Sabtu, September 28, 2013

Gyuhei dari Bogor

Dari Museum PETA ini, mungkin bisa dilacak akar militerisme Indonesia berasal. Jepang punya andil didalamnya, dimana pemuda-pemuda didoktrin dengan militerisme fasis.
Meski sudah berbulan-bulan tinggal di Buitenzorg alias Bogor, saya telat kunjungi museum ini.  Dari bangunannya, ini bukan bikinan Jepang. Walau terdapat museum PETA dalam gedung ini.  Ini tinggalan kolonial.  PETA adalah tentara sukarela Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang untuk menghadapi seukut. KNIL (koninklijk Nederlands Indische Leger: Tentara kerajaan Hindia Belanda) pernah mangkal lama di gedung ini. Nampaknya, banyak KNIL bertangsi disini sebelum Jepang datang. Ini bukan hal aneh. Ada Istana Bogor, dimana Gubernur Jenderal juga doyan mangkal kesini, jadi ada sepasukan KNIL di kota ini. Selain jaga istana, toch jika pecah pemberontakan sekitar Sukabumi maka tak sulit memukulnya. 
Sekarang gedung ini diambil alih TNI, sebagai pusat pendidikan zeni.  Tak jauh dari museum ada gedung bernama Djatikusumo. Anak raja Solo ini pernah belajar jadi komandan kompi disini. Kemudian dia menjadi KSAD pertama Republik ini, lalu dia hanya jadi direktur Zeni saja dengan besar hati.
Meski sudah berbulan-bulan tinggal di Buitenzorg alias Bogor, saya telat kunjungi museum ini. Dari bangunannya, ini bukan bikinan Jepang. Walau terdapat museum PETA dalam gedung ini. Ini tinggalan kolonial. PETA adalah tentara sukarela Pembela Tanah Air yang dibentuk Jepang untuk menghadapi seukut. KNIL (koninklijk Nederlands Indische Leger: Tentara kerajaan Hindia Belanda) pernah mangkal lama di gedung ini. Nampaknya, banyak KNIL bertangsi disini sebelum Jepang datang. Ini bukan hal aneh. Ada Istana Bogor, dimana Gubernur Jenderal juga doyan mangkal kesini, jadi ada sepasukan KNIL di kota ini. Selain jaga istana, toch jika pecah pemberontakan sekitar Sukabumi maka tak sulit memukulnya. Sekarang gedung ini diambil alih TNI, sebagai pusat pendidikan zeni. Tak jauh dari museum ada gedung bernama Djatikusumo. Anak raja Solo ini pernah belajar jadi komandan kompi disini. Kemudian dia menjadi KSAD pertama Republik ini, lalu dia hanya jadi direktur Zeni saja dengan besar hati.
Dalam sejarah Indonesia, peran bekas PETA begitu dominan. Itu bisa kita maklumi, karena TNI banyak menampung bekas-bekas PETA. Banyak diantara bekas PETA itu kemudian menjadi  penguasa. Suharto adalah contohnya.  Tak heran jika ada Museum PETA.  Ada banyak tokoh militer Indonesia yang dididik Jepang: Ahmad Yani, Sarwo Edhi Wibowo, Sudirman, Suharto dan lain-lain. Supriyadi dianggap lulusan PETA bogor. Patungnya berdiri megah, seakan dia lulusan pendidikan PETA Bogor. Sebetulnya, seperti juga Kemal Idris dan Zulkifli Lubis, Supriyadi adalah pemuda-pemuda pertama yang dilatih militer Jepang, sebelum PETA dibentuk. Mereka dilatih dalam Seinen Dojo di Tangerang. Mereka pemuda pilihan, dan belakangan menjadi perwira militer yang diperhitungkan Republik, meski tersingkir sejak jaman Sukarno dan Suharto.
Suharto, konon dua kali dilatih. Pertama sebagai komandan peleton, lalu komandan kompi. Sebelumnya Suharto bekas kopral lalu sersan KNIL, dia merasa berbakat jadi serdadu. Sebagai pemuda dengan pendidikan formal yang kurang, Suharto termasuk orang desa yang cerdas. Jika tak ada perang pasifik, Jepang tak datang dan Belanda masih berkuasa, mungkin Suharto yang cerdas itu hanya menjadi Adjudant (semacam pembantu letnan).
Dalam sejarah Indonesia, peran bekas PETA begitu dominan. Itu bisa kita maklumi, karena TNI banyak menampung bekas-bekas PETA. Banyak diantara bekas PETA itu kemudian menjadi penguasa. Suharto adalah contohnya. Tak heran jika ada Museum PETA. Ada banyak tokoh militer Indonesia yang dididik Jepang: Ahmad Yani, Sarwo Edhi Wibowo, Sudirman, Suharto dan lain-lain. Supriyadi dianggap lulusan PETA bogor. Patungnya berdiri megah, seakan dia lulusan pendidikan PETA Bogor. Sebetulnya, seperti juga Kemal Idris dan Zulkifli Lubis, Supriyadi adalah pemuda-pemuda pertama yang dilatih militer Jepang, sebelum PETA dibentuk. Mereka dilatih dalam Seinen Dojo di Tangerang. Mereka pemuda pilihan, dan belakangan menjadi perwira militer yang diperhitungkan Republik, meski tersingkir sejak jaman Sukarno dan Suharto. Suharto, konon dua kali dilatih. Pertama sebagai komandan peleton, lalu komandan kompi. Sebelumnya Suharto bekas kopral lalu sersan KNIL, dia merasa berbakat jadi serdadu. Sebagai pemuda dengan pendidikan formal yang kurang, Suharto termasuk orang desa yang cerdas. Jika tak ada perang pasifik, Jepang tak datang dan Belanda masih berkuasa, mungkin Suharto yang cerdas itu hanya menjadi Adjudant (semacam pembantu letnan).
Jepang memberi kesempatan lebih bagi para pemuda Indonesia untuk menjadi perwira. Tak seperti Belanda, yang hanya memberi secuil kesempatan. KNIL hanya memberi kesempatan tak lebih dari 100 pemuda selama kurun waktu 50 tahun, tapi Jepang tidak. Jepang memberi lebih dari itu dalam waktu dua tahun. Ada ratusan calon Letnan (komandan peleton) yang disebut Chudanco dilatih di Boei Gyugun Rensentai Bogor.
Selama masih ada keinginan, barangkali tanpa adanya PETA, Indonesia juga bakal punya tentara. Ini perkara kebutuhan, siapa yang butuh pasti akan berusaha. Tak perlu menunggu berkah dari Kekaisaran Tokyo. Jepang boleh tak bikin tentara, tapi bukan berarti orang Indonesia tak bisa jadi tentara. Banyak yang sepakat, orang Indonesia adalah orang yang cepat belajar hal baru. Tak sulit menjadikan orang Indonesia sebagai tentara yang baik, hanya butuh latihan intensif yang keras. Lebih dari seratus tahun Belanda melakukannya melalui KNIL.
Jepang memberi kesempatan lebih bagi para pemuda Indonesia untuk menjadi perwira. Tak seperti Belanda, yang hanya memberi secuil kesempatan. KNIL hanya memberi kesempatan tak lebih dari 100 pemuda selama kurun waktu 50 tahun, tapi Jepang tidak. Jepang memberi lebih dari itu dalam waktu dua tahun. Ada ratusan calon Letnan (komandan peleton) yang disebut Chudanco dilatih di Boei Gyugun Rensentai Bogor. Selama masih ada keinginan, barangkali tanpa adanya PETA, Indonesia juga bakal punya tentara. Ini perkara kebutuhan, siapa yang butuh pasti akan berusaha. Tak perlu menunggu berkah dari Kekaisaran Tokyo. Jepang boleh tak bikin tentara, tapi bukan berarti orang Indonesia tak bisa jadi tentara. Banyak yang sepakat, orang Indonesia adalah orang yang cepat belajar hal baru. Tak sulit menjadikan orang Indonesia sebagai tentara yang baik, hanya butuh latihan intensif yang keras. Lebih dari seratus tahun Belanda melakukannya melalui KNIL.
Apa yang Jepang buat, sebetulnya tidaklah banyak memoles para pemuda Indonesia yang disebut PETA dari Gyuhei sampai Daidanco itu. PETA dibentuk dan dibangun tergesa-gesa. Karena Jepang takut tak mampu hadapi sekutu dan mempertahankan Indonesia.  Sebagai tentara yang terlatih dan sulit dikalahkan oleh musuhnya, balatentara Jepang tak memberi banyak keterampilan yang mumpuni untuk anak didiknya yang disebut PETA. Sialnya, militerisme ala Jepang meresap begitu dalam dan tak perlu heran jika ada yang merasakan orde baru seperti fasis Jepang. Sebelum Jepang datang, jadi tentara serdadu itu hina bagi banyak orang. Tapi, setelah Jepang datang jadi tentara itu jadi pilihan, belakangan, orang rela jual tanah dan menyogok biar jadi tentara. Jadi Gyuhei pun bisa dibanggakan.
Hal yang aneh bagi saya, kenapa pistol yang dipajang bukan pistol Nambu, yang mirip Luger, tapi malah Vickers. Museum ini juga lebih sering mengangkat orang bekas PETA yang jadi penggede saja. Karena keberanian orang PETA melawan Jepang maka dbuatlah diorama soal pemberontakan PETA Blitar, Cilacap dan Cileunca. Tak hanya PETA yang lawan penjajah, ada segelintir KNIL yang coba-coba ledakan gudang senjata Belanda; lalu  pelaut yang berontak di kapal Zeven Provincien. Itu sedikit kesan saya mengunjungi Museum yang aneh ini.
Apa yang Jepang buat, sebetulnya tidaklah banyak memoles para pemuda Indonesia yang disebut PETA dari Gyuhei sampai Daidanco itu. PETA dibentuk dan dibangun tergesa-gesa. Karena Jepang takut tak mampu hadapi sekutu dan mempertahankan Indonesia. Sebagai tentara yang terlatih dan sulit dikalahkan oleh musuhnya, balatentara Jepang tak memberi banyak keterampilan yang mumpuni untuk anak didiknya yang disebut PETA. Sialnya, militerisme ala Jepang meresap begitu dalam dan tak perlu heran jika ada yang merasakan orde baru seperti fasis Jepang. Sebelum Jepang datang, jadi tentara serdadu itu hina bagi banyak orang. Tapi, setelah Jepang datang jadi tentara itu jadi pilihan, belakangan, orang rela jual tanah dan menyogok biar jadi tentara. Jadi Gyuhei pun bisa dibanggakan. Hal yang aneh bagi saya, kenapa pistol yang dipajang bukan pistol Nambu, yang mirip Luger, tapi malah Vickers. Museum ini juga lebih sering mengangkat orang bekas PETA yang jadi penggede saja. Karena keberanian orang PETA melawan Jepang maka dbuatlah diorama soal pemberontakan PETA Blitar, Cilacap dan Cileunca. Tak hanya PETA yang lawan penjajah, ada segelintir KNIL yang coba-coba ledakan gudang senjata Belanda; lalu pelaut yang berontak di kapal Zeven Provincien. Itu sedikit kesan saya mengunjungi Museum yang aneh ini.