Rabu, Maret 03, 2010

Naar de Jogja


Entah dimana kutub magnet kota ini? Kami pilih tidak peduli saja dimana letaknya. Ya seperti inilah Jogja. Kecil tapi daya tariknya tak pernah habis. Kata Jogja dalam tulisan ini, tidak hanya mengacu pada kodya Jogja saja, tapi juga daerah sekitar Jogja seperti Sleman, Bantul, Kulon Progo dan pastinya Gunung Kidul.
Tidak ada yang menyangkal kota ini penting. Setidaknya, sejak 1755, pasca Perjanjian Giyanti. Dimana Kesultanan Yogyakarta hadiningrat berdiri setelah suksesnya pemberontakan Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan hamengkubuwono I. Yogyakarta adalah negeri yang lahir karena pemberontakan. Dan Yogyakarta bukan satu-satunya.

Banyak orang menuju kota ini. Tiap hari selalu ada bis pariwisata melintasi Jalan Malioboro. Selalu ada juga pengemudi-pengemudi sepeda motor yang dikejar setan. Mereka memacu kencang mesin agar cepat sampai kampus. Entah mau kuliah, mengumpul tugas dari dosen killer, atau sekedar ketemu pacar.
Kota ini seolah bukan milik Sri Sultan dan rakyatnya saja. Orang Kalimantan yang kuliah disini akan bilang saya betah tinggal disini. Juga orang dari pulau lain. Ada berjuta alas an mereka kangen Jogja. Mungkin di kota ini orang-orang kangen itu kenal cinta. Atau menemukan pasangannya. Ada juga yang kangen nasi kucing, beserta angkringannya. Banyak orang bilang, semua di Jogja murah, tapi orang-orangnya jelas tidak murahan. Mereka terbuka. Akhirnya jadilah kota ini milik siapa saja yang kangen padanya.
Pemandangan Jogja juga elok. Di sore yang cerah, bersepeda pancal kearah utara kota Jogja menyenangkan. Kita akan melihat Merapi. Gunung ini, mengingatkan orang pada sosok Mbah Marijan yang lugu dan baik hati. Dia pernah menyalami saya suatu pagi. Smoga dia sedang tersenyum di teras rumahnya sore ini.
Kata sejarawan, yang juga diamini anak-anak yang kuliah sejarah juga penduduk Jogja, daerah seputaran Jogjakarta adalah pemukiman tua yang sudah ada sejak zaman dulu. Terbukti banyak candi-candi dan bangunan tua lain yang ditemukan di sekitar Jogja. Pokoknya, banyak bentuk wisata di Jogja.
Kota ini juga hasilkan tokoh-tokoh hebat dalam sejarah Republik ini. Cukup panjang daftarnya jika kita sebutkan. Mulai dari tokoh politik, pendidikan dan kebudayaan. Wajar saja, sejak dulu kota ini sudah jadi kota pelajar. Ada banyak kampus, komunitas seni dan diskusi, juga banyak angkringan yang tidak jarang jadi tempat diskusi kecil.
Biar seru, saya akan cerita sedikit pentingnya Jogja zaman revolusi. Kota ini pernah jadi Ibukota Negara. Karenanya Jenderal Spoor begitu gigih merebut kota ini. Operasi bersandi burung gagak alias Kraii Operatie dia lancarkan. Pasukan penyerbu pun pilihan. Pasukan yang pernah dilatih dan dipimpin Westerling. Untung Westerlig tidak terlibat. Seperti saya tulis di skripsi pertama saya, dia mundur dari dinas militer Belanda karena berbeda pendapat dengan Spoor dan menolak perintah memimpin operasi penyerbuan ke Jogja. Bagi yang tahu reputasi westerling di Sulawesi Selatan, mungkin akan membayangkan dia akan menjadi algojo lagi ketika menyerbu Jogja. Jogja pun akan banjir darah sperti Sulawesi Selatan. Lalu Kraii Operatie pun dpimpin Letkol Van Beek. Tanggal 19 desember 1949, operasi Gagak ini sukses meawan pimpinan Republik. Namun menjunkirbalikan posisi Belanda di meja Diplomasi, karena dunia internasional mulai bersimpati pada Republik. Mungkin sengketa Indonesia Belanda bisa lebih panjang jika Jogja tidak diserbu Belanda. Bagaimanapun, Jogja pun menjadi kota perjuangan. Perlawanan terus berjalan disekitar Jogja, meski kota ini telah diduduki Belanda. Meski kta ini telah diduduki, tetap saja serdadu KL asal Negeri Belanda takut tidur di Jogja. Mereka merasa gerlyawan Republik akan menghantui mereka di Jogja.
Itulah mengapa Jogja, yang menjadi simbol eksistensi Republik Indonesia, begitu berharga bagi Spoor—yang tewas mendadak 6 bulan setelah sukses merebut Jogja. Sekarang kota ini makin berharga lagi. Banyak anak muda yang bermimpi jadi sarjana rela dan betah tinggal di kota ini. Bahkan diantara yang betah tadi, rela tidak jadi sarjana, atau setidaknya menunda jadi sarjana, agar bisa selamanya di Jogja. Mari berkaca siapa mereka?

Ya inilah Jogja yang sejuta kenangan. Milik mereka yang punya kenangan di kota ini. Mereka yang selalu merindukannya, meski di seberang lautan. Jogja, kami datang. Mari menuju Jogja! Naar de Jogja, kata serdadu Belanda yang menyerbu Jogja dulu.