Sabtu, September 01, 2012

Tour de Sinjai (2012)

Sulawesi Selatan dikelilingi pulau-pulau kecil, termasuk kepulauan Sembilang, Beruntung bisa mengunjungi salah satu pulaunya, Larea-rea hari ini. Balangnipa dan Gojeng keesokan harinya.

Pintu Utama Benteng Balangnipa


Sinjai, 29 Agustus 2012
Sinjai cerah pagi ini. Saya baru saja bangun dan sarapan. Tapi lagi-lagi lupa mandi. Setelah pamit pada keluarga Pak Lukman Dahlan—salah satu orang penting di Sinjai—yang menolong saya, yang berbaik hati menampung saya di rumahnya, saya pergi menemui kawan saya Arman—wartawan harian Fajar.
            Tak dinyana, Arman mengajak saya reportase ke kepulauan Sembilang. Kami berdua bergabung dengan rombongan Pak Ahmad Suhaemi—Kepala Dinas Komunikasi Informasi & Kebudayaan Pariwisata. Kami menumpang motorboat milik dinas perikanan. Butuh waktu hampir satu jam untuk menuju salah satu pulau di Kepulauan Sembilang. Gelombang tidak terlalu besar, namun cukup membuat kapal bergoyang juga.
            Rombongan bermaksud meninjau sarana internet bagi warga di Kepulauan ini, dan juga mengadakan pengenalan penggunaan media internet. Terdapat sembilan pulau disini. Beberapa masih belum berpenghuni. Pulau Kambuno adalah pusat dari administrasi Kepulauan ini. Dimana kantor camat berdiri. Pemukiman cukup padat juga. Air bersih dan listrik begitu terbatas bagi warga disini. Terdapat 15 sekolah dari tingkat SD sampai SMK di sekolah ini.
            Gedung SD di dekat lapangan cukup ramai. Kemah Pramuka sedang  berlangsung. Bocah-bocah berseragam Pramuka tidur dibawah tenda beratap terpal. Ada yang membawa koper. Tak mirip orang berkemah. Mereka tidak berkemah di alam bebas, namun di perkampungan.
Mereka lebih mirip  pengungsi korban bencana. Namun, sebagai bocah-bocah mereka tetap lucu dan lugu walau agak nakal. Mungkin ini harus mereka alami. Tentu saja rugi jika tak mengabadikan senyum bocah-bocah itu. Berbekal kamera 1 megapixel dengan baterai yang menipis. Saya putar untuk memotret momen-momen  lucu itu. Dengan susah payah, saya pun berhasil abadikan senyum-senyum bocah-bocah tadi.
            Sementara saya asyik dengan kondisi sekitar, kawan saya, Arman sibuk menulis berita untuk dikirim ke kantor redaksinya. Dia sibuk mencari koneksi internet. Listrik yang terbatas jadi masalah buat kami untuk mengetik karena baterai netbook terbatas. Siang hari tak ada listrik di pulau. Listrik baru ada dari jam 06. 00 sore sampai jam 06.00 pagi. Itu masalah buat Arman dan saya—sebagai manusia yang dimanja listrik.        
Begitu siang tiba dan perut keroncongan, rombongan  kami pun dihidangkan masakan laut yang lezat. Kami menyantapnya dengan nikmat dalam waktu singkat. Lezat.
Waktu menunjuk pukul 01.00 siang. Acara selesai. Arman masih pusing dengan listrik dan koneksi internet. Akhirnya Pak Ahmad mengusahakan listrik. Hingga listrik dan koneksi ditemukan hingga Arman bisa selesaikan tulisan dan kirim berita ke kantor redaksinya. Setelah berita terkirim rombongan niak kapal dan berlayar lagi.
Motorboat pun menuju sebuah pulau kecil, Larea-rea. Di sekitara pulau, perairan begitu dangkal. Boatberjalan pelan. Boat akhirnya merapat di dermaga kecil pulau ini. Dari dermaga, pantai kecil yang mengitari setengah pulau terlihat. Di tengah pulau, terlihat banyak vegetasi. Lebih banyak rumput dan sedikit pepohonan rindang. Pantai indah disini layak dipotret, itu yang rombongan kami lakukan. Pulau ini aset penting bagi Sinjai. Wisata alam yang layak dibanggakan. Selesai memotret sekitar pulau, kami kembali ke Sinjai daratan lagi.
Bukit Batupake Gojeng.

30 Agustus 2012
Selesai mandi, menikmati barisan batu yang tersebar bukit Gojeng adalah keharusan. Batu-batu ini tinggalan zaman batu. Tempatnya tak jauh dari pusat kota Sinjai. Kebetulan tak jauh dari tempat tinggal Arman, kawan saya. Dari pondokan Arman, obyek yang disebut Batupake Gojeng ini terlihat.
  Dari informasi yang beredar, bukit dengan ketinggian 125 meter dari permukaan laut ini,  pernah menjadi pengintaian bagi serdadu Nippon di masa perang dunia II. Mungkin gerakan tentara sekutu di Teluk Bone bisa dipantau dari sini. Di bukit ini pula, dulu pernah ditemukan keramik dan bangkai kayu. Banyak yang percaya disekitar bukit ini dulunya sekali adalah laut.
   Setelah memotret beberapa batu, saya menuju Benteng Balangnipa. Lokasinya lebih dekat lagi dengan pusat kota. Tidak terlalu jauh dari sungai. Sejarah Benteng ini lebih tua bangunan benteng yang sekarang. Tidak sulit mencarinya. Lokasinya dalam pemukiman penduduk. Anak kecil pun bisa beritahu kita dimana letak benteng ini.
Awalnya Benteng ini dibangun oleh kerajaan-kerajaan lokal Sinjai: Bulo-Bulo, Tondong dan Lamatti—persekutuan kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaaan Tellu Limpo'e—pada 1557. Ketika Belanda ingin menguasai daerah ini, tiga kerajaan tadi pun menjadikan benteng ini sebagai kubu pertahanan.
  Dalam perang Mangarabombang, 1859-1861, Benteng ini begitu penting. Namun, kekuatan milliter Belanda—Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL)—yang unggul akhirnya bisa mengatasi perlawanan kerajaan-kerajaan tadi. Bisa kita maklumi kekalahan kaum pribumi tadi.
  Setelah tiga kerajaan tadi kalah, maka Benteng ini pun jadi milik pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Benteng ini pun diubah dengan gaya Eropa. Terlihat dengan bangunan-bangunan gedung dengan gaya Indies. Gedung-gedung ini kemungkinan berfungsi sebagai kantor. Dan beberapa ruangan lain digunakan oleh prajurit-prajurit garnisun KNIL disini. Ada beberapa bangunan yang hancur. Ada yang menyebut itu karena kena bom.
  Saya tidak lama juga di benteng ini. Ada janji dengan kawan. Tidak semua yang ada di Benteng bisa saya lihat. Hari masih pagi. Bukan jam buka museum atau kantor. Saya putuskan tidak berlama-lama. Meski masih banyak yang belum saya lihat. Peninggalan sejarah di Sulewesi Selatan sangat menarik, termasuk sejarah perangnya.
Selanjutnya, adalah ikut Arman reportase sambil makan gratis.




Salahsatu gedung di depan depan Balangnipa

Selasa, Agustus 28, 2012

Jalan Andi Djemma: Sang Penjaga Memori

Nama Jalan Jenderal Sudirman dimana-mana. Jadi tak apa jika Jalan Jenderal Sudirman di kota ini diganti menjadi Jalan Andi Djemma.




Istana Kedatuan Luwu


Saya orang baru di kota ini. Kota yang sebelumnya hanya saya tahu dari buku, juga beberapa kawan yang memang berasal dari kota ini. Kota ini tidak semrawut, selama saya lihat. Berjalan kaki ala backpacker cukup menyenangkan di pagi hari. Banyak toko berdiri di sepanjang jalan yang saya lewati. Masjid Jamitua dan bekas istana Datau Luwu--yang bangunannya ala Eropa itu.
            Perut lapar pagi ini, membuat saya singgah di sebuah warung kecil di tepi Jalan Andi Djemma. Demi sepiring nasi kuning lauk telur, untuk mengganjal si perut. Untuk ini saya hanya keluar uang Rp 5.000 saja. Sepertinya biaya hidup di kota ini tidaklah besar. Penjual nasi kuning mengatakan kalau dulu nama jalan ini adalah Jalan Jenderal Sudirman.
            Pikiran saya lalu melayang pada kota-kota lain yang pernah saya kunjungi. Jakarta, Palembang, Makassar, Yogyakarta dan kota lainnya—termasuk kota asal saya Balikpapan, dimana bisa ditemukan Jalan Jenderal Sudirman. Di Balikpapan, Jalan Jenderal Sudirman cukup panjang dan besar. Tapi tidak di Yogyakarta. Orang-orang yang saya kenal disana tak familier dengan nama jalan itu, meski itu adalah jalan ramai.
Saya agak terkejut dan tertarik dengan fenomena pergantian nama itu. Sudah lazim kita temukan banyak jalan dengan mengambil nama jenderal-jenderal di Indonesia. Orang-orang asing akan berpikir bahwa Indonesia adalah Negara militeristik. Bagi yang belajar sejarah akan berpikir, ini warisan orde baru.
Kota ini punya pilihannya sendiri. Mengganti nama Jenderal Sudirman menjadi Andi Djemma menjadi hal penting. Jangan dikira mereka tak hargai Jenderal Sudirman yang pimpin gerilya dengan ‘satu paru-paru’ untuk melawan tentara Belanda yang ingin mengusai kembali Indonesia. Juga bukan berarti kota ini tidak hargai Tentara Nasional Indonesia.
Merubahnya menjadi Andi Djemma adalah keharusan rasanya. Saya pun barusaja tahu, ternyata Andi Djemma adalah Datu Luwu yang dihormati. Andi Djemma bukan sekedar Bangsawan, Andi Djemma punya jasa besar pada Luwu dan juga Indonesia. Andi Djemma punya sikap yang hampir sama dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta, mendukung Republik Indonesia yang baru berdiri. Sayang, Luwu tak bernasib seperti Yogyakarta yang menjadi Daerah Istimewa.
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, Andi Djemma membangun dan memimpin Gerakan Sukarno Muda. Gerakan ini sangat pro RI dan sekuat tenaga mereka menentang masuknya tentara Belanda. Perang Semesta rakyat Luwu, 23 Januari 1945, juga dipimpin olehnya. Walau akhirnya beliau harus tertangkap dan dibuang.
 Tak perlu lagi membandingkan jasa-jasa antara Andi Djemma dan Jenderal Sudirman—yang berdarah Banyumas, Jawa Tengah itu.
Seperti Sudirman, Andi Djemma pun layak jadi Pahlawan dan dihargai sebagai nama jalan juga. Nama jalan adalah memori rakyat kota ini bahwa dulunya pernah ada Raja pemberani dan punya jiwa merdeka bernama Andi Djemma. Seharusnya, semua orang berjasa dari pusat maupun daerah tetap harus dihargai. Bukan melulu yang nasional tapi juga yang lokal. Bukan tidak nasionalis, tapi ini perkara identitas dan memori daerah ini. Jadi nasionalis boleh tapi jangan jadi amnesia akan akar lokalnya.  
            Tak apa tidak bernama Jalan Jenderal Sudirman, karena nama Jalan Jenderal Sudirman ada dimana-mana, tapi menamakannya Andi Djemma sangatlah perlu bagi kota. Bersama Jalan Andi Djemma kota ini tidak menjadi amnesia akan akar historisnya. Agar semua orang tahu kalau pernah ada Pahlawan bernama Andi Djemma—dan tak lupa menjadi pemberani dan penuh semangat perubahan sepertinya.
  Sebagai orang asing di kota ini, saya acungi jempol untuk Jalan Andi Djemma. Nama jalan ini membuat nasi kuning yang saya makan begitu lezat. Begitulah pandangan saya sebagai orang asing di kota ini. Salut untuk kota Palopo!!!

Masjid Jami Tua dari seberang