Rabu, Oktober 30, 2013

Petani: Derita lo Yang Tiada Akhir

Semua percaya, Gajah Mada pemersatu Nusantara. Terserah, tapi secara nyata, meski tersembunyi petani pribumilah yang biayai semuanya dengan darah, keringat dan pastinya air mata.

Sumpah Pemuda boleh-boleh saja dirayakan. Asal jangan lupa kelompok lain yang juga ikut berjasa pada persatuan Nusantara. Anak bangsa yang baik gak boleh durhaka. Jadi ingatlah jasa pendahulu di masa lalu. Nah pendahulu yang kita bahas bukan Sultan, bukan Raden, bukan Kyai, bahkan bukan wali. Diantara mereka ada yang namanya: Gimin, Paidjo, Udin, Bacok, Ucok atau lainnya. Nah mereka ini tidak pegang bedil, tapi cangkul. Mereka adalah petani yang memberi makan orang-orang. Mereka adalah kaum terpinggirkan, di masa kini, juga pastinya di masa lalu.
 Raja boleh dipuja-puja. Tapi, mereka dipedulikan pun tidak. Nah, Anda-anda yang BerTuhan akan marah kan, kalau saya bilang Tuhan tidak adil karena takdirkan petani nusantara sebagai kaum yang dilahirkan untuk dihinakan dan ditindas? Jadi, saya cukup bilang saja karena Hukum Rimba yang mendarah daging di negeri ini membiarkan petani sebagai kaum tak penting, meski berasnya selalu ditelan dalam perut.
Bukan Gajah Mada atau kembarannya Gajah Mada yg bernama Muhamad Yamin itu yang secara nyata menguasai dan mempersatukan Indonesia tapi serdadu2 KNIL dan para petani Indonesia. Juga bukan karena Sumpah pemuda 1928 juga, tapi karena petani dan serdadu KNIL. Silahkan Anda tidak percaya. Tapi, diskusi kami di kelas tadi ada betulnya juga.
Tapi, Negara durhaka ini dalam kurikulum Sejarah Indonesia cuma bisa kasih tempat pada raja-raja dan pengikutnya. Mereka lupa pada kaum yang selalu menyediakan beras dan selalu dirampas harta apapun yang dimilikinya. Tontonlah Max Havelaar. Ada adegan dimana si Pantang yang hebat karena membunuh seekor harimau dengan tanduknya itu dirampas si Demang, biar Bupati senang. Anda yang punya nurani mungkin akan menangis atau bahkan marah.

Mitos Para Raja
Sejarah Indonesia cuma bisa kasih tempat pada raja-raja dan pengikutnya. Mereka lupa pada kaum yang selalu sediakan bahan makanan. Apa jadinya jika petani tak ke sawah? Kelaparan bakal datang. Mungkin kurikulum sejarah Indonesia kurang bisa menghargai kaum petani ini. Meski Sartono pernah menulis Pemberontakan Petani Banten, tetap saja Istanacentris jadi dambaan. Mau rajanya otak ayam, tetap aja raja didaulat sebagai yang Pemimpin Yang Bijaksana. Petani, mau jasanya segede gunung, tetap saja setara paria.
Sumpah Pemuda boleh-boleh saja dirayakan. Asal jangan lupa kelompok lain yang juga ikut berjasa pada persatuan Nusantara. Anak bangsa yang baik gak boleh durhaka. Jadi ingatlah jasa pendahulu di masa lalu. Nah pendahulu yang kita bahas bukan Sultan, bukan Raden, bukan Kyai, bahkan bukan wali. Diantara mereka ada yang namanya: Gimin, Paidjo, Udin, Bacok, Ucok atau lainnya. Nah mereka ini tidak pegang bedil, tapi cangkul. Mereka adalah petani yang memberi makan orang-orang. Mereka adalah kaum terpinggirkan, di masa kini, juga pastinya di masa lalu. Raja boleh dipuja-puja. Tapi, mereka dipedulikan pun tidak. Nah, Anda-anda yang BerTuhan akan marah kan, kalau saya bilang Tuhan tidak adil karena takdirkan petani nusantara sebagai kaum yang dilahirkan untuk dihinakan dan ditindas? Jadi, saya cukup bilang saja karena Hukum Rimba yang mendarah daging di negeri ini membiarkan petani sebagai kaum tak penting, meski berasnya selalu ditelan dalam perut. Bukan Gajah Mada atau kembarannya Gajah Mada yg bernama Muhamad Yamin itu yang secara nyata menguasai dan mempersatukan Indonesia tapi serdadu2 KNIL dan para petani Indonesia. Juga bukan karena Sumpah pemuda 1928 juga, tapi karena petani dan serdadu KNIL. Silahkan Anda tidak percaya. Tapi, diskusi kami di kelas tadi ada betulnya juga. Tapi, Negara durhaka ini dalam kurikulum Sejarah Indonesia cuma bisa kasih tempat pada raja-raja dan pengikutnya. Mereka lupa pada kaum yang selalu menyediakan beras dan selalu dirampas harta apapun yang dimilikinya. Tontonlah Max Havelaar. Ada adegan dimana si Pantang yang hebat karena membunuh seekor harimau dengan tanduknya itu dirampas si Demang, biar Bupati senang. Anda yang punya nurani mungkin akan menangis atau bahkan marah. Mitos Para Raja Sejarah Indonesia cuma bisa kasih tempat pada raja-raja dan pengikutnya. Mereka lupa pada kaum yang selalu sediakan bahan makanan. Apa jadinya jika petani tak ke sawah? Kelaparan bakal datang. Mungkin kurikulum sejarah Indonesia kurang bisa menghargai kaum petani ini. Meski Sartono pernah menulis Pemberontakan Petani Banten, tetap saja Istanacentris jadi dambaan. Mau rajanya otak ayam, tetap aja raja didaulat sebagai yang Pemimpin Yang Bijaksana. Petani, mau jasanya segede gunung, tetap saja setara paria.
Tadi kami belajar sejarah. Dari yang kami diskusikan, ternyata bukan Gajah Mada yg menyatukan Indonesia hingga seperti sekarang ini. Tak  ada raja berotak dan normal mau begitu saja jadi bagian dari Majapahit. Anak SD juga tahu kalau jadi Negeri merdeka itu lebih nikmat daripada jadi bagian kerajaan besar tapi hidup menderita. 
Misal, Kerajaan Kutai jadi bagian dari Majapahit, maka Rakyat Kutai akan sengsara dua kali lipat. Pertama, rakyat Kutai harus bayar pajak pada pajak pada Raja Kutai. Kedua, pajak pada Majapahit pun harus mereka tanggung. Jika pajak-pajak itu dijadikan satu paket, tetap saja Raja Kutai tak mau miskin. Raja Majapahit pun akan ngambek bahkan ngamuk kalau tidak disetori upeti. 
Jika benar Majapahit pernah jadi kerajaan nusantara, atau benar Majapahit atau Juga Sriwijaya jadi penguasa nusantara, maka saya curiga kehidupan petani atau rakyat jelata sangat berat sekali. Sebagai keturunan petani yang bukan bangsawan, saya yakin nenek moyang saya dulu menderita. Sudah harus beri seserahan tiap tahun pada raja-raja Jawa, nah kalau raja-raja lewat nenek moyang saya bakal disuruh jongkok bahkan menyembah raja-raja Jawa tak tahu diri itu. “Memang susah, jadi orang yang tak punya,” Ahmad Albar dalam lagunya.
Jaman raja-raja Islam pun sama saja. Islam mereka paling symbol. Kelakuan raja tetap saja binal en ‘semau gue’. Semacam Islam KTP. En kalau sudah merasa terancam kelakuan seperti lascar nasi bungkusnya Habib Rizieq. Jual nama Tuhan biar bisa tetap berkuasa.
Lalu, siapa yang menyatukan Nusantara?
Masih ingat Tanam Paksa? Itu loh yang diterapkan van den Bosch. Dari tahun 1830-1870. Yang kalau Multatuli gak pernah tulis Max Havelaar mungkin gak ada orang Belanda yang teriak-teriak untuk hapuskan itu system gila yang menyiksa petani Indonesia. Anda-anda semua wajib nonton Max Havelaar.
Tadi kami belajar sejarah. Dari yang kami diskusikan, ternyata bukan Gajah Mada yg menyatukan Indonesia hingga seperti sekarang ini. Tak ada raja berotak dan normal mau begitu saja jadi bagian dari Majapahit. Anak SD juga tahu kalau jadi Negeri merdeka itu lebih nikmat daripada jadi bagian kerajaan besar tapi hidup menderita. Misal, Kerajaan Kutai jadi bagian dari Majapahit, maka Rakyat Kutai akan sengsara dua kali lipat. Pertama, rakyat Kutai harus bayar pajak pada pajak pada Raja Kutai. Kedua, pajak pada Majapahit pun harus mereka tanggung. Jika pajak-pajak itu dijadikan satu paket, tetap saja Raja Kutai tak mau miskin. Raja Majapahit pun akan ngambek bahkan ngamuk kalau tidak disetori upeti. Jika benar Majapahit pernah jadi kerajaan nusantara, atau benar Majapahit atau Juga Sriwijaya jadi penguasa nusantara, maka saya curiga kehidupan petani atau rakyat jelata sangat berat sekali. Sebagai keturunan petani yang bukan bangsawan, saya yakin nenek moyang saya dulu menderita. Sudah harus beri seserahan tiap tahun pada raja-raja Jawa, nah kalau raja-raja lewat nenek moyang saya bakal disuruh jongkok bahkan menyembah raja-raja Jawa tak tahu diri itu. “Memang susah, jadi orang yang tak punya,” Ahmad Albar dalam lagunya. Jaman raja-raja Islam pun sama saja. Islam mereka paling symbol. Kelakuan raja tetap saja binal en ‘semau gue’. Semacam Islam KTP. En kalau sudah merasa terancam kelakuan seperti lascar nasi bungkusnya Habib Rizieq. Jual nama Tuhan biar bisa tetap berkuasa. Lalu, siapa yang menyatukan Nusantara? Masih ingat Tanam Paksa? Itu loh yang diterapkan van den Bosch. Dari tahun 1830-1870. Yang kalau Multatuli gak pernah tulis Max Havelaar mungkin gak ada orang Belanda yang teriak-teriak untuk hapuskan itu system gila yang menyiksa petani Indonesia. Anda-anda semua wajib nonton Max Havelaar.
Hingga awal abad XX, Belanda kan masih doyan perang sama rakyat atau raja-raja yang ingin merdeka dan tak mau masuk dalam Hindia Belanda yang meliputi Sabang sampai Merauke itu. Masih ingat perang Aceh? Yang baru betul-betul selesai awal abad XX itu. Itu kan butuh dana banyak. Apakah dana itu berasal dari kantong Jenderal Van Heutzs? Tidak, Kawan! Itu berasal dari kas pemerintah. Nah Kas pemerintah pastinya berasal dari pajak atau setoran dari rakyat petani kere yang dihisab sama pemerintah colonial melaui tangan-tangan priyayi Indon.
Tak ada penjajah yang mau rugi. Mustahil jika uang yang digunakan untuk bikin istana-istana colonial; bayar gaji pegawai dan serdadu; dana perang untuk menguasai secara de facto seluruh wilayah nusantara tidak berasal dari setoran yang dibayarkan rakyat (petani) nusantara.
Masih ingat Jalan Deandels. Semua sepakat kalau Deandels cs konspetornya. Lalu siapa eksekutor dan sponsor utama dana pembangunan Jalan Deandels itu. Yang paling banyak, barangkali hampir semua dana pembangunan itu, dari para rakyat yang dikerahkan kerja paksa itu. Walau Deandels yang punya ide, tapi jalan itu milik Rakyat yang dihisab tenaganya. Ribuan nyawa pun konon harus tewas karena lapar dan sakit.
Tak ada bedanya penyatuan nusantara oleh pemerintah colonial Hindia Belanda. Memang serdadu-serdadu kNIL yang mayoritas pribumi, yang menyikat semua musuh dan menjadikan Hindia Belanda (juga Kerajaan Belanda) menguasai seluruh nusantara. Tapi, harus diingat uang atau dana yang digunakan KNIL itu tentunya juga berasal dari kas pemerintah yang didapat dari pemerasan kepada rakyat petani di tanah koloni mereka. Yang terakhir ini sering dilupakan.
Banyak Ada bau darah, air mata dan keringat petani disana. Belanda bisa menguasai Nusantara itu karena ada uang (dana) dari kas pemerintah Hindia Belanda yang pastinya dari hasil tanam paksa keji juga. Jadi wilayah Indonesia yang luas seperti sekarang ini, juga dikarenakan sumbangan tenaga, darah, kengingat bahkan airmata para petani Indonesia. 
Petani adalah korban dan tulang punggung utama utama tanam paksa. Mereka menanam, mereka menyetor lebih dari 1/5, mereka juga menderita dan tetap miskin. Dengan Uang kas kolonial dari para petani itulah yang membuat KNIL bisa menghabisi musuh pemerintah dan menguasai Indonesia. 
Perut rakyat akan kenyang kalau ada petani yang banyak tanam padi. Dan wawasan rakyat jadi luas karena ada pelaut yang berbagi pengalamannya. Memang terdengar konyol. Tapi itulah adanya.
(Terimakasih atas diskusi hari ini anak-anak… Kalian keren!!!)
Hingga awal abad XX, Belanda kan masih doyan perang sama rakyat atau raja-raja yang ingin merdeka dan tak mau masuk dalam Hindia Belanda yang meliputi Sabang sampai Merauke itu. Masih ingat perang Aceh? Yang baru betul-betul selesai awal abad XX itu. Itu kan butuh dana banyak. Apakah dana itu berasal dari kantong Jenderal Van Heutzs? Tidak, Kawan! Itu berasal dari kas pemerintah. Nah Kas pemerintah pastinya berasal dari pajak atau setoran dari rakyat petani kere yang dihisab sama pemerintah colonial melaui tangan-tangan priyayi Indon. Tak ada penjajah yang mau rugi. Mustahil jika uang yang digunakan untuk bikin istana-istana colonial; bayar gaji pegawai dan serdadu; dana perang untuk menguasai secara de facto seluruh wilayah nusantara tidak berasal dari setoran yang dibayarkan rakyat (petani) nusantara. Masih ingat Jalan Deandels. Semua sepakat kalau Deandels cs konspetornya. Lalu siapa eksekutor dan sponsor utama dana pembangunan Jalan Deandels itu. Yang paling banyak, barangkali hampir semua dana pembangunan itu, dari para rakyat yang dikerahkan kerja paksa itu. Walau Deandels yang punya ide, tapi jalan itu milik Rakyat yang dihisab tenaganya. Ribuan nyawa pun konon harus tewas karena lapar dan sakit. Tak ada bedanya penyatuan nusantara oleh pemerintah colonial Hindia Belanda. Memang serdadu-serdadu kNIL yang mayoritas pribumi, yang menyikat semua musuh dan menjadikan Hindia Belanda (juga Kerajaan Belanda) menguasai seluruh nusantara. Tapi, harus diingat uang atau dana yang digunakan KNIL itu tentunya juga berasal dari kas pemerintah yang didapat dari pemerasan kepada rakyat petani di tanah koloni mereka. Yang terakhir ini sering dilupakan. Banyak Ada bau darah, air mata dan keringat petani disana. Belanda bisa menguasai Nusantara itu karena ada uang (dana) dari kas pemerintah Hindia Belanda yang pastinya dari hasil tanam paksa keji juga. Jadi wilayah Indonesia yang luas seperti sekarang ini, juga dikarenakan sumbangan tenaga, darah, kengingat bahkan airmata para petani Indonesia. Petani adalah korban dan tulang punggung utama utama tanam paksa. Mereka menanam, mereka menyetor lebih dari 1/5, mereka juga menderita dan tetap miskin. Dengan Uang kas kolonial dari para petani itulah yang membuat KNIL bisa menghabisi musuh pemerintah dan menguasai Indonesia. Perut rakyat akan kenyang kalau ada petani yang banyak tanam padi. Dan wawasan rakyat jadi luas karena ada pelaut yang berbagi pengalamannya. Memang terdengar konyol. Tapi itulah adanya. (Terimakasih atas diskusi hari ini anak-anak… Kalian keren!!!)

Minggu, Oktober 27, 2013

Sedikit Darah Pribumi di Tubuh Legercommandat KNIL

Barangkali, kaum kolonialis rasis harus menangis karena ada darah pribumi yang ikut memimpin Hindia Belanda. Bahkan posisinya adalah Legercommandant KNIL. 

Namanya Gerardus Johanes Barenschoot. Karena dia orang penting di Koninklijk Nederlansch Indisch Leger  (Tentara Kerajaan Hindia Belanda: kita singkat saja KNIL), maka namanya harus disebut juga dalam sejarah militer Hindia Belanda. Gedenkschrift Koninklijk Nederlansch Indisch Leger (1830-1950) mencatat nama dan kiprahnya sebagai perwira KNIL. 
Terlahir sebagai anak perwira KNIL. Ayahnya Letnan Kolonel Geritts Hendrik Barenschoot. Ibunya adalah Florance Mildred Rappa. Di kota Solok, Sumatra Barat, pada 24 juli 1887, dia terlahir. Hidup sebagai anak perwira KNIL tentu membuatnya terbiasa dengan kehidupan militer Hindia. Prajurit dan perwira KNIL terbiasa berpindah-pindah tugas. Sejak kecil, Barenschoot tentunya terbiasa.
Namanya Gerardus Johanes Barenschoot. Karena dia orang penting di Koninklijk Nederlansch Indisch Leger (Tentara Kerajaan Hindia Belanda: kita singkat saja KNIL), maka namanya harus disebut juga dalam sejarah militer Hindia Belanda. Gedenkschrift Koninklijk Nederlansch Indisch Leger (1830-1950) mencatat nama dan kiprahnya sebagai perwira KNIL. Terlahir sebagai anak perwira KNIL. Ayahnya Letnan Kolonel Geritts Hendrik Barenschoot. Ibunya adalah Florance Mildred Rappa. Di kota Solok, Sumatra Barat, pada 24 juli 1887, dia terlahir. Hidup sebagai anak perwira KNIL tentu membuatnya terbiasa dengan kehidupan militer Hindia. Prajurit dan perwira KNIL terbiasa berpindah-pindah tugas. Sejak kecil, Barenschoot tentunya terbiasa.
Barenschoot mungkin tak terlalu merasakan nikmatnya jadi anak kolong seperti dalam Burung-burung Manyar karya Romo Mangun. Karena anak pejabat Eropa, sudah tentu Barenschoot muda bisa sekolah hingga di SMA macam Hogare Burger School. Di usia yang ke 15 tahun, dia dikirim ke Negeri Belanda. Tentunya juga memenuhi harapan orang tua terpandang masa itu, agar anaknya dapat pendidikan yang layak.
Dia sempat belajar ke di Sekolah Kadet Alkmaar lalu masuk Koninklijk Militaire Academie  (Akademi MIliter) Breda. Lulus dari sana pada tahun 1907, Barenschoot jadi Letnan Dua KNIL. Dirinya pernah berdinas di Aceh yang penuh bahaya bagi KNIL Belanda, pada 1910-1915. Setelahnya dia pernah dikirim ke Hogare Krijgschool, semacam sekolah lanjut perwira.
Karir militernya tergolong baik. Dia dianggap sebagai orang yang paham organisasi. Ini tidak mengherankan, karena Barenschoot adalah lulusan no satu di angkatannya waktu di KMA Breda. Dia dikenal sebagai perwira yang cerdas, seperti halnya Spoor.
Tahun 1934, setelah 27 tahun dinas di KNIL, akhirnya Barenschoot diangkat menjadi  Kepala staf (Jenderal) KNIL, semacam orang nomor dua di KNIL. Dia mengisi posisi ini cukup lama, hingga tahun 1939. Sementara orang nomor satu di KNIL alias panglima tertinggi KNIL atau Legercommandant  adalah M Boerstra. Kemungkinan pangkat Barenschoot Jendral Mayor, karena Legercommandant berpangkat Letnan Jenderal.
Barenschoot mungkin tak terlalu merasakan nikmatnya jadi anak kolong seperti dalam Burung-burung Manyar karya Romo Mangun. Karena anak pejabat Eropa, sudah tentu Barenschoot muda bisa sekolah hingga di SMA macam Hogare Burger School. Di usia yang ke 15 tahun, dia dikirim ke Negeri Belanda. Tentunya juga memenuhi harapan orang tua terpandang masa itu, agar anaknya dapat pendidikan yang layak. Dia sempat belajar ke di Sekolah Kadet Alkmaar lalu masuk Koninklijk Militaire Academie (Akademi MIliter) Breda. Lulus dari sana pada tahun 1907, Barenschoot jadi Letnan Dua KNIL. Dirinya pernah berdinas di Aceh yang penuh bahaya bagi KNIL Belanda, pada 1910-1915. Setelahnya dia pernah dikirim ke Hogare Krijgschool, semacam sekolah lanjut perwira. Karir militernya tergolong baik. Dia dianggap sebagai orang yang paham organisasi. Ini tidak mengherankan, karena Barenschoot adalah lulusan no satu di angkatannya waktu di KMA Breda. Dia dikenal sebagai perwira yang cerdas, seperti halnya Spoor. Tahun 1934, setelah 27 tahun dinas di KNIL, akhirnya Barenschoot diangkat menjadi Kepala staf (Jenderal) KNIL, semacam orang nomor dua di KNIL. Dia mengisi posisi ini cukup lama, hingga tahun 1939. Sementara orang nomor satu di KNIL alias panglima tertinggi KNIL atau Legercommandant adalah M Boerstra. Kemungkinan pangkat Barenschoot Jendral Mayor, karena Legercommandant berpangkat Letnan Jenderal.
Tahun 1939, Barenschoot pun jadi orang nomor satu di KNIL. Dia adalah Legercommandant KNIL pertama yang punya darah pribumi. Ketika Barenschoot menjadi legercommandant, 1940, Negeri Belanda diduduki Jerman. Dan Barenschoot harus kerjakeras menghadapi ancaman yang bakal timbul dari Jepang di Pasifik. Delegasi militer Inggris dan Amerika dalam konferensi senang sekali pada Barenschoot yang mewakili HIndia Belanda. Setelah dua tahun menjabat Legercommandant, Barenschoot tutup usia karena kecelakaan pesawat pada oktober 1941 di Kemayoran, Betawi. Kemungkinan dia dimakamkan di sekitaran Batavia.
Tahun 1939, Barenschoot pun jadi orang nomor satu di KNIL. Dia adalah Legercommandant KNIL pertama yang punya darah pribumi. Ketika Barenschoot menjadi legercommandant, 1940, Negeri Belanda diduduki Jerman. Dan Barenschoot harus kerjakeras menghadapi ancaman yang bakal timbul dari Jepang di Pasifik. Delegasi militer Inggris dan Amerika dalam konferensi senang sekali pada Barenschoot yang mewakili HIndia Belanda. Setelah dua tahun menjabat Legercommandant, Barenschoot tutup usia karena kecelakaan pesawat pada oktober 1941 di Kemayoran, Betawi. Kemungkinan dia dimakamkan di sekitaran Batavia.
Kalangan Indo—yang statusnya lebih rendah dari Belanda totok namun tak mau disamakan dengan pribumi biasa—tentu saja sangat senang. Meski secara hukum Barenschoot diakui sebagai orang Belanda, dia masih punya sedikit tetesan darah pribumi dalam tubuhnya. Hal ini nampaknya tidak disukai orang-orang Belanda yang anti dengan orang-orang Indo Belanda yang mulai cerewet Hindia Belanda, baik pada pemerintah colonial Belanda maupun kaum pribumi. Mereka merasa jika Hindia Belanda adalah tanah air kaum Indo. 
Dalam strata tertinggi militer Belanda, khususnya KNIL, Barenschoot dianggap orang Indo pertama. Ada setetes darah keturunan orang pribumi dalam KNIL yang rasis. Dimana mayoritas pribumi hanya bisa jadi spandrig (prajurit) lalu sedikit kopral dan lebih sedikit lagi sersan, apalagi Letnan.  Paling tingga orang Indonesia hanya jadi Letnan Kolonel di dinas kesehatantentara regular, bukan posisi komandan satuan tempur.
Orang-orang rasis perancang kolonialis yang ingin kemurnian ras dalam struktur komando atau pemerintah HIndia Belanda nampaknya harus menangis karena tak bisa menghindari darah pribumi Barenschoot masuk dalam hirarki.
Kalangan Indo—yang statusnya lebih rendah dari Belanda totok namun tak mau disamakan dengan pribumi biasa—tentu saja sangat senang. Meski secara hukum Barenschoot diakui sebagai orang Belanda, dia masih punya sedikit tetesan darah pribumi dalam tubuhnya. Hal ini nampaknya tidak disukai orang-orang Belanda yang anti dengan orang-orang Indo Belanda yang mulai cerewet Hindia Belanda, baik pada pemerintah colonial Belanda maupun kaum pribumi. Mereka merasa jika Hindia Belanda adalah tanah air kaum Indo. Dalam strata tertinggi militer Belanda, khususnya KNIL, Barenschoot dianggap orang Indo pertama. Ada setetes darah keturunan orang pribumi dalam KNIL yang rasis. Dimana mayoritas pribumi hanya bisa jadi spandrig (prajurit) lalu sedikit kopral dan lebih sedikit lagi sersan, apalagi Letnan. Paling tingga orang Indonesia hanya jadi Letnan Kolonel di dinas kesehatantentara regular, bukan posisi komandan satuan tempur. Orang-orang rasis perancang kolonialis yang ingin kemurnian ras dalam struktur komando atau pemerintah HIndia Belanda nampaknya harus menangis karena tak bisa menghindari darah pribumi Barenschoot masuk dalam hirarki.