Selasa, Agustus 21, 2012

Jayapura-Merauke-Digul-Sota-Merauke

Papua Bumi yang ramah sebenarnya. Jangan Percaya cerita miring sebelum anda berkunjung ke Papua

Sentani, meski jarang disebut namanya dan tampak kalah popular dengan Jayapura, dulunya buka kota sembarangan. Ketika sebagian daerah lain di Indonesia masih dalam cengkraman Balatentara pendudukan Jepang, Sentani sudah bebas setelah bulan April 1944. Begitu juga Biak.yang menjadi daerah Indonesia yang pertama-tama bebas dari pendudukan Balatentara Jepang.
            Sentani punya peran besar dalam kekelahan Jepang. Danaunya yang luas menjadi zona pendaratan yang baik bagi Pesawat Catalina—yang bisa mendarat di air. Dari pesawat persenjataan dikirim. Banyak orang Papua dilatih memakai senapan. Lalu terbentuklah Batalyon Papua. Dimana anggotanya orang-orang Papua yang tahu menggunakan senjata api dan mengenal medan. Balatentara Jepang sendiri tentu tak akan sebaik orang Papua asli yang paham bagaimana daerahnya..
            Gunung Sentani pun akhirnya jadi markas komando sekutu untuk mengelahkan Balatentara Jepang di Pasifik. Jenderal McArthur beserta staf dan semua prajuritnya menjadikan Sentani daerah persiapan menghabisi balatentara Jepang di Pasifik yang sulit dikalahkan.
            Jayapura, sebelumnya bernama Nieuw Hollandia. Menjadi daerah penting bagi NICA dan penerusnya yang menguasai Papua. Biak menjadi juga pernah menjadi kedudukan pasukan Belanda. Biak dan Nieuw Hollandia pernah juga menjadi pusat latihan tentara.pusat latihan tentara Belanda. Pasukan payung Belanda yang menyerang Jogja pada 19 Desember 1948, pernah dilatih disini. Salah satu pelatihnya adalah Rokus Bernadus Visser—yang kemudian ikut mendirikan Kopassus.
            Jayapura kemudian dijadikan ibukota provinsi Irian Jaya. Dimana tugu Pepera (penentuan pendapat rakyat) yang menjadi tanda masuknya Papua ke Indonesia diperingati. Jayapura tetap menjadi pusat provisi ketika Papua dimekarkan. Karena letaknya jauh dari pusat Republik Indonesia yang sentralistis pembangunan pendidikan di Papua tertinggal. Buku di Papua tak sebanyak di Jawa. Itu juga satu alasan kenapa Papua tertinggal. Terlepas dari kebijakan  pemerintah yang tak berpihak pada rakyat Papua.

Rabu, 8 Agustus 2012, setelah penerbangan malam, dan singgah di Makassar selama 40 menit, pesawat Boeing 737 milik Merpati yang kami tumpangi tiba di Biak. Kota kecil ini masih berkabut. Kabut tipis di jajaran bukit terlihat dari bandara Frans Kaisepo. Di Biak juga tak lama, hanya 40 menit saja. Selanjutnya pesawat terbang menuju Sentani. Setelah melewati lautan dan hijaunya daratan Papua, akhirnya Danau Sentani terlihat.
            Bandara Sentani tak sebesar bandara lain di Indonesia. Tapi cukup baik untuk didarati pesawat-pesawat komersil. Bandara ini tergolong ramai untuk ukurannya. Area parkir terlihat ramai. Angkutan umum di Sentani dan Jayapura yang bisa angkut sekitar 9 penumpang biasa disebut taksi. Ada beberapa trayek taksi di Sentani. Dari Sentani, taksi bisa di carter sampai Jayapura. Namun, jika mau hemat berganti taksi bisa jadi solusi.
            Jalan dari Sentani ke Jayapura terbilang mulus. Pemandangan bukit hijau masih bisa ditemukan. Meski sebagian bukit sudah digerus untuk proyek jalan atau perumahan. Jalan dari Sentani ke Jayapura melintasi Danau Sentani yang indah. Pulau Sentani terlihat banyak rumah berdiri. Danau ini tergolong besar, walau tak sebesar Danau Toba.
            Sepanjang jalan, banyak perkampungan urban orang-orang Papua. Mereka tidak lagi pakai koteka. Mereka biasanya lebih suka bercelana pendek dan kaus tanpa lengan jika santai. Ada juga yang berpakaian rapi, seperti para pegawai kantoran. Salah satu kampung yang saya lewati adalah Kampung Harapan. Dulunya, kampung ini sempat disebut kotanica. Kampung ini masih di seputaran Danau Sentani juga.
            Jayapura terbilang kota yang urban. Dari cara warganya berpakaian dan menggunakan produk-produk modern seperti kendaraan bermotor jelas terlihat. Pusat perbelanjaan modern pun sudah ada di Jayapura. Di Jayapura akan ditemukan Hypermart, KFC, ATM dan lain sebagainya. Di beberapa kota pelabuhan di Papua mungkin bisa saja ditemukan. Namun, tak semua orang Papua rasakan fasilitas hidup modern.
Banyak orang Papua tinggal di kampung-kampung yang terisolir. Jalan darat yang tak begitu baik membuat orang Papua bergantung pada pesawat yang tak murah biayanya. Jarak tempat satu dengan tempat yang lain pun tak bisa dibilang dekat. Ingat, luas Papua jauh lebih luas dari Jawa dan tanpa jaringan transportasi darat yang baik. Di Jawa, kereta api bisa jadi solusi.
            Orang-orang Papua asli di Jayapura masih suka mengunyah buah pinang. Buah yang bisa memperkuat gigi si pengunyah. Tak hanya kaum tua, kaum mudanya pun banyak yang masih suka. Tak heran jika banyak orang yang menjualnya dipinggir-pinggir jalan.
            Meski urban, orang-orang Jayapura terbilang tertib dan berhati-hati jika mengendarai kendaraan. Mereka masih mau mengalah pada pejalan kaki yang menyeberang.
            Agama-agama baru bisa terlihat perkembangannya dengan melihat banyaknya tempat ibadah. Banyaknya gereja adalah bukti perkembangan Kristen yang dianut penduduk asli. Sementara agama Islam banyak dianut pendatang dari suku Jawa, Bugis atau yang lainnya. Ada juga sebagian kecil orang Papua asli yang Muslim.
            Sore ini saya habiskan waktu untuk berkeliling sebagian sudut kota Jayapura. Langit begitu cerah. Teluk begitu tenang dan damai. Jayapura tampak ramai dengan pedagang yang hampir semua pendatang. Jejeran ruko biasanya milik pendatang. Rumah makan didominasi pendatang juga.
            Tak terasa hari telah senja. Saya sudah di depan Kantor Gubernur. Beberapa orang tengah menikmati indahnya teluk. Anak-anak kecil banyak berenang di tepian depan kantor Gubernur itu. Mereka begitu asyik. Ada juga orang Papua asli yang berdagang buah pinang dan mangga. Ada juga orang Jawa yang berjualan Bakso.
            Malamnya saya singgah menginap di Masjid Arrahman, di APO. Dimana saya dijamu dengan ramah seorang takmir masjid yang berasal dari Makassar dan istrinya yang dari Enrekang. Dari seorang Jamaah saya dapat informasi jika nama APO dari istilah American Post Office. Daerah ini dulunya bekas komplek militer tentara Amerika di masa Perang Dunia II. Ada beberapa tinggalan tank sekutu disini, di Pasar Hamadi salah satunya. 

Kamis, 9 Agustus. Pukul tujuh, setelah pamit saya bergerak menuju Museum KODAM yang letaknya di perbukitan komplek KODAM. Melelahkan juga jika berjalan kaki. Museum ini dulunya kantor para panglima KODAM di Papua. Mulai dari bernama Cendrawasih, Trikora sampai kembali ke Cendrawasih lagi. Mulai dari jaman Brigadir O Rukman. Panglima yang sekarang menempati kantor yang baru. yang lebih modern tentunya.
Sarwo Edhi Wibowo juga pernah berkantor disini. Di ruangan ini, sekarang berjejer banyak foto para Panglima dari jaman O Rukman sampai yang terbaru. Tak banyak koleksi disini, hanyak radio komunikasi, mortir juga senjata-senjata termasuk rampasan dari OPM. Jadi panglima di Papua memang berat. Sarwo Edhi pernah hampir terbunuh disini.
Dari Museum KODAM saya diarahkan ke Museum Sarwo Edhi Wibowo. Dari awal tahu ada museum tentang Sarwo Edhi Wibowo saya hanya geleng-geleng. Ternyata ini museum berisikan benda-benda koleksi dari semua panglima KODAM Cendrawasih. Mulai dari segaram dinas, sepatu, baret, tongkat komando, baju karate.
Tongkat komando Sarwo Edhi adalah yang paling unik. Tidak besar dan begitu sederhana. Seperti karakter Sarwo Edhi sebenarnya. Dari petugas Museum, pria asal Prambanan Yogyakarta yang 25 tahun bertugas di KODAM Cendrawasih, Sarwo Edhi, George Toisutta termasuk panglima yang paling disegani karena wibawa mereka.
Petugas Museum, memutarkan video tentang eksistensi keberadaan KODAM Cendrawasih yang terlahir pasca terbebasnya Papua dari Belanda setelah belasan tahun tertahan oleh Belanda yang sebenarnya sangat menyalahi isi Konferensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949—yang isinya penyerahan Papua ditangguhkan satu tahun. Harusnya, akhir tahun 1950, Papua sudah kembali . Tapi setelah konfrontasi militer dan tekanan dunia internasional—termasuk Amerika Serikat—akhirnya masuklah Papua ke Indonesia.
Dari Museum Sarwo Edhi yang tidak jauh dari YAPIS, saya menuju ke Pasar Hamadi. Sekedar lihat-lihat souvenir. Koteka, kapak dan aksesoris lainnya bisa didapat disini. Setelah dapat sebuah koteka, saya beranjak ke Entrop untuk naik mobil lagi ke Abe lalu ke Sentani. Di Jayapura saya sering pakai taksiyang tarifnya antara Rp 2.000 untuk dalam kota. Kearah Abe atau Sentani berkisar Rp 3.000 sampai Rp 4.000 saja. Sepanjang jalan menuju Sentani, danau Sentani jadi panorama paling indah. Sayang saya tidak bisa mengabadikan gambar danau ini dengan baik.
Sampai Sentani saya singgah di masjid istirahat. Sorenya saya jalan-jalan. Melewati lapangan, yang saya kira dari awal adalah makam. Saya mengira itu makam Lodewijk Mandacan. Dari seorang warga, saya diberitahu ternyata itu makam Theiss Eluwey, tokoh Presidium Papua yang dihormati masyarakat. Sayang sekali, Theiss Eluwey yang berjiwa bebas itu sudah pergi.
Saya diberitahu ada sebuah tempat di salah satu tepi danau Sentani. Tak jauh dari bandara. Hanya perlu naik taksi lalu disamung ojek. Pulang pergi hanya butuh Rp 14.000, untuk taksi Rp 2.000 danojek Rp 5.000. Pulang pergi tinggal di kalikan dua saja.
Rupanya, tempat yag bernama pantai Yahim adalah dermaga boat untuk menyeberang ke Pulau Sentani. Dari sini panorama sekitar danau Sentani, terutama bukit-bukit yang mengelilinginya, sangat indah. Beberapa rumah menghiasi danau. Pertanda danau ini menjadi tempat hidup yang cukup penting. Saya hanya bisa takjub tanpa bisa mengabadikan gambarnya.
Hari hampir senja saya pun kembali ke masjid. Menjelang buka puasa dan akan gelap. Karena melewati makam Theis, saya singgah sebentar sebelum ke masjid. Semoga orang hebat ini sedang tersenyum di alam sana. Senyum Theis adalah senyum Papua. Senyum kebebasan dan kedamaian Papua. Waktu berbuka pun tiba. Saya makan dan nikmati damainya hidup.
Setelah Magrib selesai, saya menuju ke Bandara Sentani. Tertidur lalu terbangun lagi. Petugas keamanan Bandara yang ramah mengajak saya mengobrol. Salah satu bukti kalau orang Papua ramah pada orang asing. Di taksi, sering saya temui orang Papua yang usianya lebih tua daripada saya minta maaf karena menyenggol saya sedikit saja—padahal saya tidak merasa itu masalah.

Jum’at-10 Agustus 2012, Malam ini Sentani dingin, saya harus pakai jaket lagi. Nyamuk-nyamuk beraksi. Darah saya mungkin rasa gudeg, terlalu manis dan buat mereka kerubungi saya.  Tak terasa, sudah dini hari.
   Saya agak salut dengan selera musik pada sebagian orang Papua yang saya temui. Mereka bukan manusia yang suka ikut trend musik. Mereka suka pop. Entah yang berbahasa Indonesia, Inggris bahkan bahasa daerah. Pemuda-pemudi Papua suka dengar musik suara si penyanyi dan instrumen-instrumen musik yang mengiringinya. Mereka bukan tipikal remaja alay ibukota yang suka melihat penyanyi dari wajahnya. BoybandsGirlband atau penyanyi tampan tak bermutu tidak punya tempat disini.
Orang Papua, yang terpengaruh tradisi musik gereja punya standar sendiri dalam menikmati musik. Tak heran kalau Papua punya penyanyi macam Edo Kondologit. Sepertinya, banyak penyanyi Papua punya kualitas dalam bernyanyi. Bernyanyi sudah dibiasakan di sekolah. Saya sering lihat anak-anak sekolah bernyanyi beramai-ramai disini.
Orang boleh berkata seenak hati dengan bilang mereka tertinggal dalam trend, tapi mereka punya standar cerdas dalam nikmati musik. Orang Papua yang sejatinya orang yang sederhana. Musik bukan perkara trend buat mereka, tapi masalah bagaimana menikmatinya. Musik itu di teling bukan di mata. Pop, Dangdut, rock atau reegee yang penting OK.     
Saya pun memutar lagu-lagu dari netbook saya. Lagu-lagu band kesohor dunia masa-lalu tentunya. Sambil menunggu pagi datang. Pagi masih lama. Pesawat baru akan terbang pukul 07.40 nanti. Pesawat Batavia akan membawa saya terbang ke Merauke pagi nanti. Pikiran saya sekarang adalah, bagaimana saya harus membuat kegiatan bersama anak-anak untuk belajar menulis. Saya barusaja mendapat pesan dari murid saya di Palembang soal harapan-harapannya terhadap Papua yang maju dalam banyak hal di Papua. Kata murid saya, “Indonesia butuh Papua.” Saya sepakat dengan apa yang dikata murid saya itu.
Sudah pasti murid saya itu titip salam buat mereka. Itu murid sayang sama orang-orang Papua, yang secara fisik beda tapi ada persaudaraan dibalik perbedaan itu. Ini harapan besar dari orang kecil macam murid saya. Banyak yang berharap seperti itu. Semoga harapan-harapan ini menjadi semangat bagi Indonesia yang damai. Malam adalah waktunya bermimpi, dan siang adalah waktu untuk mewujudkan mimpi. Malam juga waktu berisitirahat dan menyusun strategi untuk besok dalam rangka membangun mimpi.
Setiba di Merauke, saya jalan-jalan susuri sebagian kota Merauke. Tidak banyak bangunan lama. Di dekat Pelabuhan Kota Merauke yang sepi saya temukan gedung bekas kantor pos tak terpakai. Di muka gedung tertulis: Kantoor Post 1920. Sebuah tanda kalau ini kantor berdiri I tahun 1920. Gedung ini tak lagi terawat.
Di sudut lain kota terdapat jalan Mandala. Sebuah peringatana terhadap operasi Trikora pembebasan Irian Barat yang kini bernama Papua. Ada juga patung LB Murdani yang memimpin pendaratan di Merauke. Benny dan pasukannya terjun dengan parasut ke kota ini. Tak heran jika ini kota punya jalan bernama Jalan Para Komando. Kota ini tidak terlalu besar. Jumlah penduduk tak terlalu banyak, kemungkinan akan bertambah oleh pendatang yang merantau untuk merubah nasib. Peluang menjadi guru PNS cukup terbuka disini. Beberapa kampus sudah berdiri.
Warga di Merauke, umumnya pendatang. Entah dari Sulawesi, Jawa atau yang lainnya. Saya beberapa kali bertemu dengan orang-orang dari Maros. Entah Bugis atau Makassar. Ada seorang perempuan pemilik toko bangunan juga Perempuan asal Maros yang bermukim di Merauke sejak 1972. Ada tukang bakso asal Tulungagung, yang sudah lebih dari puluhan tahun berdagang bakso. Dia tampak senang berjualan bakso disini.
Pendatang biasanya berdagang, bertani atau bekerja di sektor-sektor lain. Ada yang menyebut Merauke sebagai penghasil beras juga. Harga beras di Merauke yang termurah adalah Rp 6.000.

Sabtu, 11 Agustus 2012, sekitar pukul sebelas. Saya melanjutkan perjalanan ke Boven Digoel. Digoel berjarak sekitar 450 KM dari Merauke. Mobil double gardan yang disebut Hiline. Jalan ke Boven Digoel terbilang tidak buruk. Kebanyakan sudah aspal. Namun,  banyak jembatan diperbaiki. Butuh waktu 10 jam untuk perjalanan.
            Perjalanan melewati kawasan Taman Nasional Wasur. Di sepanjang jalan banyak ditemui rumah rayap yang dulunya bekas pohon besar. Ada yang menyebut ale-ale. Di mobil saya bersama penumpang yang merupakan seleluarga penduduk asli. Sepasang suami istri beserta anak-anak kecil yang nakal-nakal dan lucu. Yang paling bungsu aalah yang paling nakal. Yang paling sulung bersikap tenang dan bijak—sepertihalnya anak pertama.
            Perjalanan juga melewati Muting yang merupakan daerah transmigrasi. Sejak 1980an pelan-pelan menjadi daerah ramai. Muting menjadi persinggahan mobil-mobil antara Merauke atau Digoel. Boven Digoel memang daerah pedalaman. Boven sendiri artinya pedalaman. Hutan belukar harus ditembus begitu lama. Sepanjang perjalanan jalan sepi dan gelap. Namun, bagi supir jalan antara Boven Digoel – Merauke terbilang aman oleh mereka. Tengah malam saya baru sampai di Boven Digoel.

Minggu, 12 Agustus 2012. Begitu bangun tidur, saya langsung menuju Kantor Polisi resort Boven Digoel. Dimana saya temukan banyak peninggalan-peninggalan dari kamp pembuangan tahanan politik Pemerintah Kolonial. Ada ruang sel berukuran kecil untuk satu orang. ada yang sedang untuk ukuran 3 orang, dan ukuran besar untuk ukuran 30an orang. untuk ukuran besar tersedia kakus untuk buang air besar.
            Di depan Polres terdapat patung besar Bung Hatta yang menunjuk tanah. Seolah berkata, “kami pernah (dibuang) disini.”Sebuah peringatan bagi kita semua bahwa memperjuangkan kemerdekaan itu berat dan sakit. Mereka harus menjadi Digoelis (penghuni kamp tahanan Digoel). Gelombang pertama penghuni kamp adalah bekas pemberontak komunis 1926/1927—seperti M Bondan, Sukendar, Thomas Nayoan, dan lainnya. Setelahnya adalah kaum pergerakan lain yang tak kalah berbahaya bagi pemerintah kolonial macam Mas Marco Kartodikromo, Hatta, Syahrir dan lainnya.
            Beberapa gedung bekas kamp pembuangan masih tersisa. Saat ini menjadi komplek kepolisian. Ada yang sebagai kantor, rumah dinas, taman kanak-kanak. Hanya ruang tahanan dan beberapa ruang lain yang tidak digunakan kepolisian. Ada yang digunakan untuk kegiatan belajar yang bermanfaat bagi remaja Digoel.
             Dalam pikiran saya, bangunan-bangunan yang tersisa sekarang, hampir semua dulunya tahanan yang merupakan penampungan sementara bagi ribuan tahanan politik sebelum mereka memiliki rumah tersendiri. Di sekitar kamp tahanan pasti dulunya terdapat: rumah dinas, pelabuhan kecil bagi kapal-kapal yang singgah di Digoel, tangsi KNIL yang menjaga kamp dan juga kantor-kantor. Kamp tahanan mungkin tergolong bangunan-bangunan modern yang pertama ada di Boven Digoel.
            Rumah-rumah para Digoelis sepertinya sudah tidak ada lagi karena dibangun sederhana dengan kayu. Berganti dengan rumah-rumah warga yang bentuk bangunannya tak jauh beda, hanya lebih besar.
Melihat jalan yang saya lewati semalam, rasanya berat sekali untuk kabur dari kamp karena harus melewati hutan rimba Papua selatan yang cukup ganas juga. Bertemu penduduk asli di masa itu bisa tidak jelas nasib si pelarian.
Tukang kabur paling legendaris adalah Thomas Nayoan. Pelarian pertamanya gagal karena tertangkap, pelarian keduanya dia mencapai Australia namun di ekstradisi lagi dan kembali ke Digoel. Pelarian ketiganya adalah akhir dari cerita sang legenda ini. Nayoan dinyatakan hilang.
            Kamp tahanan dipimpin oleh Kapten Becking. Orang yang berhasil menumpas pemberontakan PKI di Banten pada tahun 1926. Bagi beberapa orang Digoel, Becking terbilang baik hati. Ada juga seorang sersan KNIL Ambon yang disapa Om Bintang. Kisah-kisah di Digoel bisa dibaca dalam buku Chalid Salim—adik dari Agus Salim. Dari cerita-cerita tadi, kondisi di Digoel agak lebih baik daripada Pulau Buru di  masa ore baru.
            Dari bekas kamp tahanan, saya lanjutkan perjalanan ke pelabuhan lama yang harus lewati pasar. Dimana terdapat bangkai kapal yang menyatu dengan tanah. Setelahnya saya pergi ke dermaga baru yang sepi. Dimana saya ikut nimbrung dengan beberapa orang yang ternyata pelaut. Salah satu pelaut dari Menado dan dulunya adalah anak kolong yang bandel di Manado.
Sore ini, saya masih penasaran dimana makam-makam penghuni yang meninggal disini. Saya putuskan untuk bengong di dermaga baru saja—yang tak jauh dari dermaga lama. Tepat di sisi sungai Digoel. Sambil menunggu waktunya berbuka puasa dan mencatat beberapa hal.
            Hari mulai gelap. Ibu Nur—Pemilik rumah di tepi dermaga menyuruh saya tidur di ruangan penyimpanan barang. Saya nginap gratis lagi. Setelah cari makan malam di dekat pasar saya pun masuk kamar dan tidur. Tak sabar menanti esok. Mencari makam.


Senin, 13 Agustus 2012, sehabis mandi dan bincang-bincang pagi bersama Pak Pitong—kepala pemilik rumah. Pak Pitong orang Menado, sedang istrinya orang Jawa yang lahir besar di Lampung. Saya mulai berjalan lagi. Kali ini menuju Taman Makam Perintis Kemerdekaan. Taman Makam terletak di kampung Wet. Sekitar 2 KM dari komplek bekas kamp tahanan Digoel (Polres Boven Digoel) jaraknya. Sepanjang perjalanan yang dilewati adalah perkampungan dengan jarak rumah yang sangat renggang. Tidak begitu sepi. Orang-orang sudah beraktivitas pagi ini. Orang Papua bukan pemalas.
            Setelah berjalan sekitar hampir 30 menit saya sampai di makam. Saya segera keluarkan ponsel berkamera untuk mengambil gambar. Desain relief penghias tugu taman makam begitu unik. Karakter Papua yang hitam dan ekspresif begitu kentara. Terdapat sekitar 43 makam di komplek taman makam ini. Saya amati daftar-daftar nama yang tertera. Bisa dipastikan mereka umumnya adalah bekas tahanan kamp tahanan interniran Digoel yang terkenal ganas itu. Meninggal di Digoel, bisa karena sakit atau kena ganasnya hewan buas seperti buaya, termasuk malaria ganas. Malaria adalah ancaman mengerikan di Digoel. Banyak penghuni pernah kena. Termasuk Bung Hatta.
            Digoel bisa bikin kurus badan. Sebagai contoh Mas Marco bersama istrinya. Ketika baru menikah dan belum ke Digoel keduanya tubuhnya berisi. Setelah di Digoel, keduanya pun kurus kering.
            Beberapa nama yang saya kenali adalah Ali Archam saja. Yang lain saya tidak begitu kenal. Ada nama Nahjohan, yang saya kira adalah Thomas Nayoan. Mereka meninggal di waktu yang tidak lama berselang. Entah apa alasan Nahjohan meninggal kurang saya ketahui. Thomas Nayoan sendiri hilang tanpa kabar karena melarikan diri.
            Saya penasaran dengan dimana makam Thomas Nayoan. Saya juga tidak berhasil temukan makam Mas Marco Kartodikromo—seperti janji saya pada Agung Dwi Hartanto—kawan saya. Saya menyesal sekali.
            Setelah memotret beberapa hal penting, saya pergi. Sebelumnya saya tanya dulu orang yang tinggal disitu untuk cari makam lain. Tapi mereka jawab tidak ada. Tak jauh dari makam ada rumah pegawai negeri sipil—yang ternyata adalah kepala distrik Koh. Masih muda. Dia camat termuda di Boven Digoel. Di berhasrat membudidayakan kayu gaharu di Koh.
            Tidak lama mengobrol dengannya. Setelahnya saya pamit. Camat muda harus mengantar anaknya ke Sekolah. Say diantar sampai depan Polres. Melewati bekas kamp tahanan lagi. Setelah itu saya kembali ke rumah di tepi dermaga. Bermain gitar dan nongkrong di kapal. Sambil menikmati aliran air sungai Digoel. Juga tepi Digoel yang penuh tanaman. 
            Begitu sore, saya putuskan jalan-jalan sore. Bersama Daeng Candra. Kami susuri jalan besar di distrik Mandobo. Melihat bagaimana tentara dan pelajar latihan persiapan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-67. Tak terasa waktu berbuka tiba, kami  singgah di warung dan minum Es Buah.

Selasa 14-15 Agustus 2012. Anak-anak sekolah yang dipilih di sekolahnya hari ini gerak jalan dalam parade tahunan meyambut hari ulang tahun kemerdekaan. Tepat siang bolong mereka harus berbaris layaknya tentara NAZI Jerman. Rapi dan enak dilihat para penonton, juri dan juga pejabat lokal. Sebuah drumband dari SMP 1 Boven Digoel iringi peserta lomba gerak jalan itu di barisan terdepan.     
            Cuaca Digoel agak mengancam para peserta parade tahunan itu. Upacara bisa minta tumbal bila cuaca jelek. Dimana orang kehujanan dan kemudian jatuh sakit. Tradisi fasis yang diam-diam terpelihara.
            Hari ini waktu yang tepat untuk berisitirahat saja karena langit agak mendung. Sesekali gerimis turun tak merata di tepi Sungai Digoel. Ketika gerimis reda, orang-orang tetap pada kegiatannya. Para kuli terus bongkar muat di dermaga. Orang yang akan pergi ke arah hulu dari Sungai Digoel akan lanjutkan perjalanan.
            Orang Papua bukan pemalas. Mereka hanya hidup sederhana saja, tak mau berlebih seperti orang Indonesia di sisi barat yang terpengaruh modernisasi dan tergantung banyak pada uang. Orang Papua hanya berpikir agar tidak lapar. Mereka bukan perusak alam demi rupiah.
            Orang-orang Papua asli yang sebagian saya lihat hari ini, dalam ukuran saya, tetap sederhana dalam berpakaian.  Mereka cukup pakai kaos oblong dan celana pendek tiap hari. Banyak dari mereka yang tidak pakai sandal jika berjalan kaki. Bagi orang-orang di Indonesia bagian barat ini sering dianggap tidak sopan, bahkan ada yang berpikiran ini tak beradab. Tapi, orang Papua hanya ingin itu tak lebih. Apa itu salah?
Manusia modern selalu melihat dari penampilan,bukan melihat bagaimana berkemanusiaan. Saya sempat dengar perkataan akademisi yang bilang Papua belum diberadabkan sepenuhnya. Lalu di Bandara, pernah saya dengar dua perempuan yang diam-diam menertawakan orang Papua yang duduk disebalahnya. Sebagai negeri pewaris kolonialisme, orang Indonesia tak sepenuhnya bisa menghargai orang berkulit hitam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tak pernah disadari. Hitam selalu diartikan buruk.
Itu yang saya renungkan hari ini. Begitu menyedihkannnya Indonesia dan betapa menderitanya Papua yang dipinggirkan dan dianggap terbelakang pula oleh orang sok beradab. Bukan salah Papua.  

16-18 Agustus 2012. Setelah pamit dengan Ibu Nur dan keluarga, saya menuju Sota.  Awalnya, saya ingin ikut kapal ke Merauke. Tapi, karena akan ribet saya urungkan niat itu. Saya pilih naik hilinesaja. Dengan jalur yang sama ketika ke Digoel sebelumnya. Siang hari berangkat dan singgah di Asiki, masih wilayah Digoel namun agak ramai karena ada perkampungan pegawai yang cukup besar disini. Kami singgah 2 jam karena ban hiline kami rusak.
            Agak sore hiline jalan lagi melintasi jalan aspal dan sebagian jalan tanah yang makin keras. Sebagian besar jembatan yang kami lewati masih dalam perbaikan. Kami singgah di Muting terlebih dahulu. Muting makin ramai oleh pendatang. Tengah malam kami tiba di Sota. Saya pun terlelap sampai pagi di emperan warung. Paginya saya terbangun dan menumpang toilet di sebuah warung, yang pemiliknya orang Jawa. Banyak pemilik warung adalah orang Jawa. Para petani di Sota juga banyak orang Jawa.
            Pagi, tepat 17 Agustus, saya pun jalan kaki ke perbatasan. Seorang penjaga masj d mengantar saya ke Pak Ma’ruf—seorang Inspektur Polisi yang begitu peduli pada perbatasan. Saya lapor padanya soal tujuan saya. Saya hanya jalan-jalan. Saya pun dipersilahkan jalan-jalan. Tak jauh dari pos terdapan pos terakhir tentara.
            Saya disambut ramah oleh seorang anggota tentara yang jauh dari rumah itu. Dia bercerita soal anak Papua Nugini yang bersekolah di wilayah Indonesia. Kebetulan orang-orang Papua Nugini diundang ke acara peringatan Kemerekaan Indonesia. Mereka ikut upacara dan juga menghormat pada Merah Putih.

            Selesai upacara, orang-orang Papua Nugini itu ikut sumbang mereka punya tari-tarian. Tak begitu beda dengan tarian masyarakat Sota asli. Acara peringatan kemerdekaan terbilang meriah untuk ukuran desa perbatasan RI-PNG ini. Ada lomba tarik tambang ibu-ibu. Ibu-ibu dari PNG begitu kuat. Ada panjat debog pisang buat anak-anak. Lebih sulit daripada panjat pinang.
            Tentu saja saya berfoto di tugu perbatasan. Tugu perbatasan tak jauh dari jalan poros Trans Papua. Dari pertigaan tugu Sabang tak sampai 2 KM jaraknya. Di tugu perbatasan dikelilingi taman-taman dan kebun-kebun yang dirawat oleh Pak Ma’ruf. Tanah-tanah di Sota terbilang subur.
Pak Ma’ruf adalah orang penting di Perbatasan. Kerja sosial yang dia lakukan ini tak ada sangkut pautnya dengan dana dari Negara. Semua dilakukan dengan ikhlas. Tak mencari apapun. Tak heran Pak Ma’ruf pernah diunang sebuah talk show TV nasional yang cukup bergengsi. Beruntung bisa bertemu dengannya.
            Seperti aparat pemerintah lainnya, Pak Ma’ruf juga harus menjalani hidup dengan berat. Gaji aparat pemerintah yang sama seperti di daerah lain di Jawa membuat hidup mereka agak sulit. Biaya hidup di Papua terlalu tinggi. Membuat gaji bulanan mereka cepat habis.
 Karena orang-orang PNG sering keluar-masuk perbatasan untuk berbelanja, maka di dekat perbatasan terdapat pasar. Tak jauh dari perbatasan juga terdapat kantor imigrasi. Orang-orang PNG fasih berbahasa Inggris. Cara berpakaian mereka yang sederhana hampir-hampir mirip dengan orang Papua.  Orang-orang ini biasa berjalan kaki berhari-hari dari kampungnya untuk mencapai Sota. Mereka kadang berpenampilan  kucel karena berjalan begitu jauh.
Tujuan selanjutnya adalah Merauke. Memotret bekas kantor pos dekat pelabuhan. Sambil menunggu pesawat ke Makassar. Mengunjungi Papua begitu menyenangkan.