Rabu, Desember 28, 2011

Dibawah Naungan Pink Floyd

Pink Floyd menghentikan langkah saya. Dan saya mulai menulis catatan perjalanan singkat ini.

Saya ingin pergi tidur di penginapan. Rupanya ada yang menahan saya. Bukan orang jauh, sekelompok pemuda keren di masa lalu, yang kesohor dengan rock eksperimentalnya. Siapa lagi kalau bukan Pink Floyd. Setelah berhari-hari, saya dengarkan lagi sealbum The Wall dari Pink Floyd. Ini begitu luar biasa. Sebuah Café yang tak jauh dari jam Gadang Bukittinggi.

Tak disangka, di kota elok macam Bukittinggi pun saya masih bisa mendengar musik-musik mereka. Musik yang mewarnai masa-masa kreatif saya dan sesudahnya. Musik Pink Floyd, kadang jadi teman mabuk, atau menikmati narkoba. Saya menikmatinya untuk menulis atau mengerjakan hal diluar menulis. Pink Floyd membuat saya menulis cacatan perjalanan singkat ini. Ketika menulis kalimat ini, Comfortable Numb sedang diputar di café.

Padang, 23 Desember 2011

Padang adalah kota pertama yang saya singgahi. Bersama Arif—murd saya—dan juga Hafif (adik Arif), kami pergi ke Museum Adityawarman setelah Shalat Jum’at. Sialnya Museum sedang dipugar lagi. Mungkin karena Gempa 30 Setember 2009. Beberapa bangunan masih menjadi saksi gempa tersebut. Namun, lebih banyak lagi banguna yang diperbaiki. Tidak lama kami di Museum.

Kami lalu pergi ke Teluk Bayur. Kawasan pelabuhan yang cukup sohor di masa lalu. Dulu Teluk Bayur disebut Emma Haven. Kota Padang cukup kecil dan tenang. Dimasa lalu, Padang adalah kota dengan sarana pendidikan yang cukup baik. Karena sudah ada MULO (SMP) di zaman kolonial. Hatta dan Rosihan Anwar adalah lulusan MULO Padang.

Sawahlunto, 25 Desember 2011

Bersama keluarga besar Pak Irman, kami menuju kota tambang Sawahlunto yang cukup kesohor itu. Kota ini tidak banyak berubah sepertinya. Tata kotanya tidak banyak berubah meski produksi batubaranya tidak seperti dulu.

Kami bisa temukan bekas Dapur besar yang kini disebut Museum Gudang Ransum. Ini adalah Dapur umur terbesar dalam sejarah Indonesia. Dapur ini bisa memberi makan seisi kota Sawahlunto—yang hidup dari pertambangan batubara. Tidak jauh dari museum juga terdapat lubang Mbah Suro. Nama Jawa ini dimaksudkan untuk menghargai jasa mandor yang bernama Surono yang dikenal sebagai Mbah Suro ini.

Setelah masuk Museum dan melihat tungku-tungku besar dan foto-foto buruh tambang. Kami melihat nisan tak barnama, namun berangka. Angka itu sepertinya no register buruh tambang. Nama buruh tak menjadi hal penting. Sepertinya itu nisan dari buruh yang meninggal.

Batusangkar, 26 Desember

Adityawarwan yang ternyata pengikut sekte Bhairawa—ajaran pra Islam yang punya ritual mempersembahkan manusia sebagai kurban. Diperkirakan, sisa kerajaan Adityawarman, yakni Pagaruyung, bisa ditemukan jejak-jejaknya di daerah Batusangkar (Kabupaten Tanah Datar). Dimana beberapa prasasti dan beberapa kuburan dengan nisan yang bentuknya cukup unik bisa ditemukan dipinggir jalan.[1]

Tahun 1818,Thomas Stanford Raffless pernah berkunjung ke daerah sini. Dia sudah tidak menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris lagi ketika itu. Ketika melakukan perjalanan itu, Raffless menemukan reruntuhan kerajaan Pagaruyung itu.[2]

Bukittinggi, 26-27 Desember 2011

Beruntung, keluarga Arif mengantar saya sampai Bukittinggi. Kota ini menjadi tujuan saya dari awal. Objek pertama yang saya lihat adalah Jam Gadang yang kesohor itu. Dimana angka empat (4) tidak ditulis IV (dalam Romawi), melainkan IIII. Unik juga. Setelah berpisah dengan keluarga Arif yang besar kebaikannya pada saya, saya mencari penginapan murah.

Setelah mendapat kamar dan mandi, saya menyusuri bukit tinggi di malam hari. Saya masih penasaran dengan gedung SMA Negeri 2 Bukittinggi. Saya curiga itu adalah bekas kweekschool Fort de Kock. Sekolah guru tertua di Indonesia. Saya kesana dan bertanya, tapi belum yakin. Setelah itu saya kembali ke kamar dan tidur nyenyak hingga pagi.

Bangun tidur, saya langsung berjalan mencari benteng Fort de Kock dan Ngarai Sianok. Jalan pun saya susuri hingga saya mencapai lembah di Ngarai Sianok. Sebuah sungai membelah ngarai. Airnya cukup jernih meski ada sampah-sampah yang tidak sedap dipandang mata.

Dari Ngarai, saya bergerak menuju benteng. Letaknya tidak terlalu jauh. Bisa dengan berjalan kaki. Udaranya di pagi hari cukup sejuk. Sampai benteng, pikiran saya tertuju pada Jenderal Markus de Kock. Jenderal Belanda yang berhasil menjerat Diponegoro. Dan perlawanan Diponegoro berakhir karenanya.

Fort de Kock adalah benteng alami. Tanpa tembok besar seperti benteng-benteng pada umumnya. Letak fort de Kock adalah diatas bukit yang indah. Benteng ini dibangun dimasa Perang Paderi oleh Kapten Beuss. Benteng ini beralih fungsi menjadi kebun binatang yang tidak banyak koleksinya. Tempat ini rindang, cocok dijadikan tempat bersantai.

Ada jembatan Limpapeh yang menghubungkan benteng dengan bukit lain. Panjangnya sekitar 25 meter. Dari jembatan, sebagian kota kecil Bukittinggi terlihat. Terutama kampong Cino.

Dari kebun binatang, saya menuju rumah kelahiran Bung Hatta. Letaknya tidak begitu jauh dari Kebun Binatang. Hanya mencari tangga dekat Pasar Wisata, lalu turun dan letaknya tidak jauh dari pertigaan di Pasar Banto. Tidak sulit mencarinya. Warga Bukittingi pasti tahu tempat itu. Rumah ini termasuk bangunan lama. Kawasan ini sekarang adalah pasar. Dulunya, ada areal persawahan di depan rumah.

Hatta, adalah contoh dari anak keluarga pedagang yang cukup berada di Pasar Bawah, Bukittinggi. Rumah orangtua Hatta, cukup besar dan bagus. Keluarga ini memiliki sebuah bendi (kereta kuda) beserta kudanya.[3] Hatta kemudian bersekolah di MULO Padang setamat ELS Bukittinggi. Hatta adalah kebanggaan wargakota Bukittinggi.

Hari ini adalah tanggal penting bagi Hatta. Di Den Haag, 27 Desember 1949, Hatta menandatangi kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Dimana Belanda mengembalikan kedaulatan Indonesia, yang dirampas karena serangan militer dan pendudukan Belanda di Indonesia. Dimana Hatta adalah ketua delegasi Indonesia disana.

Tempat lain di Bukittinggi yang bersejarah adalah pusat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin Syafrudin Prawiranegara. Apajadinya jika PDRI tidak ada. RI pasti selesai karena Jogja sebagai ibukota diduduki tentara Belanda dan Pemimpin besar Republik ditangkap. PDRI nampaknya tidak bisa dihabisi Tentara Belanda karena Bukittinggi adalah kota yang memiliki benteng alam yang cukup baik. Sangat sulit tentara Belanda mengerahkan pasukan ke Bukittinggi. Gerilyawan pro Republik bisa menyergap mereka ketika berjalan menanjak ke arah Bukittinggi. Kata Prof Syafii Maarif, dosen saya kuliah dulu, Bukittinggi kota pedalaman yang sulit dijangkau.[4]

Siang ini, saya kunjungi lagi SMAN 2 Bukittinggi untuk memastikan ini adalah Kweekschool Fort de Kock dulunya. Saya perkirakan, gedung SMA Negeri 2 Bukittinggi[5] dulunya adalah Kweekschool (sekolah guru), yang orang biasa sebut Sekolah Raja.

Saya mujur perkiraan saya benar. Gedung SMA 2, dulunya adalah Kweekshool Fort de Kock. Gedung ini sengaja dipertahankan dan masih digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar. Saya kira, Harry Albert Poeze pernah mengunjungi sekolah ini karena dia adalah ahli soal Tan Malaka dan juga ahli sekali soal sejarah kemerdekaan Indonesia.[6]

Di dalam gedung tua ini, sebuah foto tua masih terpampang. Juga beberapa tulisana berbahasa Belanda yang memastikan bahwa ini dulunya adalah Kweekschool Bukittinggi. Mungkin, para siswa tidak pernah tahu jika gedung sekolah ini, yang pernah disebut sekolah raja adalah sekolah guru tertua di Indonesia.

Siang ini, siswa-siswi yang classmeeting pasca ujian belum pulang. Guru-guru masih rapat. Saya putuskan untuk memotret dan menulis. Akhirnya saya diperbolehkan memotret. Setelah memotret saya putuskan mencari bekas kantor PDRI (Pemerintah Daruarat Republik Indonesia). Ada petugas yang menyatakan jika kantor dinas pendidikan dulunya kantor PDRI, namun banyak yang tidak yakin.

Payakumbuh, 27 Desember

Saya putuskan pergi ke kampong Tan Malaka siang ini. Saya naik colt L300 dari Bukittinggi. Mobil ini membawa saya ke Suliki, salah satu kecamatan di Kabupaten Limapuluh Kota. Jalan ke kampong Tan Malaka cukup indah. Jauh dari modern ketika Tan Malaka kecil.

Ketika sampai Payakumbuh, saya terkejut melihat sebuah jalan bernama Tan Malaka. Ini pertama kalinya saya melihat nama jalan dari tokoh kiri hebat macam dia. Saya segera sumringah. Saya hampir sampai rasanya. Saya lalu berganti mobil. Jarang ada mobil ke Padamgadang, kampong Tan Malaka.

Sebagian orang bilang hanya ojek yang bisa bawa saya. Tapi, seorang Ibu yang berjualan lotek menolong saya mencarikan mobil. Setelah menghabiskan lotek saya pun berangkat ke Padamgadang.

Saya belum tahu persis dimana lokasinya. Saya katakana ke sopir, “rumah Tan Malaka”. Supir mengerti dan menurunkan saya di kaki bukit. “Itu, kata dia. Saya turun dan bayar bis lalu keluar. Hanya beberapa puluh meter dari jalan raya. Kata remaja yang tinggal dekat situ, rumah tidak terkunci. Saya masuk.

Tidak ada yang isitimewa di dalamnya. Hanya ada buku-buku terkait dengan Tan Malaka. Seperti Dari Penjara ke Penjara yang legendaries itu. Sudah pasti buku tulisan Harry Albert Poeze—seorang Indonesianis yang selama 30 tahun meneliti tentang Tan Malaka. Saya pernah bertanya, pada Poeze dalam sebuah diskusi di Jogja,kenapa dia betah meneliti Tan Malaka selama 30 tahun? Poeze bilang pada saya, dia melihat sejarah perubahan Indonesia dari perjuangan puluhan tahun dari Tan Malaka.

Ya. Saya percaya hal itu. Tan Malaka memang layak disebut Bapak Republik. Entah karena pikirannya dalam buku Menuju Republik dan juga perjuangannya hingga menjadi buronan Negara Imperialis macam Belanda dan Inggris. Sayang penghargaan pada Tan Malaka begitu kurang. Ini karena kebodohan sejarawan pemerintah yang sok anti komunis, namun tidak pernah tahu esensi dari komunis.

Saya tidak lama di rumah Tan Malaka. Hari hampir sore dan saya harus ke kota yang lain lagi. Hari ini saya sudah ke sekolahnya (di Kweekschool Bukittinggi) dan ke rumahnya juga. Saya seperti mencari teman yang membolos karena pulang kampong. Pada Tan Malaka, saya ingin katakana sesuatu:

“Bung, aku tadi ke sekolahmu. Kau tak disana. Apa kau sedang mebolos di jam gadang? Rasanya tidak. Apa kau sedang ngedate sama Syarifah Nawawi? Wah kurang ajar kau! Kau berani kecengi anak guru. Aku lalu ke rumahmu. Eh kau juga tak ada. Aku mau bertanya Tan, kenapa kau tidak pulang saja ke kampung selulus dari Kweekschool? Hidupmu akan lebih baik. jadi guru yang dihormati. Kau juga tidak akan menjomblo di akhir hidupmu. Setahu aku, gadis Suliki manis-manis Tan. Kau bisa dapat satu setidaknya. Yang paling cantik diantara mereka. Yah. Apa boleh buat, kau pilih jalanmu seperti kupilih jalanku, jalan-jalan. Aku seperti lupa fakta sejarah, kau sudah dihabisi di Kediri. Tapi aku harus bilang kau petualang dan pejuang sejati bung. Salam dariku.”

Perjalanan di Sumatra Barat sejauh ini menyenangkan. Butuh banyak waktu lagi. Terlalu banyak yang harus disinggahi. Tidak semua saya singgahi. Hanya sebagian kecil. Perlu juga untuk kunjungi tanah Minang ini suatu hari. Kuputuskan tinggalkan Payakumbuh. Menuju kota lain sebelum akhirnya kembali bekerja.

Note:

[1] Saya berucap banyak terimakasih pada keluarga besar Bapak Irman dan Pak John yang membawa dan memperkenalkan pada saya tempat bersejarah sisa istana Pagaruyung di Batusangkar dan juga alam indah tanah Minangkabau.

[2] Anthony Reid (peny), Sumatra Tempo Doeloe, Jakarta, Komunitas Bambu, 2011, hlm. 203-211.

[3] Rumah Hatta bisa dikunjungi hingga kini. Kejayaan keluarga orangtua Hatta sebagai pedagang yang terpandang masih bisa disaksikan.

[4] Prof Achmad Syafii Maarif mengatakan itu ketika dalam perkuliahan. Syafii jelas tahu hal itu karena beliau berasal dari Sumpurkudus, yang tidak terlalu jauh dari Bukittinggi.

[5] SMA 2 di kota-kota Indonesia, biasanya adalah bekas Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

[6] Sangat jarang siswa yang tahu jika di gedung yang menjadi kelas dan kantor guru itu dulunya adalah tempat Tan Malaka sekolah. Mereka mungkin tidak pernah tahu jika Tan Malaka adalah Bapak Republik.

Sabtu, Desember 03, 2011

Tentang Danu

Ada dua Douwes Dekker yang bikin kesal pemerintah kolonial, karena simpati mereka pada rakyat Hindia. Namun hanya EFE Douwes Dekker alias Danudirja Setiabudi saja yang bisa lihat Hindia menjadi Indonesia.


Danudirja Setiabudi


Heran juga ada bapak-bapak dengan rupa agak bule bernama Kesworo.[1] Usut punya usut, ternyata bapak-bapak bule ini anak dari Danudirja Setiabudi. Dia Pahlawan Nasional Indonesia. Seorang Indo, yang dimata orang Indonesia sebagai orang baik hati.

Orang lebih kenal Danudirja Setiabudi sebagai Ernest Francois Eugene Douwes Dekker. Kadang timbul salah tafsir jika Douwes Dekker yang dikenal sebagai Danudirja Setiabudi ini sama dengan Multatuli, karena sama-sama Douwes Dekker. Douwes Dekker yang Multatuli—yang menggegerkan Negeri Belanda karena buku Max Havelaar-nya mengkritik habis system tanam paksa, yang punya nama Edward Douwes Dekker, sebenarnya masih satu keluarga besar Douwes Dekker. Ada yang menyebut EFE Douwes Dekker keponakan dari Edward Douwes Dekker.[2] Mari kita sapa EFE Douwes Dekker sebagai Danu saja, agar lebih santai.

Sedari muda, Danu seorang petualang. Pecinta kebebasan. Lepas HBS[3] Danu pernah kerja sebentar di sebuah perkebunan kopi. Di usia yang baru 22 tahun, Danu bertualang ke Afrika Selatan. Terlibat dalam perang Boer. Dimana dia berada dipihak Boer dan melawan Inggris. Namun dia ditawan oleh tentara Inggris lalu ditahan di Srilangka sebentar. Danu, kemudian dibebaskan dan kembal ke Hindia Belanda (Indonesia).

Hidup baru setelah kebebasan dari penjara kolonial, dijalani Danu sebagai jurnalis. Dia pernah bekerja di De Locomotief dan beberapa suratkabar berbahasa Belanda lainnya. Selama menjadi jurnalis, Danu sempat mengunjungi Belanda, antara tahun 1909-1910. Sekembali dari Negeri Belanda, Danu lalu berhasil mendirikan harian De Express.

Danu kemudian teribat gerakan politik. Danu seperti wakil orang-orang Indo yang menginginkan adanya perubahan di Hindia Belanda. Selain Danu, beberapa orang dengan nama Douwes Dekker, tergabung dalam kelompok sosialis di Hindia Belanda.[4] Tentu saja, Danu berbeda dengan orang-orang Indo kebanyakan yang mengeklusifkan diri—karena kalah status dengan dan direndahkan oleh Belanda totok, juga tidak mau disamakan dengan pribumi.

Danu adalah orang terbuka. Nyata, dia bersama dr Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat adalah Tiga Serangkai pendiri Indische Partij. Sebuah partai terbuka bagi semua orang di Hinda, entah Indo atau pribumi. Kaum Indo kadang dikenal sebagai kaum Insulinde.

Indische Partij berdiri tepat Natal 25 Desember 1912, setelah Tiga Serangkai melakukan perjalanan propaganda keliling Jawa. Tahun 1913, adalah tahun pengusiran Danu karena aktifitas politiknya yang dengan pedas mengkriti pemerintah kolonial. Hingga Danu harus angkat kaki dar Hindia. Danu memilh ke Belanda dan memilih belajar di sana.

Danu baru kembali pada 1918. Dimana dia bergerak dibidang pendidikan. Dia menjadi direktur dari Ksatriaan Institut 1924.[5] Sebuah perguruan modern yang cukup dipandang sebagai pembibitan pemuda Indonesia. Di Ksatriaan Institut, pendidikan kepada anak-anak Indonesia semakin bisa semakin ternikmati. Salah satu jebolan Ksatrian Institut adalah Baharudin Muhamad Diah, yang dikenal sebagai tokoh pers Indonesia.

Ketika perang di Pasifik mulai bergolak, Danu mulai dekat dengan orang-orang Jepang. Seperti juga Husni Thamrin yang anggota Volksraad. Mereka berdua pun mulai diawasi pemerintah kolonial. Danu berencana mengirimkan beberapa pemuda lulusan Ksatrian Institut ke Jepang. Tentu saja ini membuat para pemerintah berang, meski Hindia Belanda dan Jepang belum terlibat perang secara langsung. Jika kemudian Danu ditangkap oleh aparat hukum kolonial pada Januari 1941 di Ngawi, maka Husni Thamrin harus meninggal dalam tahanan rumah.[6]

Selanjutnya, Danu jalani hukuman dari pemerintah kolonial untuk ketiga kalinya. Dia mengalami pembuangan ke Suriname. Tahun 1945, ketika di Negeri Belanda, Danu akhirnya mendengar kabar proklamasi Indonesia. Dia pun segera kembali ke Indonesia yang dia cintai. Beberapa waktu tinggal di Indonesia, ketika Syahrir menjadi Perdana Menteri, Danu dimasukan dalam kabinet sebagai Menteri Negara. Danu, pada 1952, meninggal dunia di tanah yang diperjuangkan kemerdekaannya.

Danu sempat menikah dua kali seumur hidupnya. Anak dari istri terakhirnya rela dinamai Kesworo, karena kecintaannya pada Indonesia. Nama Kesworo mengingatkan saya pada Kisworo alias Klowor alias Iswara NR yang pernah punya bajing yang dinamai Douwes Dekker. Bukan ingin merendahkan, tapi sebagai penghormatan unik ala kawan saya itu. Belakangan, bajing bernama Douwes Dekker itu kabur entah kemana? Yah Douwes Dekker memang berjiwa bebas dan tidak ingin hidup dalam sangkar. Bukan cuma Douwes Dekker si bajing, tapi juga dua orang bernama Douwes Dekker yang pernah hidup di Indonesia. Mereka berdua tidak melulu kejar kebebasan, tapi juga tidak ingin melihat orang lain menderita.

[1] Kesworo mengingatkan saya pada Kisworo alias Klowor alias Iswara NR yang pernah punya bajing yang dinamai Douwes Dekker

[2] Ensiklopedi Umum, Kanisius, 1973, hlm. 350-351.

[3] HBS: Hogare Burger School (sekolah menengah lima tahun). Sebuah sekolah elit yang hanya bias dimasuki anak dari kalangan keluarga berada saja.

[4] Periksa buku Hans Meirt, Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di Indonesia, 1918-1930, Jakarta, Hasta Mitra, 2003.

[5] Surat Gubernur Jenderal tertanggal 15 Januari 1923 no. 3 A x Geheim, dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, Jakarta, Balai Pustaka, 2008, hlm. 288.

[6] Tentang kematian Thamrin lihat dalam Bob Hering, M. H. Thamrin : Membangun Nasionalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003.


Kamis, Desember 01, 2011

Meniru Saudara Tua

Akan datang orang kate dari utara membawa bambu wulung untuk mengusir kebo bule. Begitu isi ramalan Jayabaya sebelum Saudara Tua datang.

Tentara Jepang datang sebagai pahlawan setelah Hindia Belanda dibungkam pada Maret 1942. Butuh waktu 2 minggu menyikat Hindia Belanda. Namun sejak 1916 sudah ada spionase Jepang di Hindia Belanda yang terus memantau Hindia Belanda. Karenanya dengan mudah Belanda kalah. Selanjutnya, tentara Jepang memberi pengaruh bagi Indonesia.

Dari beberapa buku biografi tokoh Indonesia, khususnya tokoh-tokoh militer Indonesia yang saya baca, diantara mereka adalah didikan Jepang. Djatikusumo, bekas KSAD pertama ini menganggap Jepang hebat dalam mendidik pemuda Indonesia. Maklum, di KNIL Djati hanya sampai pangkat Kopral taruna. Sementara di PETA , cukup dengan latihan tiga bulan Djatikusumo sudah jadi Chudanco alias komandan kompi setara kapten. Tokoh lain yang dididik Jepang adalah Suharto, Ahmad Yani, Sarwo Edhi Wibowo, Supriyadi, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris. Tiga nama terakhir, tidak terlalu bangga menjadi bagian dari PETA. Usia mereka agak lebih muda dibanding Suharto dan Yani. Mereka lebih dulu dididik sebagai militer sebelum PETA berdiri. Tiga nama pertama, tidak menunjukan rasa bangga berlebih juga, namun mereka bisa meraih pangkat tinggi di kemudian hari. Mereka adalah orang-orang beruntung dari yang pertama.

Tiga nama terakhir kemudian menjadi orang dominan dalam militer Indonesia. Mereka membuat TNI lebih mirip tentara pendudukan Jepang. Dimana tentara begitu mendominasi. Pengaruh Suharto dan kawan-kawan yang pernah dididik tentara Jepang, memberikan pengaruh besar dalam pendidikan Indonesia. Di level sekolah menengah, pengaruh tentara pendudukan Jepang masih tersisa. Ketika Jepang berkuasa, ada yang disebut senam pagi massal yang disebut Taiso. Dimana semua siswa harus bergerak seragam. Setiap gerakan salah jadi hal memalukan. Arahnya, adalah penyeragaman isi kepala juga. Dimana ada tujuan agar semua orang bisa jadi orang penurut. Begitu juga dengan latihan baris-berbaris yang melelahkan. Akhirnya, dari Jepang militerisme adalah yang paling jaga. Sementara itu, gaya militer fasis yang pernah dibawa ke Indonesia sudah ditinggalkan oleh militer Jepang.

Banyak hal dari Jepang yang berusaha ditiru oleh orang-orang Indonesia. Mulai dari kuliner, olahraga dan lainnya. Orang Indonesia kenal Karate, Judo bahkan Aikido sebagai olahraga beladiri. Banyak orang Indonesia mempelajarinya, meski sedikit diantaranya yang bisa menangkap filosopi dari olahraga itu. Beberapa diantara orang Indonesia yang mempelajari itu bisa sukses. Hanya sedikit yang seberuntung itu.

Sebagai saudara muda, hanya sedikit yang dipelajari Indonesia dari Jepang. Indonesia, lebih suka meneruskan budaya berbau fasis, seperti senam pagi di sekolah, segaram sekolah dan semacamnya. Tanpa pernah bisa belajar bagaimana bangkit dari keterpurukan. Kita tahu Jepang pernah begitu hancur setelah hancur lebur dibom sekutu. Sebuah kekalahan yang cukup memukul juga. Namun Jepang bisa bangkit dengan cepat. Musibah apa yang bisa membuat orang Jepang menyerah? Rasanya belum pernah kita dengar. Pasca tsunami dan kebocoran reactor nuklirnya di Fukushima, Jepang masih maju terus.

Tidak banyak yang berubah dari Indonesia sejak krisis monoter 1998. Meski lebih kaya dari sisi potensi alam, namun tidak banyak memberi kemajuan bagi Indonesia. Banyak yang mengakui bahwa Indonesia melakukan banyak kesalahan dalam mengelola kekayaan alam. Selain itu, etos untuk menjaga dan mengelola segala sumber daya yang ada juga begitu kurang.

Sebenarnya, meniru Jepang adalah bagaimana belajar mengelola kekayaan alam yang ada tanpa harus merusak, meniru semangat kerja kerasnya, dan bagaimana menghargai sisa-sisa tradisi masa lalu. Tiga hal itu belum dimililki orang Indonesia.

Dari Guruh Anak Sukarno

Melati Suci, bisa membuat kita ingat Guruh. Selain itu, lagu bermakna dalam ini seperti identik dengan Kaum Hawa.



Sejujurnya, Sukarno bukan idola dan kebanggaan saya. Meski membencinya, karena melarang rock n’roll dan memenjarakan Syahrir, saya salut dengan perlawanan Sukarno pada Negara besar bermental neo-kolonialis. Sukarno boleh disejajarkan dengan Guevara, Castro dan Tito. Mereka yang terhebat sebelum Evo Morales, Ahmadinejad jadi di idola dunia ketiga. Jika ditanya, siapa yang terhebat di dunia ketiga, merekalah jawabnya.



Kembali ke Sukarno, banyak yang tidak saya suka dari dinasti politik keluarga Sukarno. Saya tidak suka Megawati, yang rada bikin malu wanita dan Ibu-ibu Indonesia, karena jago mutung. Diluar masalah politik, dari keluarga Sukarno, saya suka dari keluarga Sukarno adalah Guruh. Bukan karena dia tampan dan saya tidak, tapi soal kontribusi Guruh dalam kesenian. Seniman Indonesia di dekade-dekade lalu, pasti tahu Guruh. Siapa yang tak tahu Swara Mahardika? Dimasa lalu.



Di music Guruh juga kontribusi, meski tidak banyak generasi sekarang yang tahu. Guruh dianggap berkontribusi dalam musik-musik eksperimental yang dirilisnya bersama Gipsy. Dimana Almarhum Chrisye juga bergabung. Mereka pernah membuat Chopin Larung, sebuah repertoar sepanjang 7.17. Dimana musik etnik ala Indonesia dan sentuhan piano modern. Penikmat psikedelik mungkin akan senang mendengarnya. Bagi saya, Guruh dan kawan-kawan Gipsy-nya bisa disejajarkan dengan band psikedelik macam Pink Floyd.



Karya Guruh yang paling banyak disuka tentunya, Melati Suci. Sebuah lagu yang begitu puitis dan mendalam. Musiknya pun adalah alunan stringsection (alat gesek), piano flute, marching bell dan lainnya. Saya kira lagu ini termasuk lagu yang tidak boleh dilupakan orang Indonesia.



Garuh, sepertinya menulis lagu ini untuk ibunya. Mendengarnya, saya ingat Fatmawati—ibu yang melahirkan putra bernama Guruh Sukarno Putra. Kecintaan Sukarno pada seni menurun pada Guruh. Sepertinya, Guruh dilahirkan untuk seni. Sukarno tentu akan bangga pada anak bungsunya dari Fatmawati ini.





Putih

Putih melati

Mekar di taman sari

Semerbak wangi penjuru bumi



Seri

Seri melati

Bersemi anggun asri

Kucipta dalam gubahan hati



Tajuk bak permata

Siratan bintang kejora

'Kan kupersembahkan

Bagimu pahlawan bangsa

Putiknya persona

Rama-rama 'neka warna

'Kan kupersembahkan

Bagi pandu Indonesia



Suci

Suci melati

Suntingan 'bu Pertiwi

Lambang nan luhur budi pekerti



Tajuk bak permata

Siratan bintang kejora

'Kan kupersembahkan

Bagimu pahlawan bangsa

Putiknya persona

Rama-rama 'neka warna

'Kan kupersembahkan

Bagi pandu Indonesia



Suci

Suci melati

Suntingan 'bu Pertiwi

Lambang nan luhur budi pekerti



Oh, melati ...

Oh, melati ...

Oh, melati ...



Begitulah lirik Melati Suci. Mau tenggelam seperti apapun, Guruh pernah menjadi yang terbaik dan juga membuat sesuatu yang baik bagi dunia musik Indonesia. Melati Suci adalah salah satu terbaik dari Guruh Sukarno Putra.



NB: Guruh terlahir dengan sebagai Muhammad Guruh Irianto Soekarnoputra di Jakarta, 13 Januari 1953. Guruh pernah aktif sebagai anggota Parlemen yang berani mencalonkan diri sebagai Presiden ketika Orde Baru Suharto masih kuat. Lagu Melati Suci, silahkan didownload saja di internet.

Sabtu, November 19, 2011

Anak Kolong


"Tak ada ranjang, kolong pun jadi," begitulah fenomena anak kolong (anak tentara) dimasa-lalu. Anak Kolong sering ikuti jejak sang ayah, jadi tentara juga.


Tak kenal takut, tak kenal jorok dan agak bengal, rasanya itu yang dimiliki anak tentara. Mereka bisa bermain dimana saja. Tentu di mulai dari belakang tangsi, lalu ke sawah, sungai atau kemana saja. Boleh mengganggu siapa saja yang lewat. Tak ada yang berani sama anak kolong. Mirip cerita Teto dalam Burung-Burung Manyar.[1] Gambaran anak perwira KNIL di Magelang. Meski anak perwira, Teto dengan senang hati main dengan anak-anak kopral atau Spandrig—yang pangkatnya lebih rendah dari pada ayahnya yang Letnan KNIL.

Dimana istilah anak kolong bermula? Ini karena sempitnya tangsi. Dimana serdadu KNIL beristri selalu bawa anak-anak mereka jika mereka dimutasi. Setiap serdadu cuma punya jatah tempat tidur sempit. Hingga anak-anak mereka kudu tidur dan main dibawah kolong tempat ayah dan ibu mereka tidur.[2]

Rasanya, kondisi ini terjadi di awal-awal abad XX. Nasib anak kolong pelan-pelan pasti agak berubah. Dan predikat anak kolong kemudian tidak hanya untuk anak dari serdadu KNIL semata tapi juga anak-anak prajurit TNI.



Anak Tentara Jadi Tentara

Biasanya, anak tentara juga bakal jadi tentara. Begitulah yang terjadi bagi sebagaian orang. Banyak juga, bahkan lebih banyak anak tentara yang tidak jadi tentara. Biasanya karena tidak mau. Terlalu banyak aturan, tidak bebas, gaji kecil dan lainnya biasanya jadi alasan.

Dalam sejarahnya, banyak anak-anak dari tentara yang menjadi tentara. Sebut saja Vintje Sumual, Alex Kawilarang dan juga Nicolaas Sulu. Vintje Sumual juga anak serdadu KNIL. Vintje tidak bergabung dengan KNIL. Dia memilih belajar di sekolah pelayaran. Dimana dia kemudian melakukan pembangkangan terhadap perwira militer Jepang di kapal Jepang. Vintje lalu lari ke Jakarta. Dimana dia pernah berkumpul dan berjuang dengan para jagoan Senen.[3] Perang Kemerdekaan lalu membawa Vintje masuk TNI. Dimana dia bisa menjadi perwira. Dia kembali ke tanah kelahirannya sebagai Mayor. Vintje juga terlibat dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan yang melambungkan nama Suharto.

Semua prajurit Kopassus pasti tahu siapa Alex Kawilarang. Alex adalah salah satu pendiri Kopassus. Ayah Alex adalah seorang mayor KNIL, Adolf Kawilarang. Tergolong sebagai pemuda-pemuda pertama yang masuk sekolah militer di Meester Cornelis (Jatinegara). Ayah Alex, termasuk orang Indonesia dengan pangkat tertinggi di KNIL. Adolf Kawilarang selalu berpindah-pindah tugas. Untuk itu dia harus membawa keluarganya. Termasuk Alex. Semasa di Tarutung, Sumatra Utara, Alex pernah ikut ayahnya patrol. Ayah Alex pernah menjadi komandan Kompi Infanteri KNIL di Tarutung, sebuah daerah yang menyisakan banyak instalasi militer sampai saat ini, pada dekade 1930an. Profesi sang ayah begitu mempengaruhi Alex. Dimana kemudian Alex pernah menjadi vaandrig (pembantu Letnan) di KNIL setelah lulus dari Koninklijk Militaire Academie (KMA) di Bandung. [4]

Kawan sekelasnya adalah Simatupang dan Nasution. Jika kedua kawannya itu ahli dalam masalah teori dan strategi militer, maka Alex ahli sebagai perwira lapangan yang bisa menguasai pertempuran. Tidak heran jika kemudian dunia militer begitu cocok dengannya. Jika sang ayah pension di KNIL sebagai Mayor, maka Alex masuk TNI dengan pangkat pertama Mayor. Beberapa kali, Alex menjadi komandan operasi yang cukup sukses juga di Indonesia Timur. Belakangan, Alex menjadi Panglima territorial di Jawa Barat, Siliwangi. Dimana dia mendirikan Kopassus.

Anak kolong lain adalah Ryamizard Ryacudu. Ayahnya adalah Brigadir Jenderal Ryacudu. Seorang perwira yang sudah bergabung dengan TNI sejak awal kemerdekaan. Ryacudu juga dianggap Jenderal yang loyal pada pemerintah. Sang Jenderal mempengaruhi anaknya, yang kemudian menjadi alumni akabri 1973 dan berkarir cemerlang di TNI. Melampaui ayahnya, Ryamizard di akhir karirnya menjadi Jenderal penuh. Masih banyak anak kolong lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.



Anak Kolong Minahasa Yang Terjebak

Di Minahasa, menjadi KNIL bukan hal aneh. Jika si ayah jadi KNIL maka si anak tidak menutup kemungkinan akan ikut. Nicolas Sulu, sepertinya salah satu diantaranya. Terlahir di Bukittinggi 1 Februari 1927. Lalu sempat menikmati masa remaja di Minahasa. Masuk KNIL di tahun 1947 di Minahasa. Sempat terseleksi menjadi anggota Korps Special Troopen (baret hijau) yang pernah dipimpin Kapten Raymond Westerling. Sesudah penyerahan kedaulatan thn 1950, Nicolaas ditarik menjadi anggota TNI melalui Batalyon 3 Mei. Seterusnya menjadi anggota Batalyon 330 Siliwangi. Lagi-lagi masuk jadi pasukan khusus lagi. Dan menjadi RPKAD angkatan pertama di Batujajar.[5]

Nicolaas berpangkat Sersan di tahun 1956. Dia adalah salah satu prajurit andalan Angkatan Darat, RPKAD di Batujajar. Ketika konflik AD marak di decade 1950an, NIcolaas Sulu dan prajurit RPKAD lainnya terseret dalam Peristiwa Kranji juga. Dimana Nicolaas dan kawan-kawannya berencana bergerak di Jakarta, tapi mereka tertahan di lapangan Kranji Karawang. Nicolaas mengaku, “Kami meninggalkan Batujajar dengan berjalan kaki melawati sawah. Kemudian naik ke atas truk yang sudah menunggu, menuju Jakarta lewat Karawang.”[6]

Bukan sekali itu saja Nicolaas terjebak dalam konstelasi politik nasional yang kacau. Sangat wajar prajurit macam Nicolaas yang tidak ada urusan soal politik, tiba-tiba terlibat dalam pertentangan politik militer atau politik nasional di Indonesia. Setelah peristiwa Kranji, Nicolaas terjebak lagi dalam Permesta. Seperti dituturkan Phill Sulu:

“Sewaktu cuti ke Minahasa di tahun 1958 terjadi pergolakan daerah, sehingga menjadi anggota pasukan PRRI/Permesta dan sempat ditugaskan dalam operasi militer ke Sulawesi Tengah. Sekembalinya dari Sulawesi Tengah dengan berjalan kaki sampai ke Minahasa, menjadi pimpinan pasukan setingkat kompi dari Batalyon 999, yang kemudian dilebur menjadi Batalyon I Tarantula. Pangkat Nicolaas Kapten, jabatan Komandan Kompi I merangkap wakil Komandan Batalyon. Setelah usai (masalah) PRRI/Permesta, sempat memimpin Pasukan Detasemen M.Pramuka yang ditugaskan ke Kalimantan Utara di tahun 1963 dalam rangka Dwikora konfrontasi dengan Malaysia, menyamar sebagai sukarelawan TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Sesudah itu dipensiunkan sebagai anggota TNI sampai beliau tutup usia di Kakaskasen - Tomohon, pada 11 April 2006.”[7]

Begitulah tentang Nicolaas Sulu, satu dari sekian banyak prajurit Indonesia. Dalam Dwikora, Nicolaas Sulu tentu menjalani pertempuran hebat. Musuh yang dilawan bukan pemberontak tak terlatih (yang tak lain saudara sendiri), tapi tentara musuh dari Negara lain. Dimana pasukan khusus Inggris diam-diam juga terlibat dalam pertempuran di Kalimantan Utara itu.


NB
[1] YB Mangunwijaya, Burung Burung Manyar, Jakarta, Djambatan, 2001, hlm. 1-5.
[2] R.P. Suyono, Peperangan Kerajaan di Nusantara, Jakarta, Grasindo, 2003, hlm. 330-340.
[3] Bert Supit & BE Matindas, Ventje Sumual: Menatap Hanya Ke Depan (Biografi Seorang Patriot, Gembong Pemberontak), Jakarta, Bina Insani, 1998, hlm. 1-40.
[4] Ramadhan K.H, A.E. Kawilarang Untuk Sang Merah Putih, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1988. hlm. 13-15.
[5] Pengakuan Phill Sulu, 15 November 2011. Phill Sulu adalah adik dari Nicolaas Sulu.
[6] Julius Pour, Benny Murdani : Profil Prajurit Negarawan, Jakarta, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman, 1993, hlm. 121.
[7] Pengakuan Phill Sulu, 15 November 2011. Phill Sulu adalah adik dari Nicolaas Sulu.

Rabu, November 16, 2011

Susur Kampung Bersama Arno


Sasaran kami kali ini adalah Kampung Arab. Sebuah kampung kuno yang unik di pesisir Musi.

Setelah sekian tahun, saya bertemu lagi dengan Arnaud Abbel—kami biasa panggil Arno. Kawan lama. Seorang sosialis Perancis. Kami bertemu di Museum Sultan Mahmud Badarudin II(12/11/2011). Arno tidak berubah. Tetap lusuh. Tetap bohemian. Padahal saya sudah agak borjuis sekarang. Arno tetap seperti dulu. Kami biasa dikusi dan sesekali mantau demo di Jogja.

Setelah berkenalan dengan Fara, Emak Yuniar dan Atira, Arno saya ajak menyusuri kampong kuno sekitar Ampera. Tujuan pertama adalah kampong Kapitan. Sebuah perkampungan Tionghoa dimasa lalu. Masih banyak peranakan di kampong itu. Kami tidak lama disini. Kami hanya bisa melihat rumah dan kantor kapitan Tionghoa. Sementara Fara, Emak dan Atira mengamati rumah ala peneliti, saya dan Arno sibuk ngobrol soal apa saja, dari Museum sampai Kampung Kapitan dengan melintasi Ampera.

Ini Tempat Setan
Kami sempat singgah sebentar di tepian dan sekedar diskusi. Soal jilbab dan pemerintah Perancis—yang dimata Arno sangat konyol. Bukan Arno jika tidak kritis dan ngece pemerintah mana pun di muka bumi ini. Dasar sosialis.

Beruntung, sebelum sampai Kampung Arab yang sebenarnya, kami banyak temukan rumah-rumah tua yang masih tegak berdiri meski seperti kurang terawat. Selanjutnya kami bergerak lagi. Tidak jauh dari masjid, kami temukan rumah besar. Paling besar di dusun itu.



Selanjutnya, kami bergerak lagi menysuri jalan aspal. Dimana seorang Bapak berbaju koko dan berpeci memberi tahu kami soal kampong Arab di daerah 13 Ulu. Kami segera berjalan kesana. Tepat menjelang matahari di atas kepala kami. Kami terus berjalan. Semua tampak semangat.

Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya. Kami melewati banyak rumah orang, jalan sempit dan juga pesta perkawinan. Makanannya cukup menggiurkan. Apalagi di siang bolong yang terik. Perjalanan menguras cairan tubuh. Air saja yang saya butuhkan.veldvest saya nyaris kosong sepanjang jalan.

Begitu saya melihat sebuah Toserba, saya langsung masuk ke dalam. Sekedar ngadem. Dan berharap membeli minuman dingin. Arno mengintip dari kaca. Lalu dia menuju pintu dengan terburu-buru. Minuman dingin yang saya cari belum saya temukan. Arno memanggil saya dari luar dan saya mendekati pintu.

Ketika kepalanya sampai di pintu, Arno bilang ke saya, “Ini tempat setan,”katanya. Saya segera ketawa dalam hati. Saya ajak semua pergi. Sebelum penjaga toserba itu marah-marah. Niat mencari minuman pun saya lupakan. Bagi Arno, seperti yang saya amini, toserba itu juga ikut matikan perekonomian rakyat kecil. Saya juga salah satu pembunuh rakyat kecil karena sering belanja di toserba macam itu. Dunia memang rumit. Wajar Arno punya pikiran toserba macam itu tempat setan.

Soal Kampung Arab

Kami teruskan perjalanan. Setelah bertanya-tanya—tanpa memakai gaya Ayu Ting Ting “dimana…dimana…dimana..” yang rajin ditiru anak-anak—kami temukan dimana lorong masuk kampong itu. Kami masuki sebuah lorong. Dengan rumah-rumah tua. Di pinggir jalan adalah rumah batu. Di dalam lorong adalah rumah-rumah kayu yang cukup besar. Agak lebih besar daripada rumah besar di kampong Kapitan.

Kami amati pelan-pelan rumah-rumah di lorong. Bangunannya unik. Atira memperhatikan anak-anak kecil yang bermain. Menurut Atira, diantara mereka masih keturunan Arab jika dilihat dari wajahnya. Kami sepakat dengan Atira.

Warga keturunan asing bukan hal baru bagi Palembang. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Arab juga, Orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1] Di zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]

Komunitas Arab memang sudah ada di nusantara sejak lama. Mereka berdagang. Mereka juga membawa ajaran Islam dari tanah leluhur mereka. Mereka hidup turun-temurun di Palembang. Mereka juga mempertahankan darah Arab mereka. Tidak heran jika masih banyak orang-orang berwajah peranakan Arab di sekitar Kampung Arab. Karena warga kominitas Arab cukup banyak di Palembang, maka akan ada seorang pemimpin Arab dengan gelar letnan atau kapitan. Sebuah gelar yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin. Jika komunitas tidak terlalu banyak mungkin hanya dipimpin seorang letnan saja. Di Palembang memang terdapat beberapa lorong di Palembang.[3]

Kami singgah agak lama. Beristirahat di mushala tepi sungai yang teduh. Merendam kaki begitu menyenangkan. Sambil ngobrol lagi dengan Arno. Dari Kampung Arab kami cari makan lalu kembali ke Museum. Dan ketika menjelang sore kami melihat lomba perahu bidar. Setelah itu kami berpisah dengan Arno yang akan menuju Jakarta. Ala backpacker tentunya. Begitulah perjalanan kami ke kampong Arab.

NB:
[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.
[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen danSitus Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144
[3] Aryandini Novita & Sondang Siregar, Fragmen Peradaban Palembang Tempo Doeloe (Dari Sriwijaya hingga Kolonial), Balai Arkeologi Palembang, 2010, hlm. 36.

Sasaran kami kali ini adalah Kampung Arab. Sebuah kampung kuno yang unik di pesisir Musi.



Setelah sekian tahun, saya bertemu lagi dengan Arnaud Abbel—kami biasa panggil Arno. Kawan lama. Seorang sosialis Perancis. Kami bertemu di Museum Sultan Mahmud Badarudin II(12/11/2011). Arno tidak berubah. Tetap lusuh. Tetap bohemian. Padahal saya sudah agak borjuis sekarang. Arno tetap seperti dulu. Kami biasa dikusi dan sesekali mantau demo di Jogja.





Setelah berkenalan dengan Fara, Emak Yuniar dan Atira, Arno saya ajak menyusuri kampong kuno sekitar Ampera. Tujuan pertama adalah kampong Kapitan. Sebuah perkampungan Tionghoa dimasa lalu. Masih banyak peranakan di kampong itu. Kami tidak lama disini. Kami hanya bisa melihat rumah dan kantor kapitan Tionghoa. Sementara Fara, Emak dan Atira mengamati rumah ala peneliti, saya dan Arno sibuk ngobrol soal apa saja, dari Museum sampai Kampung Kapitan dengan melintasi Ampera.



Ini Tempat Setan

Kami sempat singgah sebentar di tepian dan sekedar diskusi. Soal jilbab dan pemerintah Perancis—yang dimata Arno sangat konyol. Bukan Arno jika tidak kritis dan ngece pemerintah mana pun di muka bumi ini. Dasar sosialis.

Beruntung, sebelum sampai Kampung Arab yang sebenarnya, kami banyak temukan rumah-rumah tua yang masih tegak berdiri meski seperti kurang terawat. Selanjutnya kami bergerak lagi. Tidak jauh dari masjid, kami temukan rumah besar. Paling besar di dusun itu.



Selanjutnya, kami bergerak lagi menysuri jalan aspal. Dimana seorang Bapak berbaju koko dan berpeci memberi tahu kami soal kampong Arab di daerah 13 Ulu. Kami segera berjalan kesana. Tepat menjelang matahari di atas kepala kami. Kami terus berjalan. Semua tampak semangat.



Perjalanan kali ini tidak seperti biasanya. Kami melewati banyak rumah orang, jalan sempit dan juga pesta perkawinan. Makanannya cukup menggiurkan. Apalagi di siang bolong yang terik. Perjalanan menguras cairan tubuh. Air saja yang saya butuhkan.veldvest saya nyaris kosong sepanjang jalan.



Begitu saya melihat sebuah Toserba, saya langsung masuk ke dalam. Sekedar ngadem. Dan berharap membeli minuman dingin. Arno mengintip dari kaca. Lalu dia menuju pintu dengan terburu-buru. Minuman dingin yang saya cari belum saya temukan. Arno memanggil saya dari luar dan saya mendekati pintu.



Ketika kepalanya sampai di pintu, Arno bilang ke saya, “Ini tempat setan,”katanya. Saya segera ketawa dalam hati. Saya ajak semua pergi. Sebelum penjaga toserba itu marah-marah. Niat mencari minuman pun saya lupakan. Bagi Arno, seperti yang saya amini, toserba itu juga ikut matikan perekonomian rakyat kecil. Saya juga salah satu pembunuh rakyat kecil karena sering belanja di toserba macam itu. Dunia memang rumit. Wajar Arno punya pikiran toserba macam itu tempat setan.



Soal Kampung Arab



Kami teruskan perjalanan. Setelah bertanya-tanya—tanpa memakai gaya Ayu Ting Ting “dimana…dimana…dimana..” yang rajin ditiru anak-anak—kami temukan dimana lorong masuk kampong itu. Kami masuki sebuah lorong. Dengan rumah-rumah tua. Di pinggir jalan adalah rumah batu. Di dalam lorong adalah rumah-rumah kayu yang cukup besar. Agak lebih besar daripada rumah besar di kampong Kapitan.



Kami amati pelan-pelan rumah-rumah di lorong. Bangunannya unik. Atira memperhatikan anak-anak kecil yang bermain. Menurut Atira, diantara mereka masih keturunan Arab jika dilihat dari wajahnya. Kami sepakat dengan Atira.



Warga keturunan asing bukan hal baru bagi Palembang. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Arab juga, Orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1] Di zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]



Komunitas Arab memang sudah ada di nusantara sejak lama. Mereka berdagang. Mereka juga membawa ajaran Islam dari tanah leluhur mereka. Mereka hidup turun-temurun di Palembang. Mereka juga mempertahankan darah Arab mereka. Tidak heran jika masih banyak orang-orang berwajah peranakan Arab di sekitar Kampung Arab. Karena warga kominitas Arab cukup banyak di Palembang, maka akan ada seorang pemimpin Arab dengan gelar letnan atau kapitan. Sebuah gelar yang diberikan pemerintah kolonial Hindia Belanda.



Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin. Jika komunitas tidak terlalu banyak mungkin hanya dipimpin seorang letnan saja. Di Palembang memang terdapat beberapa lorong di Palembang.[3]



Kami singgah agak lama. Beristirahat di mushala tepi sungai yang teduh. Merendam kaki begitu menyenangkan. Sambil ngobrol lagi dengan Arno. Dari Kampung Arab kami cari makan lalu kembali ke Museum. Dan ketika menjelang sore kami melihat lomba perahu bidar. Setelah itu kami berpisah dengan Arno yang akan menuju Jakarta. Ala backpacker tentunya. Begitulah perjalanan kami ke kampong Arab.



NB:



[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.



[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen danSitus Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144



[3] Aryandini Novita & Sondang Siregar, Fragmen Peradaban Palembang Tempo Doeloe (Dari Sriwijaya hingga Kolonial), Balai Arkeologi Palembang, 2010, hlm. 36.

Dengan Arnaud Abbel, Mei 2008

Mencari Kampung Arab

Rabu, November 09, 2011

Bertemu Sang Kapten

Akhirnya, bertemu juga dengan sang kapten timnas legendaris, sekaligus ajudan Sukarno. Sang Kapten tak lain adalah Maulwi Saelan.

Siang begitu panas. Pikiran segera melayang pada Es Pisang Ijo (khas Makassar), yang tak jauh dari TVRI Palembang. Saya segera berjalan kaki kesana. Sembari menunggu sebuah talk show. Sesampai di tukang jual es pisang ijo, saya segera buka notbeook dan segera menulis. Tentang kekesalan saya pada seorang akademisi yang merendahkan orang Papua. Es pisang ijo yang dingin perlahan meredakan kekesalan saya. Menulis pun jadi makin menyenangkan.

Setelah lebih dari 30 menit menulis, tulisan selesai dan es pisang ijo mencair. Segera notebook saya tutup dan es pisang ijo saya seruput habis. Rasanya, saya sedang berada di Makassar ketika es pisang ijo saya habiskan. Segera saya menuju TVRI.

Ternyata, salah satu pembicara adalah kawan saya juga. Seorang sejarawan. JJ Rizal namanya. Orang sejarah UI, pasti kenal dia, kalau tidak jangan pernah ngaku orang sejarah. JJ Rizal memang kesohor di kalangan sejarawan. Kami mengakui JJ Rizal memang ahli dalam sejarah Indonesia kontemporer dan Betawi. Maklum orang Betawi. Beberapa waktu lalu, JJ Rizal mendadak ngetop. Karena jadi korban salah sasaran polisi yang main pukul sembarangan. Oknum polisi itu mengira si kawan saya adalah bandar narkoba. Beruntung, semua polisi itu kena hukum atasannya. Makanya, jangan macam-macam sama sejarawan. Hehehe

Ternyata juga, disana ada Alwi Shihab, wartawan senior yang bejibun tulisannya. Alwi Shihab sosok yang ramah. Dia hanya tersenyum ketika saya bilang kalau saya pernah kutip tulisannya, soal Betawi dan si Pitung. Dia bilang kalau dalam seminggu dia bisa hasilkan dua artikel. Muke gile. Nih engkong-engkong seperti gak ada matinye. Layak untuk ditiru penulis kacangan macam saya. Ini baru senior, bisa member contoh.

Ternyata lagi, disitu ada Maulwi Saelan. Ibu Diah yang baik hati lalu memperkenalkan saya pada Maulwi Saelan. Saya tertegun dan gembira bertemu dengannya. Hanya sejarawan bodoh yang tak tahu dia. Ketua PSSI masa kini, harus cium tangan dia jika bertemu. Bagi yang paham sejarah sepakbola Indonesia, pasti tahu siapa Maulwi Saelan.

Maulwi Saelan tak lain bekas kiper tim nasional Indonesia. Tangannya adalah tameng gawang Indonesia. Banyak bola tim lawan yang tertangkap tangannya. Bersama timnya, Maulwi pernah bertanding melawan Timnas Amerika, Uni Sovyet dan lainnya. Tim Beruang Merah, Uni Sovyet pernah ditahan imbang 0-0 dalam sebuah pertandingan di Melbourne di tahun 1950an. Maulwi juga kapten timnas yang pastinya legendaris. Hingga hari ini, Maulwi sesepuh sepakbola Indonesia yang masing sangat besar kepeduliannya pada Sepakbola Indonesia yang begitu memprihatinkan.

Maulwi, seperti yang saya baca dari biografinya, Kesaksian Seorang Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1965, Maulwi adalah bekas gerilyawan pro Indonesia di Sulawesi Selatan. Dia bergerilya bersama Aziz Taba dan lainnya. Setelah Tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, Maulwi bergabung dengan Polisi Militer selama beberapa tahun.

Ayah Maulwi, Amin Saelan adalah seorang nasionalis di zaman pergerakan nasional. Bukan hanya Maulwi yang nasionalis di keluarganya. Kakak perempuan Maulwi, Emmy Saelan juga seorang pejuang kemerdekaan. Sayang, sang Kakak harus mati muda. Emmy juga dikenal sebagai kekasih dari Wolter Monginsidi—seorang penyair pejuang yang dihukum mati tentara Belanda pada September 1949. Vonis mati itu juga tak lain karena dosa-dosa Soumokil yang kemudian menjadi Presiden RMS. Adik Maulwi adalah Ely Saelan—yang tak lain adalah istri dari Jenderal M Yusuf. Seorang Jenderal yang tidak akan dilupakan oleh banyak prajurit bawahannya. Yusuf adalah jenderal yang begitu peduli kesejahteraan prajurit bawahannya. Jika Ahmad Yani dan kawan-kawan bisa berlaku seperti M Yusuf, bisa jadi Letkol Untung tidak akan menyikatnya.

Kembali ke sang kapten, disela-sela dinasnya sebagai militer, Maulwi masih meluangkan waktu untuk sepakbola. Bukan mencari sampingan—karena kecilnya gaji tentara. Melainkan karena kecintaan. Rasa cinta pada sepakbola, dan rasa nasionalisme yang dia milikilah yang membuatnya kemudian berjaya di lapangan hijau. Maulwi pernah bermain bersama pemain sepakbola legendaris macam Ramang. Keduanya berasal dari Sulawesi Selatan. Disiplin tentara yang dilakoni selama di CPM, membuat Maulwi tahu bagaimana harus berhadapan dengan tim lawan.

Seumur hidupnya, Maulwi mencapai pangkat Kolonel dalam karirnya sebagai militer. Setelah percobaan pembunuhan yang gagal terhadap Sukarno di Karebosi, Makassar, Maulwi diangkat menjadi salah-satu komandan pasukan Tjakrabirawa. Pasukan pengawal Presiden Sukarno. Maulwi adalah wakil dari Brigadir Jenderal M Saboer yang merupakan Komandan tertinggi Tjakrabirawa. Maulwi punya tangung-jawab atas keselamatan Paduka Jang Moelia Sukarno.

G 30 S 1965 kemudian menjadi hal buruk bagi Maulwi. Banyak orang Tjakrabirawa kena sial. Karena yang terlibat dalam penculikan para jenderal adalah pasukan Tjakrabirawa. Meski hanya sekitar 60 Tjakra yang berasal dari Jawa Tengah, batalyon 454 raider, yang merupakan bekas pasukan Letkol Untung di Jawa Tengah. Komandan Tjakra, Brigjen Saboer kemudian meninggal di tahanan. Beruntung Maulwi dikaruniai umur panjang. Beruntung juga saya bisa bertemu dengannya sore ini (9/11/2011).

Pada Maulwi, saya mengaku saya menulis sebuah pleidoi kecil untuk Tjakrabirawa. Dimana memang hanya 60 orang Tjakra saja yang terlibat. Tapi akibatnya, 3000 anggota Tjakra harus bernasib malang karena mereka tidak lagi jadi pengawal Sukarno. Mengawal pemimpin Besar Revolusi adalah kebanggan, jadi banyak mantan Tjakra yang bersedih. Tjakrabirawa sempat dianggap sesuatu yang tabu diceritakan di masa orde baru, walau Tjakra sebagai korps tidak pernah pernah terlibat dalam G 30 S. Hanya ke-60 pasukan Tjakra pimpinan Untung sajalah yang terlibat. Paspampres, belakangan sudah mengakui keberadaan Tjakranirawa sebagai bagian dari sejarah Paspampres sebagai pasukan pengaman presiden.Begitu berita gembira sang kapten kepada saya. Sebelumnya, saya pernah membaca di sebuah buku tentang Paspampres yang juga terbitan pemerimtah, sama sekali tidak menyebut paspampres. Bagi saya ini benar-benar menjijikan. Beruntung hal menjijikan itu sudah selesai.

Ketika saya singgung kalau G 30 S adalah konflik internal AD, sang kapten tampak sepakat. Setidaknya, teori Ben Anderson dan Ruth McVey dalam analisis awal tentang G 30, yang dikenal sebagai Cornell Paper, itu mendapat dukungan. Saya pribadi mendukung teori itu.

Menyanangkan sekali bisa berbicara sedikit dengan sang kapten. Maulwi masih aktif dalam kehidupan sosial. Maulwi membangun sebuah sekolah di daerah Kemang. Saya lupa namanya. Selain pada sepakbola, Maulwi juga peduli pada pendidikan anak-anak Indonesia. Sebagai rasa hormat saya, Sang Kapten saya hadiahi buku terakhir saya, Sejarah Tentara.

Benar-benar sebuah kebetulan. Baru saja, saya cicipi Es Pisang Ijo khas Makassar, akhirnya saya bertemu orang hebat dari kota Makassar. Sang kapten timnas. Maulwi seolah ditakdirkan menjadi seorang kiper. Pertama di lapangan bola memastikan gawang tidak dibobol lawan. Kedua diluar lapangan dia harus menjaga keselamatan Pemimpin Besar Revolusi, Presiden Sukarno.

Salut buat Sang Kapten… Kebetulan besok Hari Pahlawan, tulisan ini juga saya dedikasikan untuknya bersama pahlawan lain dari berbagai medan seperti Kakaknya, Emmy Saelan, Wolter Monginsidi dan lainnya. Senang bertemu Sang Kapten.

Barang Usang Bernama Peradaban

Beradab, ternyata hanya pembeda usang warisan era kolonial. Ternyata, akademisi Indonesia yang Nasionalis pun masih ada jiwa orientalismenya.

Lagi-lagi mendengar pernyataan konyol hari ini. Seorang akademisi bilang kalau Papua gagal “diberadabkan”. Si akademisi memang berjilbab. Sebagai manusia, saya merasa terganggu dengan kalimat tersebut. Arti dari pernyataan itu jelas menyudutkan semua orang Papua. Ini gila.

Keberagaman yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika jelas cuma omong-kosong. Apalagi si akademisi yang punya pernyataan tadi adalah orang bayaran pemerintah alias PNS. Dan rakyat Papua juga ikut bayar gaji mereka juga. Benar-benar tidak berilmu dan tahu malu.

Tidak lama setelah pernyataan bodoh itu terucap, saya bertanya pada seorang Arkeolog senior, Bambang Budi Utomo, disela-sela makan siang gratis di sebuah Hotel di Palembang. Padanya, saya bertanya apa ukuran dari peradaban? Saya lupa kalimat tepatnya, hanya yang saya tangkap adalah manusia dikatakan beradab ketika mengenal tata kehidupan. Apapun bentuknya. Ketika saya berkomentar jika peradaban bukan masalah level, Arkeolog senior kita mengamininya.

Lebih lanjut, Arkeolog kita menjelaskan peradaban alias Civilization, itu berasal dari pandangan orang-orang Barat ketika Orientalisme Berjaya lebih dari seabad lalu. Sekitar abad XIX. Maksudnya, tak lain untuk membedakan orang Eropa, yang levelnya lebih tinggi, dengan orang-orang Timur yang kala itu banyak menjadi korban dan budak eksploitasi bangsa Barat yang kolonialis. Artinya kata civilization adalah pembeda gila yang menyatakan bahwa manusia itu bertingkat.Dimana yang mirip dengan baratlah yang beradab dan yang tidak mirip dengan barat adalah tidak beradab. Ini jelas bertentangan dengan Firman Tuhan—yang menyatakan bahwa semua manusia adalah sama.

Ternyata, pandangan barat soal civilization tinggalan kaum orientalis masih pula dianut oleh akademisi Indonesia. Tidak termasuk saya tentunya. Pandangan usang itu masih ada dalam pembelajaran di sekolah. Dimana pola pikir, tingkah laku dan lainnya haruslah sesuai dan berdasar apa yang berlaku di barat. Ya, harus diakui kita tidak akan dianggap rapi jika tidak memakai kemeja, celana bahan dan sepatu kantoran yang sering dipakai hampir semua orang barat di abad lalu.

Orang Indonesia memang jago meniru agar terlihat sama dengan penjajahnya. Sebuah pendidikan karakter yang gagal.

Baik, kita kembali ke orang-orang Papua. Adalah salah jika kita anggap orang Papua tidak beradab karena mereka memakai koteka. Orang berpakaian biasanya menyesuaikan kondisi alam. Bukan sekedar ikut trend atau ideologi seperti manusia modern dewasa ini. Jika laki-laki Papua merasa nyaman pakai koteka, ya biarkan saja. Itu tidak akan mempengaruhi hidup mati orang lain. Itu perkara pilihan.

Kita semua tahu, hidup orang Papua asli begitu bersahaja. Mereka hanya ingin babi dan ubi untuk dimakan. Bukan uang. Bukan pula KTP. Orang Papua tidak butuh mall layaknya orang Indonesia yang konsumtif macam saya. Mereka cuma butuh hutan yang tidak terkontaminasi oleh industri. Hutan yang diciptakan Tuhan untuk manusia. Di hutan, mereka akan hidup, makan, berbahagia dan bersatu dengan Alam juga Tuhan.

Rasanya, kita harus menyanyikan lagu dari Slank tentang orang Papua. “Aku gak butuh uang ribuan….Asal ada ubi untuk kumakan. Asal ada babi untuk kupanggang, aku cukup senang.” Rasanya, itu akademisi harus hidup bersama orang Papua yang sederhana dan bersahaja. Racun orientalisme gaya baru begitu kuat di kepalanya meski tidak menyadarinya. Orientalisme gaya baru yang saya maksud adalah menganggap orang yang berbeda dengan kita sebagai orang yang kurang beradab. Biarkan saja orang lain dengan pilihannya. Orang Papua juga sama dengan kita semua, meski punya gaya hidup yang berbeda dengan kita. Tidak ada yang salah dan rendah dengan apa yang mereka jalani di hutan-hutan Papua. Menjadi modern atau tradisional adalah pilihan.

Selasa, November 08, 2011

Kota Yang Jarang Disebut

Kota ini jarang disebut dalam sejarah Indonesia, juga sumatra. Tapi, tetap kota ini eksis dan tumbuh sebagai kota yang harus dilalui.

Ketika menginjakan kaki di kota ini (6/11/2011), Museum kebanggaan provinsi Lampung itu, sedang di renovasi, selama sebulan lebih. Itu adalah kesialan luar biasa bagi pejalan seperti saya. Artinya, saya tidak bisa nikmati wisata historis di kota ini. Hanya sampel rumah adat dan lumbung khas Lampung saja yang bisa dilihat.[1] Lebih sial daripada didamprat Paspampres di depan istana Negara.

Nama Lampung cukup jarang disebut dalam sejarah nasional. Tidak ada Lampung lautan api seperti di Bandung atau peristiwa semacamnya. Namun, ada pahlawan kebanggaan Lampung bernama Raden Inten. Sayangnya sejarah nasional Indonesia seolah tidak ruang untuk menuliskan soal perlawanan Raden Inten.[2] Yang barangkali tidak kalah heroiknya dengan Diponegoro di Jawa atau Basse Kajuara di Sulawesi Selatan. Konon, katanya ada makam raja Majapahit juga di Lampung? Entahlah, saya tidak bisa meyakininya.

Letusan Gunung Krakatau 1883, tidak akan lepas bagi sejarah Lampung, juga Banten—yang terpisah dari Lampung oleh Selat Sunda. Dimana Anak Krakatau membisul ditengah selat itu. Ada rambu2 laut yang terhempas sampai daratan Telukbetung. Betapa dasyat letusan itu. Di Indonesia, hanya letusan Toba Purba dan Tambora saja yang menyainginya. Gambaran letusan itu tergambar dalam filmKrakatoa buatan orang Belanda.[3] Juga sebuah buku tulisan Simon Winchester, Krakatoa.[4] Baik buku maupun film, menurut saya keduanya sangat bagus.

Dari cerita kawan, Bandar Lampung, dulunya disebut Tanjungkarang. Dimana sebuah stasiun kereta-api berdiri. Dimana jalur tua kereta-api di selatan Sumatra itu bermula. Sepertinya, pemerintah colonial anggap kota ini penting bagi Sumatra suatu hari kelak. Beberapa bangunan tua tampak masih kokoh dengan penampilan warna yang tampak baru. Namun, seperti kota lain juga, beberapa bangunan tua pasti juga tersulap oleh bangunan baru. Kota dan bangunannya adalah yang paling cepat berubah.

Soal bagaimana kota ini sekarang, kota ini sedang termodernisasi. Prilaku urban warganya adalah hal yang bisa dimaklumi. Seperti juga kota-kota lain di Indonesia. Bisa dibilang kota ini cukup heterogen. Banyak etnis hidup dalam kota dan sekitarnya. Pengguna bahasa Indonesia cukup baik jumlahnya dikota ini, meski beberapa menggunakan sedikit dialek Palembang atau Jakarta.

Satu hal penting yang teringat di kepala saya adalah, Lampung adalah daerah tujuan transmigrasi sejak jaman kolonial Hindia Belanda. Pastinya setelah politik etis dingiangkan. Migrasi, yang berupa transmigrasi, telah membuat banyak komunitas Jawa hidup di Lampung hingga saat ini. Ini karena pemerintah colonial gerah dengan kepadatan Jawa. Harapan pemerintah kolonial juga agar kolonialisasi di Lampung terbantu oleh para transmigran.

Peristiwa Talangsari 1989, juga peristiwa penting di Lampung, meski tidak banyak orang yang mau menyebut soal peristiwa itu. Talangsari, adalah salah satu hal yang membuat Lampung diketahui orang luar. Selain letusan Krakatau atau koloni transmigrasi pertama di Indonesia. Selebihnya, yang berasal dari Lampung adalah kopinya, kripiknya, juga Kangen Band—sebuah band peramai dunia musik Indonesia, band pengusung aliran musik yang rajin dihujat Rolling Stone Indonesia dan pengikutnya.

NB

[1] Rumah khas Lampung seperti rumah adat etnis-etnis di Indonesia yang lain. Sebuah rumah panggung, dari kayu dan juga tahan gempa. Mungkin punya banyak keunggulan lain.

[2] Nama yang terabadi sebagai nama Bandara dan kampus Universitas Islam Negeri di Lampung.

[3] Film ini sepertinya dibuat di Suriname, karena adanya kesamaan kultur dan geografis yang agak mirip sebagai sama-sama bekas koloni Kerajaan Belanda. Ada film lain berbahasa Indonesia yang bersetting tentang Krakatau. Sebuah film silat Indonesia yang dimainkan Dicky Zulkarnaen yang kesohor karena perannya sebagai Pitung, dalam beberapa film tentang Pitung.

[4] Buku ini sepertinya menjadi acuan bagi pembuatan film Krakatoa.


Senin, Oktober 31, 2011

Multatuli

Max Havelaar adalah bingkisan luar biasa. Dimana terangkum derita tanam paksa yang melanda pribumi.

SIKSA adalah kekal. Karena siksa bagian dari hidup. Mana yang tanpa siksa? Terlebih roman gelap Fyodor Dostoyevsky. Dimana keputus-asaan dan derita adalah warna paling cerah. Siksa telah menyatu dengan manusia sejak Adam turun ke dunia. Dimana Adam harus hidup dalam kerasnya alam dan kesunyian. Betapa beratnya menjadi manusia pertama. Entah Adam anggap itu derita atau tidak?


Edward Douwes Dekker

Tapi, Edward Douwes Dekker bukan Adam. Entah ia turunan Adam yang keberapa? Jika dia tidak percaya pada Darwin—yang mengarahkan bahwa manusia adalah turunan kera. Dekker yang satu ini, punya deritanya sendiri. Pergi jauh dari Negeri Belanda. Menuju koloni di Hindia Belanda. Demi sebuah hidup baru baginya.

Beberapa daerah telah dijelajahi Dekker sebagai semacam controleur Belanda—dalam jajaran Pangreh Praja. Dekker lalu melihat penderitaan para petani di Indonesia. Pengalaman sebagai pegawai Belanda di Indonesia lalu dituangkannya dalam tulisannya yang monumental, Max Havelaar. Sebuah novel, yang diadaptasi dari pengalamannya. Max Havelaar tak lain adalah Dekker sendiri.

Dekker mencatat derita kaum pribumi. Ternyata, penjajah bukan yang berbeda kulit semata. Yang sama kulit pun, yang adalah kaum priyayi, memaksakan diri menjajah yang lebih lemah darinya demi kehormatan. Begitulah hukum rimba mengabadi. Dekker, juga Max dalam novel, sendiri adalah bagian dari penindasan itu sendiri. Dimana penderitaan lahir dari penindasan.

Rupanya, Dekker punya penderitaannya sendiri. Melihat penderitaan juga penderitaan baginya. Sulit melawan juga. Dekker jelas tak mampu melawan sistem kolonial yang begitu kuat. Dimana kolonialisme telah memperkaya raja Belanda. Dekker tidak akan berhasil sepertinya. Kolonialisme adalah barang berharga bagi kerajaan Belanda. Begitu juga tanam paksa yang diterapkan dalam kolonialisme.

Dekker yang begitu tersiksa itu bisa selesaikan juga Max Havelaar-nya. Dalam sebulan, ditahun 1859, naskah itu dirampungkan. Tahun berikutnya, 1860, naskah itu terbit. Segera karyanya menuai hasil yang luar biasa. Dekker memakai nama Multatuli—yang artinya aku yang banyak menderita.

Dekker menuangkan deritanya sebagai saksi atas sistem yang jahat. Max Havelaar menuntut sistem tanam paksa segera diakhiri. Benar saja, satu dekade kemudian, setelah kantong kerajaan penuh oleh tanam paksa yang menguras keringat orang pribumi itu, berakhir pada 1870. Dimana derita rakyat koloni berganti lagi. tidak berakhir. Hanya tanam paksa yang berakhir.

Sejarah dunia menyajikan beribu siksa bagi banyak manusia. Banyak yang tersisa, banyak yang menderita. Itulah dunia. Derita adalah warisan abadi bagi rakyat jelata. Kesenangan hanya milik keluarga para raja. Derita rakyat jelata terletak pada masalah perut. Derita keluarga raja, biasanya lebih karena kehormatan. Rasanya, semua orang punya deritanya sendiri.

Banyak yang harus menderita. Bahkan ada yang harus lebih menderita dari yang lainnya. Bahkan ada jalan, bahkan banyak jalan yang melalui penderitaan panjang. Dimana derita harus dimaknai. Derita bukan lagi sebuah kesakitan bagi dirinya, tapi sesuatu yang harus dinikmatinya. Ini pasti jalan gila. Sudah pasti jalan yang sunyi.

Tak banyak dari orang tahu, bahkan tak banyak yang inginkan jalan itu. Sedikit orang yang memilihnya. Multatuli, adalah orang terseret dalam kesunyian karena sikapnya. Menulis mungkin juga jalan sunyi penuh derita bagi beberapa orang. Menulis, punya tuntutan tersendiri dalam memaknai penderitaan. Entah sebagai siksaan ataupun sebagai lelucon.

NB: Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "aku telah bertahan") , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia-Belanda. Eduard memiliki saudara bernama Jan yang adalah kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.



Kamis, Oktober 27, 2011

Sekedar Mampir ke Kampung Kapitan

RASA penasaran itu seketika hilang. Berganti senyum dan ucapan “wooow”. Kampung yang membuat saya bertanya dimana letaknya sudah saya kunjungi, walau sebentar. Kampung yang saya cari ternyata mudah dijangkau. Tidak jauh dari pusat kota. Tepat diseberang Benteng Kuto Besak.



Bekas kantor dan kediaman Kapitan Tionghoa di Palembang

Kampung Kapitan adalah kampung yang saya maksud. Namanya cukup unik, kapitan. Kapitan adalah jabatan pemuka masyarakat di zaman kolonial. Jika dalam istilah militer, kapitan sama saja dengan kapten. Seorang kapitan, biasanya memimpin ratusan masyarakat—biasanya adalah masyarakat non pribumi seperti Arab maupun Tionghoa. Seorang kapitan memimpin ratusan orang asing. Jika lebih dari seribu, maka Mayorlah yang memimpin.

Warga asing atau para pendatang bukan hal asing bagi kesultanan Niaga macam Palembang Darusalam. Menurut Djohan Hanafiah, Kesultanan memberikan ijin tinggal bagi para pendatang di kawasan Seberang Ulu. Dimana Kampung kapitan, yang dulunya penghuninya adalah orang-orang Tionghoa, memang termasuk kawasan Seberang Ulu. Tidak hanya Tionghoa, orang-orang Belanda pun harus tinggal di Seberang Ulu. Begitu kebijakan Sultan dari abad XVI hingga XIX.[1]

Menurut kisah, Menurut kisah, pada zaman Kesultanan Palembang, semua tanah dimiliki oleh Sultan dan tak ada bangunan yang didirikan tanpa seijin Sultan. Hanya orang Palembang asli yang diperbolehkan bermukim di daratan. Pendatang dan orang-orang asing, misalnya Tionghoa, Eropa, Keling dan Arab hanya boleh tinggal di rumah Rakit. Sumber lain menyatakan bahwa para pemimpin kerajaan tinggal di daratan sepanjang sungai, sementara orang kebanyakan tinggal terpisah di perairan, pada rumah Rakit yang tertambat suatu tiang atau tonggak.[2]

Bisa dibilang, Palembang adalah kota yang heterogen. Ada banyak etnis dari luar Palembang atau Sumatra Selatan yang bermukim. Bisa jadi, di Zaman Kerajaan Sriwijaya pun sudah ada banyak pendatang dari banyak bangsa masuk, dan mungkin juga bermukim di sekitar Musi atau Palembang.

Kohar, salah seorang tetua Kampung Kapitan adalah salah satu keturunan Kapitan Tionghoa di Palembang. Kohar sudah sulit berbicara karena usia. Menantunya, yang bernama Eng Sui memberikan saya keterangan mengenai rumah dan kantor Kapitan Tionghoa di kampung Kapitan. Soal bagaimana rumah kapitan juga beralih fungsi menjadi tempat peribadatan kepercayaan Tionghoa. Seperti Klenteng. Juga tentang taman depan rumah yang sedang dirombak.

Eng Sui adalah nama Tionghoa. Namun Eng Sui yang ramah itu, punya juga nama Indonesia. Dia pakai nama Suryanto. Kepala saya pun melayang ke zaman orde baru dan politik Indonesianisasi yang konyol. Dimana semua orang Tionghoa dipaksa halus pakai nama Indonesia. Sebuah pembunuhan karakter yang dilegalkan. Teringat Soe Hok Jin alias Arif Budiman—kakak dari Soe Hok Gie.

Kampung Kapitan membuat saya sadar, kapitan adalah pemimpin masyarakat. Bukan seperti yang tergambar dalam sebuah lagu, “Aku seorang kapitan mempunyai pedang panjang....” Sebuah lagu yang rasanya untuk mengenang Kapitan Pattimura. Bukan mengenang kapitan-kapitan di zaman kolonial. Tidak lebih dari satu jam mampir kampung Kapitan, karena saya harus jalan lagi. Saya akan kembali bersama banyak kawan lain kali.

Catatan Akhir

[1] Johannes Adiyanto, Kampung Kapitan Interpretasi ’Jejak’ Perkembangan

Permukiman dan Elemen Arsitektural, Program Studi Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, hlm. 14.

[2] Myra P. Gunawan, Pariwisata Tepian SungaiMusi, Palembang, artikel dalam Monumen dan

Situs Indonesia, ICOMOS Indonesia, 1999, hlm.144


Senin, Oktober 10, 2011

Pasar 16

Cara terbaik mengenal sebuah kota adalah dengan menyusurinya. Bukan saja butuh waktu lama, tapi juga melelahkan. Begitu yang kami lakukan siang ini (9 Oktober 2011). Awalnya, hanya Museum Sultan Mahmud Badarudin saja tujuan kami. Beberapa peninggalan Kesultanan Palembang Darusalam kami bisa lihat disana.


Pasar 16 tempo dulu

Warisan Sriwijaya

Cukup membayar Rp 2.000 saja, Museum—yang dulunya berfungsi sebagai Kraton—itu bisa kami masuki. Beberapa koleksi bukanlah barang original. Foto dan barang kerajinan adalah yang paling dominan. Koleksi uang kuno, seperangkat alat musik brassband, juga senjata tradisional khas Palembang adalah yang paling menarik.

Koleksi tidak hanya didalam gedung museum. Di luar museum terdapat patung Budha dan Ganesha. Patung Budha jelas tinggal kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan Budha. Seperti ditempat lain, Budha bediri diatas teratai. Ganesha, dalam agama Hindu adalah Dewa Ilmu Pengetahuan. Terdapat 2 arca Ganesha. Satu diantaranya adalah arca yang belum selesai dipahat. Arca itu terbuat dari batu andesit. Ganesha itu berasal dari Musi Rawas, Sumatra Selatan.

Keberadaan Arca Ganesha sesuatu yang luar bisa buat kami. Kita semua tahu kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan Budha. Sementara Ganesha jelas sekali warisan Hindu. Jika arca Ganesha itu satu zaman dengan kerajaan Sriwijaya, maka kita bisa menafsirkan bahwa ada lebih dari satu agama di Sriwijaya. Dimana Kerajaan Sriwijaya yang Budha terdapat beragam kepercayaan. Ini jelas bukan sesuatu yang buruk. Tidak ditemukan catatan tentang penindasan terhadap penganut agama lain yang berbeda. Berbanggalah, orang-orang Sumatra selatan jika di tanah mereka ini, dahulunya sudah ada keberagaman antar pemeluk agama. Seperti dibanyak tempat, Ganesha yang ditemukan adalah Ganesha duduk. Setahu saya, Ganesha berdiri hanya ada di Karangkates, dekat Malang.

Berkah Musi

Tidak terlalu lama, kami keluar museum. Mungkin karena koleksi museum tidak begitu banyak. Pemandangan paling dominan diluar adalah Sungai Musi. Bisa kami bayangkan betapa pentingnya Sungai Musi bagi orang-orang Palembang. Seperti pentingnya Sungai Nil bagi orang-orang Mesir. Sungai adalah pembawa kemakmuran bagi masyarakat di sekitarnya. Kutai punya Mahakam. Majapahit dan Singasari punya Brantas. Mataram Islam punya Bengawan Solo. Entah masyarakat lain dengan dengan sungainya.

Sungai adalah jalur transportasi selama berabad-abad silam. Dimana orang pergi menjual atau membeli sesuatu, atau hanya sekedar bepergian. Sungai adalah jalur perekonomian juga. Karena ribuan pedagang dan jutaan kwintal barang melintas diatasnya.

Musi juga jalur melintasnya para pedagang itu sejak lebih dari seribu tahun silam. Ketika Sriwijaya berjaya. Bisa jadi juga sebelum Sriwijaya berjaya. Sriwijaya juga kerajaan niaga dengan armada laut yang baik. Dari banyak catatan, Sriwijaya unggul di lautan dan cukup disegani oleh banyak kerajaan dimasa itu.

Pasar 16, adalah tempat dimana para saudagar mengadu untung dengan berjual-beli barang. Dan banyak kuli mengadu nasib. Sudah pasti di tempat ini pula kebutuhan hidup orang-orang di Palembang dan sekitarnya bisa terpenuhi. Sudah pasti, pasar ini awalnya berupa pasar kecil yang sekarang menjadi pasar yang besar.

Mengapa pasar ini begitu besar? Bisa jadi karena pasar ini terletak di pinggir Musi. Dimana banyak kapal berlalu-lalang. Pasar ini nampaknya berawal ditepi Musi. Perlahan semakin meluas jauh ke arah Pasar Cinde. Dan diantara pasar itu banyak terdapt pertokoan. Dengan kata lain ini adalah kawasan niaga penting di Palembang.

Saya bertanya pada dua murid saya, kapan Pasar 16 mulai ada? Mereka belum berani menjawab. Kami lalu berjalan dan melintasi sisa-sisa gedung tua yang rasanya tidak diketahui banyak orang. Lalu sampailah kami di gedung besar. Dibagian atas gedung itu, terdapat tulisan angka 1924. Murid-murid saya yang lucu itu terkejut melihatnya. Ternyata Pasar 16 begitu tua. Kami hanya bisa perkiraan, gedung bertuliskan angka 1924 itu termasuk bagian pasar tertua. Letaknya tidak jauh dari Musi. Dan rasanya pasar ini memang sudah ada sejak sebelumnya.

Kami lalu susuri bagian pasar yang lain. Dimana kami lihat banyak ruko dengan jendela yang begitu besar. Jendela besar, adalah ciri jendela di bangunan tropis tinggalan kebudayaan Indies jaman Belanda. Lalu kemi perhatikan atap-atap ruko yang mirip dengan rumah-rumah Tionghoa. Awal abad XX, sudah banyak orang-orang Tionghoa yang menjadi pedagang di Indonesia. Dan tidak aneh jika bentuk atap di ruko-ruko itu mirip rumah Tionghoa. Bisa jadi pemilik awal adalah orang Tionghoa. Dan bukan rahasia jika pengaruh budaya Tionghoa begitu besar di Palembang.

Letak Pasar 16, sedari awal cukup strategis. Terdapat kraton Sultan Palembang, Masjid Raya dan kemudian kantor-kantor penting—yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Letak pasar yang 16 dengan sudah satu paket dalam sebuah kota kuno. Ada tempat peribadatan dan tanah lapang dimana banyak orang bisa berkumpul, pasar yang didekatnya adalah pelabuhan, ada kraton tempat raja bertahta.

Sejarah pasar 16 menarik juga. Dari pasar kita belajar bagaimana sebuah kota bisa terbangun. Dan peran pasar, juga sungai ternyata sangat penting dalam perjalanan sejarah sebuah masyrakat aatau kerajaan dimasa lalu. Bahkan juga bagi sebuah masyarakat di masa sekarang. Begitulah perjalanan singkat kami hari ini.


Minggu, Oktober 09, 2011

Baju Bodo

Seminggu yang lalu, seorang murid yang tidak pernah saya temui lagi selama berbulan-bulan muncul di dunia maya dengan foto-fotonya. Saya mengira, dalam foto itu dia memakai baju bodo, tapi kemudian saya tidak yakin karena samar-samar. Saya tidak peduli, tetap saja pikiran saya terus tertuju pada baju bodo.


Baju Bodo di masa lalu

Baju bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Baju bodo juga dikenali sebagai salah satu busana tertua di dunia.[1] Baju bodo dikenal sebagai pakaian adat bagi wanita Sulawesi Selatan, baik Bugis maupun Makassar. Sedangkan Lipa’ sabbe adalah sarung sutra, biasanya bercorak kotak dan dipakai sebagai bawahan baju bodo.[2]

Belum saya temukan catatan sejak kapan baju bodo mulai dikenakan wanita Bugis dan Wanita Makassar. Apa mungkin sudah ada di zaman La Galigo (karya sastra Bugis yang legendaris itu) diciptakan. Bisa dipastikan dari catatan James Broke, seorang petualang Inggris yang kemudian menjadi raja di Serawak, bahwasanya baju bodo sudah dipakai sebelum 1840. Broke menulis:

“Perempuan (Bugis) mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung (menutupi pinggang) hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan lekuk-lekuk dada. Rambut mereka panjang dan hitam, biasanya ditarik kebelakang dengan ketat dan kondenya berdiri ke atas. Perempuan bangsawan dan perempuan pengawalnya, berkuku panjang dengan ‘sarung kuku’ amat mewah.” (catatan perjalanan James Broke ke Sulawesi Selatan tahun 1840).[3]

Lebih lanjut Broke menggambarkan bahwa wanita bugis mengenakan blus transparan warna-warni model kuno, yang dikenal sebagai baju bodo. Di masalalu, warna dianggap mewakili kelompok tertentu. Hijau untuk bangsawan. Putih untuk pengasuh anak bangsawan. Kuning untuk dukun. Aturan soal warna dianggap sebagai tahapan kehidupan (usia). Berdasar catatan Christian Pelras, aturan soal warna masih berlalu hingga tahun 1970an.

Selain itu ada warna merah jambu untuk wanita yang belum menikah. Merah muda bagi yang sudah menikah. Merah tua bagi yang sudah melahirkan anak pertama. Hitam bagi wanita yang sudah tua. Semakin gelap warna baju bodo semakin tebal kainnya. Gadis-gadis kecil dimasa lalu, mungkin bertelanjang dada hingga memasuki akil balig. Mereka baru memakai bodo ketika ripang’ala (upacara mengenakan baju pertama kali).[4] Warna jingga adalah warna baju bodo untuk anak berusia sekitar 10 tahunan.[5]

Tahun 1930an, ketika BH belum diperkenalkan, baju bodo merang jambu yang terbuat dari bahan kain yang transparan, membuat payudara wanita yang memakainya terlihat. Begitu yang tergambar dalam foto yang diambil orang-orang Belanda, yang sekarang sepertinya tersimpan dalam Troepenmeuseum, sebuah Museum militer, di Negeri Belanda.

Saya kira banyak wanita hebat dari Sulawesi Selatan, seperti Basse Kajuara (raja Wanita Bone) atau We Tenriolle (Raja wanita Tanette), memakai pakaian ini dimasa lalu. Dimana mereka terlihat anggun karenanya. Juga banyak wanita Bugis atau Makassar lainnya

Baju bodo terus terpelihara. Pakaian ini kerap dipakai untuk acara adat seperti upacara pernikahan. Tetapi kini, baju bodo mulai direvitalisasi melalui acara lainnya seperti lomba menari atau acara penting lainnya. Termasuk juga menyambut tamu agung.[6]

Hingga kini, baju bodo jadi pakaian kebanggaan wanita Sulawesi Selatan. Bersama baju bodo mereka terus memelihara kebudayaan mereka. Jelasnya baju bodo membuat mereka terlihat cantik.

[1] Baju Bodo, Salah Satu Busana Tertua di Dunia, Suara Pembaruan: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/11/18/Gaya/gaya02.htm.

[2] Andi Tenriadjeng, Mencari Perempuan Bugis, Kompasiana; http://umum.kompasiana.com/2009/06/21/mencari-perempuan-bugis/

[3] Saya kutip kembali dari Christian Pelras, Manusia Bugis, Jakarta, Nalar, 2005, hlm. 271. Kutipan ini juga saya masukan dalam tulisan panjang saya yang termuat dalam buku 7 Ibu Bangsa terbitan Indonesia Buku tahun 2008.

[4] Christian Pelras, op. cit., hlm. 272.

[5] Andi Tenriadjeng, loc. cit.

[6] Bangga dengan Pakaian Adat, Harian Ujungpandang Ekspres: http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=25344&jenis=Life


Minggu, September 11, 2011

Onthel Poenja Tjeritera

Banyak wanita mengantri dibonceng dengan Onthel saya waktu kuliah dulu. Itu cerita saya bersama Onthel. Mana cerita anda?


(Mijn Pit Onthel)

Terbayang film Cintaku Dikampus Biru (1976) bikinan Ami Priyono.[1] Dimana sepeda masih jadi raja jalanan. Jogja, kota dalam film Cintaku Di Kampus Biru, masih menyisakan banyak sepeda—yang akrab disapa onthel oleh orang-orang Jogja dan sekitarnyasampai kini. Onthel masih sering berkeliaran di Jogja. Masih punya gengsi, walau kalah banyak dengan sepeda-motor. Meski kalah cepat dengan sepeda motor, Onthel tetap dihargai. Entah oleh penggunanya, atau orang yang sekedar melihatnya.

Onthel

Onthel, adalah barang tak kenal kelas di Jogja. Pembeda kelas ala Marxisme tidak akan bisa memilah siapa si kaya dan siapa si miskin diantara para pemilik Onthel. Siapa saja bisa punya Onthel di Jogja. Entah itu Sultan Jogja, bahkan rakyat jelatanya sekalipun. Jangan heran jika banyak komunitas sepeda Onthel di Jogja. Tinggal pilih. Semua komunitas punya keunikannya masing-masing.

Sebenarnya, onthel bukan masalah kelas sosial. Ini masalah gaya hidup. Jogja, adalah kota dengan bermacam gaya hidup. Jangan heran jika ada seorang berumah besar, bermobil dan punya banyak kekayaan lain, kadang dia lebih memilih melaju dengan onthelnya. Jangan samakan Jogja dengan kota lain.

Onthel masalah rasa juga. Bukan karena masalah kantong yang melilit banyak mahasiswa di Jogja. Tak terhitung jumlah kawan yang bangga mengendarai dan memiliki Onthel. Cobalah anda mengitari Jogja dengan Onthel.

Pertama, anda akan rasakan betapa menjijikannya modernitas ala orang Indonesia—yang ngawur dan tak beradab kadang. Kedua, anda seperti berada di masalalu. Seperti seorang mandor atau priyayi berwibawa dimasalalu ketika mengendarai Onthel. Ketiga, dengan Onthel anda akan belajar menghargai waktu. Anda akan mengatur waktu anda untuk menuju tempat acara agar tidak telat. Anda akan alokasikan waktu bersepeda untuk sampai ke tempat acara terlambat. Keempat, anda akan belajar sabar. Onthel tidak punya mesin jadi tidak bisa cepat. Dan anda juga akan bersabar dengan kelakuan pengendara sepeda motor atau mobil Jogja yang arogan dan ngawur.

Bisa dipastikan, Onthel masuk ke Indonesia di jaman Hindia Belanda. Dimana awalnya, hanya kaum pegawai kolonial dan misionaris yang punya Onthel. Lalu para priyayi pun punya Onthel. Orang Belanda menyebut sepeda atau onthel sebagai fiets. Dan orang Jawa melisankan menjadi “pit” sampai sekarang. Hingga kini orang Jawa masih menyebut sepeda sebagai pit.[2] Jaman itu Onthel adalah barang mewah. Yang memilikinya sudah pasti dianggap modern.

Cerita dibalik Onthel

Ada banyak kisah heroik antara manusia dengan Onthel. Seperti dalam film Malena, Amoroso Renoto bersepeda menjalani hari hingga jadi dewasa, mengitari kota yang dicintainya, dan juga memantau wanita pujaannya Malena. Begitulah sepeda menjadi kawan penting dalam kehidupan seseorang.

Dalam sebuah film dokumenter, saya lupa namanya, serdadu Jepang yang mendarat di pesisir pantai Rembang dengan menggunakan sepeda. Sepeda membantu mobilitas serdadu Jepang itu untuk mengalahkan KNIL yang tidak siap terhadap serangan asing. Serdadu Jepang menang. Dan sepeda pun jadi barang penting bagi unit militer. Hingga kini, pasukan payung di negara berkembang pun menyertakan sepeda sebagai bagian dari logistik dalam penerjunan atau operasi militer. Betapa bergunanya sepeda.

Cerita lain soal sepeda adalah cerita dari Abdul Haris Nasution. Jenderal Bintang Lima AD ini pernah kabur dari KNIL, menjelang pendaratan Jepang. Dia melarikan diri ketika berjaga sebagai Letnan KNIL di Jawa Timur. Nasution kabur ke perkampungan. Setelahnya dia mendapatkan sepeda. Dengan sepeda itu, Nasution bersepeda dari Jawa Timur, melewati Jawa Tengah dan akhirnya sampai ke Jawa Barat. [3] Serdadu Jepang memburu dan mengawasi banyak bekas serdadu dan perwira KNIL di masa pendudukan Jepang.

Hingga akhirnya Nasution sampai juga di Bandung, ke rumah keluarga Gondokusumo. Nasution sejak awal kenal keluarga itu. Di jaman Jepang keluarga Gondokusumo adalah pelindungnya. Sepeda juga, selain tenis dan Gondokusumo—Bapak Kos yang orang pergerakan dan jadi mertua Nasution di kemudian hari—yang mempertemukan Nasution dengan jodohnya. Yohana Sunarti Nasution. Mereka berdua memperbaiki sepeda milik keluarga Gondokusumo.[4] Dengan sepeda itu Nasution bisa berkeliling Bandung dan mengikuti perkembangan perang pasifik barangkali.

Cerita heroik dan romantis tentang sepeda adalah Cerita Ahmad Yani dengan istrinya. Ketika belum menikah, Yani yang bertugas di luar kota Purworejo, kalau tidak salah sekitar Magelang. Demi melepas kangennya pada Yayuk gadis pujaannya yang tinggal di Purworejo, Yani harus bersepeda melewati perbukitan di sekitar perbatasan Magelang-Purworejo.[5] Heroik sekali.

Ada banyak kisah antara manusia dengan sepada lainnya. Ada seorang anak yang mencari ayahnya ke Sumatra. Selama bertahun-tahun tiadak ada kabar dari sang ayah. Didorong rasa rindu yang begitu besar dari sang anak, maka perjalanan besar pun di mulai. Si anak bersepeda berhari-hari dari Jogja ke Sumatra. Sampai Sumatra, si anak harus terima kenyataan bahwa si ayah telah punya istri lagi. Memilukan juga perjalanan itu.[6]

Selama di Jogja, onthel sering saya lihat dikendarai banyak orang. Dari berbagai usia dan kalangan. Bapak-bapak tua yang jadi abdi dalem kraton, ibu-ibu dengan belanjaannya, mahasiswa kucel yang entah kuliah di kampus mana, anak-anak sekolah. Rasanya, tanpa Onthel Jogja tidak ada rasa Jogjanya. Onthel adalah bentuk egalitarian dari Jogja.

Seingat saya, waktu kuliah dulu banyak mahasiswi mengantri dan ingin dibonceng oleh saya keliling kampus Karangmalang. Lumayan, bisa bikin iri banyak kawan-kawan saya. Dan onthel begitu berjasa membantu saya di masa-masa skripsi dan menulis. Sepulang menulis di Patehan, menyusuri Pasar Ngasem, dan bersepeda melawan arah di Malioboro dan sampai di kampus karangmalang, sebelum akhirnya kembali ke rumah di Minomartani. Mengunjungi rumah Nenek dengan Onthel dari Jogja ke Bagelen (Purworejo) waktu lebaran 2005, juga menyenangkan. Onthel juga mengantarkan naskah skripsi pertama, yang gagal meluluskan saya, ke penerbit. Beberapa tahun bersama onthel adalah masa penting dalam hidup saya. Itu cerita saya bersama onthel, mana ceritamu?

NB: Tribute to Mas Dede Febrianto dan Onthel yang dipinjamkan pada saya yang entah dimana sekarang?

Catatan:

[1] Cintaku Di Kampus Biru, Sutradara Ami Priyono, dibintangi Roy Marten, Yati Octavia, Rae Sita, Farouch Avero. Diangkat dari Novel berjudul sama karya Ashadi Siregar. Settingan film adalah suasana kampus UGM tahun 1970an di Yogyakarta.

[2]Tentang sepeda, ada beberapa versi soal sejarahnya. Ada yang mengatakan sepeda berasal dari Perancis. Dimana Baron von Drais merakitnya pada 1817.( Onthel: Sepeda Jaman Dulu Yang Berkelas, http://www.anneahira.com/sepeda-jaman-dulu.htm; pada 1839, Kirkpatrick MacMillan, pandai besi kelahiran Skotlandia, membuatkan "mesin" khusus untuk sepeda. Tentu bukan mesin seperti yang dimiliki sepeda motor, tapi lebih mirip pendorong yang diaktifkan engkol, lewat gerakan turun-naik kaki mengayuh pedal. MacMillan pun sudah "berani" menghubungkan engkol tadi dengan tongkat kemudi (setang sederhana). ensiklopedia Britannica.com mencatat upaya penyempurnaan penemu Perancis, Ernest Michaux pada 1855, dengan membuat pemberat engkol, hingga laju sepeda lebih stabil. Makin sempurna setelah orang Perancis lainnya, Pierre Lallement (1865) memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya (sekarang dikenal sebagai pelek atau velg). Lallement juga yang memperkenalkan sepeda dengan roda depan lebih besar daripada roda belakang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sepeda)

[3] Tentang pengalaman Nasution muda lihat, Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I, Bandung, Angkasa, 1977.

[4] Wawancara dengan Yohana Sunarti Nasution (Jakarta, Desember 2009)

[5] Tentang Ahmad Yani, lihat Amelia Yani, Profil Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Sinar Harapan, 1988.

[6] Kisah ini pernah dimuat di majalah kampus Ekspresi UNY (2003).

Kamis, September 08, 2011

GELAR?

Kenapa kitorang slalu sibuk sama gelar? Apa karna terlalu lama didjadjah? Atau barangkali pengen seperti radja-radja djaman behuela? Inilah Indonesia.

Barusan, ada partai gede di negeri ini dukung ibu negara dapat bintang mahaputra. “Apo dio nih?”tanja orang Palembang. Kitorang kudu tanja, kenapa doi dapat itu bintang? Punja djasa apo? Lebih baik itu bintang buat para pemulung jang berdjuang atasi sampah tiap hari. Kenapa Ibu negara dapat bintang? Apa karena Ibu negara itu istri dari Paduka Jang Mau-mulia Presiden? Sudah pasti ada dari kubu sok biru jang djilat agar Ibu Negara dapat itu bintang. Lebay sekali. Bikin geli djuga kelakukan elit negeri tempat kitorang numpang hidup ini.

Tjukup geli djuga, waktu kitorang denger Paduka Jang Mau-mulia ternjata punja gelar Doktor. Muke gile. Emang kapan doi kuliah? Apa pula doi punja djudul disertasi? Kalo badjakan alias bajar orang buat bikin, khan malu2in. Kitorang semua paham, serdadu sibuk slalu. Kapan doi bisa kuliah? Kalau Doktor Honoris Causa djuga lutju. Apa dia orang punja djasa. Kalo Nasution bisa dapet Doktor untuk sedjarah, itu kitorang bisa maklum karna doi nulis banjak buku soal sedjarah dan militer ini negeri. Walo Nasution djuga pake penulis hantu.

Di kampus saia dulu, ada seorang Doktor jang bukunja banjak Nauzubilleh. Lebih dari 100 sepertinja. Saia tidak peduli, bagaimana itu doktor bikin buku rasanja tidak perlu dibahas. Tapi saia lihat sesuatu jang lain. Doi nulis buku mungkin mau ngedjek dosen2 jang ogah nulis. Alias tara produktif. Tapi rasanja si Doktor ini tak digubris. Tetap sadja tidak banjak dosen jang menulis. Mereka tjuma pasang gelar mentereng. Muke gile djuga.

Gelar itu prestise. Punja gelar bikin kitorang dipandang. Dipandang sebagai orang heibat, bukan dipandang sebelah mata. Seolah ini orang2 Indonesia tara tahu djikalau punja gelar itu ada konsekuensinja. Kudu ada sumbangannya buat dunia keilmuan. Ibarat seorang empu, doi kudu bisa bikin keris. Sjukur itu keris bisa pengaruhi empu2 jang lain buat bikin keris lebih bagus lagi.

Indonesia makin banjak orang2 punja gelar. Kata Gubermen itu bagus. Tapi, orang2 bergelar itu tara bisa berbuat banjak. Bukan karna mrika itu bego. Ini karna Universiteit sebagai lembaga jang kasih mrika gelar tara beri pengetahuan memadai. Alias asal tjetak sadja itu sardjana2. Tara pikir mereka kudu diberi apa.

Djikalau ditanja ke dosen2, mrika pasti bilang sudah kasih materi terbaik. Tapi, apa pula materi terbaik itu. Rasanja, banjak mahasiswa diadjar buat djadi diktator. Djadi itu mahasiswa dikasih diktat. Nanti udjiannja dari diktat. Akhirnja itu mahasiswa malas membaca buku lain. Praktis kata mereka. Djidjiknja lagi mrika bilang ini realistis. Akhirnja mrika tjuma djadi orang jang kajak robot. Gak bisa bikin sesuatu jang baru. Kebanjakan makan diktat. Itu tjeritera dari saia orang punja kampus.

Untung sadja, banjak temen2 dekat saia tara bangga sama doi punja gelar. Prekk kata mrika kalo ngomong soal gelar mrika. Temen jang bertahun2 serumah dengan saia djuga kadang merasa gelarnja tara berguna. Doi bilang djuga apa jang doi peladjari di STM djauh lebih heibat daripada jang dipeladjari di Universiteit.

Universiteit begitu mengetjewakan. Entah di bekas kampus saia dan kampus lain. Asal bajar, asal mau djadi robotnja dosen diktator jang dojan kasih diktat dan gak andjurin muridnja batja buku, maka kitorang bisa lulus. Betapa enaknja kuliah djaman sekarang. Idjazah matjam sampah sadja. Asal ada uang gelar pun dapat. Djikalau ada universiteit besar jang kasih Radja Arab Doktor Honoris Causa untuk kemanusiaan, itu sangat gila sekali. Buat apa kasih radja jang kasih penggal banjak kepala orang tara berdosa. Radja jang biarkan ribuan orang miskin Indonesia tersiksa di Negeri tutunnja agama Islam. Radja Islam jang mendjidjikan.

Djadi Universiteit di ini negeri kajak Unisex sadja. (Istilah unisex saia pindjam dari kenalan). Tara beda Universiteit itu dengan tempat prostitusi. Tinggal bajar anda puas. Heibat djuga naluri bisnis orang Indonesia. Apa sadja bisa djadi duit. Djangankan barang, pendidikan pun boleh didjual. Dan djualannja laris manis pula. Kajak gula djawa bikinan nenek saia di kampung dulu.

Djikalau anda pengen heibat, anda bisa beli gelar. Dimana sadja. Dari universiteit gurem sampe jang kakap di negeri ini. Asal ada fulus kajak Radja Arab. Jah tinggal anda bertanja pada kantong anda, “wani piro?” (Niru iklan di TV).