Senin, Maret 17, 2008

Ada Westerling di Veteran I Jakarta

Saya pernah menulis tentang Westerling beberapa tahun silam. Tulisan itu sekarang telah menjadi buku yang membatalkan kelulusan saya. Suatu kali, ketika ada pertemuan di sebuah kafe bernama Matahari Lounge,di Jalan Veteran I Jakarta Pusat, Taufik Rahhzen bilang pada saya bahwa kafe ini dulu bernama Black Cat Noir atau Au Chat Noir. Saya kaget, karena ditempat itu Westerling pernah berkunjung dan bersembunyi dari kejaran TNI.
Saya hanya menulis itu di buku saya, tapi saya belum tahu persis dimana tempat itu sebelumnya. Saya langsung terbayang sosok kejam menakutkan itu lagi.Padahal saya berusaha melupakannya dari hidup saya. Tapi itu akan sulit. Karena saya selalu bertemu dengan namanya ketika menulis naskah sejarah, yang sudah jadi bagian hidup saya.

Matahari Lounge, sebelumnya pernah bernama Cuba Libre masih menyimpan sejarahnya. Bulan Januari 1948, di tempat yang dulunya bernama Au Chat Noir (atau juga disebut Black Cat Noir)ini, dua nama yang dianggap hitam dalam sejarah Indonesia bertemu. Mereka adalah Kapten komando Belanda bernama Westerling dan satunya lagi adalah Sultan Hamid II dari Pontianak. Hamid, yang kerap disapa Max, bukan orang baru di kalangan orang Belanda masa itu. Dia bekas perwira KNIL dengan pangkat Letnan Satu sebelum Perang Pasifik. Hamid juga ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan. Masuknya NICA ke Indonesia, serta pembunuhan balatentara Jepang terhadap Keluarga Kesultanan Pontianak, membuat Hamid memegang tahta Kesultanan keturunan Arab itu.
Artinya, pertemuan dua orang yang kesohor karena pemberontakan APRA di Bandung dan Jakarta itu berawal di kafe yang sekarang bernama Cuba Libre ini.
Di tempat ini, Westerling bisa mengobrol dengan orang-orang berpengaruh, juga mencari informasi intelejen karena naluri intelejen Westerling juga menginginkannya. Hamid, yang mungkin sudah dicap Belanda juga bisa mengobrol dengan orang-orang Belanda atau orang-orang berpengaruh lainnya. Bergaul dengan orang Belanda tuntutan bagi Hamid, karena istri Hamid juga wanita Belanda berambut blonde.
Disini juga Hamid bisa meneguk minuman favoritnya, Jenewer. Tidak diketahui secara pasti berapa kali Westerling dan Hamid berkunjung dan bertemu di kafe tersebut. Mereka berdua orang sibuk yang kerap meninggalkan Jakarta. Hamid harus mengurusi Kesultanan Pontianak, walau jauh diluar Pontianak. Hamid Juga memimpin BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg: Persekutuan Negara Federal yang d) Menjelang Pengembalian Kedaulatan RI 1949, Hamid lebih sibuk lagi karena harus menghadiri beberapa pertemuan penting. Salah satunya Konferensi Meja Bundar untuk mewakili BFO.
Harus saya akui tempat itu begitu penting dalam sejarah. Mungkin sebelum mahluk bernama Westerling muncul di tempat itu. Matahari Lounge akhirnya menjadi tempat penting juga untuk saya. Senang sekali jika buku saya diobrolkan ditempat bersejarah. Dimana sosok yang yang pernah saya tulis itu pernah terpuruk. Setiap ke tempat itu saya selalu membayangkan Westerling tersenyum menyembunyikan semua kekejaman yang mengotori hidupnya.

Darsono Si Panah Beracun


Darsono berusia 19 tahun ketika bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Semuanya bermula ketika Darsono hadir dalam persidangan Sneevliet. Darsono begitu kagum kepada orang Belanda itu. Awalnya Darsono sempat ragu pada perjuangan Sneevliet membela rakyat. Begitu mengetahui Sneevliet bekerja di Kantor Dagang bergaji f 1.000 sebulan, Darsono semakin menaruh hormat pada pria Belanda pembebas kaum miskin Asia itu. Persidangan itu juga mempertemukan Darsono dengan Semaoen. Darsono diajak Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam Semarang. Darsono yang melihat tidak ada jawaban atas pergulatan dirinya dalam Islam, Kristen maupun Budha, melainkan sosialisme. Sebuah dunia yang dia pilih untuk warnai masa mudanya.
Catatan sejarah atas diri Darsono sangat jauh dari cukup. Di diperkirakan 1897 tempat lahirnya tidak diketahui. Ayahnya seorang pegawai negeri, karenanya Darsono mampu mengenyam bangku sekolah. Darsono akrab dengan kehidupan petani karena pergaulanya dengan anak-anak petani ketika masih bocah.
Setamat dari sekolah pendidikan pertanian Darsono bekerja di perkebunan tebu. Sebuah tempat dimana dia melihat kemiskinan dan sistem sosial yang buruk. Selama bekerja, Darsono meluangkan waktunya dengan membaca buku-buku yang dia perolehnya. Masa itu kehidupan kuli-kuli perkebunan yang buruk menjadi hal biasa.
Setelah usahanya untuk belajar di Sekolah Dokter Hewan gagal, Darsono kembali ke Semarang. Sampai akhirnya hadir dalam persidangan Sneevliet dan bertemu Semaoen yang kemudian menempatkannya dalam redaksi Sinar Djawa mulai 27 Februari 1918 pada bagian telegram.
Menurut Darsono, rakyat Jawa masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan artikel-artikel yang berani. Tulisan yang terlalu ilmiah tidak akan dimengerti oleh rakyat yang umumnya tidak pernah sekolah. Orang yang berani lebih diperlukan dari pada orang yang terdidik dan pandai. Cara yang tepat menurut Darsono adalah hantam kromo bukancara intelektual.
Keterlibatan Darsono dan Mas Marso yang cenderung kiri di Sinar Djawa membuat beberapa orang pergerakan yang kurang radikal gerah. Sejak 28 Februari 1918 satu persatu anggota redaksi Sinar Djawa seperti Mohammad Joesoef, Aloei juga Martowidjojo keluar. SI cabang semarang semakin lama semakin radikal dan cenderung menyerang golongan moderatnya yang kebanyakan menduduki posisi kunci dalam SI, termasuk Darsono sendiri.
Artikel Darsono adalah Giftige Waarheidspijlein (Pengadilan Panah Beracun) menulis: "Selama toemboeh-toemboehan bisa hidoep, SETAN OEANG, jang dengan rapi dilindoengi oleh pemerintah, soedah membikin sengsaranja ra'jat."

"Setan Oeang" istilah politik pada zaman pergerakan yang ditujukan kepada para pemilik modal atau pengusaha. Istilah ini mengacu pada segala bidang di mana modal dapat berkuasa, seperti pendidikan, perkebunan, ataupun pajak. Politik etis yang dicanangkan kaum etisi Belanda lebih banyak dimanfaatkan pemilik modal. Pengadaan sarana irigasi, edukasi dan migrasi lebih menguntungkan pemilik modal daripada memperbaiki kehidupan rakyat pribumi. Setiap perusahaan yang mengeksploitasi hasil bumi tanah Hindia tentunya hanya membutuhkan tenaga-tenaga murah. Tidak masuk akal bagi kaum pemilik modal mendatangkan tenaga kasar dari Eropa. Pastinya tenaga murah pribumi yang dibutuhkan oleh para pemilik modal alias Setan Oeang (kata Darsono).

Pemerintah kolonial hanya sebagai fasilitator dari "Setan Oeang". Banyak sekolah dibangun untuk menyediakan tenaga kerja murah yang dibutuhkan oleh pemilik modal untuk menggerakan produksi mereka di Hindia. Pemerintah telah mengadakan beberapa sekolah pribumi dengan kurikulum terbatas bagi rakyat pribumi calon buruh dari usaha milik Setan Oeang. Anak-anak pribumi jelata hanya dapat menikmati tweede klass (sekolah bumiputra klas dua tanpa bahasa Belanda) yang biasa disebut Sekolah Angka loro. Sebuah sekolah dengan masa belajarnya 3 tahun. Dimana mereka hanya dididik untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Lulusan macam inilah yang dibutuhkan oleh Setan Oeang. Darsono yang geram dengan kondisi semacam ini berkata:
"Djika saja berani membilangkan, bahwa hampir semoea sekolahan jang diadakan di Hindia sini tjuma boeat membesarkan keoentoengan setan oeang asing, itoelah sebenarnja djuga, itoelah boekan omong kosong. Sekolahan machinist boeat pabrik-pabrik atau spoor dan tram, kepoenjaan setan oeang asing. Sekolah opzichter begitoe djoega; sekolah dagang idem; opleiding school boeat ambtenaar idem; cultureschool di Soekaboemi idem; sekolah dokter setali tiga oeang, dan begitoe sebagainja .
Umumnya pengadaan sekolah berkualitas dengan standart yang mendekati Eropa oleh pemerintah kolonial hanya ditujukan kepada elit feodal. Pembatasan pendidikan non formal bagi rakyat pribumi melalui rapat-rapat umum dilarang Asisten Residen di kota Semarang. Pemerintah kolonial berupaya menutup rapat pintu kesadaran kaum kromo akan pentingnya pendidikan politik. Darsono bereaksi dengan kecamannya terhadap Asisten Residen Semarang:

" Pada tanggal 9 mei jang laloe di gedoeng Oost java bioscoop Semarang diadakan Openbare Vergadering oleh ISDV....idzin boeat itoe bermoela toean toean asistent resident dari kota Semarang mendjawab tidak boleh diadakan...kedoea...minta idzin lagi didjawab: boleh diadakan, akan tetapi orang jang terpeladjar dari kepala warga SI sadja jang boleh mengoendjoengi, sedang lain-lainnja orang masih bodo dilarang mendengarkan itoe vergadering....pengadjaran boeat ra,jat berdjalan begitoe pelan seperti keong (slak) dia maoe mengelarang si bodo boeat mendengarkan itoe vergadering jang dapat menambahkan kepandaian dan melebarkan pemandangannja".

Pemerintah kolonial enggan membuka sekolah-sekolah tinggi bagi kemajuan rakyat Hindia. Terlalu mahal bagi pemerintah kolonial untuk mendatangkan pengajar-pengajar dari Eropa yang bayarannya tinggi. Alasan lain yang lebih penting karena perkembangan modal tidak menuntut tenaga kerja bumiputra (yang murah) yang berpendidikan tinggi karena relatif masih bisa diatasi oleh orang Belanda sendiri yang terkadang didatangkan juga dari Negeri Belanda.
Bergabungnya Darsono dalam barisan kiri Sarekat Islam Semarang ikut mewarnai perjuangan kaum buruh di Hindia. Golongan kiri di Sarekat Islam Semarang inilah cikal-bakal PKI yang yang meneriakan kepentingan buruh-tani di Hindia. Ketika masih di SI cabang Semarang Darsono berusaha memperjuangkan keringanan pajak rakyat dan membebankan pajak yang lebih besar kepada kaum Setan Oeang. Masalah ini akan dibawa dalam Kongres Nasional Central Sarekat Islam ke-3 yang diadakan pada tanggal 29 September-6 Oktober 1918 di Surabaya.
Dengan uang yang dimiliki kaum Setan Oeang memaksa desa-desa menyewakan tanahnya untuk perkebuanan dengan memberikan premi tertentu kepada lurah-lurah. Sawah milik desa yang komunal yang sebelumnya dikelola oleh petani, dijadikan perkebunan dan menjadikan para penduduk sebagai kuli perkebunan. Dalam hal ini pemerintah lalai denngan nasib para petani ini. Lurah hanya menjadi bagian dari sistem saja dan membiarkan warganya sengsara. Semua ini tak lain untuk meningkatkan produksi gula. Pemerintah hanya bisa mendukung kemauan kaum Setan Oeang yang hanya mengeruk laba dari keringat tenaga pribumi dan kesuburan tanah Hindia..."
Serangan Darsono dalam Giftige Waarheidspijlein adalah serangan terhadap kebijakan-kebijakan kolonial terhadap rakyat tertindas di Hindia. Giftige Waarheidspijlein ditulis Darsono berdasar literatur yang pernah dibacanya. Salah satu bahan tulisan Darsono adalah Het Process Sneevliet (1917) yang menjadi bacaan wajib kaum pergerakan dan menjadi bacaan terlarang di sekolah-sekolah pemerintah. Tulisan Clive Day The Policy and Administration of the Deutch in Java (1904). Kedua bahan ini menjelaskan bahwa kemiskinan yang melanda mayoritas pribumi tidak terjadi tanpa sebab, tetapi memiliki proses sejarah yang panjang. Het Process Sneevliet menyatakan sumber kemiskinan dimulai oleh merkantilisme VOC (Vereniging Oost indische Compagnie, maskapai dagang Belanda terbesar di Nusantara sebelum abad XIX). Devide et Impera (politik pecah belah) VOC berlanjut dengan monopoli perdagangan dan pungutan pajak yang mencekik rakyat pribumi. Penguasa lokal dan bawahannya lebih banyak diam (mendukung) dan hampir semuanya hidup jauh dari derita yang dialami rakyatnya. Pemerintah kolonial tidak lebih dari panah beracun bagi kaum kromo yang miskin dengan kebijakan-kebijakan kolonialnya.
Karena tulisan dan kepemimpinannya, Darsono menjadi sosok yang menonjol dan menjadi orang penting kedua dalam kepemimpinan ISDV di Semarang. Kebiasaannya membaca buku menjadikan ahli dalam berteori di partai. Rivalitas Darsono dengan tokoh SI mapan macam Tjokroaminoto atau Abdoel Moeis bukan rahasia umum. Awal 1920 sebuah surat dari Komunis Internasional(Komintern) datang, isinya adalah menganjurkan bergabungnya ISDV dalam Komintern. Salah satu syaratnya adalah menggunakan nama terang partai komunis. Sebuah sidang yang panas dengan peserta 40 kemudian menerima peubahan nama tersebut. Perserikatan Komunis di Hindia pun lahir pada tanggal 20 Mei 1920. Inilah PKI generasi pertama yang juga terlibat dalam pergerakan nasional. Hanya saja perenan mereka kurang diakui sebagai kaum pergerakan.
Pada bulan Mei 1921 Ir Adolf Baars dibuang bersama Darsono keluar negeri. Dalam perjalanan, di Shanghai mereka bertemu Sneevliet yang menjadi wakil Komintern di Cina. Mereka lalu menuju Rusia. Ketika terjadi pemogokan besar-besaran di Jawa banyak tokoh-tokoh kiri ditangkap. Darsono berada diluar negeri ketika penangkapan itu terjadi. Hal ini membuat pemerintah kesulitan. Pada bulan November 1921 Darsono menghadiri Kongres Partai Komunis Belanda (Comunist Partij: CP) dan memberikan pidatonya. Darsono meminta diadakannya kerjasama antara PKI dengan CP.

Selama menjadi anggota PKI , Darsono pernah dicalonkan sebagai anggota Tweede Kamer (Majelis Rendah) tahun 1929 oleh Partai Komunis Belanda. Darsono didaftar urutan 3 dan Tan Malaka didaftar urutan 2, namun keduanya tidak terpilih. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kunjungan dan pidatonya pada kongres CP November 1921 sebelumnya. Karenanya Darsono juga cukup populer di Belanda. Apalagi Darsono juga cukup teoritis dalam pergerakan. Walau begitu Semaun dan Darsono kemudian keluar dari PKI kendati mereka masih memihak kaum yang tertindas. Banyak juga tokoh PKI angkatan 1920an yang menghilang dari peredaran perpolitikan pasca kemerdekaan Indonesia.
Darsono mendedikasikan hidupnya membela kaum yang tertindas dengan melawan Setan Oeang. Darsono masih percaya kekuatan pena mampu mengalahkan pedang. Tulisannya Giftige Waarheidspijlein adalah sebuah pengadilan kepada pemerintah kolonial yang tidak peduli dengan nasib kaum kromo pribumi. Ciri khas Darsono dalam tulisannya adalah bahasanya yang berani. Baginya bahasa ilmiah tidak dipahami rakyat tertindas.

Catatan dari Sanga-sanga

Tak terasa tiga tahun berlalu. Aku bisa injakan kakiku lagi di kota itu. Senang bisa hirup udara Sanga-sanga lagi. Pemandangannya masih sama seperti dulu. Setelah aku lewati jalan-jalan aspal yang hancur oleh ulah mobil-mobil pertambangan yang penuh muatan. Masih seperti Sanga-sanga yang dulu. Kota tua ini masih saja seperti dulu dengan rumah-rumah tua. Bangsal-bangsal, sebagian orang menyebut rumah-rumah panjang yang disekat untuk beberapa keluarga pegawai minyak di kota minyak bernama Sanga-sanga itu.
Ibu membawaku ketika aku masih bayi. Dimana ibu yang lain juga memiliki bayi yang usianya dua bulan lebih muda daripada aku. Aku ingat kakak lelaki dari ibuku beserta keluarganya tinggal di bangsal-bangsal itu. Kakal lelaki ibuku, yang biasa kupanggil "Pakde" itu memiliki dua anak wanita dan satu anak lelaki yang masih bayi. Aku tidak mengenal mereka seperti sekarang. Aku memanggil mereka "Mbak" dan "Mas" untuk anak lelakinya.
Hal paling kusuka dari Sanga-sanga adalah menjelajahinya dengan berjalan kaki. Aku tidak akan merasa lelah. rumah-rumah tua adalah sajian favorit mataku di Sanga-sanga. Terakhirkali disana, aku masih sempat menyaksikan pemandangan itu. Rasanya aku tak perlu sesali hidup dengan sajian seperti itu.
Seperti biasa, Bude--biasa aku memanggil istri dari kakak lelaki ibuku--itu pasti menyimpan sambalnya yang buat lidah bergoyang. Kali ini ada menu udang, makanan yang dalam setahun belum tentu kumakandi Jogja atau Jakarta. Makan makanan laut dikota itu rasanya tidak akan senikmat memakannya di Sanga-sanga, atau kota pesisir lain di kalimantan Timur. Aku ingat, ayah kawanku yang pernah jadi serdadu dan dinas di Sanga-sanga bercerita, badan gatal-gatal karena terlalu banyak makan udang di Sanga-sanga.
Seperti biasa, Bude ajak aku ke daerah Muara naik mobil. Bude lagi mau borong udang yang banyak untuk pernikahan Mbak-kuyang kedua. Kami naik mobil dan nikmati Sanga-sanga yang tereksploitasi. Di sepanjang jalan, selain kampung, banyak pertambangan batu-bara. Ini mungkin surga bagi sebagian orang yang menggantungkan hidup dari tambang-tambang itu. Monster-monster bernama "Dump Truck" belum terlihat. Hanya saja perut bumi Sanga-sanga masih terus dikeruk. Hidup memang memilih, pasti ada yang terkorbankan. Apalagi kalau bukan alam dan masa depan Sanga-sanga.
Berdasarkan catatan Wikipedia, Sanga-sanga adalah: "Kecamatan Sanga-Sanga memiliki luas wilayah mencapai 233,4 km2 yang dibagi dalam 5 kelurahan. Sementara jumlah penduduk kecamatan ini mencapai 11.855 jiwa (2005). Kecamatan ini merupakan salah satu wilayah penghasil minyak bumi yang sangat penting di Kalimantan Timur sejak sumur minyak Louise untuk pertama kalinya mulai berproduksi pada tahun 1897, disamping sumur minyak Mathilde yang ada di Balikpapan.
Sanga-Sanga juga terkenal dengan sebuah peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal 27 Januari 1947 ketika para pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Badan Pembela Republik Indonesia (BPRI) bahu membahu bersama rakyat mempertahankan Sanga-Sanga dari gempuran Belanda, meski akhirnya korban banyak berjatuhan dari pihak pejuang dan rakyat Sanga-Sanga. Untuk mengenang peristiwa yang disebut sebagai Peristiwa Perjuangan Merah Putih Sanga-Sanga ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bersama Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara selalu menggelar upacara peringatan peristiwa tersebut setiap tanggal 27 Januari".
Kota kecil ini, memiliki sejarahnya yang cukup gemilang karena kandungan emas hitam yang terkandung di dalam tanahnya.

Gambaran Balikpapan Masa Kini


Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Balikpapan mengalami banyak perubahan. Lahan baru banyak dibuka menjadi pemukiman penduduk untuk memenuhi kebutuhan Balikpapan yang terus bertambah. Bangunan-bangunan baru lebih banyak berdiri dibanding beberapa tahun sebelumnya. Seperti juga beberapa kota lain di Kalimantan Timur, Balikpapan mulai melebarkan pemukiman penduduknya. pemukiman penduduk itu berusaha dibuat merata. Di daerah pinggiran banyak dibangun pemukiman. Pelabuhan Ferry yang dulu terletak di pelabuhan Sombir, kini berpindah ke Kariangau. Saat ini sangat sulit untuk dapat mencapai pelabuhan Ferry itu, namun ini akan memberi dampak positif dimasa depan.
Ditengah perubahannya, kota ini hingga sekarang masih berusaha memperlihatkan wajahnya yang bersih, aman dan nyaman. Serta berusaha menjadi kota Beriman--seperti jargonnya Balikpapan Beriman. Motto kota ini adalah Gawi Manuntung Waja Sampai Kaputing--artinya apabila memulai suatu pekerjaan maka harus diselesaikan sampai tuntas. Beberapa banguan penting yang menjadi bagian dari pembangunan nasional terdapat di kota ini. Sepinggan yang telah menjadi bandara internasional, telah menjadikan Balikpapan sebagai gerbang Kalimantan Timur. Kepolisian Daerah Kalimantan Timur (POLDA Kal-Tim) berkantor di kota ini. Begitu juga Markas Komando Daerah Militer (KODAM) VI Tanjung-Pura berada di kota ini.
Keberadaan instalasi kepolisian dan pertahanan di Balikpapan tentunya ikut menghindarkan Balikpapan dari kerusuhan. Hingga saat ini, diluar kasus kriminal biasa, Balikpapan jauh dari kerusuhan berbau SARA--meski banyak etnis menetap kota ini. Etnis paling dominan, seperti Bugis. Perkampungan yang cenderung bersifat kesukuan ada di kota Balikpapan. Orang-orang Bugis lebih banyak tinggal di daerah Kampung Baru, Manggar. Karang Jawa, Karang Bugis dan Karang Anyar banyak di huni orang-orang Bugis Banjar dan Jawa. Suku Jawa banyak bermukim didaerah Karang rejo dan Sumberejo. Walau begitu, paling sedikit telah terjadi pembauran diantara penduduk Balikpapan dan semakin menjadikan kota ini heterogen. Beberapa perkampungan banyak yang penduduknya adalah campuran seperti di daerah Gunung Sari, Gunung Malang dan Gunung Pasir.
Bertambahnya Balikpapan tentu saja akan membawa masalah baru dalam hal kependudukan. Kendati ledakan penduduk tidak besar, namun arus pendatang dari luar Balikpapan semakin besar. Mereka berasal dari Jawa dan pulau lain di Indonesia dan berbagai etnis. Pertumbuhan ekonomi Balikpapan menarik mereka untuk mengadu nasib di kota Balikpapan.
Hal ini sudah menajdi perhatian Imdad Hamid--walikota Balikpapan sekarang--sejak tahun 2001. Akhirnya jumlah pendatang yang masuk di kota Balikpapan dibatasi. Hal ini pastinya menimbulkan kesan “Balikpapan mengisolasi diri”--sebenarnya tidak, Balikpapan hanya ingin meredam masalah sosial pasti akan timbul oleh banyaknya penduduk dengan lahan ekonomi yang suatu saat semakin sempit.
Mata pencaharian orang Balikpapan seperti ada pengkaplingan--khususnya dalam hal perdagangan. Perdagangan sayur dan makanan biasa didominasi oleh orang-orang Jawa. Perdagangan kayu dilakukan oleh orang-orang Madura, perdagangan ikan dilakukan oleh orang-orang Bugis, perdagangan pakaian atau penjahit biasa dilakukan oleh orang-orang Banjar. Sementara untuk posisi pegawai pemerintahan maupun perusahaan swasta umumnya campuran. Tidak ada dominasi etnis didalam instansi manapun di kota Balikpapan.
Pusat keramaian kota ini masih tetap sama sebenarnya, walau saat ini pusat keramaian mulai disebar, ke daerah Balikpapan Baru (Ring Road). Sepanjang Jalan Jenderal Sudirman (Klandasan) adalah daerah yang masih ramai seperti dulu. Banyak pusat perbelanjaan dan perkantoran di sepanjang jalan itu. Angkutan umum dan kendaraan pribadi banyak melintasi jalan itu sepanjang hari. Keramaian Balikpapan mulai hilang setelah pukul 21.00 waktu setempat. Pukul 21.00 hingga pagi hari adalah waktu istirahat bagi seluruh kota Balikpapan.
Instalasi minyak yang sudah ada sejak dulu tentu saja masih ada di Balikpapan. Beberapa perusahaan minyak asing masih memiliki kantor di Balikpapan. Beberapa perusahaan alat berat juga terdapat di kota Balikpapan. Sebuah bandara bertaraf internasional juga berdiri di Balikpapan. Hal ini menjadikan Balikpapan sebagai pintu gerbang Kalimantan Timur.
Bandara yang besar dulu itunya pernah menjadi tonggak kelahiran maskapai penerbangan swasta bernama Bouraq Airline--yang didirikan oleh J.A. Sumandep. Maskapai itu bermula dari pesawat-pesawat yang memfasilitasi transportasi pegawai di Balikpapan. Kala itu Sepinggan masih berupa lapangan rumput yang semakin hari lapangan rumput itu berubah menjadi lapangan besar. Bouraq mulai beroperasi tahun 1970 dengan menghubungkan Jakarta, Balikpapan, Kalimantan dan Surabaya. Armada Bouraq adalah pesawat Douglas DC-3. buatan Amerika.108
Balikpapan semakin terlihat maju sekarang. Orang-orang menilai dengan bertambahnya mall di Balikpapan adalah barometer kemajuan itu. Bandar udara Sepinggam juga menjadi alasan mengapa Balikpapan menjadi kota pelabuhan teramai di Kalimantan Timur.