Sabtu, Agustus 15, 2009

Bukan Kali Pertama Ada Bom


Orang-orang sibuk dengan berita bom. Berita-berita pendidikan dan kesejahteraan rakyat tenggelam. Ada yang untung dengan pemboman itu, tapi bukan sang teroris yang mungkin saja nyasar ke Surga.

Bom sendiri bukan hal baru seperti yang diributkan sekarang. Zaman revolusi juga bukan momen pertama bom meledak di Indonesia. Kota Semarang pernah menjadi sasaran bom di tahun 1923. Jika bom-bom di tahun 2000an mengkambinghitamkan kelompok Islam, maka bom tahun 1923 mengkambinghitamkan kaum komunis yang tidak sudi diperentah orang-orang Belanda
Kalender ketika itu menunjuk 31 Agustus 1923. Hari itu adalah Hari besar Kerajaan Belanda yang selalu dirayakan, baik di Negeri Belanda maupun dikoloninya. Bagi banyak kalangan, tidak layak kaum terjajah merayakan hari besar penjajahnya.
Hari itu, sekitar pukul 11.00 siang, bom meledak di Semarang. Ledakan terjadi di sekitar alun-alun kota Semarang yang ketika itu berlangsung keramaian. Suasana cukup ramai dalam acara tahunan itu ketika bom meledak. Diperkirakan sekitar 11.000 orang hadir dalam keramaian itu. Tanpa diduga seseorang tidak dikenal melemparlkan dua bom ke tengah alun-alun kota Semarang yang dipenuhi manusia itu. Satu bom dilempar lagi dari Hotel Du Pavilion. Akibat ledakan bom itu, 8 orang Tionghoa, 3 orang Eropa dan seorang pribumi tewas. Seorang polisi Belanda juga terluka insiden bom di siang bolong ini.

Serangan bom ini membuat komisaris polisi di Semarang mengerahkan pasukan polisinya untuk memperketat penjagaan di dalam kota Semarang. Polisi memperkirakamn pelaku pengeboman yang belum ditemukan itu masih berada di dalam kota Semarang.
Di tempat berbeda, di hari yang sama juga terjadi ledakan bom di Madiun. Ledakan bom itu mengakibatkan dua orang pribumi terluka dan akhirnya tewas karena ledakan bom. Polisi memperkirakan bom itu meledak sebelum waktunya dan kedua orang yang tewas akibat bom tersebut adalah orang komunis.
Kaum komunis adalah musuh pemerintah paling radikal di Hindia Belanda. Beberapa waktu sebelumnya, orang-orang komunis di Jawa itu juga telah menggerakan pemogokan buruh kereta api di Jawa yang mengakibatkan jaringan kereta api di Jawa lumpuh.
Orang-orang komunis dengan konsep perlawanan kelasnya dari ajaran Marx itu menganggap pemerintah kolonial sebagai musuh yang harus dilawan. Pemerintah kolonial, dimata kaum komunis dekade 1920an, sebagai antek kapitalisme yang menghisap rakyat pribumi yang di antara mereka menjadi buruh kereta api maupun kuli-kuli di perkebuanan.
Selain pemogokan, beberapa kaum komunis mencoba langkah lain, dengan cara lebih keras. Mereka meledakkan bom sebagai solusi ketika pemerintah kolonial tidak pernah mau berkompromi dengan tuntutan kaum kiri yang umumnya radikal. Tapi bom itu tidak membuat pemerintah kolonial takut, sebaliknya justru makin keras melakukan pembersihan di kalangan pergerakan yang radikal dan nonkoperasi.
Sumber-sumber pengadaan bahan peledak juga dibersihkan di seluruh Hindia Belanda. Namun, usaha pemerintah kolonial itu tidak selalu sukses. Pada 6 Oktober 1923, Pejabat Asisten Demang di Kacang, Sumatra Barat, gagal menangkap seorang yang dicurigai sebagai pedagang dimanit (bahan peledak). Dari orang yang sebelumnya ditangkap pihak berwenamg, orang yang melarikan diri tadi adalah pedagang dinamit yang memiliki banyak pelanggan di kalangan para penangkap ikan—yang sebagian memerlukan dinamit untuk menangkap ikan—yang tinggal di Kacang dan Tikalak. Penggunaan dinamit akan merusak lingkungan di sekitar danau Singkarak. Penggunaan dinamit sendiri oleh pemerintah kolonial hanya terbatas untuk menghancurkan bukit berbatu cadas untuk membangun jalan. Penjualan dinamit dikalangan sipil akan sangat berbahaya karena kerap disalahgunakan dan bisa memakan korban manusia.