Senin, Maret 26, 2012

Angkringan dan Bu Siti

Jogja punya semuanya: buku murah, makanan murah, enak dan sehat. Itu sudah cukup buat saya.

Semua sepakat Jogja adalah pelajar. Sedari dulu memang begitu. Barangkali sebelum ada film Cintaku di Kampus Biru. Isinya jelas bukan melulu orang mapan. Pelajar atau mahasiswa jelas bukan orang mapan. Mereka masih mengemis dari orang tua mereka. Di Jogja, mahasiswa adalah mahluk yang jauh dari rumah. Jauh dari orangtua membuat kondisi kacau kantong. Banyak mahasiswa tak sanggup atur kantong mereka dengan benar.
Seperti  manusia lain, mahasiswa juga butuh makan. Makanan murah, enak dan kalau bisa sehat adalah impian mahasiswa Jogja yang jauh dari rumah orang tua mereka. Tidak sulit mencari makanan murah di Jogja. Di sekitar kampus, selalu ada warung makan murah meriah.
Ada ratusan warung murah meriah menyebar di penjuru Jogja. Di Bulaksumur, Karangmalang, Mrican, Babarsari, Seturan dan titik-titik kampus lainnya. Warung murah tadi belum termasuk Angkringan yang menyebar hampir di semua penjuru Jogja.

Ayo Ngangkring!
Setiap tanggal tua, angkringan adalah sahabat. Mahasiswa yang mendadak kere, bisa temukan nasi kucing disini. Nasi kucing adalah nasi putih biasa. Lauknya bisa kering tempe, sambel teri atau oseng-oseng lainnya. Porsinya jelas porsi makan kucing. Tidak banyak, hanya segenggem tangan orang dewasa. Nasi kucing sangat disukai orang yang makannya sedikit. Tapi, kurang bagi orang yang biasa makan banyak seperti saya.
Harga nasi kucing, setahun silam, 2011, masih Rp 1.000 tiap bungkusnya. Harga gorengan masih Rp 500 saja. Entah sekarang. Sebelum tahun 2011 kebawah tentu harganya lebih miring lagi. Tahun 2002, ketika saya baru masuk kuliah harga nasi kucing Cuma Rp 500 dan gorengan masih Rp 200 saja. Selain menyediakan nasi kucing,
Angkringan, meski harga makannya murah, tetap saja pengunjungnya tidak melulu orang-orang bokek. Angkringan sediakan teh hangat, teh jahe hangat, kopi dan sate usus. Semua menu itu disukai pengunjung. Para bekas mahasiswa Jogja yang sudah mapan, biasanya masih rindu dengan hidangan angkringan.
Angkringan, selain tempat makan, bisa jadi tempat berkumpul bagi mahasiwa. Angkringan kadang menyediakan lesehan dengan menggelar tikar di pekarangan belakang gerobak angkringan. Entah diskusi soal pelajaran di bangku kuliah, rapat organisasi, atau sekedang nongkrong. Ada juga yang pacaran di lesehan angkringan.
Angkringan jadi bagian sejarah penting para mahasiswa dan pendidikan di Jogja. Ada banyak proses pembelajaran disana. Angkringan juga punya sejarahnya sendiri.


Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan. Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta. Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja. Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula. (http://sekedar-tahu.blogspot.com/2010/01/sejarah-angkringan.html)


Jogja seperti surga bagi saya waktu kuliah dulu. Buku murah, karena banyak penerbit dan fotocopy buku bajakan. Makanan juga murah, karena angkringan dimana-mana. Angkringan Temon & Felix di dekat kampus saya adalah angkringan yang tidak saya lupakan.


Bu Siti Im Coming
Warung nasi murah meriah tersebar di penjuru Jogja juga sangat penting dalam kehidupan mahasiswa. Warung-warung itu baru tutup ketika mahasiswa mudik. Biasanya ketika lebaran. Jangan harap temukan warung kala lebaran.
            Warung-warung nasi itu biasanya sediakan nasi sayur dan aneka lauknya. Mulai dari tempe, perkedel, ikan, daging ayam dan sapi. Biasanya harganya miring. Seperti warung tegal, namun dengan rasa yang tidak terlalu asing seperti warung tegal. Jogja identik dengan rasa manis. Seperti karakter para penghuninya.
            Sebagai bagian dari mahasiswa kere, saya punya langganan warung nasi. Murah meriah, enak dan sehat menurut saya. Benar-benar harga mahasiswa. Setahun silam, dengan uang Rp 5.000 saya bisa makan nasi sayur, ayam dan juga jus buah. Ini warung prasmanan, jadi kita bisa ambil nasi sayur sesuka kita. Tentu saja, saya ambil nasi dan sayur agak banyak seperti kuli. Karena kadang tidak yakin bisa makan atau tidak setelahnya.  
            Kami semua, para pelanggan biasa panggil si pemilik warung Bu Siti. Saya tidak tahu nama lengkapnya. Pastinya dia berjilbab dan tak pernah diam di warungnya. Warung ini semula di daerah Sagan, dekat Galeria Mall. Setelah itu sempat pindah ke komplek perumahan dosen UGM di Bulaksumur. Terakhir di Deresan.
            Saya pertama kali makan disini atas ajakan kawan. Sekitar tahun 2008, ketika insyaf ingin lulus kuliah. Berhubung BU Siti banyak punya pelanggan lecek seperti saya, dia mengira saya langganan lama. Dia pernah tanya kapan saya kuliah. Dan dia menyangka saya langganan sejak 2002. Dia selalu panggil saya Mbah Kakung.
            “Mbah Kakung, dari 2002 sekarang gak pernah berubah. Tetap lecek aja.” Begitu setiap kali Bu Siti menyambut kedatanga saya di warungnya. Kami akrab seperti bukan orang lain. Biasanya, orang yang datang bersama saya ke warung itu akan tertawa. Apalagi adik-adik angkatan. Saya pelanggan tertua disana. Saya bangga jadi pelanggan Bu Siti.
            Walau pacar berganti, Warung Bu Siti tetap warung tetap tempat makan saya. Murah, enak dan sehat—menurut saya. "Bu Siti Im Coming!!".

Alam Seperti Buku Pesta dan Cinta

Jangan mengaku anak muda kalau tak pernah camping. Jadi belajarlah tentang hidup bersama Alam kebesaranNya, jika merasa DIA ada.

Tidur nyenyak di rumah yang nyaman memang yang terbaik. Namun, hidup di alam terbuka juga sesuatu yang wajib dicoba juga. Ini bukan perkara penyiksaan diri yang asketis. Banyak manusia yang tak menyadari bahwa dalam ketidaknyamanan ditemukan kenyamanan dan kebahagiaan yang barangkali nikmat tiada tara.
            Semua percaya alam memberikan segalanya. Manusia hidup (bergantung) dari alam. Alam adalah sumber banyak hal. Alam adalah inspirasi, seperti pujangga-pujangga dulu. Orang beragama percaya Alam adalah kebesaran Illahi yang patut disyukuri.
            Menyatu dengan alam adalah perlu. Manusia memang harus bersahabat dengan alam, karena manusia hanyalah penumpang yang dititipi Illahi. Jadi, penting bagi manusia untuk menjaga titipan Illahi tadi.

Kenali Atau Tersiksa
Manusia memang mahluk sosial. Dimana manusia punya konsekuensi yang tak bisa dihindari, yakni berinteraksi dengan manusia lain. Dimana interaksi-interaksi itu belum tentu menyenangkan. Manusia boleh jadi kawan yang belum tentu baik, tapi alam sebenarnya selalu siap menjadi kawan yang baik juga. Asalkan kita bisa bersahabat dengan alam.
            Alam bisa memberi banyak manfaat jika kita mau belajar dan bersahabat dengannya. Sebaliknya, alam akan menyiksa manusia jika manusia tak mau belajar dan bersahabat dengannya. Lihat saja banjir yang dikarenakan ulah manusia, jelas karena mereka tidak bia bersahabat dengan alam. Siksaan alam jauh lebih pedih. Keacuhan kita pun bisa jadi alasan alam menyiksa kita.
            Jika kita tersesat dalam hutan, adalah kondisi dimana kita dituntut bisa bersahabat dengan alam. Jika kita mengenali alam kita maka kita akan selamat. Sebaliknya jika kita tak mengenali alam hutan itu, kita hanya dirundung ketakutan dan kemalangan. Hingga hutan menjadi siksaan.
            Ada banyak cara belajar mengenai Alam. Bukan harus dari buku atau pelajaran biologi di sekolah. Tidak semua orang suka buku atau belajar di kelas dimana menghafal adalah metode terbaik.Turun langsung adalah lebih baik.
            Camping di alam terbuka jelas hal menyenangkan bagi mereka yang suka alam terbuka. Meksi hanya berawal dari suka, sebenarnya ketika camping, tanpa sadar kita akan belajar perlahan dan menyenangkan tentang alam. Cinta membuat manusia belajar apasaja tentang yang dicintainya, tanpa menyadari dirinya sedang belajar. Rasa cinta pada alam membuat Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) mana pun belajar banyak hal tentang alam. Tidak heran, karena cintanya pada alam banyak mapala-mapala bertahan lama di kampusnya dengan berbagai alasan yang mereka miliki. Tak ada yang mengalahkan rasa cinta dalam hal ini.
            Camping, mengajari banyak hal bagi remaja atau penikmat alam pemula. Di alam, kita akan belajar tentang kemandirian. Manusia dituntut untuk tidak bergantung pada orang lain. Dia harus bisa mengatasi masalah dan tantangannya sendiri, tanpa bantuan orang lain. Ada kalanya, manusia dihadapkan pada kesendirian. Berharap bantuan orang lain adalah salah, yang benar adalah kita menolong diri kita sendiri dalam kesendirian. Jika kita mandiri mampu menjaga diri sendiri maka kita akan bisa menolong orang lain yang membutuhkan. Ini bukan membuat kita menjadi egois, melainkan menjauhkan diri dari sikap manja. Hidup di alam terbuka bukan di hotel mewah pastinya.
            Kita juga akan belajar bertanggungjawab pada apapun. Mulai dari diri kita sendiri, pada apapun yang kita bawa dan juga pada Alam. Jika kita camping, kita akan berusaha menjaga keselamatan kita, mulai dari diri kita sendiri dan bersama. Kita juga akan bertanggungjawab pada apapun yang kita bawa. Jika kita meninggalkan atau kehilangan panci atau kompor kita terancam kelaparan. Jika meninggalkan baju hangat kita akan kedinginan. Lapar dan dingin di atas gunung tinggi bisa mengakibatkan kematian. Disinilah tanggungjawab itu perlu. Selain itu, kita harus bertanggungjawab pada alam dengan tidak merusak tanaman-tanaman yang kita lewati dan tidak meninggalkan sampah. Merusak alam berarti merusak masa depan kedamaian manusia juga. Mengotori alam terbuka akan merusak pemandangan alam di masa depan. Dimana kita tak temukan lagi pemandangan indah di masa depan. Itulah mengapa tanggungjawab perlu dan bisa mempelajarinya dari camping.
            Camping mengajarkan untuk berbagi juga. Dalam kondisi mapan diatas gunung, para pendaki biasanya mau menolong pendaki lain. Jika seorang pendaki bisa mandiri dan agak berlebih, biasanya pendaki rela berbagi makanan. Apalagi dengan sesame kawan camping. Akan ada waktu berbagi.
            Tanpa disadari, camp melahirkan persahabatan juga. Semua orang di dalam camp adalah kawan. Begitu diantara pendaki, semua pendaki sejatinya adalah kawan. Begitulah Alam bisa mendamaikan dan mengeratkan semua manusia yang menikmati Alam.
            Untuk pergi ke lokasi camping, diperlukan keterampilan yang agak dianggap sepele seperti membaca peta dan kompas, memasak, membangun camp, mencari lokasi camp dan lainnya. Kita bisa bertanya pada orang-orang yang berpengalaman camping. Kita bisa mempelajarinya pelan-pelan sambil camping tentunya.
Jika kita tahu bagaimana hidup di alam terbuka maka camping menjadi hal menyenangkan. Camping akan membuat seseorang pemuda untuk siap menghadapi banyak masalah di masa depan dengan sigap.

Bercermin pada Gie
Pemuda turunan Tionghoa ini bukan raja camping. Dia semacam resi (orang bijak) dalam hal camping di gunung. Menikmati alam adalah hal yang sering dia lakukan. Bersama teman dan kadang dengan pacarnya, jika ada. Gie, nama lengkapnya Soe Hok Gie, bukan penjelajah macam Sir Edmond Hillary.  Gie suka naik gunung. Dia naik bersama kawan-kawannya.
            Naik Gunung adalah salah satu contoh bersahabat dengan alam juga. Naik gunung membuat seseorang bisa mandiri, bertanggungjawab dan berjiwa sosial juga. Jangan heran jika beberapa komunitas menjadikan gunung sebagai tempat perploncoan. Dimana anggota komunitas baru belajar dan diajarkan bagaimana menghadapi hidup yang sebenarnya. Dan biasanya, para calon anggota itu akan dilantik sebagai anggota di puncak gunung.
            Selain tempat belajar, bagi Gie camping dan gunung adalah untuk mereka yang ingin damai. Bukan lari dari kenyataan. Tapi bagaimana mencari kekuatan dari alam yang Tuhan limpahkan di segala penjuru alam. Bersahabat dengan alam akan memberikan kekuatan pada kita. Gunung atau alam terbuka membuat Gie merasa nyaman dan bisa berisitirahat dari ketidaknyamanan Indonesia dimasa orde baru.
            Seperti  pemuda lain, Gie juga bisa berhura-hura seperti kawan-kawannya. Seperti pesta. Nikmati alam adalah sebuah kecintaan tersendiri. Dan cinta itu, bagi yang mau percaya katanya, akan bisa ditemukan ketika menikmati alam. Gie menemukannya.
            Alam memberi banyak hal pada kita. Kita bisa memperoleh pengetahuan seperti membaca buku. Alam mampu membuat sekumpulan manusia bahagia layaknya sebuah pesta tanpa akhir. Dan manusia akan menemukan suasana menyenangkan di alam terbuka layaknya orang jatuh cinta. Ya, alam itu ibarat buku, pesta dan cinta.

Sepanjang Jalan Sudirman

Sepanjang jalan Sudirman, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan Sudirman kau peluk diriku mesra

Jalan ini begitu lebar. Aspalnya hitam dan mulus. Nyaris tanpa lubang. Ditengah jalan ada pepohonan atau taman mungil. Di sisi kanan kirinya ada trotoar. Jalan ini pasti jalan ramai di sebuah kota.

Hampir setiap kota di Negeri ini punya jalan ini. Meski hanya beberapa kilometer saja. Jalan ini begitu ramai. Biasanya, beberapa kantor pemerintahan atau perusahaan besar ada di jalan ini. Pasar rakyat atau mall juga di jalan ini.

Jalan Protokol

Nyaris semua warga kota pasti pernah melintasinya. Entah untuk pergi ke kantor, pasar, sekolah atau yang lainnya. Jalan ini tak pernah sepi setiap harinya. Minggu pagi, meski lengang, ada saja yang melintas. Entah orang jogging atau pedagang keliling. Minggu pagi memang waktu yang tepat jalan-jalan pagi bersama yang tersayang atau binatang kesayangan.

Jalan ini, sedari dulu umumnya sudah jadi jalan penting. Dari zaman Ratu (Belanda) jadi penguasa Nusantara—nama Indonesia sebelum ada istilah Indonesia. Jalan ini sengaja dibuat lebar. Sebagai jalan penting, jalan ini sering dipakai parade. Di jaman kolonial dulu tiap 31 Agustus. Dan berubah jadi 17 Agustus setelah Republik Indonesia berkuasa.

Di tiap kota, di masa lalu nama jalan ini berbeda. Suka-suka siapa yang berkuasa. Di jaman kolonial dulu pakai nama Belanda pastinya. Entah nama raja atau ratu, atau nama tempat di Negeri Belanda sana.

Waktu Indonesia merdeka, nama jalan itu otomatis berubah juga. Tentu saja atas nama Nasionalisme. Nama jalan yang semula memakai nama asing diubah jadi nama-nama Indonesia. Begitulah era Sukarno.

Nama jalan besar itu bukan sekali dua kali berganti. Setelah Sukarno—salah seorang pendiri Negara Indonesia—ditumbangkan secara terselubung, nama-nama jalan berubah lagi. Nama-nama Jenderal pun banyak dipakai. Tak ada Jenderal, nama Kolonel, Letnan Kolonel, Mayor dan lainnya juga boleh dipakai. Jika perlu nama kopral pun dipakai juga.

Sukarno merubah nama jalan, itu perkara identitas. Demi sebuah negeri yang disebut Indonesia. Sementara itu, Suharto—dengan sok heroik—merubah nama jalan menjadi nama-nama serdadu. Suharto, tanpa sadar merusak Indonesia dengan membohongi rakyat dengan memperbanyak nama jalan dengan memakai nama serdadu. Seolah-olah jaman revolusi dulu yang berjuang dan menderita hanya serdadu TNI. Nyatanya banyak pejuang non tentara. Mereka ogah jadi tentara bahkan ketika mereka ditawari jadi tentara.

Jika Sukarno ubah nama jalan karena perkara identitas, maka Suharto ubah nama jalan karena perkara politis. Jelas sekali terasa. Nama jalan berbau militer. Dia ingin memperkuat pengaruh militer dalam semua lini kehidupan agar kekuasaannya terjaga. Tidak heran nama jalan protokol ini penting bagi penguasa.

Sebagai Dagangan Historis

Yani, Letnan Jenderal Ahmad Yani, sebenarnya rival terselubung Ahmad Yani. Yani adalah orang yang berbahaya bagi karir militer Suharto. Banyak orang yakin jika masih hidup, dan Sukarno meninggal, maka Yani adalah Presiden Indonesia. Tapi berhubung Yani tewas, maka Suharto naik.

Orde Baru ikut memuji Yani. Rivalitas tak perlu diingat. Sebagai korban penculikan pasuka G 30 S pimpinan Letkol Untung, nama Yani sangat menjual bagi kampanye anti-komunis yang dilancarkan Orde Baru. Jualan orde baru adalah antikomunisme. Semua orang komunis dihabisi hidup dan penghidupannya. Orang-orang yang tidak disukai, entah karena bersebrangan dengan Suharto atau pendukung setia Sukarno, tinggal dicap komunis saja. Selanjutnya, habislah mereka atau setidaknya masuk kerangkeng orde baru.

Nama Yani diabadikan agar semua orang memusuhi orang-orang kiri (termasuk komunis) dan Suharto punya banyak pengikut. Sehingga kekuasaan Suharto aman. Nama jenderal lain adalah D.I Panjaitan—yang tidak suka pada Suharto dengan menolak Suharto sebagai ketua senat di Seskoad karena kasus korupsi Suharto di Jawa Tengah. Beruntung juga Suharto akhirnya, seperti Yani juga, Panjaitan diculik pasukan Untung. Nama Panjaitan harum dan Suharto semakin merajalela.

Nama-nama Pahlawan revolusi adalah paling laris. Namun, seperti dalam hirarki militer, maka harus ada nama Jenderal yang harus disebut. Tentu saja ini bukan Jenderal sembarangan. Nama Sudirman pun diangkat sebagai nama jalan. Sudah pasti ini jalannya bagus. Jalan yang mulus dan lebar. Rasanya selalu nama jalan protocol di kota-kota di Indonesia.

Orde baru memang orde militer. Kebanyakan pemimpin dan juga nama-nama jalan adalah nama orang militer. Orde baru memang bau kacang ijo.

Jalan Kenangan

Jalan punya banyak peran dalam hidup manusia. Dimana banyak manusia melintas. Sejarah juga melintas disana.

Jalan Sudirman di Jakarta jelas penting. Gedung-gedung perkantoran mengapit di dua sisi. Untuk memperjelas nama jalan itu Jalan Jenderal Sudirman, maka sebuah patung Jenderal Sudirman dibangun disana.

Di kota lain pun hampir serupa, setidaknya jadi pusat keramaian. Jalan Jenderal Sudirman pun memang sohor. Tak ada Jalan Jenderal Sudirman pun, dia tetap kesohor dan jadi idola. Entah di kalangan orang Muhamadiyah, karena Sudirman guru di sekolah Muhamadiyah. Juga sebagian kalangan prajurit. Dalam sejarah perang, Sudirman adalah Jenderal yang memimpin perang dengan satu paru-paru.

Jalan menyimpan banyak memori. Ribuan kenangan banyak orang tersimpan disana. Mulai dari yang kecelakaan lalu-lintas, ditilang Polantas, kecopetan atau yang lainnya. Bagi yang kasmaran, pasti akan ingin melintasi jalan itu bersama pasangannya. Naik sepeda motor, sepeda, angkot, jalan kaki pun tak masalah asal gandengan. Ada yang masih sekedar khayalan atau sudah jadi kenyataan. Dan, jalan Sebagian warga kota biasanya punya kenangan tertentu disana. Semua kenangan itu juga tak lepas adanya fungsi jalan dalam tataran pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.

Jalan Sudirman pun tak lagi perkara identitas seperti Sukarno; perkara politis seperti Suharto, tapi juga perkara romantis bagi sebagian warga kota. Tinggal pelesetkan lirik sebuah lagu lawas: “sepanjang jalan kenangan, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra” menjadi “sepanjang jalan Sudirman, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan Sudirman kau peluk diriku mesra”

Sepanjang Jalan Sudirman menyimpan kenangan. Barangkali ini yang paling berkesan bagi banyak orang. Jalan bukan perkara identitas apalagi perkara politis, ini perkara romantisme dan pragmatisme juga. Jalan penuh kenangan.