Minggu, Februari 01, 2009

Tugu, Wieteke van Dort dan Keroncong Chaos


Keroncong adalah musik yang masih hidup hingga sekarang. Di Jakarta kominutas Keroncong Tugu, yang keturunan Portugis disana pun masih melestarikan Keroncong-nya hingga ke generasi terakhirnya. Belakangan Kroncong Tugu pernah diundang tampil oleh Pemerintah Daerah Jakarta.
Meski ada anasir Portugis-nya, Keroncong seolah menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia. Karena Keroncong berproses di Nusantara hingga memiliki bentuk yang khas seperti sekarang ini. Dimana Kroncong tidak lagi dianggap barat, melainkan—sebagaian orang mengira Keroncong dari timur.
Budak-budak Portugis adalah komunitas yang dianggap ikut melahirkan keroncong. Belakangan, orang-orang Belanda yang Protestan kemudian juga ikut memberi warna pada musik bekas budak Portugis itu. Susunan harmonik akordik ala GerejaProtestan Belanda. Selanjutnya, Keroncong pun berkembang dan didendangkan Sinyo-sinyo (anak laki-laki Indo-Belanda)—atau yang merasa Belanda—dirumah gedongan-nya.

Saking melegendanya, muncul istilah “Buaya Keroncong” bagi mereka yang jago memainkan musik Keroncong dalam dunia perkeroncongan. Akhir abad XIX, muncul sekumpulan orang-orang Indo-Belanda yang jago memainkan musik Keroncong di Kemayoran, Jakarta. Mereka menamakan diri De Krokodilen—yang berarti ‘buaya-buaya’ dalam bahasa Belanda.
De Krokodilen sangat piawai memainkan lagu-lagu cinta yang membuat para gadis tergila-gila. Karena begitu takutnya, orang-orang tua sebelum dekade 1950an, sering menutup pintu atau jendela mereka jika ada serombongan pemain keroncong yang sedang ngamen. Mereka takut anak gadis mereka tergila-gila pada ‘buaya-buaya’ jogo keroncong itu.
Tema lagu-lagu keroncong tidak beda dengan tema lagu zaman sekarang, lagi-lagi temanya cinta melulu—seperti salah satu judul lagu Efek Rumah Kaca. Keroncong, seperti halnya lagu melayu juga mendayu-dayu seperti dalam lagu Cinta Melulu-nya Efek Rumah Kaca. Bisa jadi temanya juga klise. Mungkin, di zaman kolonial dulu, lagu cinta yang temanya ngeblues (sedih) sudah digemari seperti sekarang. Bisa jadi lagu tema cinta, bagi muda-mudi yang asmaranya bergelora, jauh lebih baik daripada lagu-lagu pujian untuk Tuhan, atau para raja yang gila sanjungan.
Lagu mendayu-dayu bernafas cinta itu, bukan musik yang membakar semangat. Menurut Remi Sylado, Keroncong bertema cinta yang lembek dimata pemerintah balatentara Jepang itu akhirnya menjadi musik haram. Sama seperti rock n roll yang dianggap ngak-ngik-ngok zaman rezim Soekarno.
Kroncong dimata banyak orang saat ini adalah musik orang-orang kolot dan hanya ada di Indonesia. Itu salah besar! Cari saja-saja lagu-lagu milik Wieteke van Dort—yang bisa saya bilang dia adalah penyanyi Kroncong dari Negeri Belanda. Lagunya yang terkenal adalah Geef Mij Maar Nasi Goreng, Arm Den Haag, Boelang Pake Pajong. Irama Kroncong dan liriknya yang bahasa Belanda dengan menyerap banyak kosakata dari bahasa Indonesia, membuat saya kagum sekaligus tergelitik. Ada juga lagu-lagu yang dinyanyikan Wieteke van Dort dalam bahasa Indonesia seperti Burung Kakatua dan Nina Bobo. Dua lagu itu sudah menjadi lagu abadi di Indonesia. Dimana di Taman Kanak-kanak biasanya sering mengajarkan lagu-lagu itu.
Kroncong sebelum tahun 1950an menjadi musik wajib di nusantara. Musik pop gaya barat belum berkembang. Sementara akses orang Indonesia untuk menikmasti musik jazz sangatlah minim. Mahasiswa Indonesia di Belanda, seperti Suryosumarno, juga pernah memainkannya untuk menambah uang sangunya yang kurang untuk hidup di Negeri Belanda.
Sebagian anak muda sekarang bahkan masih mau mendengarkan musik keroncong, meski musik keroncong mereka bukan Keroncong Tugu atau Moresco. Melainkan Keroncong Chaos yang terkesan konyol temanya. Tapi, bagaimanapun itu juga hasil budaya Indies yang disesuaikan dengan kebutuhan anak muda saat ini yang bosan tema cinta yang serius dan mendayu-dayu.
Sebagaian anak-anak Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) di kota-kota pulau Jawa, pasti kenal dengan nama Pemuda Harapan Bangsa dan Sri Rejeki. Meski minoritas, mereka musik mereka cukup mewakili generasi sekarang dengan genre keroncong chaos. Mereka masih menyisakan akar musik keroncong yang lahir sejak zaman awal-awal kedatangan bangsa Eropa di Indonesia.

Geef Mij Maar Nasi Goreng


Saya terkejut ketika Wieteke van Dort menyanyikan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng. Lagu itu seperti mengisyaratkan kerinduan sekelompok kecil orang di Negeri Belanda yang rindu akan suasana dan makanan Indonesia.
Jangan lupa, Nasi Goreng adalah budaya kuliner Indies—seperti juga Sambel Goreng Tempe yang angkringan-angkringan (warung yang menyediakan menu nasi kucing) di Jogjakarta dikenal dengan nama kering. Kering menjadi teman nasi dalam sebungkus nasi kucing. Di beberapa kota di Jawa, banyak Warteg (Warung-Tegal) yang menyediakan kering untuk dimakan dengan nasi.
Di setiap kota di Indonesia menemukan nasi goreng jauh lebih mudah daripada menemui pejabat daerah yang jarang di kantor. Nasi goreng pun memiliki rasa, bumbu dan campuran yang beragam. Bukti bahwa makanan ini lestari dan kaya ragam.
Budaya kuliner tadi terus lestari dan menjadi bagian dari budaya Indonesia, meski ada enggan mengakuinya. Maklum orang-orang Indonesia yang keracunan rasa Nasionalisme sering enggan tidak mau mengakui jasa pihak luar terhadap diri dan kebudayaannya.

Nasi goreng mungkin lahir dirumah gedongan Tuan dan Nyonya Belanda di Nusantara. Roti mungkin sulit didapat di nusantara. Bila ada, pabrik roti di nusantara hanya ada di kota-kota pelabuahan macam Batavia, Surabaya, Semarang maupun kota pedalaman yang banyak terdapat orang-orang Belanda atau orang Eropa seperti Bandung, Yogyakarta atau Malang.
Sebelum jumlah wanita Eropa memadai agar setara dengan jumlah laki-laki, dapur orang-orang Eropa tentu saja kekurangan menu makanan Eropa. Karenanya dapur-dapur orang Eropa banyak diurus nyai pribumi—pengurus rumah tangga merangkap teman ranjang yang bisa juga menjadi Sleeping Dictionary (kamus tidur) dimana laki-laki Eropa itu belajar bahasa setempat. Nyai tentunya menjadi penyerap nilai-nilai barat selain pegawai pemerintah kolonial dan anak-anak pribumi yang bersekolah di sekolah Eropa di nusantara. Kehadiran nyai tentu saja ikut mempengaruhi lidah laki-laki kulit putih yang mereka urus.
Untuk bertahan hidup, orang-orang Eropa di nusantara pun mencoba bahan makanan pokok bagi orang pribumi, beras yang dimasak menjadi nasi. Nasi itu lalu mereka oleh menjadi nasi goreng. Begitu juga tempe yang dioleh disebuah wajan setelah diiris, lalu jadilah sambel goreng tempe.
Makanan ini, belakangan tidak hanya dinikmati orang-orang gedongan. Jongos-jongos (pembantu rumah tangga) dari rumah tuan dan nyonya, maupun nyai-nyai yang sudah tidak diperlukan orang Belanda, yang harus pulang itu pun membawa resep nasi goreng maupun sambel goreng-nya ke kampung-kampung mereka. Orang-orang kampung pun mencoba dan menyantapnya.
Rasanya, di zaman Hindia Belanda, tiada ada larangan makan nasi goreng dari pemerintah kolonial. Seorang pribumi pun tidak akan diseret ke Landraad (pengadilan rendah untuk orang pribumi) jika dilihat opas Polisi atau orang Belanda ketahuan sedang makan nasi goreng. Artinya nasi goreng bukan makanan terlarang, hingga nasi goreng pun menjadi makanan yang cukup populer.
Makanan seperti itu akhirnya menyebar dan menjadi milik rakyat nusantara. Bukan cuma milik tuan dan nyonya Belanda di rumah gedongannya. Berbagai lapisan bisa menikmatinya. Bedanya, lapisan atas bisa menikmati nasi goreng mahal yang disajikan di restoran bergengsi, sementara lapisan bawah cukup menikmatinya di kali-lima saja. Nasi goreng yang mahal tentu banyak campurannya dagingnya. Bicara soal mana yang enak, itu urusan lidah. Rasa juga sesuatu yang nisbi dan tidak punya standar tertentu. Bagaimananpun rasa dan campurannya, nasi goreng tetap nasi goreng. Ada nasi yang digoreng dengan bumbu-bumbu tertentu.
Di Negeri Belanda, beberapa makanan ala Indonesia masih ada. Restoran khusus makanan Indonesia pun ada di Negeri Belanda. Sekelompok eksodus kiri pasca gagalnya G 30 S juga mendirikan restoran. Dimana adik D.N. Aidit, Sobran Aidit, ikut serta dalam mendirikan restoran itu. Makanan Indonesia tentu saja menjadi menu di restoran itu.
Nasi goreng sendiri cukup diminati sebagian orang-orang di Negeri Belanda, baik orang Belanda asli maupun orang-orang Indonesia yang tinggal di negeri Belanda. Keturunan orang-orang Republik Maluku Selatan pengikut Ir Manusama, mungkin juga penyantap nasi goreng. Bagaimanapun, meski mereka sudah biasa makan roti isi daging, nasi tentu tidak asing bagi lidah mereka karena nenek-nenek moyang mereka juga sering makan nasi. Jadi tidak sulit bagi mereka untuk makan nasi goreng.
Nasib nasi goreng di negeri Belanda bisa jadi jauh lebih baik daripada Soto Babat. Berdasar pengalaman Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara—yang kala dibuang ke Negeri Belanda sekitar tahun 1910an masih bernama Suwardi Suryaningrat—sering memasak Soto Babat bersama istrinya. Karena sering membeli usus—yang di Negeri Belanda adalah makanan anjing—maka si penjaga toko dengan sopan bertanya, “berapa anjing tuan?.” Ki Hajar mungkin hanya bisa diam berpikir betapa apa yang dimakan anjing di Eropa juga dimakan manusia di Hindia Belanda (Indonesia).
Dari sini bisa saja Soto Babat yang bahannya sama dengan makanan anjing peliharaan juga semakin merendahkan pribumi. Tapi nasib Soto Babat zaman ketika Ki Hajar Dewantara dibuang tentu berbeda nasib nasi goreng di Belanda sekarang. Dimana nasi goreng disajikan di restoran-restoran. Bisa jadi sulit menemukannya di kaki-lima seperti di Indonesia.
Sangat disayangkan, sejarah kuliner Nusantara seperti nasi goreng sulit ditemukan. Padahal nasi goreng adalah fenomena menarik dalam kehidupan Indonesia. Orang-orang banyak tidak mengerti bagaimana nasi goreng yang mereka pernah makan itu itu lahir di Indonesia.