Senin, Mei 05, 2008

Melacak Sejarah

“Kertas bisa bicara dengan goresan potlot diatasnya. Jadi kertas juga anak sejarah. Karena kertas, sejarah akan terus berbicara. Sejarah akan terus berbicara lewat mulut anak-anaknya.”
Beberapa arsip dan buku langka tentang gerakan Westerling menuntun pada, sedikit dari sekian banyak, sejarah kekerasan di Nusantara. Tidak hanya arsip dan buku, dunia maya juga sanggup menunjukan hal yang sama. Di Nijmegen, Negeri Belanda, tersebut seorang yang mengaku bernama Frederick Willem. Orang ini blogger-nya Westerlingonline. Mau cari siapa itu algojo “penebar senyum” bernama Westerling, main aja ke blog itu. Entah apa yang buat Frederick Willem mau buat blog tentang orang berbau darah itu. Terbayang di kepala kita kalau dia lakukan riset kecil untuk blog-nya. Tinggal di Belanda tidak akan menyulitkan Frederick Willem untuk mempelajari Nusantara, setidaknya dalam kacamata orientalis Eropa.

Bukan rahasia lag jika banyak data-data kuno, mungkin juga yang mutakhir, tentang Nusantara bercokol di perpustakan Universitas. Leiden adalah salah satu surga itu. Sebagian sejarahwan Nusantara mungkin menganggap Leiden, mungkin juga KITLV, sumur zam-zam. Semua terjadi karena Imperialisme Ratu Singa yang 3,5 abad itu.
Untung saja ada jejak Westerling tertinggal di Jl Ampera Raya III Cilandak (Gedung ANRI). Seorang kepala polisi membuat laporan tentang peristiwa Westerling (pemberontakan APRA) di Bandung dan Jakarta—yang kadang disebut Kudeta 23 Januari (1950). Tercatat beberapa nama orang yang terlibat dalam laporan polisi itu. Keterlibatan Sultan Hamid II dan kaum pemilik modal besar—yang punya kepentingan besar di Nusantara—sekelas KPM, BPM, Borsumij dan lainnya.
Rasanya tidak perlu kita mencari tengkorak korban orang bersenjata atau rongsokan besi tua bekas bedil orang-orang bersenjata. Melalui kertas-kertas juga akan membawa kita pada kisah orang-orang bersenjata. Kita tahu surat penahanan atau perintah hukuman mati juga dari kertas. Sejarah kekerasan bisa ditilik dari tumpukan surat-surat. Selain surat-surat resmi, pengadilan juga punya proses verbal. Tentang Sultan Hamid, ada buku berjudul “Peristiwa Sultan Hamid II” terbitan Perdjasi. Lebih dari 75% buku itu adalah proses verbal. Dari buku ini, kerterlibatan Sultan Hamid II—juga tokoh-tokoh lainnya—bisa diketahui seberapa jauhnya.
Westerling layak digolongkan orang yang sadar sejarah. Karenanya scripta manent verba volant berlaku bagi Westerling. Westerling ingin sejarah mencatat dan bukan sekedar bertutur lewat mulut yang akhirnya membuat sejarah terlupakan. Hasilnya, Westerling menulis autobiografinya, yang berjudul “Chellenge to Terror”. Pastinya Westerling berkilah soal aksi pembantaian di Sulawesi Selatan dan kudeta 23 Januari. Berlagak Eropasentris, Westerling menganggap gerilyawan buruannya sebagai ekstrimis (pengacau). Selain Chellenge to Terror, ada beberapa buku tentang Westerling yang bukan ditulis Westerling seperti Westerling De Eenling dan Westerling Oorlog. Rasanya bukan hanya Westerling yang sadar sejarah dan menulis autobiografi atau memoir. Banyak tokoh dalam sejarah melakukannya, untuk sekedar mengenang dan berusaha dikenang, membela diri bahkan menjatuhkan lawannya. Semua tulisan apapun bentuknya juga maksudnya adalah sah untuk menjadi sumber sejarah dalam fase heuristik sejarah.
Setelah heuristik (pengumpulan berbagai data sejarah), langkah penting kedua adalah kritik sumber. Dimana sejarawan menilai kebenaran yang terkandung dalam sumber yang diperolehnya. Apa yang diperiksa sejarawan dari sumbernya adalah kebenaran tersurat (kritik ekstern) dan kebenaran tersirat (kritik ekstern) yang terkandung dalam sumber yang diperoleh. Artinya sejarawan melakukan koreksi dan penilaian luar-dalam atas data yang diperolehnya. Langkah kritik sumber penting untuk menjauhkan sejarawan dari kesalahan, mungkin juga kebohongan.
Hampir semua sumber punya celah-celah lemah. Manusia bisa berbohong. Meski tidak berbohong sekalipun, kebenaran dari mulut seseorang bisa bergeser karena tafsir yang berbeda-beda. Sumber sejarah tidak seutuhnya mampu menyajikan kebenaran. Begitu juga tumpukan kertas. Apa yang tertulis di kertas bisa saja meragukan—lihat kasus Supersemar. Laporan polisi, meski ditulis dengan penuh kejujuran, bisa saja penulis laporan terpengaruh sumber palsu atau pengakuan bohong dari pelaku peristiwa. Karena setiap laporan intelejen diadakan penilaian laporan berupa kode huruf-angka. (ABCDEF: untuk menilai kepercayaan narasumber, 123456 untuk menilai kebenaran isi dari laporan intelejen itu)
Kerja sejarawan pada fase kritik sumber sama saja dengan kerja analis intelejen menilai laporan intelejen yang diperoleh. Jadi cukup ideal bagi orang sejarah untuk bekerja di badan intelejen. Historiografi dengan intelejen adalah dua dunia yang memiliki kesamaan prinsip, dimana tidak ada yang bisa dipercaya namun tetap menghargai data-data. Karenanya data-data perlu menjalani proses uji dan telaah.
Tidak semua arsip itu benar isinya. Juga tidak semua buku sejarah yang ada telah menyajikan kebenaran meski telah teruji secara akademis. Interpretasi sangatlah penting dan harus dalam penulisan sejarah. Tidak ada sejarawan yang memiliki data sepenuhnya lengkap dalam riset. Dalam rekontruksi sejarah, selalu ada rantai yang hilang. Disini interpretasi bermain. Interpretasi tidak melulu beranalisis dengan apa yang sudah ada. Penting sekali mencari rantai hilang dengan imajinasi. Dengan data yang sudah ada, sejarawan berusaha membayangkan apa yang terjadi dalam kekaburan sejarah. Interpretasi (atau penafsiran) yang dilakukan dan dihasilkan sejarawan adalah buah penting dalam penelitian. Disini sejarawan menemukan, setidaknya berusaha menemukan hal baru dari penelitiannya. Tafsir sejarawan ini juga yang nantinya akan memberikan wacana baru dalam dunia historiografi, bahkan ilmu pengetahuan. Apa yang ditafsir sejarawan bukanlah hal yang sepenuhnya “benar” (dalam arti mutlak). Sejarawan hanya berusaha mendekati kebenaran. Kebenaran yang benar dalam dunia wacana, termasuk sejarah, adalah kebenaran nisbi dan bukan yang Mutlak.
Hal terakhir adalah menulis apa yang menjadi tafsir tadi dengan dasar berbagai fakta-fakta sejarah yang sudah ada. Hal terakhir ini pula adalah fase penutup dan laporan dari riset (atau penelitian) historis.
Dari kertas dan menjadi kertas lagi, itu yang dilakukan mahasiswa sejarah. Betapa tumpukan kertas, berisi data-data sejarah, berguna lagi dan menjadi kertas lagi. Kertas bukan sembarang kertas, tapi kertas dari tangan sejarawan adalah kertas yang bisa bicara, meski tak bermulut. Layaknya anak sejarah, kertas-kertas itu akan bicara soal kehidupan

Anak_Paria