Sabtu, Juni 25, 2011

Sisi Lain Dokter Indonesia

Dokter bukan cuma pengobat. Dimasa lalu dokter adalah bagian dari kaum intelektual yang berjasa bagi Indonesia.

dr Cipto

Di jaman Majapahit, seorang tabib pernah membunuh Raja lalim bernama Jayanegara. Karena sang tabib bernama Ra Tanca itu sakit hati karena istrinya digoda oleh sang Raja. Padahal Ra Tanca salah satu putra terbaik Majapahit. Menjadi tabib raja bukan hal sembarangan. Dia harus kuasai ilmu kedokteran kuno. Di jaman setelahnya tidak ada cerita tabib lagi. Tabib kemudian bergeser oleh masuknya ilmu kedokteran dari Tiongkok bahkan barat.

Dokter kemudian profesi popiler. Bukan saja karena pentingnya dalam dunia kesehatan masyarakat. Tapi juga peran politisnya dalam sejarah Indonesia, disamping kaum militer, rakyat pejuang dan terpelajar lainnya. Namun, peran dokter dalam perbaikan masyarakat makin menghilang.

Mencetak Dokter Jawa

Lalu muncul istilah Dokter Jawa Mereka juga seperti tabib yang bisa mengobati orang sakit. Bedanya, dokter jawa menguasai pengobatan ala kedoteran barat. Ada yang menganggap dokter jawa di awal sejarahnya setara dengan mantri jaman sekarang. Dokter Jawa adalah lulusan School tot Opleiding voor Indische Artsen (Sekolah Kedokteran untuk Hindia) di Betawi.

Bermula dari sekolah mantri cacar yang didirikan pemerintah kolonial tahun 1849. Karena kekhawatiran pemerintah akan berjangkitnya banyak wabah penyakit di Hindia Belanda. Dan hingga awal abad XX, pes adalah wabah yang mengerikan bersama wabah-wabah lain. Belum lagi adanya penyakit tropis macam beri-beri.

Tentang sekolah dokter Jawa ini, Wikipedia mencatat:

Pada tahun 5 Juni 1853, kegiatan kursus juru kesehatan ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Keputusan Gubernemen no. 10 menjadi Sekolah Dokter Djawa, dengan masa pendidikan tiga tahun. Lulusannya berhak bergelar "Dokter Djawa", akan tetapi sebagian besar pekerjaannya adalah sebagai mantri cacar. Selanjutnya Sekolah Dokter Djawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (atau Sekolah Pendidikan Ahli Ilmu Kedokteran Pribumi), lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (atau Sekolah Dokter Pribumi). Akhirnya pada tahun 1913, diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische (Hindia)…. Nama STOVIA tetap digunakan hingga tanggal 9 Agustus 1927, yaitu saat pendidikan dokter resmi ditetapkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige Hoogeschool (atau Sekolah Tinggi Kedokteran). Sempat terjadi beberapa kali lagi perubahan nama, yaitu Ika Daigaku (Sekolah Kedokteran) di masa pendudukan Jepang dan Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia di masa awal kemerdekaan Indonesia.[1]

Sekolah Dokter Jawa dianggap berdiri pada tahun 1851. Dengan lokasi awal adalah Rumah Sakit AD Gatot Subroto sekarang. Sekolah ini lalu pindah gedung ke Gedung yang sekarang disebut Gedung Kebangkitan Nasional, Jalan Abdurahman Saleh.[2]

Kawasan Senen hingga Lapangan Banteng, dulu Waterlooplein, adalah kawasan dimana instalasi militer KNIL berdiri. Ada yang menyebut, STOVIA dalam sejarahnya terkait dengan kedokteran militer KNIL. Lulusannya maupun pengajarnya ada yang dijadikan dokter militer. Sejarahnya, pada 29 November 1847 Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan akan memanggil pemuda-pemuda pribumi untuk dididik menjadi juru kesehatan. Mereka yang memenuhi syarat akan dididik di Rumah Sakit Militer.[3]

Para lulusan STOVIA tidak dianggap dokter penuh seperti dokter lulusan universitas di Belanda. Melainkan hanya setara mantri. Untuk bisa disamakan dengan dokter Belanda, seorang lulusan STOVIA harus melanjutkan ke Negeri Belanda. Salah seorang lulusan STOVIA yang melakukannya adalah dr Abdul Rivai. Seorang dokter Minang yang cukup dikenal dibidang penulisan.[4]

STOVIA hilang. Lalu muncul dia sekolah kedokteran yang setara dengan dokter Eropa. Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran), disingkat GHS, di Jakarta dan Nederlandsch Indische Artsen School (Sekolah Dokter Hindia Belanda), yang disingkat NIAS, di Surabaya. NIAS berdiri pada 1913, juga seperti STOVIA untul mencetak dokter Jawa juga. Pengajar NIAS adalah dokter-dokter militer KNIL.[5] NIAS dan GHS lalu digabung di Jakarta.

Dokter dan Bekas Mahasiswa Kedokteran.

Tersebutlah dokter Wahidin Sudirohusodo. Kakek dari pelukis terkenal Basuki Abdullah itu. Dialah dokter penting dalam pergerakan nasional. Dia menggaungkan kebangkitan nasional. Dia mengajurkan adanya Dana pelajar untuk membiayai pendidikan pemuda cerdas namun kurang mampu.

Lalu berdirilah Boedi Oetomo, pada 20 Mei 1908. Dimana mahasiswa dokter bernama Soetomo adalah ketua pertama. Berdirinya Boedi Oetomo, bagi sebagian pihak dianggap sebagai momen Kebangkitan Bangsa Indonesia. Soetomo tidak lama di Boedi Oetomo, karena dia kecewa dengan Boedi Oetomo yang makin feodalis. Setelah lulus dan jadi dokter, Soetomomasih bergiat dalam dunia pergerakan hingga kematiannya. Soetomo bergerak dalam organisasi yang lebih besar yang dia dirikan. Seperti Parindra di kemudian hari.[6]

Cipto Mangunkusumo adalah dokter juga. Meski dari kalangan priyayi, Cipto adalah dokter yang egalitarian dan terkesan anti feodalis dan kolonialis. Tahun 1913, dia bersama Suryadi Suryaningrat dan Douwes Dekker, dalam Tiga Serangkai, mereka mendirikan Indische Partij (Partai Hindia). Sebuah Partai Politik pertama di Hindia. Mereka bertiga lalu dibuang pemerintah kolonial ke Negeri Belanda. Pembuangan adalah hal biasa dalam hidup dr Cipto. Tahun 1927, dia diseret ke pembuangan karena dianggap terlibat dalam rencana pemberontakan sekelompok serdadu KNIL Minahasa yang gagal.[7] Cipto juga dokter berani. Dia pernah terang-terangan memakai medali hadiah dari Raja Belanda di bokongnya. Medali itu diberikan atas jasa Cipto ikut memberantas wabah pes di Jawa awal abad XX. Cipto juga pernah mengendarai kereta kuda di area terlarang milik Kesultanan. Itulah bentuk kekurang-ajaran dr Cipto sang pemberontak dimata kaum feodal.

Dokter lain lulusan STOVIA yang kesohor adalah dr Rajiman Widyoningrat yang menjadi ketua BPUPKI diakhir pendudukan Jepang. Dr Ferdinand Lumbun Tobing yang menjadi Residen Republik Indonesia di Sumatra pada masa Revolusi. Dia adalah residen sekaligus dokter gerilya.

Bukan hanya lulusan STOVIA yang punya kontribusi terhadap Indonesia. Beberapa bekas mahasiswa yang tidak pernah lulus bahkan punya andil besar bagi Indonesia. Sebutlah Tirto Adhi Suryo, Suryadi Suryaningrat dan Djamaludin Adinegoro.

Tirto Adhi Suryo (TAS), yang keturunan Bupati di pesisir uata Jawa, adalah tokoh pers kebangsaan. TAS tidak menamatkan studinya di STOVIA. Dia memilih terjun ke dunia jurnalisme.Dimana pada usia belia, sekitar 20 tahunan dia menjadi redaktur Soenda Berita. Lalu dengan bantuan RAA Prawiradiredja, Bupati Cianjur, TAS menerbitkan Medan Prijaji. Melalui Medan Prijaji, TAS telah menggerakan bangsanya melalui bahasanya.[8] TAS harus jalani hidupnya yang tragis juga. Dia alami pembuangan dan kematiannya yang sunyi. Dia kemudian menjadi pejuang yang ditenggelamkan penguasa sejarah bangsanya sendiri.[9] Beruntung dia punya pengikut yang tidak kalah hebat darinya, seperti Marco Kartodikromo—pemuda minim pendidikan barat, namun punya tulisan pedas yang bikin marah pemerintah kolonial.

Djamaludin Adhinegoro adalah bekas mahasiswa kedokteran yang memilih jalan sama dengan TAS. Dia keluar dari STOVIA di tingkat tiga. Dia kemudian menulis dan melakukan perjalanan ke Eropa. Tulisan perjalanannya itu cukup dikenang dalam Melawat ke Barat. Nama Djamaludin Adinogoro kemudian banyak dikenang dalam dunia penulisan di Indonesia. Pernah ada Hadiah Adinegoro untuk dedikasi dibidang penulisan di Indonesia.

Siapa tak kenal Ki Hajar Dewantara? Nama itu yang melekat pada Suwardi Suryaningrat. Lepas dari STOVIA, Suryadi terjun ke jurnalistik. Dimana dia menulis Als Ik eens Nederlander was—yang menentang peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis Napoleon—yang membuatnya dibuang. Suryadi kemudian begerak di bidang pendidikan. Dimana dia mendirikan Taman Siswa yang masih hidup hingga sekarang. Dia mentasbihkan diri sebagai Ki Hajar Dewantara. Dia juga menjadi pernah menjadi Menteri Pendidikan dan salah satu dari sekian banyak pejuang kemerdekaan.

Betapa kita kita tidak boleh meremehkan orang yang tidak selesai kuliah. Meski tidak selesai itu bukan berarti bodoh. Bisa jadi lebih pandai. Mereka bahkan punya banyak kontribusi untuk mencerdaskan manusia Indonesia menuju kemerdekan.

Sabtu Pagi di Kuliah Patologi (1943)

Sabtu di bulan Oktober 1943, sepasukan serdadu Jepang memasuki sebuah ruang kuliah di Ika Dai Gakku (Sekolah Kedokteran) di Jakarta. Mahasiswa di ruangan itu sedang mengikuti mata kuliah Patologi. Dengan senjata siap tembak serta bayonet terhunus serdadu Jepang itu memasuki ruang kuliah.

Banyak mahasiswa yang mengikuti kuliah patologi itu tidak mengerti kehadiran serdadu Jepang itu. Akan tetapi mahasiswa-mahasiswa itu melihat ada beberapa serdadu Jepang memegang gunting dan tondeuse—alat untuk mencukur rambut. Mahasiswa-mahasiswa kedokteran itu kemudian mengerti bahwa mereka akan kehilangan rambut mereka. Kepala mereka akan digundul seperti serdadu Jepang, meski mereka—mahasiswa kedokteran itu—bukanlah serdadu Jepang.

Akhirnya para mahasiswa kedokteran itu sadar kedatangan tentara Jepang itu terkait dengan beberapa hari sebelumnya. Mereka menolak perintah penggundulan rambut dari petinggi militer Jepang di Jawa. Sekadar pengetahuan, mahasiswa kedokteran yang umumnya lelaki adalah orang-orang terpelajar dengan pendidikan formal di atas rata-rata orang Indonesia di zaman Belanda. Mereka pun menolak perintah penggundulan itu. Bagi para mahasiswa itu, kepala adalah bagian tubuh yang harus dihormati orang lain. Pengundulan kepala bisa saja dianggap hal tidak senonoh.

Ketika tentara Jepang memasuki ruang kuliah, deretan kursi belakang ricuh. Seorang mahasiswa bersitegang dengan seorang perwira Jepang. Mahasiswa itu adalah I Gusti Ngurah, asal Bali, yang dikenal pendiam oleh kawan-kawannya. Tentara Jepang mengokang senjatanya, bersiap menembak. Para mahasiswi pun menjerit histeris. Beberapa mahasiswa bersiap mengangkat kursi untuk membantu I Gusti Ngurah yang terancam senjata tentara Jepang. Sang perwira Jepang dengan cepat mencabut pistol dari sarungnya.

Pistol sang perwira tidak jadi menyalak. Tapi pipi I Gusti Ngurah kena tampar Ketegangan mulai mereda. Penggundulan paksa akhirnya diteruskan. Satu persatu mahasiswa kehilangan rambutnya hingga tinggal satu millimeterja. Aksi penggundulan kepala mahasiswa kedokteran berlansung cepat. Tentara Jepang menggundul dengan serampangan. Belakangan, mahasiswa harus merapikan sendiri rambutnya di asrama atau tempat lain setelah tentara Jepang menghilang dari ruang kuliah patologi itu.[10]

Setelah para serdadu dan perwira Jepang meninggalkan ruang kuliah Patologi, para mahasiswa beringsut pulang. Sebagaian dari mereka menuju asrama mahasiwa di Prapatan 10 dan asrama Cikini 71, Jakarta. Mereka berencana melakukan aksi sebagai rekasi atas penggundulan serdadu Jepang yang baru saja mereka alami.

Berita itu sampai ke beberapa orang pergerakan, salah satunya, Harastuti Subandrio, seorang dokter wanita yang sudah menikah. Minggu pagi, dokter itu mendatangi mahasiswa. Dokter itu berusaha ikut menyelesaikan masalah mahasiswa calon dokter itu. Wanita ini berusaha menghindarkan mahasiswa kedokteran itu dari amarah serdadu Jepang yang tidak segan menembaki mahasiswa itu.

Hari berikutnya, Prof. dr. Achmad Mochtar mengingatkan mahasiswa agar kembali ke bangku kuliah seperti biasa karena pemerintah balatentara Jepang akan bertindak semakin keras jika pemogokan diteruskan. Mahasiswa menolak himbauan sang rektor.[11]

Peristiwa di ruang Patologi adalah bentuk perlawanan mahasiswa kedokteran di masa pendudukan Jepang. Beberapa mahasiswa kedokteran Jakarta adalah pengikut Syahrir yang militan. Mereka bergerak dengan cerdas hingga tidak menjadisantapan Kenpeitai (Polisi Rahasia) Pendudukan Jepang.

Calon Dokter Pegang Bedil

Dimasa revolusi, banyak bekas mahasiswa kedokteran di jaman pendudukan Jepang yang bergabung dengan Tentara Nasional—sejak masih bernama Bdan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR) hingga Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Bekas mahasiswa kedokteran itu kemudian menjadi perwira karena latar belakang pendidikan mereka. Setidaknya letnan, kapten dan seterusnya. Tergantung nasib dan kepemimpinannya. Beberapa mahasiswa kedokteran memang pernah mendapart latihan militer singkat Daidan (Batalyon) PETA[12] Jakarta.

Beberapa bekas mahasiswa kedokteran bahkan menduduki jabatan penting di kemiliteran. Ada Daan Yahya yang menjadi Komandan Militer di Jakarta. Eri Sudewo yang sempat menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Revolusi memaksa mereka untuk angkat senjata. Revolusi juga membuat mereka jadi tentara.

Selain bekas mahasiswa kedokteran. Beberapa dokter juga ditentarakan. Biasanya mereka diberi pangkat mayor. Dimana mereka harus menjadi dokter yang dibutuhkan tentara dan mengobati siapa saja. Diantara dokter itu, banyak yang masih konsisten sebagai dokter di tentara. Ada juga dokter yang dapat tugas diluar kedokteran.

Dr Rubiono Kertapati adalah orang penting dalam intelejen ketika Sukarno berkuasa. Dimana Rubiono terbiasa menjadi analis intelejen bagi Sukarno.[13] Dia bahkan dikenal sebagai Bapak Persandian Indonesia. Dia aktif dalam Depatemen Pertahan ketika Republik baru berdiri. Dia punya pangkat Letnan Kolonel.

Subandrio, yang Kepala Biro Pusat Intelejen, juag seorang dokter. Dia dokter yang dekat dengan Sukarno. Pasca kudeta G 30S yang gagal, Subandrio termasuk orang yang bernasib sial. Dia dikutuk dan lama dipenjara oleh orde baru. Baru bebas ketika orde baru tumbang. Subandrio dianggap dekat dengan PKI oleh beberapa pihak.

Lalu siapa dokter paling kaya dalam sejarah Indonesia? Kita bisa menunjuk Ibnu Sutowo sebagai jawaban. Bagaimana tidak, keluarga Sutowo adalah keluarga kaya hingga saat ini. Ibnu Sutowo adalah dokter lulusan NIAS Surabaya. Dia kemudian berdinas di Sumatra cukup lama. Menikah dan kemudian ikut revolusi disana. Dia bahkan sempat menjadi Panglima Komando Militer Sumatra selatan—yang kemudian di sebut Sriwijaya. Nasibnya sama seperti Eri Sudewo di Siliwangi Jawa Barat. Dari Sumatra Selatan, Ibnu Sutowo ditarik ke Jakarta. Dia termasuk dekat dengan Ahmad Yani yang pernah jadi KSAD sebelum G 30 S. Sutowo juga jadi jenderal. Dia bersama Eri Sudewo adalah contoh sedikit dokter yang jadi Jenderal. Hebatnya lagi, setelah jadi jenderal tentara, Ibnu Sutowo adalah Direktur Pertamina. Dari jaman Sukarno hingga Suharto. Di Pertamina, Ibnu dianggap pejabat korup dan dibenci mahasiswa Demonstran. Mulai dari demonstrasi 1966 maupun 1974. Kasus korupsi Pertamina yang sempat muncul lalu ditenggelamkan oleh orde baru.

***

Begitulah cerita tentang dokter-dokter di Indonesia. Sebuah bagian dari kelompok Intelektual Indonesia. Banyak nama dokter yang punya jasa bagi Republik ini. Hingga ada yang jadi nama jalan. Ada juga yang masuk sel. Ada yang terkenal karena tulisannya. Ada yang memang dikenal karena dedikasinya pada dunia kedoteran Indonesia. Ada juga yang bermain minyak dan lainnya.

Cerita dokter Indonesia mungkin agak sedikit menjengkelkan dengan mahalnya biaya ke dokter. Juga diperparah dengan oknum dokter yang malpraktek. Sebuah fenomena yang mengerikan dan berbalik parah jika kita melirik peran dokter dalam kemerdekaan Indonesia.

Biaya kuliah untuk jadi dokter juga mengerikan hingga tidak ada dokter macam Cipto Mangunkusumo. Indonesia nyaris tidak punya dokter macam Guevara.

Ada cerita miris tentang dokter Kuba seputar Gempa 2006 di Jogja dan Klaten dari seorang kawan. Dimana sekelompok dokter Kuba yang akan beri pengobatan gratis dilarang buat Rumah Sakit. Hingga korban luka harus dibawa ke rumah sakit pemerintah yang tidak murah bayarnya. Dimana dokter-dokter Indonesia yang mirip pedagang maut berkeliaran.

Dunia para dokter atau mahasiswa kedokteran juga latar belakang menarik dalam novel sastra Indonesia. Sutan Takdir Alisyahbana menggunakan dalam Layar Terkembang. Marga T dalam Badai Pasti Berlalu.

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/School_tot_Opleiding_van_Indische_Artsen.

[2] STOVIA Gedenboek, 1851-1926, Waltevreden, G Kolff, 1936: Fredrick Willem & Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia, Jakarta, LP3ES, 2005, hlm. 242.

[3] Bali Post, 22 Mei 2005, http://www.balipost.com/BaliPostcetak/2005/5/22/ars1.html

[4] Kumpulan tulisan dr Rivai bisa ditemukan dalam buku Student Indonesia di Eropa, Jakarta, KPG, 2000.

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Nederlandsch_Indische_Artsen_School

[6] Beruntung dr Soetomo menulis autobiografinya. Buku itu berjudul Kenang-kenangan dr Soetomo.Lihat Fredrick Willem & Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia (Sebelum dan Sesudah Revolusi), Jakarta, LP3ES, 2005, hlm 152-172,

[7] Lihat Petrik Matanasi, Pemberontak Tak Selalu Salah, Yogyakarta, Indonesia Boekoe, 2009.

[8] Takeshi Siraishi, Zaman Bergerak, Jakarta, Grafiti, 1997, hlm. 43-44 & 46.

[9] Tentang TAS dilihat Pramoedia Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta, Lentera Dipantara, 2000. Pramoedia Ananta Toer juga menulis 4 novel biografis terkait kehidupan TAS, Tetralogi Buru yang terdiri dari Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca.

[10] Soejono Martosewojo dkk, Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya 1, Bandung, Patma, 1984, hlm. 27.

[11] Ibid., hlm. 28.

[12] PETA: Pembela Tanah Air adalah tentara sukarelawan yang dibentuk Jepang untuk mempertahankan Jawa dari serangan sekutu. PETA dibentuk tahun 1943. Mantan PETA menjadi pendominasi dalam ketentara Republik setelah Indonesia merdeka.

[13] Lihat Ken Conboy, Intel: Menguak Dunia Intelejen Indonesia, Jakarta.