk istirahat nyaman di sana. Di sisi lain kota, ada Lapangan FONI -yang dari namanya jelas bersejarah bagi kota Balikpapan. Boleh dibilang, Lapangan FONI adalah lapangan perjuangan.
Setelah sekian lama, di mana sudah beberapa Presiden Republik Indonesia berganti, ada yang menggugat tempat-tempat umum tersebut sebagai harta warisan mereka. Entah bukti apa yang mereka sodorkan atas kepemilikan itu? Padahal, Lapangan FONI dan tempat umum lainnya itu, secara tak resmi, sudah jadi milik umum. Kita tidak tahu tanah mana lagi yang akan digugat sebagai milik pribadi lagi?
Pertanyaan saya, kenapa pula baru digugat sekarang? Hanya bermodal selembar kertas usang, yang bisa jadi sudah kedaluwarsa, mereka tuntut tanah moyang mereka yang sudah mereka gadai dan jual. Padahal, sejarah bergulir. Dan, segala aset pemerintah kolonial jatuh ke tangan pemerintah republik. Dan, tanah telantar yang tak terurus harusnya jadi milik negara untuk kepentingan umum.
Sedianya, tanah kota yang sudah dimiliki Pemerintah Kota adalah juga tanah rakyat, jadi untuk kepentingan rakyat. Untuk taman bermain, lapangan olahraga, sekolah atau tempat pelayanan lainnya. Bayangkan kalau tanah itu diberikan pada individu tertentu. Bisa jadi tanah itu akan dijual atas nama pribadi. Dengan begitu ruang publik hilang.
Saat ini, ruang terbuka bagi warga kota Balikpapan sedang terancam. Bayangkan jika kota Balikpapan yang dikenal nyaman ini kehilangan ruang publik. Dimana anak-anak akan belajar, bermain dan berolahraga lagi di ruang terbuka? Bukankah masyarakat menginginkan generasi masa depan yang cerdas dan sehat?

Bukan Jokowi Yang Harus Minta Maaf

Jika masih hidup, Suhartolah yang  harus minta maaf pada Sukarno.
Akar masalahnya barangkali TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967. Isinya tuduhan bahwa Presiden Soekarno telah mendukung G30S yang juga dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Mungkin ada kepentingan di sana. Keluarga besar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun tak mau embel-embel G 30 S atau PKI itu melekat pada Sukarno. Ini masalah nama baik.
Soal negara harus meminta maaf atau tidak, rasanya Suharto ada di belakangnya. Orang-orang Indonesia masa kini nyaris semua tidak mau disangkut-pautkan dengan PKI atau kominis (baca: komunis). Walau reformasi sudah bergulir, dengan percuma, kominis tetaplah kambing hitam atas berbagai kecelakaan dan petaka sejarah di negeri in, terkhusus dalam kasus G 30 S 1965. Itu harga mati.
Mari kita menerawang pada masa-masa sebelum 1965. PKI jelas kekuatan besar yang sangat ditakuti, tentu oleh negara kapitalis macam Amerika Serikat. Musuh PKI tentu makin bertambah dengan konsep “Tujuh Setan Desa” –yakni: (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa—yang harus dilawan.
Poin ke-6 (pemungut zakat) jelas membuat orang-orang Islam naik darah. Tentu saja kapitalis dapat bahan bakar tambahan untuk memberangus PKI. Hingga kini, selain alasan PKI atau kominis dicap atheis, poin ke-6 itu alasan kenapa kominis dibenci oleh orang-orang Islam dan tak boleh hidup di Indonesia.
Di masa Orde Lama, PKI yang punya banyak pendukung, bagi Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Sukarno, jelas kekuatan besar yang bisa mengawal revolusi. Kita tahu Sukarno tak menyukai segala bentuk imperialisme dan kolonialisme yang ada kaum kapitalis di dalamnya. Semua tahu yang belajar sejarah tahu imperialisme dan kolonialisme adalah sumber penderitaan panjang rakyat Indonesia selama ratusan tahun di bawah VOC Belanda.
Untuk melawan Neo Kolonialisme Imperialisme (NEKOLIM), tentu saja PKI adalah sekutu potensial. Karena dalam Pemilu 1955, PKI adalah partai yang masuk empat besar (bersama PNI, Masyumi, dan NU). Di tahun yang sama, Sukarno berhasil mengumpulkan bekas negara terjajah dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung. Bersama beberapa negara yang ogah terlibat dalam Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, Sukarno bikin Gerakan Non Blok. Itulah peran besar Sukarno, Sang Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi, dari Indonesia dalam percaturan politik dunia.
Lalu, kenapa Sukarno dekat dengan komunis? Baik PKI maupun negara Blok Timur. Masih ingat Operasi Pembebasan Irian Barat (Papua)? Waktu Indonesia mau beli senjata pada Amerika Serikat, negara adi daya pimpinan Blok Barat itu menolaknya. Beruntung Uni Sovyet, pimpinan Blok Timur itu, mau berbagi kecanggihan teknologinya pada Indonesia. Hingga Indonesia punya armada tempur (darat, laut dan udara) yang ditakuti di belahan dunia selatan. Wajar bukan kalau Sukarno dekat dengan Uni Sovyet dan negara Blok Timur lainnya?
Patut dicatat, meski dekat dengan Sovyet, Indonesia bisa memposisikan diri sejajar dengan Uni Sovyet. Bukan negara selalu patuh dan rela menuruti kebijakan negara yang beri bantuan. Bukan budak tapi sahabat. Tak ada alasan baik untuk dekat pada negara Blok Barat saat itu. Tapi bukan tidak mau berusaha bersahabat. Nyatanya John F Kennedy cukup akrab dengan Sukarno.
Menurut saya, politik luar negeri Indonesia masih bebas aktif. Justru negara petinggi Amerika yang berusaha menjatuhkan Sukarno dengan memperalat PRRI/Permesta. Tujuannya jelas untuk menghancurkan komunis di Indonesia agar nantinya investasi dan perusahaan-perusahaan Amerika dan lainnya bisa masuk dan beroperasi di Indonesia.
Sialnya, politik luar negeri yang dijalankan Sukarno itu dicap tidak bebas aktif oleh rezim Orde Baru yang berkuasa setelah Sukarno dijatuhkan. Ketika saya belajar IPS di Sekolah Dasar, di zaman Orde Baru, bahkan saya belajar tambahan untuk ikut serta dalam Lomba Mata Pelajaran—di mana saya hanya Juara Tiga se-Kelurahan—saya membaca di buku pelajaran: Sukarno lebih condong ke Blok Timur karena politik luar negeri Indonesia tidak bebas aktif.
Sebagai anak SD tentu saya percaya saja. Sukarno seolah dianggap komunis. Anak SD seolah harus tahu hal itu. Setelah kuliah sejarah, saya paham itu adalah usaha Orde Baru untuk menyudutkan Sukarno.
Akan banyak yang marah kalau saya bilang negara salah. Kalau negara minta maaf kepada Sukarno, berarti negara salah dong? Negara kan sudah akui Sukarno sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setelah Suharto lengser bahkan sudah masuk liang kubur.
Nah, mari kita ambil jalan tengahnya. Rehabilitasi saja nama Sukarno? Karena Sukarno bukan penculik dan juga bukan pembunuh para jenderal itu! Salah satunya dengan mencabut TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 untuk perbaiki nama baik Sukarno.
Lalu siapa yang harus minta maaf pada Sukarno? Menurut saya, jika masih hidup, Suharto sebagai manusia atau mantan Presiden, seharusnya buang jauh-jauh gengsinya untuk meminta maaf kepada Sukarno. Mungkin bukan karena rezim Orde Baru, di awal-awal berkuasa saja dia sudah menciptakan suasana yang memperburuk kesehatan Sukarno hingga ada foto Sukarno dipapah untuk berjalan.
Suharto, jika masih hidup, sebagai manusia, sebagai presiden kedua yang menggantikan Sukarno, sebagai jenderal yang seharusnya jujur dan ksatria, haruslah meminta maaf atas rusaknya nama baik Sukarno dalam sejarah Indonesia.
Tapi, itu semua tidak mungkin terjadi, karena baik Sukarno dan juga Suharto sudah lama masuk liang lahat.

Bela Negara: Sebuah Penghinaan

Nasionalisme dan Disiplin akan digalakkan dalam program wajib bernama Bela Negara. Lantas apakah ini karena rakyat Indonesia tidak disiplin? 

WACANA Bela Negara pun jadi pembicaraan. Bahkan, karena kurang jelasnya informasi diserap, membuat orang menganggapnya sebagai Wajib Militer. Kita tahu, wajib militer seperti di Amerika, tak terjadi di Indonesia. Buat apa diadakan wajib militer, jika pendaftaran prajurit karir saja masih sangat ramai oleh pemuda-pemuda Indonesia yang merasa gagah jika memakai seragam militer? Meski hidupnya dianggap jauh dari sejahtera, militer (Anggota TNI) adalah profesi impian selain Pegawai Negeri Sipil. Lalu muncul klarifikasi, bukan wajib militer rupanya melainkan hanya latihan sebulan.
Tentu saja, gambaran latihan Bela Negara yang jelas militeristik itu, membuat saya membayangkan Masa Pendudukan Jepang dulu yang Cuma seumur jagung (1942-1945). Selain membangun tentara sukarela “setengah jadi” bernama: Gyugun (di Sumatra) dan Pembela Tanah Air (di Jawa)—karena Jepang tak mau sepenuh hati memberikan ilmu militer dan bertempurnya kepada pemuda Indonesia yang bisa berontak kapan saja—Pemerintah Militer Jepang itu pun lebih massif dalam membuat organisasi semi militer macam Seinendan (Barisan Pemuda); Keibodan (Satuan Pembantu Polisi); Jibakutai (Pasukan Berani Mati) dan lainnya. (Peringatan keras dari saya: Jangan samakan jika Jibakutai dengan pilot Kamikaze! Karena kamikaze dilatih banyak soal persenjataan, sementara Jibakutai hanya ala kadarnya saja!)
Dulu, Jibakutai itu hanya dilatih sebentar. Mereka tidak di asramakan. Setelah latihan selesai mereka kembali ke kehidupan normal. Yang sebelumnya petani kembali mencangkul di sawah, yang buruh kembali ke pabrik, yang tukang becak mengayuh becaknya lagi. Jika kondisi bahaya maka mereka akan diikutkan dalam perlawanan. Balatentara Jepang ketika sedang menyiapkan orang-orang itu untuk menghadapi sekutu dalam Perang Pasifik. Betapa luar biasanya Jepang, untuk membangun Kekaisaran yang dipimpin Tenno Heika mereka, orang Indonesia mereka suruh siap mati untuk Tenno Heika. Orang-orang sipil yang malang. Tak diberi makan, tak diberi senjata disuruh siap mati. Sebuah penghinaan di abad XX lalu.
Lalu mau dikemanakan alumni Bela Negara itu? Kata pemerintah, mereka yang lulus akan dapat Kartu Bela Negara. Setelah menghadapi Ujian Nasional yang maha berat, selepas SMA mereka masih harus lulus Latihan Bela Negara. Harapannya agar jadi orang yang nasionalis dan disiplin.
Menurut Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal Hartind Asrin menambahkan, materi Bela Negara nantinya meliputi, pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI. Juga ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara. Latihan fisik tidak menjadi prioritas. "Fisik cuma baris berbaris saja. Rohaninya yang kita isi dengan jiwa nasionalisme," kata Sang Jenderal.
Kata pejabat pembikin Bela Negara, program ini adalah untuk menanamkan sikap Nasionalisme dan disiplin. Apa ini Departemen Pertahanan, yang dipimpin Jenderal Ryamizard Ryacudu, sudah tidak percaya lagi pada Rakyat Indonesia? Apakah rakyat-rakyat Indonesia yang maha banyak ini tidak nasionalis lagi? Juga tak punya disiplin? Seolah selama ini rakyat tak peduli pada pembangunan. Ancam sang jenderal, jika tidak mau ikut silahkan angkat kaki! Luar biasa, sudah dihina, diancam diusir pula. Memangnya rakyat tidak pernah setor pajak pada pemerintah, yang juga untuk bayar gaji dan tunjangan para punggawa negara?
Apakah orangtua masa kini ogah sekolahkan anaknya untuk jadi cerdas dan bisa membaca tanda bahaya yang mengancam hidup mereka? Apakah orangtua sekarang tidak pernah lagi menyuruh anaknya ikut latihan beladiri? Dimana anak mereka bisa menjadi kuat dan waspada pada bahaya? Apakah kaum pekerja di negara ini tak mau lagi bayar pajak? Kurang nasionalis disiplin apa sih rakyat Indonesia sekarang?
Soal disiplin, apalagi yang harus dituntut pada rakyat sipil? Kalau rakyat belum disiplin di mata mereka, lantas apakah semua jajaran pemerintah sudah disiplin? Para tukang sayur sudah bangun sebelum azan subuh untuk ke pasar. Para siswa dan gurunya, berjuang keras masuk ke sekolah sebelum jam pelajaran di mulai. Mayoritas rakyat, juga bayar pajak sebelum jatuh tempo. Kalau terlambat toch juga mereka harus bayar denda. Semua untuk negara juga? Apakah itu semua bukan disiplin?
Mengapa hanya baris-berbaris yang menjadi ukuran disiplin? Apakah orang yang tidak bisa baris tidak disiplin? Sepengalaman saya, sebagai murid dan juga pengajar, anak-anak Paskib (yang jago baris di sekolah) pun banyak yang telat masuk ke sekolah, telat mengumpulkan tugas. Semoga tidak telat datang bulan. Baris-berbaris, walau bagi sebagian orang melatih disiplin, nyatanya tak betul-betul mampu menegakkan disiplin. Sejatinya, ada banyak kegiatan yang bisa memupuk disiplin dan nasionalisme sekaligus. Selain Pramuka, setidaknya ada Pencak Silat, Tarian Tradisional dan Pecinta Alam. Dengan Pramuka atau pandu, seseorang terdidik untuk mandiri dan kuat. Belajar tari tradisional juga membuat seseorang disiplin dalam mengikuti irama sekaligus menjaga budaya lokal. Dengan pencak silat seorang remaja bisa kuat menjaga diri, menghargai budaya nasional dan belajar menahan diri. Nah melalui pecinta alam, seseorang akan melihat betapa indahnya Indonesia, juga belajar menjaganya.
Nasionalisme dan disiplin tak bisa disimulasikan hanya dengan baris-berbaris dan doktrinasi dalam kelas. Harus ada kegiatan konkret yang sifatnya tak melulu sekedar pengetahuan, tapi juga pengalaman dan pemahaman. Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak sekolah justru lebih nasionalis ketimbang orang dewasa. Kita tahu korupsi lebih banyak dilakukan oleh orang-orang berseragam, dimana sebagian dari mereka ketika baru jadi orang berseragam dilatih baris-berbaris. Ketika mereka korupsi bahkan ketika tak bisa melayani publik dengan baik, mereka sendiri sudah tidak disiplin.
Apalah gunanya menghabiskan uang negara yang berasal dari pajak yang dibayar rakyat untuk membentak-bentak hanya karena si kaum rakyat pembayar pajak ini salah gerakan dalam berbaris? Jika terjadi, itu sebuah penghinaan di awal abad XXI bagi rakyat Indonesia. Sebaiknya uang itu untuk perbaikan pendidikan dan kesehatan rakyat saja. Katanya hidup harus realistis!?

Rabu, September 30, 2015

G 30 S: Untuk Perwira Tak Simpatik

Orang-orang sering bicara kejamnya pasukan Tjakrabirawa yang menculik para jenderal pemimpin SUAD.  Tapi tak pernah bertanya, Mengapa Pasukan Untung Tega Membunuh Yani?
Jelang 30 September 1965, Batalyon II Kawal Kehormatan pimpinan Letnan Kolonel Untung dibariskan dalam sebuah apel. Pasukan Kompi Doel Arif dikumpulkan.  Pasukan yang dikumpulkan tidak banyak tak lebih dari satu kompi. Bahkan hanya sekitar 60 orang saja. Meski begitu, merekalah ujung tombak misi penangkapan. “Dini hari, semua pasukan dikumpulkan. Kira-kira pukul satu dini hari baru ada pemberitahuan dari masing-masing komandan pasukan. Intinya, tugas kami adalah melakukan penangkapan,”  Sersan Kepala Bungkus dalam sebuah wawancara dengan D&R.
Selain karena Untung komandan Tjakrabirawa, menurut Bungkus: “karena lebih taktis, bisa langsung akses ke Istana. Sedangkan pasukan lain bertugas melindungi di garis luar.” Pasukan bergerak dari pukul tiga dinihari, dan harus sudah di Lubang Buaya sebelum pukul enam pagi. Perintah jelas, “tangkap hidup atau mati.” Pasukan itu sukses membawa target yang harus ditangkap. Setelah misi sukses pasukan penculik itu, gerakan Letnan Kolonel Untung mulai berantakan.  Rupanya, tak ada jatah makanan untuk menjaga perut pasukan juga. Logika gerakan pun mandeg setelah logistik tak terpenuhi.
Pasukan yang dibawa Untung untuk gerakannya adalah pasukan yang dipimpin Letnan Satu Dul Arif.  Untung sudah bersama pasukan itu sejak lama, sebelum Untung dan pasukannya itu dimasukan dalam Tjakrabirawa. Dulunya, Untung adalah Komandan Batalyon 454 Banteng Raider Diponegoro yang  bermarkas di Srondol, Semarang.  Pasukan Banteng Raider sendiri didirikan Ahmad Yani ketika operasi penumpasan DI/TII Jawa Tengah, ketika pangkat Yani masih Letnan Kolonel.
Tentu saja pasukan itu sering berubah formasinya. Orang-orang Jawa Timur seperti  Jaharup, Bungkus, dan Dul Arif dari pasukan Anjing Laut pun kemudian masuk. Meski berganti formasi, harusnya ada tradisi lisan soal sejarah pasukan atau sejarah Batalyonnya. Dimana ada cerita soal siapa pendiri pasukan Banteng Raider.  Harusnya, sebagai pendiri Banteng Raider, seharusnya Yani adalah tokoh yang dihormati pasukan eks Batalyon 454 yang ditempatkan di Tjakrabirawa.  Tentara memang bertindak berdasarkan perintah, jika perintahnya hanya menangkap, harusnya pasukan penculik yang  Letnan Jenderal Yani, lebih bisa bersabar menghadapi Yani yang keras pada bawahan.
Tak menutup kemungkinan Yani tergolong perwira tak simpatik bagi banyak prajurit bawahan. Toch, Yani bukan perwira macam M Jusuf—Panglima ABRI era orde baru yang begitu disayang oleh prajurit TNI rendahan. Ketika Yani menempeleng salah anggota Tjakrabirawa yang menangkapnya, Raaswad langsung beri perintah pada Giyadi untuk menembak sang Jenderal.  Raaswad dan lainnya barangkali sudah tak sabar pada Yani. Apakah pasukan penculik terpengaruh pada isu Dewan Jenderal—julukan bagi sekelompok jenderal yang tidak loyal pada presiden akan yang akan melakukan kudeta pada Sukarno? Hingga mereka tak merasa ragu untuk kejam kepada Yani.
Setelah terbunuhnya para jenderal, awan hitam dan mimpi buruk adalah milik Untung dan pasukannya yang berantakan. Setelah para jenderal tewas, konon Untung hanya membisu. Dia merasa hilang kontrol atas gerakannya. Nampaknya dia tak mengerti hingga kenapa Jenderal yang terbawa hidup-hidup terbunuh semua. Dalam waktu singkat mereka dihabisi. Pasukan Untung yang dari Tjakrabirawa ditangkapi. Sementara  Dul Arif selaku pemimpin eksekusi terhadap para Jenderal pun hilang. Padahal Dul Arif adalah mata rantai yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di lubang buaya.
Selanjutnya, kemalangan milik Untung . Setelah melompat  dari bus, karena merasa akan ditangkap oleh tentara yang sedang naik bus yang ditumpanginya. Orang-orang yang melihat Untung lompat dari bus mengira Untung copet hingga dia dikejar lalu digebuki hingga babak belur. Hansip lalu ambil alih dan membawa Pahlawan Operasi Mandala itu ke Polisi Militer. Setelah pengadilan, Untung dieksekusi mati. G 30 S pun makin kabur, sudah pasti terus menjadi isu nasional yang membuat Mayor Jenderal Suharto—yang merupakan rival terseblubung Yani—naik bintangnya. Hingga belakangan, setelah Suharto lengser dari kekuasaan, ada yang menuduh Suharto adalah dalang G 30 S. Pendapat ini meragukan karena sebelum 1965 Suharto yang pernah kena kasus di Jawa Tengah dan konon nyaris ditampar Yani adalah perwira yang jauh dari politik macam Yani. Bintang Yani yang diatas Suharto tentu membuat Suharto tak berani macam-macam.
Dalam Mahkamah Militer Luar Biasa yang mengadili Untung, pernah menyebut bahwasanya alasan ekonomi (baca: kesejahteraan prajurit) juga pernah dibahas ketika Untung dan kawan-kawannya menyusun gerakan. Barangkali banyak prajurit Angkatan Darat tahu soal Yani yang hidup mewah dan poligami—sementara prajurit bawahan hidup dalam ekonomi yang sulit di masa demokrasi terpimpin.
Diorama di Lubang Buaya begitu gamblang menggambarkan bagaimana pasukan Tjakrabirawa—yang tugas sehari-harinya menjaga keselamatan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Sukarno—menculik para Jenderal-jenderal Angkatan Darat. Hingga orang-orang terus menyalahkan Tjakrabirawa. Dan karena ada Syam Kamaruzaman yang dinyatakan sebagai biro khusus PKI—padahal  Biro Khusus  tak ada dalam PKI—yang katanya bertugas membina Perwira Progresif Revolusioner. Hingga jadilah PKI sebagai tersangka, dalang dari peristiwa yang disebut G 30 S—yang kata rezim Orde Baru harus disebut G 30 S/PKI agar orang ingat PKI adalah pelakunya.

(Dimuat pertama kali di http://geotimes.co.id/g-30-s-untuk-perwira-tak-simpatik/)


Selasa, Juli 07, 2015

Soeriosantoso



Soeriosantoso dengan seragam Kapten dalam berita kenaikan pangkatnya sebagai MayorSoeriosantoso dengan seragam Kapten dalam berita kenaikan pangkatnya sebagai MayorSARDJONO Soeriosantoso adalah anak asuh dari Van Deventer, Soeriosantoso lahir sekitar tahun 1898.  Berkat jadi anak asuh itulah, Soeriosantoso yang dari namanya adalah orang Jawa, bisa peroleh pendidikan barat—dan akhirnya bisa jadi kadet Koninklijk Militaire Academie  (KMA) alias Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Negeri Belanda.  Kadet asal Indonesia yang lebih tua darinya adalah L.E. Lounjouw—masuk tahun 1915 da lulus 1918—yang diperkirakan orang Maluku, nnamun Lounjow nampaknya masih keturunan Eropa.  Soeriosantoso lulus KMA tahun 1920. Setelah melewati masa menjadi vandrig (Letnan Muda) lalu Letnan penuh, Suriosentosa lalu menjabat sebagai komandan Batalyon Artileri di Jagamonyet, Jakarta.  Selama berkarir jadi kapten Artileri KNIL,  Soeriosantoso pernah jadi pelindung bagi  suratkabar Niet  Europeeshe Onderofficiers Vereniging (Perkumpulan Perwira bawahan) dari KNIL. 
Sudah biasa jikalau militer pribumi susah naik pangkat. Biasanya, pangkat Letnan disandang bisa hampir tahun atau lebih, baik bagi perwira pribumi maupun Eropa. Begitu juga pangkat Kapten.  Setelah dinas 20 tahun, barulah Soeriosantoso naik pangkat jadi Mayor, pada 31 Juli 1941. Dia menambah deretan pribumi Indonesia yang jadi Mayor KNIL.
 Soeriosantoso dengan seragamnya setelah mayorSoeriosantoso dengan seragamnya setelah mayorPangkat tertinggi perwira pribumi yang bertugas di pasukan umumnya mayor. Namun ada juga yang menjadi Letnan Kolonel, namun hanya sebagai perwira kesehatan saja. Tetap saja pribumi paling tinggi hanya boleh jadi komandan Batalyon saja. Tak bisa lebih. Masa bahagia Soeriosantoso sebagai Mayor KNIL tak lama, tahun depannya, karena KNIL kalah dan bubar di Hindia Belanda. Lalu pemerintah kolonial menyerah kalah pada 8 Maret 1942 di Kalijati pada Balatentara Jepang.
 Setelahnya, bekas Mayor KNIL Soeriosentoso juga diawasi intel militer Jepang. Meski begitu, Soeriosentoso kerap berhubungan dengan kelompok bawah tanah Syahrir. Anaknya, Iwan Santoso sering berhubungan dengan kelompok Syahrir. Soeriosentoso memilih bersabar tanpa pasti di jaman pendudukan Jepang. Kesabaran itu berbuah manis, Jepang kalah dan Belanda coba kembali lagi ke Indonesia. Soeriosentoso ikut Belanda lagi. 
Bersama Max dan JuliusBersama Max dan JuliusDia pernah menolak ajakan Didi Kartasasmita agar bergabung dengan Republik Indonesia. Pangkatnya lalu tak lagi Mayor, tapi naik jadi Letnan Kolonel yang sepertinya diperbantukan di NEFIS (organiasi intelejen Belanda di Indonesia semasa Perang Pasifik dan Revolusi Indonesia) juga. Pada NEFIS pernah menulis laporan tentang Organisasi Islam yang cukup mendapat perhatian dari pemerintah militer di masa pendudukan Jepang. Hingga bisa dianggap mereka anti Belanda yang loyal pada Jepang dan bisa menjadi ancaman. Soeriosantoso menulisnya untuk orang penting bernama Charles orde van der Plas.
Soeriosantoso dianggap penting bagi Belanda.  Menjelang KOnferni Meja BUndar, Soeriosantoso sedang di Belanda bersama Sultan Hamid II dari Pontianak alias Max yang jadi ketua kelompok negara federal (BFO) dan Julius Tahija yang pernah jadi staf Jenderal Spoor. Dua orang tadi pernah jadi Letnan KNIL sebelum Belanda kembali ke Indonesia. Pangkat mereka makin naik lagi setelahnya. Apalagi Max jadi “Ajudan Isitimewa”  tertinggi Ratu Belanda.  Setelah KMB dan KNIL bubar selamanya, Soeriosantoso memilih ke Belanda.

Minggu, Mei 31, 2015

Dari Menulis, Guru dan Siswa bikin Buku

“Yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan terbawa angin.”


Menulis adalah tahap terakhir dari seorang peneliti setelah dia menelaah apa yang diteliti atau dipelajarinya. Menulis diktat, selama ini adalah kebiasaan dosen. Namun, tak ada larangan bagi seorang guru untuk membuat diktat.
Seorang guru, sebelumnya tentu belajar banyak perihal bidang atau ilmunya masing-masing. Tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pun seseorang harus melalui skripsi. Ketika membuat skripsi pun, sejatinya sangat mirip dengan menyusun buku. Jadi, di masa sekarang para tentu sudah pernah menulis buku (alias skripsinya)—dimana sebelumnya mereka telah menulis banyak paper atau makalah dalam beberapa mata kuliah. 
                Sebagai seorang guru di era sekarang, tak mesti seorang guru harus membuat karya tulis ilmiah saja, tak ada salahnya jika membuat tulisan populer tentang ilmu atau bidang yang diajarkannya.  Tulisan populer, nyatanya jauh lebih menarik untuk baca orang lain, termasuk para siswa. Nah, tujuan guru menulis dalam konteks  ini adalah agar dibaca siswa.
                Dengan menulis seseorang akan dipaksa untuk berpikir lebih jernih dan membaca jauh lebih banyak. Membaca lebih banyak, akan membuat seseorang bertambah wawasannya.  Sejak awal, guru dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, apalagi siswa masa sekarang saja adalah siswa-siswa yang kritis. Siswa semakin lebih sering bertanya tentang banyak hal. Tak jarang tentang hal di luar materi pelajaran, namun sebenarnya masih terkait dengan pelajaran.

Apa yang harus ditulis guru?
Sebaiknya, guru menulis tentang apa yang biasa dan harus diajarkan. Tidak harus semua materi, menulis per bagian dari materi-materi yang diajarkannya pun sudah cukup membantu.  Bahkan hal-hal di luar materi pelajaran, namun terkait pun bisa di tulis. Seumpama Anda baru saja membaca buku, tak ada ruginya Anda menuliskan resensi atau review buku tersebut. Setidaknya itu akan menambah pengetahuan siswa, syukur jika siswa tersebut membaca juga apa yang direview. Sebenarnya, apa yang ditulis guru tak hanya tulisan saja. Untuk merangsang siswa-siswa yang malas membaca, mencantumkan foto atau gambar terkait dengan materi  yang ditulis justru lebih baik, walaupun tulisannya tak banyak. Buku bergambar lebih diminati ketimbang buku yang banyak tulisannya oleh pembaca.

Bagaimana menuliskannya?
Banyak guru yang sudah membuat powerpoint sebelum mengajar. Ketika membuat powerpoint sebenarnya seorang guru sudah menulis juga.  Ada baiknya, ketika membuat powerpoint guru mencantukan sumber dari apa yang ditulis di powerpoint, pencantuman sumber akan memperkuat pendapat dan juga ikut mengajarkan pada murid tentang kejujuran.  Jika seluruh powerpoint itu dikumpulkan, lalu dikembangkan sebenarnya guru tersebut sudah bisa membuat buku tipis.Bahkan banyak guru juga punya blog pribadi bahkan punya akun di kompasiana. Saya juga percaya beberapa guru bahkan sering menulis di harian Nasional. Tak kalah dengan para dosen di kampus ternama. Beberapa buku bahkan sudah mereka terbitkan. Idealnya, guru yang menulis bisa menularkan kebiasaan itu ke siswa. Sesudah itu siswa dibimbing. Pengalaman di sekolah kami ada guru Sosiologi yang membimbing siswa menulis puisi, kebutulan sang guru yang bernama Narudin itu adalah penyair. Tak sampai setahun setelah Sang Guru menerbitkan buku puisi indie-nya, si murid yang bernama Satrio pun merilis buku puisi indie pertamanya: Tentang Biji dan Yang Lampau.

Apa yang harus dilakukan guru?
Tentu saja guru harus membimbing. Di sekolah kami, SMA Sampoerna, tahun lalu Pak Hasan Basri (guru Sosiologi) mengumpulkan puluhan esai dari hampir dua ratus esai untuk dibukukan. Beliau mencari yang terbaik, selanjutnya beliau memposisikan diri sebagai editor yang sering berkonsultasi dengan murid. Maka jadilah buku: Membentang Pita Garuda (Pengalaman Reflektif Memaknai Nilai-nilai Ke-Indonesiaan), yang diterbitkan penerbitan indie Sibuku dari Jogja.
Tahun ini, Bu Udan Bitteraty (guru Bahasa Indonesia), juga melakukan hal yang sama seperti Pak Hasan di tahun sebelumnya. Bedanya, beliau ikut melibatkan beberapa siswa yang aktif dalam dunia penulisan dalam proses pra-produksi. Ada yang menjadi editor, illustrator, cover design dan lay-outer. Sedangkal pengalaman saya, dengan formasi yang dimiliki beliau itu sebuah penerbitan bisa berjalan, alias mereka bisa bikin penerbitan sendiri, meski mereka baru tahapan belajar. Nah, dari proyek bersama tahun ini, lahirlah buku: Terra Incognito yang diterbitkan penerbitan indie Garudhawaca.  
Tidak mesti seorang guru. Guru-guru ilmu humaniora dan Bahasa harusnya bisa ikut memberi bimbingan. Diantara para guru itu bisa mengadakan proyek bersama. Dimana sebuah tugas siswa bisa dievaluasi dan dinilai oleh beberapa guru bidang studi yang berbeda.  Untuk tema, diantara guru-guru itu haruslah memiliki benang merahnya. Jika tidak ada halangan, tahun depan guru Bahasa, Kewarganegaraan dan sejarah berusaha berkolaborasi.

Harus Kemana Tulisan Itu Kemudian?
Sudah banyak guru yang meng-upload  karya-karyanya di blog pribadi. Dimana banyak orang bisa mengakses karya-karya itu, termasuk para siswa tentunya.  Jika tak puas di blog pribadi, yang sulit menjaring banyak pembaca, karya-karya itu bisa disalurkan ke Kompasiana.com atau academia.edu. dia dua media online tadi, karya-karya Anda bahkan bisa mendapat respon bahkan kritik, dimana dengan kritik kita bisa membenahi karya kita. Dengan kritiklah guru, peneliti dan penulis bisa maju dan berkembang.  Di Academia.edu, Anda tak hanya bisa meng-upload artikel pendek. Naskah panjang  seperti buku pun bisa Anda upload. Karya Anda akan bisa diakses oleh banyak orang disini.
Jika Anda percaya diri dengan buku yang Anda tulis, Anda bisa mengirimnya ke penerbit buku komersil.  Jika Anda tidak yakin dengan penerbit besar, sementara Anda ingin menerbitkan naskah Anda, penerbit-penerbit indie sudah menjamur. Bahkan ada penerbit yang mau menerbitkan naskah Anda, dengan modal Rp 400.000 saja.  
Beberapa murid sering bertanya pada saya: kemana harus mengirim naskah? Saya sarankan ke mereka kirim ke jalur komersil (penerbit besar) yang ketat dan orientasi pasarnya yang  luar biasa, dan mereka saya sarankan cari penerbit indie  juga macam: Sibuku, Garudhawaca dan NulisBuku.com—hanya itu yang saya tahu walau ada banyak penerbitan indie diluar sana. Beberapa minggu silam saya terkejut menemukan buku

Harapan Ke Depan
Guru yang menulis cenderung dihormati oleh para siswanya, apalagi yang ditulis adalah buku yang berkualitas dan dibaca oleh banyak orang diluar sekolah.  Seorang guru kadang menyuruh siswanya menulis, jadi guru harus memulainya. Meski jaman sudah banyak berubah, tetap saja murid masih mengikuti apa yang dilakukan gurunya. Sudah seharusnya, bangsa Indonesia terus mengembangkan tradisi menulis.
Guru yang menulis juga akan membuat siswa-siswa yang punya minat untuk menulis untuk belajar lebih dalam menulis. Bahkan bisa jadi akan membuat siswa lain yang tidak berminat menulis kemudian mau untuk menulis juga.  Jika perlu bentuklah club menulis di sekolah atau diluar sekolah yang melibatkan para siswa. 
                Harapan ke depan, adalah ikut memajukan dunia kepenulisan dan perbukuan di Indonesia yang sebenarnya sedang lesu.  Pengalaman menulis, toch akan berguna bagi siswa kelak ketika menyusun tugas akhirnya. Dan syukur akan ada murid Anda yang jadi penulis masa depan dengan karya yang lebih baik daripada kita semua.
Setidaknya, dengan menulis Anda akan selalu dingat murid Anda, bahkan bahkan setelah  Anda mati. Kata pepatah Yunani: Scripta Manen Verba Volant (Yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan terbawa angin). Dan, “yang terekam tak pernah mati,” kata The Upstair. Begitu juga yang tertulis.
Petrik M, Guru Sejarah dan Penulis




Rabu, Februari 25, 2015

KNIL di Boven Digoel

Tak perlu memukuli orang buangan untuk menyiksa mereka. Cukup pastikan saja mereka tetap di Boven Digoel, Papoea, karena berada di Digoel pun juga penderitaan.

Dengan lagak mirip backpacker, dengan iseng  saya cari cerita Thomas Najoan di Boven Digoel. Sekitar 410 KM dari Merauke. Bersama sebuah hiline (mobil gardan ganda), saya menghabiskan waktu sekitar 10 jam. Dimana saya harus melewati hutan belukar yang saya kira masih cukup ganas. Jalanan yang dilewati mobil tumpangan kami, bukan jalan aspal mulus. Kebanyakan jalanan tanah, yang jika musim hujan dijamin becek dan sulit dilewati.
Pos-pos tentara dan polisi harus kami lewati. Tentara selalu berjalan bawa bedil SS mereka. Melihat tentara-tentara itu saya teringat serdadu-serdadu KNIL yang dikirim untuk menjaga oran komunis yang jadi orang buangan di Boven Digoel.
Demi menyikat semua musuh Ratu Singa van Negeri Orange, butuh serdadu-serdadu yang bernaung dibawah Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (baca: Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang biasa disingkat KNIL. Namun, lidah-lidah orang Indonesia lebih suka menyebutnya kompeni.
Sekitar ¾ dari semua serdadu-serdadu KNIL itu adalah orang-orang Indonesia.Mulai dari Jawa, Ambon, Manado, dan suku-suku lainnya. Jika ada yang menyebut jumlah serdadu Ambon lebih banyak ketimbangyang lain, maka itu jelas mitos, karena yang terbanyak jelaslah  orang Jawa.
Dalam sejarahnya KNIL eksis sejak era van den Bosch jadi Gubernur Jenderal  1830, bersamaan dimulainya tanam paksa (Cultuur Stelsel) dan mungkin untuk memuluskan tanam paksa itu juga. Setelah banyak menghabisi banyak perlawanan—seperti kata BukuGedenkschrift Koninklijk Nederlandsche Indische Leger 1830-1950—danbubar memalukan ketika Hindia Belanda menyerah pada balatentara Jepang, lalu pada 26 Juli 1950, KNIL tamat riwayatnya di nusantara.
Serdadu KNIL dicap ganas pada para pemberontak. Serdadu-serdadu KNIL, terutama dari korps Marsose sering menghabisi beberapa kampong di sekitar Aceh dan Gayo Alas selama Perang Aceh berlangsung.
Biasanya, anggota-anggota KNIL, terutama KNIL Ambon, mereka dicap garang. Dan, anak-anak serdadu KNIL yang disebut anak kolong pun bukan main nakalnya. Itu berlaku di banyak tempat yang dulu disebut Hindia Belanda ini.
KNIL adalah ujung tombak penjaga rust en orde (keamaan dan ketertiban) di jaman kolonial. Ketika polisi tak mampu lagi turun tangan, maka KNIL akan dikerahkan. Termasuk dalam menghabisi pemberontakan orang komunis di Banten dan daerah ain pada 1926/1927. Sebenarnya, menjaga tahanan cukup dikerahkan pada polisi saja, namun jika menjaganya di Boven Digoel, jelas sebuah pengecualian. KNIL harus berjaga disana, demirust en orde
Menjaga Para Digulis
Boven Digoel terletak nyaris di tengah belantara Papoea. Mendengar kata Papoea pun orang akan ketakutan, apalagi dibuang kesana. Boven Digoel atau Tanah Merah, awalnya hutan belantara. Orang buangan, yang disebut Digulis itu, tak datang dalam kondisi kamp Boven Digoel siap pakai. Mereka harus buka lahan dan bangun sendiri rumah-rumah—dengan dana yang disediakan pemerintah kolonial.
Konon, seperti tertulis dalam Digul: Bumi Pahlawan Kemerdekaan Indonesia karya A. Hasmji, “Kapten Becking goyang-goyang kepala,” melihat alam Papua yang harus mereka buka dan tinggali itu. Konon, Kapten Becking menilai, pemerintahnya (Hindia Belanda) sama sekali tak mempunyai perikemanusiaan, kejam dan ganas.
Apa boleh buat, bagi militer: perintah adalah perintah. Dan wajib hukumnya melaksanakan perintah atasan. Jadi, Kapten Becking sebagai seorang Kapten KNIL harus tunduk pada perintah atasannya, entah dari Legercommandant (panglima tertinggi) KNIL maupun Gubernur Jenderal di Batavia. Sekonyol apapun perintah itu, haram hukumnya kalau membangkang.
                Sebelumnya, Kapten Becking termasuk komandan KNIL yang ikut menghabisi pemberontakan komunis tahun 1926 di Banten. Bersama pasukannya, Becking berhasil menangkap banyak orang di Banten. Diantaranya, banyak juga yang ikut dibuang ke Boven Digoel. 

Sebagai pemenang perang, dalam penumpasan orang komunis di Banten, Becking harusnya boleh sombong. Namun, setelah pakai lagika (otak)nya, mungkin juga ada kerendahan hati juga, Becking bukannya jadi seorang semena-mena. Setidaknya, saya belum temukan catatan tentang kebencian orang-orang buangan, yang sebagian jelas bekas musuh, pada kapten Becking ini. Orang-orang buangan itu hanya benci setengah mati pada pemerintah kolonial.
Menurut Sejarawan Jepang, Takeshi Shiraisi, rombongan pertama orang buangan tiba di Digoel sekitar bulan Maret 1927. Sejak Januari 1927, Kapten L Th Becking dan rombongannya yang terdiri dari tawanan pekerja tiba di Digoel lebi dulu. Mereka babat alas. 
Meski ada sedikit rasa tidak suka di kalangan orang buangan, karena disuruh membuka hutan Boven Digoel, kapten Becking tetap berhasil memimpin pembukaan Boven Digoel secara besar-besaran. Hingga jadilah kamp Tanah Merah. Gubernur Jenderal harus berterimakasih sebesar-besarnya pada serdadu KNIL dibawah pimpinan Kapten Becking itu. Karnanya, jadi sudah kamp pembuangan yang pernah menampung 1.308 orang buangan anti pemerintah itu.
Hidup di Boven Digoel tak hidup diantara dinding-dinding tebal. Pemandangan dominan hanya hutan-hutan hijau, beserta sungai Digoel yang tak sebutek sungai-sungai di Kalimantan.  
Orang buangan di Boven Digoel, tak perlu dirantai ketika berkeliaran. Orang-orang buangan itu pun tak perlu dikurung dalam sel. Mereka boleh berkeliaran, tapi hanya di sekitar Tanah Merah saja. Namun, tetap saja hidup mereka diatur,Besluit (surat keputusan) dari Gubernur Maluku no BB 52/1/1 tanggal 17 Maret 1928, menyebut: orang-orang buangan hanya boleh berkeliaran dalam radius 30 kilometer, begitu pengakuan mantan Digulis bernama Bondan dalam biografinya yang ditulis istrinya yang bule Australia.
Radius 30 KM di Tanah Merah hanyalah hutan belukar. Mereka boleh lenggang kaki dalam radius itu, namun jika lebih dan penjaga (baik yang polisi dan tentara) tahu, maka mereka akan dikejar. Bebas dari kamp Tanah Merah alias Boven Digoel adalah mimpi yang amat sangat indah. Dari ratusan orang di Tanah Merah, hanya sedikit yang bermimpi mau kabur.
Serdadu KNIL di Boven Digoel, tak perlu bersikap keras pada orang buangan, jika ingin menyiksa orang komunis. Berada di Boven Digoel saja sudah siksaan luar biasa buat orang buangan. Boven Digoel tempo doeloe sudah sangat ganas, tak perlu lagi mengganasi orang komunis yang buang itu.
Beberapa penjaga, bahkan tak ragu bergaul dengan orang buangan atau tahanan. Disiplin penjaga penjara agak longgar. Suatu kali, Chalid Salim pernah melewati penjara dan melihat: pintu tahanan terbuka, seorang penjaga main kartu dengan tahanan, petugas jaga lain tertidur. Namun tak ada satu pun yang kabur. Ketika pengawas Belanda datang, permainan kartu berhenti sejenak. Para tahanan masuk dengan manis ke sel tahanan mereka. Pada si pengawas, penjaga hanya bilang, “tak ada hal khusus yang perlu dilaporkan, Tuan.”

 Para tentara atau polisi hanya akan repot jika ada tahanan yang kabur, karena harus mencari dan mengejarnya. Bagi tahanan yang ingin kabur, mereka harus berhadapan dengan ganasnya alam Papoea yang sudah kesohor itu. Ancaman serius manusia asli Papua yang masih Kanibal pun ancaman yang tak bisa acuhkan.Belum lagi binatang buasnya. Sungai Digoel bukan sungai bebas buaya, jika ada yang kabur memakai perahu.
Jika pun orang buangan itu kabur hingga keluar batas wilayah daerah koloni Hindia Belanda, maka tak ada negara atau lingkungan di sekitar Papua yang bisa menerima pelarian tadi.Semua wilayah di sekitar Papua adalah daerah koloni dari Negara-negara barat sekutu dari Kerajaan Belanda. 
Garnisun KNIL di Digoel, semula hanya terdiri dari lima regu, lalu ditambah menjadi tujuh regu. Setiap regu tadi, dipimpin seorang Sersan pribumi atau Eropa. Tugas mereka hanya menjaga rust en orde di Boven Digoel.  Mereka juga patroli di sekitar kamp tahanan di Tanah Merah (yang terbesar dimana mayoritas internir tinggal) dan Tanah Tinggi (yang hanya dihuni puluhan internir). Para militer penjaga itu tinggal dalam barak yang di area yang bukan tempat internir. Mereka tinggal terpisah dari internir-internir yang tinggal dalam kampung-kampung.
Untuk mencapai Tanah Merah, yang menjadi pusat dari Boven Digoel, dari Merauke  kapal yang digunakan untuk mengantar penumpang, baik tahanan maupun pegawai sipil atau militer, adalah kapal uap Formalhout. Pihak militer yang punya tugas tambahan untuk mengawasi tahanan, berurusan dengan kapal uap Formalhout.

Om Bintang dan Thomas Najoan
Tersebutlah seorang mantri polisi, yang bersama KNIL, menjaga rust en orde, dia nampaknya oran baik juga. Orang-orang buangan sering sebut namanya. Kadang terkait dengan Thomas Najoan. Reputasi Thomas Najoan yang doyan kabur tentu sohor di kalangan digulis, dia pernah kabur sampai Australia, namun ketangkap polisi disana, lalu dengan murah hatinya pemerintah Australia kembalikan Thomas Najoan si permata digul yang hilang itu.
Dalam kepulangan terkutuknya ke Digoel, dalam kondisi tangan dan kaki di rantai, Thomas Nayoan masih bisa bercanda ketika ditanya kawan lainnya, “Kenapa kau kembali?” kurang-lebih Thomas yang tersenyum pun bilang, “Oom Bintang kangen padaku.”
Oom Bintang adalah pensiunan bintara KNIL yang menjadi mantri polisi di Tanah Merah Boven Digoel. Tak jelas siapa nama aslinya, hanya diketahui dia adalah orang Ambon. Dia pernah terlibat dalam perang Aceh, dimana dia mendapat bintang (medali kehormatan militer dari kerajaan).Itulah kenapa dirinya dipanggil Oom Bintang. Orangnya diperkirakan tidak muda lagi.
                Dalam kesempatan lain, soal pelarian pertamanya yang ‘sukses-suksel gagal’ (berhasil kabur tapi tertangkap lagi), ketika sedang berkumpul dengan kawan-kawan sesama orang buangan lain, Thomas Najoan pernah ditanya kenapa dulu dia bisa kembali ke Digoel? Najoan berkelakar: “Australia tak suka padaku, maka kembalilah ke Oom Bintang!”
                Menyebut nama bekas bintara KNIL Ambon, yang selalu berurusan dengannya itu membuat Najoan panjang umur. Karena bisa tertawa bersama-kawan Digulis lainnya.
                Dulu, sebelum kabur, Kapten Becking pernah meminta Thomas Nayoan bikin percobaan dengan berbagai benih tanaman untuk dibudidayakan. Najoan pun bersedia melakukan percobaan itu. Namun, beberapa lama setelah si kapten memberi perintah, Najoan membawa sebuah kertas rancangan pembangunan  Proefstation Boven Digoel (Tempat penelitian pertanian Boven Digoel). Dimana dirinya bakal menjadi direktur Proefstation itu.
Rupanya Kapten Becking tak punya dana untuk proefstation itu. Namun Najoan tetap boleh melanjutkan percobaan benih-benih tadi. Najoan kecewa lalu tak pernah bicara itu lagi. Mungkin, itu kenapa Thomas Najoan kabur dan OomBintang harus pusing cari orang sosialis Indonesia generasi pertama ini.


“Tak Ada Orang Galak di Digoel”
Mantan bocah didikan Digoel, yang kini sepuh dan menghabiskan masa tuanya di Tangerang, waktu saya datangi dua minggu lalu bercerita pada saya, “tak ada orang galak di Digoel.” Trikoyo Ramidjo nama mantan bocah Digoel itu. Dia analah anak dari Kiai Dardiri Ramidjo alias Kiai Anom dari Purworejo.Trikoyo bangga sebagai bocah Digoel yang selalu berusaha ‘apa adanya.’Dia pernah terbitkan cerita-cerita masa kecilnya dalam buku yang berjudul: Kisah-kisah Dari Tanah Merah (Ultimus, 2009).  Mungkin, KNIL di Boven Digoel adalah KNIL-KNIL baik hati.Karena Trikoyo tak pernah menemukan KNIL galak.
                Mantan anak Digoel lain, Siti Rahmatun, putri dari Digulis asal banten bernama Muhamad Amin, yang saya datangi tahun lalu bersama Rudolf Mrazek, bilang pada saya, dia juga punya kawan anak militer. “Kalau kebetulan saya ke rumah wedana sering ketemu.Ada anakManado kalau kemana-mana ayahnya pergi dia ikut.”
                Karena, daerah sekitar kampong dan sungai adalah taman liar tempat mereka bermain, bukan sesuatu yang aneh jika anak orang buangan bisa bertemu anak-anak serdadu KNIL alias anak kolong itu, mungkin bermain bersama Tanah Merah (Boven Digoel). Jarak antara kampong-kampung orang buangan dengan rumah orang-orang Belanda maupun tangsi KNIL memang tidak jauh.
Jika anak-anak Digulis bersekolah di HIS milik Gubernemen (pemerintah), maka anak-anak Digulis itu akan kenal anak-anak kolong yang bersekolah disana. Nampaknya, diskriminasi kolonial tak terasa di Boven Digoel.“Kita tidak ada perbedaan,” kata Siti Rahmatun. Jika ada anak Digulis yang berobat ke klinik bernama Wilhelmina Ziekenhuis,  mereka akan melewati tangsi tentara.
Trikoyo yang pernah punya pengalaman jadi tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, karena jadi wartawan Harian Rakyat, pernah membandingkan: kamp pembuangan Boven Digul, jauh lebih beradab ketimbang pulau buru. Pemerintah tak pernah begitu saja membiarkan orang buangan di Digul kelaparan dan sakit.Toch, klinik disediakan.
Tiap bulan semua orang buangan, bahkan yang masih bersikap keras sekalipun setidaknya dapat beras.Orang buangan pun tak ada kewajiban untuk kerja paksa. Padahal, di kamp tapol Pulau Buru, atau Moncongloe mungkin kamp tapol orde baru lain, seorang tawanan harus bekerja menggarap lahan milik anggota TNI tanpa bagi hasil dan jatah makan yang jelas. KNIL tidak melakukan itu di Boven Digoel.

KNIL Tak Perlu Kerja Keras
Tak adanya catatan tentang galaknya serdadu KNIL pada orang buangan, mungkin dikarenakan KNIL-KNIL itu merasa, jika mereka bersikap keras pada orang buangan, maka bisa melahirkan pemberontakan baru yang mungkin bisa memunuh mereka sendiri.
Seratusan KNIL, jika diserang serempak oleh 1000an orang nekad macam orang-orang tanah merah yang keras dan siap mati, tak akan bisa selamat. Toch, menunggu bala bantuan dari Merauke mungkin terlalu jauh dan pastinya butuh waktu lama sekali karena hanya Formalhout saja yang biasa pergi dan paham daerah sunga Digoel.
Dari beberapa foto tua tentang KNIL di Boven Digoel, jelas KNIL-KNIL itu bersenjatakan senapan laras panjang dan sudah bersepatu. Musuh KNIL di Boven Digoel jelas bukan orang-orang buangan. Sejatinya, Boven Digoel yang sekarang pun cocok untuk melatih nyali seorang serdadu-serdadu muda untuk bisa hidup di alam Papoea.
Mungkin, dibutuhkan serdadu-serdadu yang bisa tahan dari ancaman sunyi Digoel yang bisa bikin orang macam Thomas Najoan galau dan nyaris mengakhiri hidupnya. Mungkin, serdadu korps khusus antigerilya macam Marsose pasti punya daya tahan bagus terhadap hutan Papoea, namun, bisa jadi akan sulit akur dengan orang buangan komunis. Jadi, KNIL biasa mungkin lebih baik.
Bisa dibilang, KNIL-KNIL  di Boven Digoel tak terlalu sulit rust en orde. Mereka hanya perlu kejar orang buangan yang kabur. Sebab, kata Mrazek, ada jaringan mata-mata pemerintah kolonial di kalangan orang-orang buangan. Mata-mata ini dari kalangan orang buangan yang ingin cepat bebas, atau dapat uang tambahan. Organisasi ini disebut Rust en Orde Bewaarder (ROB)yang sering kirim laporan tentang kegiatan pada pemerintah kolonial dalam bahasa Melayu.
Orang buangan di Boven Digoel sudah dihancurkan dari luar oleh alamPapoe yang jauh dari keramaian dan perpecahan di kalangan orang buangan sendiri. Dan, KNIL di Boven Digoel lebih banyak menganggur, mirip orang-orang berkemah—namun untuk waktu yang lama sekali.