Senin, Mei 21, 2012

Geliat Rustam Effendi

Jagoan ini terlalu nekad, di kandang singa-pun dia masih berani berteriak. Dia masih bisa gembira dengan keyakinannya, walaupun akhirnya harus rela diterkam dan digigiti singa tadi.

Tokoh radikal ini telah malang melintang dalam dunia pergerakan, sejak remaja. Masa mudanya diliputi kisah pergerakannya. Dia bukanlah jago kandang. Dimanapun, pada siapapun dia berani keras, apalagi pada penindasan pemerintah kolonial di Hindia Belanda.
            Separuh karirinya dalam pergerakannya dilalui di Eropa setelah pemebrontakan PKI di Silungkang gagal yang dengan gemilang ditumpas polisi Belanda dan KNIL. Rustam Effendi bukan pengecut dengan lari dari Sumatra Barat, dia tidak lari dari kenyataan, dengan pergi ke Belanda. Ke Negeri Belanda berarti memasuki kandang singa buas yang bisa menerkam dan menggigit kapan saja

Berteriak di kandang Singa
Suatu minggu ditahun 1933, ketika Jerman dikuasai Adolf Hitler, Orang muda Hindia berpidato dalam sebuah rapat umum untuk pemilihan umum angota parlemen di Tiel. Dalam rapat umum itu pemuda itu menuduh Hitler sebagai 'Oorlogsmoordenaar' (calon pembunuh perang). Karenany pemeroiontah Belanda mengenakan delik, menghina kepala negara tetangga, pemuda itu diadili di kota itu juga. Karena kesal dengan sikap arogan sang hakim yamng terlalu merendahkan dirinya, pemuda itu berkata. "En wat doen yullie, uitbeitter in mijn land?".(Dan apa yang dilakukan Yullie, lebih baik di negerinya). Publik yang hadir dalam pengadilan itu bereaksi, mereka memberikan simpatinya pada pemuda itu dengan sorakan yang mempermalukan hakim tadi. Kendati dapat banyak simpati, tetap saja pemuda itu dijebloskan juga ke penjara. Bagi pemuda ini dikemudian hari, pemerintah Belanda dengan sengaja ingin menjegalnya sebagai anggota parlemen. Menurut ketentuan saat itu, orang terhukum tidak diperbolehkan menjadi anggota parlemen. Karena bukan terlibat kasus pidana atau perdata usaha pemerintah Belanda di negeri Belanda menghalangi pemuda itu naik ke kursi Tweede Kamer itupun gagal. Atas simpati sebagian rakyat Belanda lewat surat yang dikirim orang-orang Belanda yang simpati pada orang-orang Hindia, popularitas pemuda itu naik, dan akhirnya terpilih sebagai anggota parlemen. [1]
            Penindasan pemerintah kolonial terhadap Zeven Provincien, menimbulkan reaksi di Belanda. Kaum radikal lalu mengadakan demonstrasi besar-besaran. Suasana di parlemen juga panas karena pemberontakan itu. Ketika Rustam sedang membuat catatan, Jan Schouten dari kubu anti revolusioner yang mendukung tindakan refresif pemerintah kolonial, menurutnya pemerintah memang harus melakukan hal itu terhadap pemberontakan yang terlupakan dalam sejarah Indonesia itu. Ketika Jan Schoutman melontarkan kata-kata: "En de regering moet regeren!"  (Pemerintahan harus memerintah)—maksud kalimat itu, peme5rintah kolonial berhak menindas pemerontak diatas kapa itu. Bukan Rustam Effendi bila diam saja mendengar kalimat macam itu. Spontan Rustam melompat dan membalas kata-kata tadi dengan kalimat yang agak emosional:  "En mijn volk moet zeker creperen?" (Dan bangsaku harus terus sengsara). Peserta sidang-pun terkejut dan terdiam mendengar kata-kata Rustam tadi. [2]
            Tahun 1935, Rustam menghadiri sebuah upacara pembukaan parlemen. Banyak yang bertanya mengapa dirinya hadir? Rustam sendiri agak cemas ketika berada ditengah-tengah kaum reaksiner yang diantara berseragam militer dengan embel-embel bintang kebesarannya. Biasanya, setelah ratu memberikan sambutan, semua hadirin bersorak "leve Oranje!" (hidup dinasti Oranje). Ketika itu pula Rustam berteriak "Indonesia Merdeka!", hasirin-pun diliputi rasa panik oleh ulah Rustam yang tampak puas dengan ulanya itu. Ulah Rustam ini berbuah penganiayan polisi dan petugas keamanan yang tersebar dan bersembunyi dibalik-balik gorden. Rustam-pun babak belur atas teriakan yang berdasar dari keyakinannya itu. Harga bagi seorang yang terlalu nekad di kandang Singa. Itulah Rustam Effendi. [3]
Pemuda  Rantau
Rustam Effendi, kelahiran Padang, 13 Mei 1903, sebuah daerah yang cukup banyak melahirkan kaum pergerakan baik yang koperatif bahkan  radikal dalam sejarah. Rustam Effendi menikmati kebijakan politik etis dari pemerintah kolonial, dia mengenyam pendidikan dasarnya di Hollands Inlandsche School (SD dengan pengantar bahasa Belanda) di Padang. Setamat dari sekolah dasar, Rustam masuk Kweekschool (sekolah calon guru) di Bukittinggi—sebelumnya Tan Malaka pernah bersekolah disitu sebelum berangkat ke Negeri Belanda. Dari sekolah itu, dia meneruskan ke Hogare Kweekschool di Bandung, kendati tidak memperoleh diploma dari HKS, Rustam masih belajar lagi di beberapa lembaga pendidikan keguruan di Den Haag, ketika lari ke Belanda. Setidaknya Rustam pernah menempuh pendidikan di lagere Acte voor Onderwijs dan MO voor Ekonie, keduanya di Den Haag, Belanda. Hohe Schule für Journalistik, di Berlin. Pendidikan lain di Lenins Universiteit di Moskow. [4]
Ketika Rustam Effendi masih muda dan menjalani sekolah menengah keguruannya di Bandung, adalah masa-masa  kuartal pertama abad XX, masa-masa kolonial menjadi dewa atas tanah Hindia. Semua  lini kehidupan adalah berbau kolonial, termasuk pendidikan. Dalam politik pendidikan kolonial, siswa-siswa yang belajar di sekolah menengah, kejuruan maupun tinggi tidak pernah diajarkan ilmu atau soal-soal politik, sehingga dalam bidang ini kebanyakan siswa-siswa tidak mengerti sedikitpun tentang politik, termasuk Rustam sendiri. Ketika itu, Rustam duduk sebagai siswa di HKS (Hogare Kweek School) mempelajarinya dari ayahnya. Ayah Rustam adalah Sulaeman Effendi, salah satu tokoh propaganda NIP (Nationalis Indische Partij) pimpinan oleh Douwes Dekker, R.M. Suwardi Suryaningrat dan dr Cipto Mangunkusumo. Oleh sang ayah, Rustam sering dibawa oleh ayahnya berkunjung ke rumah orang-orang pergerakan tadi. Percakapan-percakapan dan diskusi orang-orang tua itu diamati Rustam, dari situ, sikap kritis dan benci pada orang-orang Belanda tumbuh dalam darah mudanya. Entah dirumah dr Cipto atau di rumah Douwes Dekker, untuk pertama kali Rustam mengenal  Soekarno, yang kuliah  di Technische Hoge School (sekolah tinggi tehnik) di Bandung. Kala itu hubungan Rustam dengan Soekarno cukup akrab sebagai kawan berdiskusi, hampir pembicaraan selalu diakhiri dengan ajakan Soekarno: "Ayo kita kita cari sate keluar, ambil angin!" katanya.  Mereka berdua sama-sama prihatin dengan banyaknya organisasi-organisasi pemuda waktu itu bergerak sendiri-sendiri. Mereka mengibarkan  dan mengikuti bendera kesukuannya masing-masing. Mereka antara lain: Jong Java; Jong Sumatranen Bond (JSB); Jong Minahasa; Sekar Rukun; Jong Ambon dan lain-lain. [5]
            Rustam sendiri waktu itu adalah anggota JSB, tetapi lama-lama dia tidak begitu yakin dengan corak kedaerahan organisasi-organisasi tadi. Ketika itu, belum ada format organisasi pemuda yang bergerak dan beridentitas sama dalam pergerakan, antara Soekarno dan Rustam juga belum terlintas bagaimana menyatukan mereka dalam satu wadah dan bergerak bersama. Terdorong keinginan hendak berbaur dengan pemuda-pemuda dari lain suku, Rustam-pun tertarik masuk perkumpulan DVI (Dienaren van Indie) yang dipimpin oleh dua orang Eropa, Ir Fournier dan Ir van Leeuwen. Anggota DVI ini diperoleh dengan bantuan dari tokoh-tokoh terkemuka dari organisasi kesukuan diatas, seperti Dr. Amir, Basuki, Sukamsa, Sanusi Pane, Muhamad Yamin, M. Thabrani, Adinegoro, Darsa Arsa, dan lain-lain yang kemudian menjadi orang-orang berpengaruh dalam pergerakan nasional. [6]  
            Sekitar tahun 1922 Rustam lulus dari HKS Bandung. Saat itu suasana dan gelombang politik  kaum 'non cooperation' sedang panas. Ketika itu, berdasar keputusan departement van Onderwijs melalui  telegram, Rustam telah diangkat sebagai guru kepala HIS di Siak Sri Indrapura, Sumatra. Rustam dihadapkan pada dua pilihan, jadi guru dengan pengfhasilan baik, atau hidup sebagai orang pergerakan dengan segala resiko. Tanpa pikir panjang lagi dan siap menghadapi berbagai resiko yang akan dihadapinya Rustam memilih yang kedua. Tentu saja isi telegram itu tidak lagi dipedulikannya. Rustam tidak lagi ingin menjadi guru. Akibatnya Rustam tidak mendapatkan diploma guru-nya sebagai tamatan HKS Bandung. [7]

Pelarian Politik dari Padang.
Di tanah  kelahiran saya di Padang yang penuh dengan warna pergerakan, Rustam mulai dikenal sebagai 'Jago Non'. Awalnya, menurut Soe Hok Gie dalam skripsinya Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, Rustam tidak berani berpolitik dan dicap sebagai koperator. Namun perlahan sebagai 'anggota Inlander'  dalam gementeeraad (dewan kota) disana, dia mulai bersentuhan pemikiran non koperator. Terjadinya pemberontakan kaum komunis di Silungkang (1926). Rustam merasa, dirinya  tidak ada sangkut pautnya dengan pemberontakan kaum komunis itu, sebab saya bukan komunis, namun PID—Politieke Intellingen Dienst: polisi yang mengawasi kaum pergerakan—berusaha menjebloskannya dalam barisan komunis pemberontak itu. Untuk menghindari hal terburuk, Rustam dengan terburu-buru memutuskan meninggalkan Indonesia dan pergi ke Belanda. Mengenai pemberontakan PKI yang gagagl itu, Rustam sangat tidak menyetujuinya, seperti halnya Tan  Malaka. Rustam, menganggap pemberontakan PKI itu tidak memenuhi syarat-syarat obyektif, jadi mereka revolusi yang dicetuskan dari pertemuan di Prambanan tidak dipersiapkan secara matang. Karenanya pemberontakan itu nyaris sia-sia dan menjadi bomerang bagi kaum pergerakan pasca pemeberontakan—dimana posisi kaum non koperator semakin desak. Seperginya Rustam dari Indonesia, tercetuslah Sumpah Pemuda, sebuah langkah pertama menuju persatuan pemuda-pemuda Indonesia dari suku-suku yang berbeda menjadi satu untuk sebuah kamunitas 'Bangsa Indonesia'. Komunitas yang bukan lagi imajiner, tetapi nyata. Dikemudian hari Rustam yang saat iut di Eropa tidak menghadirinya. [8]
Belanda Rustam ditampung oleh Perhimpunan Indonesia yang diketuai Muhamad Hatta. Dari Hatta , Rustam banyak memperoleh bimbingan politik. Di PI, Rustam diperbantukan di redaksi dan administrasi majalah 'Perhimpuan Indonesia'. Seperti diketahui PI juga menjadi anggota perkumpulan Internasional 'Liga menentang Imperialisme dan menunjang perjuangan kemerdekaan Nasional bangsa-bangsa yaqng tertindas'. Di Negeri Belanda, PI merupakan menjadi tumpuan penggerak dari eksistensi dan gerakan liga-nya orang pergerakan negeri yang tertindas itu. Rustam yang ditunjuk oleh Hatta sebagai  penghubung antara PI dengan organisasi-organisasi lainnya mulai berhubungan dengan kaum radikal. Ada banyak organisasi radikal di Eropa, antara lain: 'Sosialis kiri', 'Anti Militaris', 'Anarche Syndikalis', Partai Pasifis, Komunis dan lain-lain, dengan sendirinya Rustam-pun terpengaruh. Disisi lain dirinya juga mempergunakan hubungan tersebut dengan baik, yakni memperluas propaganda pergerakan nasional di Eropa pada kaum –kaum radikal tadi. [9]
Rustam berusaha memaksimalkan kerjasama dengan mereka, baik dalam rapat terbuka maupun lewat pena. Kepada majalah-majalah kaum radikal Eropa itu, Rustam berusaha menuangkan semaksimal mungkin pemikirannya. Tulisan Rustam pernah dimuat di "Links Socialist', 'De Opbouws', 'De Anti Muiliteristi, 'De Branding', dan lain-lain milik kaum radikal itu. Dipastikan hubungan Rustam dengan kaum radikal Eropa itu menyeretnya ke arah radikalisme. Pastinya ini tidak disukai Hatta dan bisa berkibat buruk pada ideologi PI dimasa depan. Ketika Hatta hendak menyudahi studinya dan berencana pulang ke Hindia, pimpinan PI-pun diserahkan pada Abdul Syukur. Saynmgnya, pengganti Hatta ini kurang mempunyai wibawa dimata para anggota PI yang sebagian mulai radikal, termasuk Rustam.  Dimasa-masa akhir inilah Hatta menulis karangannya dalam majalah PI, didalamnya tersisip kalimat, " kami tidak ingin menjadi kuda penarik kereta Moskow."  Kalimat ini tentunya menimbulkan topan reaksi dikalangan orang-orang Komunis dalam tubuh PI. Dilingkungan PI sendiri timbul kegelisahan, yang meluap-luap dan berubah menjadi oposisi yang kuat. Ini bukan dipandang dipandang dari kepentingan komunis, melainkan dari sudut praktis politik. Menurut Rustam, jika PI atau pergerakan Indonesia lainnya memusuhi Moskow kala itu, maka kita dunia Internasional macam komintern tidak akan ada sokongan positif dari pihak mereka. Pihak oposisi ini yang dipelopori oleh Abdul Madjid, Setiadjid dan Rustam sendiri. Mereka berhasil dalam suatu rapat pleno, setelah melalui perdebatan sengit, mengalahkan Hatta dan Sutan Syahrir dengan suara terbanyak. Sejak itu PI di Belanda mulai dikendalikan oleh 'tiga serangkai' (Abdul Madjid, Setiadjid dan Rustam). Mereka-pun akhirnya terjerumus mengikuti jalur Moscow (Komintern), seperti yang dihindari atau mungkin ditakuti Hatta. Aktifitas dan popularitas Rustam dikalangan buruh Belanda , rupanya menarik perhatian Moscow juga, yang melalui CPN (Partai Komunis Belanda) mencalonkan Rustam untuk menjadi anggota Tweede kamer der Staten General. Untuk alasan itu pula Rustam-pun menjadi anggota resmi dan terbuka dari CPN itu, sedangkan kawan-kawan seperjuangan yang lain tetap dalam PI yang  sebagiannya adalah anggota ilegal. Sebelum Rustam, beberapa orang-orang Indonesia pernah dicalonkan oleh Partai Komunis Belanda, pada tiap-tiap pemilihan umum, mulai dari Tan Malaka, Alimin, Semaun, Musso, Darsono dan lain-lain. Namun tidak ada satu-pun dari mereka  yang terpilih. Dalam sejarah, Rustamlah orang Indonesia  pertama yang menduduki kursi palemen Belanda itu. Saat itu, Rustam tampil sebagai anggota termuda dari semua anggota Parlemen. [10]
Rustam akhirnya berusaha melepaskan diri dari pemgaruh Moscow yang dominan terhadap pergerakan radikal Indomnesia di Belanda. Moscow berambisi, Negara baru yang merdeka ditanah Hindia adalah negara komunis, bukan feodal borjuis. Terbukti Moscow mengutus Musso ditahun 1948. [11]
Rustam menginginkan sebuah koalisi antara kelompok sosialis yang ada, ketika sebuah ide untuk menyatukan kaum sosialis di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda ditolak oleh segolongan orang-orang Eropa dari pimpinan buruhreformis dan sosial demokrat Belanda, Rustam amat kecewa sekali dengan sikap orang-orang Belanda itu. Orang-orang Belanda itu dicap sebagai 'pimpinan sayap kanan SDAP (Belanda) yang sombong'. Menurut Rustam, penolakan kerjasama itu, sama saja memberikan kesempatan pada pemeritahan Colijn untuk berlaku reaksioner pada kaum pergerakan. Disisi lain hal ini juga merugikan rakyat Hindia yang tarap hidup-nya dibawah standar dan semakin menjerumuskan mereka dalam kelaparan, bahkan akan memiskinkan kaum buruh di Negeri Belanda juga. Rustam bisa bergembira ketika konsentrasi kekuatan rakyat anti imperialisme dan kolonialisasi terbentuk di Indonesia, yakni fusi pada bulan Desember 1935, antara Partai Bangsa Indonesia pimpinan Soetomo dengan Boedi Oetomo—yang awalnya didirikan dan dipimpin Soetomo juga. Fusi ini terus berkembang dengan bergabungnya organisasi kecil intelektual macam: Kelompok Intelektual Banten Tirtajasa, Kaoem Betawi, Sarekat Soematra, Partai Sarekat Selebes (Parsas), juga anggota-anggota Partai Rakyat Indonesia. Formasi ini adalah front nasional  bernama Partai Indonesia Raya. Biasa disingkat Parindra. Partai yang dip[impin oleh orang-orang koperatif macam Thamrin, Soetomo dan lainnya. Walau tidak sepenuhnya seperti yang diimpikannya, karena partai ini bersifat elitis borjuis, Rustam bisa gembira sejenak. [12]




[1] Roestam Effendi, Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,dalam Bunga Rampai Sumpah Pemuda, dihimpun oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. h. 399-400.
[2] Ibid., h. 400-401.
[3] Ibid., h. 401.
[4] Ibid., h. 396.
[5] Ibid., h. 397-398.
[6] Ibid., h. 398.
[7]  Ibid., h. 398-399.
[8] Roestam Effendi, Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,dalam Bunga Rampai Sumpah Pemuda, dihimpun oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. h. 398-399: Soe Hok Gie, Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan, Yogyakarta, Bentang, 1997. h. 29: Rustam Effendi, Sedikit Penjelasan Soal-soal Trotskisme, Jakarta, Patriot, 1950. h. 21.
[9] Roestam Effendi, Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Muda,dalam Bunga Rampai Sumpah Pemuda, dihimpun oleh Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta, Jakarta, Balai Pustaka, 1986. h. 398-399.
[10]Ibid., 1986. h. 398-399.

[11] Ibid., h. 402.
[12] Bob Hering. M.H. Thamrin and His Quest For Indonesian Nationshood, ab. Harsono Soetedjo, M.H. Thamrin: Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003. h. 256-257.