Rabu, November 11, 2015

Hilangnya Ruang Publik

PULUHAN tahun silam, Tjutjup Suparna, mantan Walikota Balikpapan (periode 1991-2001) dijuluki Wagiman-alias Walikota Gila Taman. Ada banyak taman di kota Balikpapan, yang dianggap bukan kota besar. Masyarakat sadar berkah taman hijau di kota Balikpapan yang panas. Barangkali semakin banyak taman semakin bagus. Salut untuk Pak Tjutjup dan jajarannya yang membuat Balikpapan punya banyak taman.
Taman hijau yang penuh pohon dan tanaman tak hanya untuk mengurangi panasnya terik matahari yang menyiksa kulit manusia kala siang. Di sore hari, taman bisa menjadi tempat bermain anak-anak. Di antaranya ada anak-anak yang belajar berjalan. Di malam hari, taman yang kerlip-kerlip lampunya itu, adalah tempat berkumpul anak muda yang melepas penat setelah sibuk bekerja seharian. Pagi buta saja, taman adalah tempat berolahraga yang murah. Di mana para orangtua (yang biasa kita sebut manula) sering menghabiskan pagi di taman untuk olahraga ringan. Betapa pentingnya taman.
Di Balikpapan, Taman Bekapai adalah satu dari sekian banyak taman yang ada di Balikpapan. Taman ini begitu penting. Letaknya dekat dengan pusat perbelanjaan. Di mana ibu-ibu yang lelah belanja bisa duduk istirahat nyaman di sana. Di sisi lain kota, ada Lapangan FONI -yang dari namanya jelas bersejarah bagi kota Balikpapan. Boleh dibilang, Lapangan FONI adalah lapangan perjuangan.
Setelah sekian lama, di mana sudah beberapa Presiden Republik Indonesia berganti, ada yang menggugat tempat-tempat umum tersebut sebagai harta warisan mereka. Entah bukti apa yang mereka sodorkan atas kepemilikan itu? Padahal, Lapangan FONI dan tempat umum lainnya itu, secara tak resmi, sudah jadi milik umum. Kita tidak tahu tanah mana lagi yang akan digugat sebagai milik pribadi lagi?
Pertanyaan saya, kenapa pula baru digugat sekarang? Hanya bermodal selembar kertas usang, yang bisa jadi sudah kedaluwarsa, mereka tuntut tanah moyang mereka yang sudah mereka gadai dan jual. Padahal, sejarah bergulir. Dan, segala aset pemerintah kolonial jatuh ke tangan pemerintah republik. Dan, tanah telantar yang tak terurus harusnya jadi milik negara untuk kepentingan umum.
Sedianya, tanah kota yang sudah dimiliki Pemerintah Kota adalah juga tanah rakyat, jadi untuk kepentingan rakyat. Untuk taman bermain, lapangan olahraga, sekolah atau tempat pelayanan lainnya. Bayangkan kalau tanah itu diberikan pada individu tertentu. Bisa jadi tanah itu akan dijual atas nama pribadi. Dengan begitu ruang publik hilang.
Saat ini, ruang terbuka bagi warga kota Balikpapan sedang terancam. Bayangkan jika kota Balikpapan yang dikenal nyaman ini kehilangan ruang publik. Dimana anak-anak akan belajar, bermain dan berolahraga lagi di ruang terbuka? Bukankah masyarakat menginginkan generasi masa depan yang cerdas dan sehat?

Bukan Jokowi Yang Harus Minta Maaf

Jika masih hidup, Suhartolah yang  harus minta maaf pada Sukarno.
Akar masalahnya barangkali TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967. Isinya tuduhan bahwa Presiden Soekarno telah mendukung G30S yang juga dituduhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Mungkin ada kepentingan di sana. Keluarga besar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun tak mau embel-embel G 30 S atau PKI itu melekat pada Sukarno. Ini masalah nama baik.
Soal negara harus meminta maaf atau tidak, rasanya Suharto ada di belakangnya. Orang-orang Indonesia masa kini nyaris semua tidak mau disangkut-pautkan dengan PKI atau kominis (baca: komunis). Walau reformasi sudah bergulir, dengan percuma, kominis tetaplah kambing hitam atas berbagai kecelakaan dan petaka sejarah di negeri in, terkhusus dalam kasus G 30 S 1965. Itu harga mati.
Mari kita menerawang pada masa-masa sebelum 1965. PKI jelas kekuatan besar yang sangat ditakuti, tentu oleh negara kapitalis macam Amerika Serikat. Musuh PKI tentu makin bertambah dengan konsep “Tujuh Setan Desa” –yakni: (1) tuan tanah, (2) lintah darat, (3) tengkulak jahat, (4) tukang ijon, (5) bandit desa, (6) pemungut zakat, (7) kapitalis birokrat desa—yang harus dilawan.
Poin ke-6 (pemungut zakat) jelas membuat orang-orang Islam naik darah. Tentu saja kapitalis dapat bahan bakar tambahan untuk memberangus PKI. Hingga kini, selain alasan PKI atau kominis dicap atheis, poin ke-6 itu alasan kenapa kominis dibenci oleh orang-orang Islam dan tak boleh hidup di Indonesia.
Di masa Orde Lama, PKI yang punya banyak pendukung, bagi Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi Sukarno, jelas kekuatan besar yang bisa mengawal revolusi. Kita tahu Sukarno tak menyukai segala bentuk imperialisme dan kolonialisme yang ada kaum kapitalis di dalamnya. Semua tahu yang belajar sejarah tahu imperialisme dan kolonialisme adalah sumber penderitaan panjang rakyat Indonesia selama ratusan tahun di bawah VOC Belanda.
Untuk melawan Neo Kolonialisme Imperialisme (NEKOLIM), tentu saja PKI adalah sekutu potensial. Karena dalam Pemilu 1955, PKI adalah partai yang masuk empat besar (bersama PNI, Masyumi, dan NU). Di tahun yang sama, Sukarno berhasil mengumpulkan bekas negara terjajah dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung. Bersama beberapa negara yang ogah terlibat dalam Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, Sukarno bikin Gerakan Non Blok. Itulah peran besar Sukarno, Sang Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi, dari Indonesia dalam percaturan politik dunia.
Lalu, kenapa Sukarno dekat dengan komunis? Baik PKI maupun negara Blok Timur. Masih ingat Operasi Pembebasan Irian Barat (Papua)? Waktu Indonesia mau beli senjata pada Amerika Serikat, negara adi daya pimpinan Blok Barat itu menolaknya. Beruntung Uni Sovyet, pimpinan Blok Timur itu, mau berbagi kecanggihan teknologinya pada Indonesia. Hingga Indonesia punya armada tempur (darat, laut dan udara) yang ditakuti di belahan dunia selatan. Wajar bukan kalau Sukarno dekat dengan Uni Sovyet dan negara Blok Timur lainnya?
Patut dicatat, meski dekat dengan Sovyet, Indonesia bisa memposisikan diri sejajar dengan Uni Sovyet. Bukan negara selalu patuh dan rela menuruti kebijakan negara yang beri bantuan. Bukan budak tapi sahabat. Tak ada alasan baik untuk dekat pada negara Blok Barat saat itu. Tapi bukan tidak mau berusaha bersahabat. Nyatanya John F Kennedy cukup akrab dengan Sukarno.
Menurut saya, politik luar negeri Indonesia masih bebas aktif. Justru negara petinggi Amerika yang berusaha menjatuhkan Sukarno dengan memperalat PRRI/Permesta. Tujuannya jelas untuk menghancurkan komunis di Indonesia agar nantinya investasi dan perusahaan-perusahaan Amerika dan lainnya bisa masuk dan beroperasi di Indonesia.
Sialnya, politik luar negeri yang dijalankan Sukarno itu dicap tidak bebas aktif oleh rezim Orde Baru yang berkuasa setelah Sukarno dijatuhkan. Ketika saya belajar IPS di Sekolah Dasar, di zaman Orde Baru, bahkan saya belajar tambahan untuk ikut serta dalam Lomba Mata Pelajaran—di mana saya hanya Juara Tiga se-Kelurahan—saya membaca di buku pelajaran: Sukarno lebih condong ke Blok Timur karena politik luar negeri Indonesia tidak bebas aktif.
Sebagai anak SD tentu saya percaya saja. Sukarno seolah dianggap komunis. Anak SD seolah harus tahu hal itu. Setelah kuliah sejarah, saya paham itu adalah usaha Orde Baru untuk menyudutkan Sukarno.
Akan banyak yang marah kalau saya bilang negara salah. Kalau negara minta maaf kepada Sukarno, berarti negara salah dong? Negara kan sudah akui Sukarno sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), setelah Suharto lengser bahkan sudah masuk liang kubur.
Nah, mari kita ambil jalan tengahnya. Rehabilitasi saja nama Sukarno? Karena Sukarno bukan penculik dan juga bukan pembunuh para jenderal itu! Salah satunya dengan mencabut TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 untuk perbaiki nama baik Sukarno.
Lalu siapa yang harus minta maaf pada Sukarno? Menurut saya, jika masih hidup, Suharto sebagai manusia atau mantan Presiden, seharusnya buang jauh-jauh gengsinya untuk meminta maaf kepada Sukarno. Mungkin bukan karena rezim Orde Baru, di awal-awal berkuasa saja dia sudah menciptakan suasana yang memperburuk kesehatan Sukarno hingga ada foto Sukarno dipapah untuk berjalan.
Suharto, jika masih hidup, sebagai manusia, sebagai presiden kedua yang menggantikan Sukarno, sebagai jenderal yang seharusnya jujur dan ksatria, haruslah meminta maaf atas rusaknya nama baik Sukarno dalam sejarah Indonesia.
Tapi, itu semua tidak mungkin terjadi, karena baik Sukarno dan juga Suharto sudah lama masuk liang lahat.

Bela Negara: Sebuah Penghinaan

Nasionalisme dan Disiplin akan digalakkan dalam program wajib bernama Bela Negara. Lantas apakah ini karena rakyat Indonesia tidak disiplin? 

WACANA Bela Negara pun jadi pembicaraan. Bahkan, karena kurang jelasnya informasi diserap, membuat orang menganggapnya sebagai Wajib Militer. Kita tahu, wajib militer seperti di Amerika, tak terjadi di Indonesia. Buat apa diadakan wajib militer, jika pendaftaran prajurit karir saja masih sangat ramai oleh pemuda-pemuda Indonesia yang merasa gagah jika memakai seragam militer? Meski hidupnya dianggap jauh dari sejahtera, militer (Anggota TNI) adalah profesi impian selain Pegawai Negeri Sipil. Lalu muncul klarifikasi, bukan wajib militer rupanya melainkan hanya latihan sebulan.
Tentu saja, gambaran latihan Bela Negara yang jelas militeristik itu, membuat saya membayangkan Masa Pendudukan Jepang dulu yang Cuma seumur jagung (1942-1945). Selain membangun tentara sukarela “setengah jadi” bernama: Gyugun (di Sumatra) dan Pembela Tanah Air (di Jawa)—karena Jepang tak mau sepenuh hati memberikan ilmu militer dan bertempurnya kepada pemuda Indonesia yang bisa berontak kapan saja—Pemerintah Militer Jepang itu pun lebih massif dalam membuat organisasi semi militer macam Seinendan (Barisan Pemuda); Keibodan (Satuan Pembantu Polisi); Jibakutai (Pasukan Berani Mati) dan lainnya. (Peringatan keras dari saya: Jangan samakan jika Jibakutai dengan pilot Kamikaze! Karena kamikaze dilatih banyak soal persenjataan, sementara Jibakutai hanya ala kadarnya saja!)
Dulu, Jibakutai itu hanya dilatih sebentar. Mereka tidak di asramakan. Setelah latihan selesai mereka kembali ke kehidupan normal. Yang sebelumnya petani kembali mencangkul di sawah, yang buruh kembali ke pabrik, yang tukang becak mengayuh becaknya lagi. Jika kondisi bahaya maka mereka akan diikutkan dalam perlawanan. Balatentara Jepang ketika sedang menyiapkan orang-orang itu untuk menghadapi sekutu dalam Perang Pasifik. Betapa luar biasanya Jepang, untuk membangun Kekaisaran yang dipimpin Tenno Heika mereka, orang Indonesia mereka suruh siap mati untuk Tenno Heika. Orang-orang sipil yang malang. Tak diberi makan, tak diberi senjata disuruh siap mati. Sebuah penghinaan di abad XX lalu.
Lalu mau dikemanakan alumni Bela Negara itu? Kata pemerintah, mereka yang lulus akan dapat Kartu Bela Negara. Setelah menghadapi Ujian Nasional yang maha berat, selepas SMA mereka masih harus lulus Latihan Bela Negara. Harapannya agar jadi orang yang nasionalis dan disiplin.
Menurut Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Pertahanan, Mayor Jenderal Hartind Asrin menambahkan, materi Bela Negara nantinya meliputi, pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta dan pengenalan alutsista TNI. Juga ditambah lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara. Latihan fisik tidak menjadi prioritas. "Fisik cuma baris berbaris saja. Rohaninya yang kita isi dengan jiwa nasionalisme," kata Sang Jenderal.
Kata pejabat pembikin Bela Negara, program ini adalah untuk menanamkan sikap Nasionalisme dan disiplin. Apa ini Departemen Pertahanan, yang dipimpin Jenderal Ryamizard Ryacudu, sudah tidak percaya lagi pada Rakyat Indonesia? Apakah rakyat-rakyat Indonesia yang maha banyak ini tidak nasionalis lagi? Juga tak punya disiplin? Seolah selama ini rakyat tak peduli pada pembangunan. Ancam sang jenderal, jika tidak mau ikut silahkan angkat kaki! Luar biasa, sudah dihina, diancam diusir pula. Memangnya rakyat tidak pernah setor pajak pada pemerintah, yang juga untuk bayar gaji dan tunjangan para punggawa negara?
Apakah orangtua masa kini ogah sekolahkan anaknya untuk jadi cerdas dan bisa membaca tanda bahaya yang mengancam hidup mereka? Apakah orangtua sekarang tidak pernah lagi menyuruh anaknya ikut latihan beladiri? Dimana anak mereka bisa menjadi kuat dan waspada pada bahaya? Apakah kaum pekerja di negara ini tak mau lagi bayar pajak? Kurang nasionalis disiplin apa sih rakyat Indonesia sekarang?
Soal disiplin, apalagi yang harus dituntut pada rakyat sipil? Kalau rakyat belum disiplin di mata mereka, lantas apakah semua jajaran pemerintah sudah disiplin? Para tukang sayur sudah bangun sebelum azan subuh untuk ke pasar. Para siswa dan gurunya, berjuang keras masuk ke sekolah sebelum jam pelajaran di mulai. Mayoritas rakyat, juga bayar pajak sebelum jatuh tempo. Kalau terlambat toch juga mereka harus bayar denda. Semua untuk negara juga? Apakah itu semua bukan disiplin?
Mengapa hanya baris-berbaris yang menjadi ukuran disiplin? Apakah orang yang tidak bisa baris tidak disiplin? Sepengalaman saya, sebagai murid dan juga pengajar, anak-anak Paskib (yang jago baris di sekolah) pun banyak yang telat masuk ke sekolah, telat mengumpulkan tugas. Semoga tidak telat datang bulan. Baris-berbaris, walau bagi sebagian orang melatih disiplin, nyatanya tak betul-betul mampu menegakkan disiplin. Sejatinya, ada banyak kegiatan yang bisa memupuk disiplin dan nasionalisme sekaligus. Selain Pramuka, setidaknya ada Pencak Silat, Tarian Tradisional dan Pecinta Alam. Dengan Pramuka atau pandu, seseorang terdidik untuk mandiri dan kuat. Belajar tari tradisional juga membuat seseorang disiplin dalam mengikuti irama sekaligus menjaga budaya lokal. Dengan pencak silat seorang remaja bisa kuat menjaga diri, menghargai budaya nasional dan belajar menahan diri. Nah melalui pecinta alam, seseorang akan melihat betapa indahnya Indonesia, juga belajar menjaganya.
Nasionalisme dan disiplin tak bisa disimulasikan hanya dengan baris-berbaris dan doktrinasi dalam kelas. Harus ada kegiatan konkret yang sifatnya tak melulu sekedar pengetahuan, tapi juga pengalaman dan pemahaman. Dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak sekolah justru lebih nasionalis ketimbang orang dewasa. Kita tahu korupsi lebih banyak dilakukan oleh orang-orang berseragam, dimana sebagian dari mereka ketika baru jadi orang berseragam dilatih baris-berbaris. Ketika mereka korupsi bahkan ketika tak bisa melayani publik dengan baik, mereka sendiri sudah tidak disiplin.
Apalah gunanya menghabiskan uang negara yang berasal dari pajak yang dibayar rakyat untuk membentak-bentak hanya karena si kaum rakyat pembayar pajak ini salah gerakan dalam berbaris? Jika terjadi, itu sebuah penghinaan di awal abad XXI bagi rakyat Indonesia. Sebaiknya uang itu untuk perbaikan pendidikan dan kesehatan rakyat saja. Katanya hidup harus realistis!?