Jumat, Juni 18, 2010

Wisata Sejarah Bumi Arung Palaka


Cerita menarik saya dapat lagi. Bukan cuma tentang Arung Palaka, tapi juga Pelras—yang luar biasa tekun meneliti tentang Bugis.

Hidup adalah berjalan. Makanya saya terus berjalan dan belajar lagi. Tujuan selanjutnya adalah Bone. Terlepas karena rasa penasaran soal Bone, juga karena tawaran Irfan, putra daerah asli Bone. Banyak cerita menarik lagi saya peroleh. Itulah gunanya berjalan.
Bukan buang-buang waktu tapi belajar hal baru. Tentu saja harus dibarengi dengan membuka diri tentang banyak hal yang belum tentu kita sepakati. Disinilah kita akan belajar lagi tentang bagaimana menerima sesuatu. Tidak semua yang kita ingini akan kita temukan. Bisa jadi yang tidak kita akan menemui kita. Berjalan tentu membuat kita belajar menerima, sesuatu yang tidak kita ingini. Inilah hidup. Sepertinya sok bijak sekarang. Sudahlah, saya hanya ingin bercerita saja.

Naar de Bone
Sore itu (15/06/12), Makassar hujan rintik-rintik. Agenda sore ini adalah menuju rumah Irfan di Watampone, Bone. Diperkirakan, perjalanan memakan waktu 5 jam. Cukup lama juga. Saya hanya bisa membayangkan jalan rusak meuju Bone. Saya cukup maklum jika jalan diluar pulau Jawa buruk. Jadi bukan masalah jika nantinya saya akan melewati jlan yng buruk. Setelah menunggu agak lama, kami menemukan mobil yang diinginkan Irfan untuk pulang ke rumahnya. Irfan memang tipe manusia pemilih, dalam hal ini memelih mobil.
Mobil kami meluncur mulus menuju Maros. Saya baru tahu Bone lewat Maros. Saya pernah lewat Maros, waktu ke Barru. Mobil lalu mengambil jalan ke arah Bone, di sebuah pertigaan. Jalan yang dilewati mobil makin mengecil. Dan jalan mulai menanjak. Di kanan-kiri jalan perumahan tampak sederhana khas Makassar. Sebagian besar rumah adalah rumah panggung. Hanya sedikit rumah batu yang saya lihat.
Tidak jauh dari jalan raya, di sisi kiri jalan menuju Bone, sebuah bukit tegak lurus berdiri terlihat. Bukit ini mlembentang cukup panjang dari barat ke timur. Jalan yang kami lewati adalah desa-desa yang cukup ramai.
Mobil kami akhirnya melewati Bantimurung. Saya jadi ingat taman kupu-kupu yang cukup terkenal, dan desa Leang-Leang yang menyimpan gua purba beserta lukisan dindingnya. Dua desa di Maros itu membuat saya penasaran, tapi saya tidak bisa singgah. Sepertinya saya harus kunjungi dua desa itu. Mungkin sekembali dari Bone. Rasa penasaran saya pun bertambah lagi.
Lepas dari Bantimurung, jalan semakin menanjak. Pemandangan di kanan kiri jalan menuju Bone begitu hijau. Baik oleh hutan maupun persawahan. Maros masih memelihara tradisi agrarisnya. Karena hari mulai gelap, maka pemandangan indah itu tidak bisa terus saya nikmati. Saya hanya bisa berkata,” woooww keren,” sambil mengacungkan jempol pada Irfan. Hawa dingin makin terasa ketika melewati perbukitan hijau.
Jalan berkelok-kelok dan menanjak, membuat isi perut tergoncang. Namun bukan masalah buat saya, pemandangan indah di perbukitan membuat tubuh saya nyaman juga. Namun ada penumpang wanita di mobil kami harus muntah-muntah, hingga mobil harus berhenti sebentar. Sopir lalu membersihkan muntahan wanita muda itu. Dan saya pilih tidak peduli, seperti orang autis yang sedang berada di dunia lain.
Saya tidak menyesal ke Sulawesi Selatan. Dan masih ingin kembali lagi lain waktu. Jika punya anak, saya akan melatihnya menjadi backpacker sejak dini. Tentu saja saya akan mengajaknya menjelajahi Sulawesi Selatan. Tidak ke Bali bukan masalah, tapi ke Sulawesi Selatan harus!
Jalan menuju Bone, selain menanjak juga berkelok-kelok. Gelap malam membuat saya kurang bisa menikmati pemandangan. Seorang asal Bone yang saya temua di kereta-api Jakarta-Jogaj tahun lalu pernah bilang, tanah di Bone subur. Omongan Bapak yang tidak saya ketahui namanya itu benar juga. Karena ketika mencapai Bone, saya masih melihat banyak persawahan.a
Mobil akhirnya sampai juga di rumah Irfan. Kami beristirahat. Ibu Irfan harus repot lagi, memasak untuk kami. Ibu Irfan lalu menyuruh kami makan malam. Hawa dingin di jalan, membuat kami makan dengan lahap. Setelah itu saya tidur.

Keliling Watampone
Agenda pagi ini adalah pergi ke balai arsip, perpustakaan dan museum. Satu persatu tempat itu pun kami kunjungi. Kami hanya sebentar saja di perpustakaan dan arsip daerah. Selanjutnya kami menuju museum. Jadi hari ini hanya sekitar Watampone.
Museum Lapowawoi nama museum ini. Diambil dari nama raja Bone yang melawan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di tanah Bone. Lapawawoi Karaeng Segeri tidak bisa lagi berkuasa sejak 1905 karena pemberontakannya berhasil dihabisi serdadu KNIL. Kisah pemberontakan Lapowawoi pernah saya tuliskan dalam buku saya Pemberontak Tak Selalu Salah: Seratus Pembangkangan di Nusantara (Yogyakarta: Indonesia Buku, 2009). Dalam buku ini saya juga menulis pemberontakan raja wanita Bone, Besse Kajuara. Dan tentu saja Arung Palaka sang pembebas Bone.
Tidak ada loket dimana pengunjung harus membayar. Museum tampak sepi. Penjaga museum mempersilahkan masuk. Juga membiarkan saya memngambil foto. Tidak pungutan apapun. Sosok Arung Palaka begitu mendominasi museum. Tokoh ini adalah ikon Bone masa kini. Meski Sejarah nasional versi pemerintah begitu menyudutkan Arung Palaka. Hal ini karena persekutuan Arung Palaka dengan VOC yang kemudian meruntuhkan imperium Gowa di Sulawesi Selatan. Alasan persekutuan itu adalah demi membebaskan Bone yang kala itu dijajah Gowa. Nyatanya alasan Arung Palaka bersekutu dengan VOC untuk membebaskan Bone dari penjajahan Gowa itu tidak bisa diterima begitu saja, apalagi oleh Sejarawqan-Sejarawan berstatus pegawai negeri yang dibayar pemerintah.
Tidak saya sangka, ternyata keturunan raja Bone kebetulan tinggal disitu. Andi Baso Bone, begitu dia perkenalkan dirinya. Awalnya kami hanya mengobrol sekilas saja tentang isi museum. Akhirnya, pelan-pelan kami mengobrol soal sejarah Bone. Tentu saja dalam perspektif orang Bone. Andi Baso begitu fasih bercerita soal Bone, dan tentu saja tentang Arung Palaka.
Tentang Arung Palaka, Andi Baso bercerita bahwa Arung Palaka digambarkan sebagai sosok yang tangguh, cerdas dan berperawakan setinggi 2 meter. Soal Arung Palaka yang kemudian menjadi pemimpin besar bukan hal aneh. Karena Arung Palaka alias La Tenritata pernah tinggal dengan Karaeng Patingalong, seorang Cendikiawan Makassar yang mencintai ilmu pengetahuan dan sangat ahli dalam berdiplomasi. Dari Karaeng Patingngalong ini, Arung Palaka banyak belajar.
Arung Palaka begitu dihormati karena perjuangan heroiknya membebaskan Bone. Andi Hasanudin, salah seorang Budayawan Bugis pernah bilang pada saya Arung Palaka pernah mengunjungi Sultan Hasanudin yang sedang sakit di Istana Balalompoa. Setelah membebaskan Bone, Arung Palaka tidak menaruh dendam pada Gowa—yang pernah menjadi penjajah sekaligus musuhnya.
Arung Palaka, seperti diceritakan Andi Baso Bone, berusaha menciptakan kestabilan di Sulawesi Selatan. Jalannya dengan melakukan perkawinan antar keluarga bangsawan Bugis dan Makassar. Tidak heran jika kemudian raja-raja di Sulawesi Selatan adalah bersaudara sedarah sebenarnya. Karenanya, pasca berkuasanya Arung Palaka, Sulawesi Selatan nyaris tidak terdengar adanya perang saudara yang cukup parah. Hanya ada perang antara orang Bugis melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pembicaraan saya dengan Andi Baso juga menyinggung Christian Pelras yang menulis Manusia Bugis, buku favorit saya soal Bugis. Bertahun-tahun Pelras, yang asli Perancis, belajar tentang Bugis. Pelras mahir berbahasa dan baca-tulis huruf Bugis. Pelras cukup menyelami masyarakat Bugis dengan berlaku layaknya rakyat jelata ketika akan bertemu keturunan raja Bone. Pelras berusaha melihat Bugis dengan menyelami hubungan antara raja dengan rakyat Bugis. “Pelras itu orang Bugis, hanya kulitnya saja yang putih,” kata Andi Baso.
Dari Andi Baso, saya mendapatkan copyan foto We Tenriolle lagi, juga foto suami Belanda-nya Johan Brugman. Perjalanan membuat saya temukan hal baru. Saya menilai, Andi Baso cukup peduli dengan warisan Bone dan memiliki visi melestarikan sejarah Bone. Ketika hari menjelang siang saya dan Irfan pamit dari Museum. Saya beruntung bisa berbincang dan mendapat hal baru dalam kunjungan ke Museum Lapowawoi.
Agenda selanjutnya adalah mengunjungi komunitas Bissu Bone di Gedung Kesenian Bone, Bolasoba. Sore itu komplek gedung kesenian cukup ramai oleh remaja-remaja yang berlatih tari tradisional. Pertanda bagus dalam pelestarian Budaya Bugis. Bissu mungkin bias menjadi agen pelestari budaya Bugis. Bissu dalam pandangan saya adalah orang-orang sakti. Orang-orang menganggap mereka adalah banci. Mereka bisa bermain debus yang membuat kita merinding ketika mereka menusuk leher, mata atau bagian tubuh yang lainnya dengan badik atau keris. Kata bissu sendiri kemungkinan, seperti banyak pendapat ahli Bugis, adalah dari kata biksu (atau pendeta). Zaman dahulu, Bissu adalah penasehat spiritual raja.
Sepulangnya kami melewati sumur penting dalam sejarah Bone, Sumur Laccokkong. Dimana seorang bayi, yang kemenakan raja Bone, sekaligus akan raja Palaka, pernah merasakan air disumur itu ketika bayi. Dimana sehari sesudahnya bayi itu dinobatkan menjadi raja Bone.
Bone, jauh sebelum saya tiba di Watampone, memang identik dengan Arung Palaka. Lukisan diri Arung Palaka dengan gambar pita bertulis “Radja Palacca de koning der Bugish” selalu menjadi perhatian saya disini. Saya begitu hormat padanya atas keberaniannya berontak membebaskan Bone. Tentu saja saya menyempatkan diri berfoto di bawah patung Arung Palaka di Taman Bunga kota Watampone. Tidak biasanya saya mau narsis dekat dengan patungnya, salah satu pemberontak idola saya.
Belajar soal Bugis masih berlanjut tentunya. Malamnya saya belajar lagi soal Bugis. Kali ini berupa obrolan santai dengan Burhanudin, abangnya Irfan. Cukup menyenangkan juga belajar seperti ini. Walau saya tidak yakin akan mengikuti jejak Pelras.
Agenda hari kamis (17/06/10), di Bone adalah mengunjungi Goa Cempalagi atau Goa Janji. Goa ini adalah salah satu persembunyian Arung Palaka dari kejaran tentara Gowa, sebelum menuju Buton. Di Goa ini juga ada perjanjian beberapa bangsawan Bugis, untuk membebaskan Bone—yang kala itu dijajah Gowa. Karenanya goa ini disebut goa Janji. Tentu saja goa ini cukup penting dalam sejarah Bone.
Kami berdua memasuki goa gelap ini setelah menaiki tangga didepan mulut gowa. Jalan masuk goa cukup sempit, namun didalamnya banyak ruang besar. Kami tidak lama didalam goa, karena baterai senter terbatas. Lagi pula kami tidak terlalu mengenal goa ini. Kami kelelahan, meski hanya beberapa meter saja menjelajahi goa. Menurut saya, kadar oksigen di goa ini cukup baik. Karena banyak lobang bercahaya.
Tidak jauh dari goa adalah hutan kecil yang dihuni banyak kalong. Ada juga sebuah situs yang dipercaya jejak kaki Arung Palaka. Menurut penduduk sekitar, air laut yang mengenai jejak kaki Arfung Palaka itu tidak asin.
Dari goa, saya dan Irfan mengunjungi rumah keluarganya, yang tidak jauh dari goa. Irfan pernah menjalani masa kecilnya di desa ini. Bang Arif, saudara sepupu Irfan, mempersilahkan kami naik ke rumah panggungnya yang sederhana. Kami bersantai di beranda. Dimana sanggara’ (pisang goreng) dan es teh lemon dihidangkan. Tentu swaja sambil mengobrol. Irfan dan keluarganya sering bicara dalam bahasa Bugis, yang tentu saja saya tidak mengerti. Tapi bukan masalah bagi saya.
Cukup menyenangkan, menikmati hidangan sambil melihat hamparan sawah hijau dan hembusan angin sore yang meneduhkan. Tidak hanya itu, kami juga disuguhi makanan berat. Setelah puas duduk di beranda, saya dan Irfan pamit. Selanjutnya kami menuju Tanjung Palette, sebuah tempat wisata dipinggir laut Teluk Bone. Saya dan Irfan melewati rumah Yusuf Kalla—mantan Wakil Presiden RI yang sekarang menjadi ketua PMI. Sepanjang jalan yang kami lewati adalah areal tambak yang luas. Dimana masyarakat disini hidup dari Ikan dan rumput laut. Sekolah perikanan juga kami lewati sebelum mencapai gerbang tempat wisata Tanjung Palette. Disini setelah melihat laut, kami berenang di kolam renang. Cukup hanya membayar Rp. 4.000 saja. Hari ini masih menyenangkan. Selanjutnya kami menginap dirumah paman-bibinya Irfan.
Begitu banyak kisah-kisah yang tidak bisa saya dokumentasikan di Bone. Waktu saya sebenarnya terbatas kali ini. Butuh waktu yang agak lama untuk bisa mendokumentasikan kisah-kisah tentang Bone.
Andi Baso bilang pada saya, “harus bertahun-tahun tinggal disini untuk belajar tentang Bugis. Bahkan jika perlu harus beristrikan orang Bugis juga.” Saya setuju poin pertama, tapi poin terakhir agak sulit saya terima karena sulit untuk saya. Tapi suatu kali saya akan kembali lagi, mungkin untuk waktu yang agak lama. Tentu saja meropotkan Irfan lagi. Jum'at siang, kami harus kembali ke Makassar. Bang Bur menghadiahi say sandal jepit. Saya sangat senang sekali, karena akan sangat berguna sekali. Sekaligus menggantikan sandal saya yang hilang. Sandal jepit memang sangat berguna bagi para backpacker, begitu juga saran backpacker berpengalaman, seperti yang saya baca di sebuah majalah.

Senin, Juni 14, 2010

Menyusuri Gowa


Suatu sore, 10 Juni 2010, Acil iseng mengajak saya survey ke Gowa. Tanpa pikir panjang, saya terima tawaran itu. Tidak akan ada ruginya, bahkan akan sangat menyenangkan sekali, karena akan mengunjungi dan melewati banyak perkampungan orang-orang Makassar. Dua hari sebelumnya, saya sudah mengunjungi perkampungan orang-orang Bugis di pantai barat Sulawesi. Saya pun bersiap dan menunda beberapa acara dengan sejumlah kawan yang meminta saya berdiskusi soal penulisan. Tidak ada yang keberatan, jadi saya semakin bersemangat untuk ikut Aci survey ke Gowa.

11 Juni 2010
Setelah menyandang ransel, saya bersama Acil, Irfan dan Muhtang, menuju sebuah desa teerpencil di Gowa. Untuk mencapai desa itu kami harus menyusuri jalan poros Gowa, Takalar dan Jeneponto. Perjalanan panjang ini kami lalui dengan bermotor. Sepanjang jalan saya masih melhat rumah-rumah orang Makassar, yang bentuknya tidak jauh berbeda rumah orang Bugis. Sepengelihatan saya, rumah-rumah orang Makassar yang kami lewati banyak yang memakai dinding seng.
Kata Acil, kawan seperjalanan saya, di Jeneponto ada coto kuda. Karena kami belum sempat sarapan pagi, maka kami pun mampir menikmati coto kuda. Coto kuda tidak berbeda dengan coto Makassar pada umumnya. Hanya daging kuda saja yang membedakannya. Karena biasanya coto Makassar menggunakan daging sapi. Tidak butuh waktu lama menikmati coto kuda. Karena kami harus bergegas ke desa Biringbulu.
Sulawesi selatan memiliki populasi kuda lebih banyak dengan daerah bagian utara. Saya tidak banyak melihat kuda di daerah Barru. Dari apa yang saya ketahui, Jeneponto tidak jauh dari Bulukumba—dimana daerah itu terkenal dengan kudanya. Kuda yang saya lihat sepanjang jalan sedikit lebih besar dari kuda Sumba.
Kami tidak lama ke Jeneponto, karena kami harus berbelok menuju Biringbulu, yang merupakan bagian dari Kabupaten Gowa. Sebuah distrik yang sebenarnya lebih dekat dengan Jeneponto ketimbang Sungguminasa, yang merupakan pusat Gowa.
Setelah menikmati jalan aspal yang begitu panjang, kamipun melewati jalan berbatu. Dengan sepeda motor kami harus merasakan jalan batu berliku. Tujuan kami adalah Biringbulu, tepatnya desa Parangloe. Setelah menyebrangi sungai dengan sebuah jembatan baru, kami harus berjalan menanjak dan akhirnya menemukan sebuah desa yang sudah masuk kabupaten Gowa, tapi bukan Parangloe namun desa Taring.
Jalan desa masih berbatu dan menanjak. Bentuk rumah penduduk masih berupa rumah Makassar. Seperti umumnya petani Indonesia, para petani disini hidup sederhana jika melihat rumah mereka. Penduduk desa umumnya adalah petani Jagung. Hampir di tiap rumah di desa Taring, saya melihat ada kuda. Setidaknya satu ekor tiap rumah.
Selepas desa Taring, kami berpisah jalan. Dua kawan, Irfan dan Muhtang, harus menuju desa Tonrorita, yang letaknya jauh dari desa Parangloe. Tidak lama setelah berpisah dengan dua kawan tadi, saya dan Acil menemukan lagi jalan aspal—sebelum akhirnya tiba di Parangloe.
Rumah yang pertama yang kami tuju adalah rumah kepala desa. Kepala desa tidak dirumah awalnya, namun datang juga tidak lama kemudian—karena waktu Shalat Jum’at hampir tiba. Setelah berbincang dan menyampaikan keinginan kami yang akan melakukan survey, dan mendapat restu dari kepala desa, kami pun pergi Shalat Jum’at. Kepala desa Parangloe adalah mantan prajurit Infanteri Wirabuana—yang pernah dikirim ke Timor Leste. Sosoknya cukup ramah dan santai.
Selesai shalat Jum’at kami pun dijamu makan siang di rumah kepala desa. Kami disuguhi ikan, yang memang menjadi makanan paling digemari orang Bugis dan Makassar sehari-hari. Sorenya, kami berkelana mencari data penduduk desa. Kami menemukan data penduduk di rumah seorang guru muda bernama Siradjudin—yang merupakan koordinator tim sensus di desa.
Karena hari menjelang senja, kami pun diajak menginap dan makan dirumah Daeng Siradjudin. Kami pun menerima tawaran itu dengan senang hati. Aci begitu sibuk dengan data-data desa. Saya pun mengobrol sedikit dengan daeng Siradjudin tentang desanya, termasuk soal jagung, kuda dan sarana umum yang harus disediakan pemerintah pada desa ini. Petani di desa ini umumnya menanam jagung dan kapas.
Acil harus mengunjungi rumah ke rumah, saya pun ikut. Pemandangan desa cukup menarik di malam hari. Melihat bintang dari Parangloe sangat baik karena jarang ada sinar lampu desa ini. Hingga bintang-bintang itu menghampar seperti pasir. Dimana banyak penduduk berbahasa Makassar yang kami tidak paham. Aci, yang Bugis dari Palopo, tidak paham bahasa Makassar. Kami menggunakan bahasa Indonesia jika berbicara pada siapa saja.
Karena ingin mengenal karakter penduduknya, saya menyempatkan berbincang dengan beberapa penduduk dimuka rumah yang sedang mengadakan pesta. Mereka kadang berbicara dalam bahasa Makassar dengan sesamanya, namun saya sama sekali tidak merasa diacuhkan. Saya justru senang mereka bicara dengan bahasa daerahnya. Walau saya tidak mengerti dan peduli dengan apa yang mereka bicarakan. Selama berbincang, saya merasakan keramahan mereka.
Saya juga mengobrol dengan seorang guru sekolah dasar yang belum diangkat PNS. Sepertinya dia sangat senang menjadi guru, namun tidak banyak yang diberi pemerintah padanya. Karena hampir malam, kami kembali kerumah daeng Siradjudin. Dimana kami harus istirahat karena esok hari Acil harus mewawancarai responden.
Sampai rumah daeng Siradjudin, kami melihat ada keributan di sebuah pesta—yang diadakan tidak jauh dari rumah daeang Siradjudin. Dimana beberapa orang dengan membawa badik (pisau kecil khas Makassar) mengamuk dan dipihaknya seseorang telah membawa parang. Tujuan amukan orang itu adalah pada seseorang yang menyakiti salah seorang anggota keluarganya yang terluka kepalanya hingga banyak keluar darah diawal keributan itu. Sasaran amukan tentu saja dilindungi keluarganya agar tidak terluka. Sementara para tetangga hanya bisa melerai sekedar menghindari korban lagi.
Sebuah hal wajar bagi orang Makassar, Sirri’ atau kehormatan harus ditegakan. Saya pun tidak terlalu kaget dengan hal semacam itu, meski saya benci kekerasan sebenarnya. Tidak lama setelah keributan terjadi, kami pun tidur. Sampai esok harinya keributan harus diredam kepala desa.

12 Juni 2010
WC adalah tempat paling langka di Parangloe. Orang biasa buang hajat di sungai. Karena populasi penduduk yang tidak banyak, serta air sungai yang terus mengalir jernih, MCK bukan menjadi masalah penting bagi Parangloe. Tentu saja kami mandi pagi di sungai. Setelah sarapan, kami pergi mencari responden hingga siang hari. Tidak terlalu sulit, bahkan cukup menyenangkan. Akhirnya kami selesai siang itu juga. Setelah makan siang, Aci melengkapi berkas, kamipun pamit dan hanya bisa berucap terimakasih atas segala bantuan dan keramahannya pada keluarga daeng Siradjudin dan Kepala desa tentunya.
Kami meninggalkan Parangloe, kami menuju desa Tonrorita. Dalam perjalanan, kami singgah membenahi sepeda motor disebuah bengkel sederhana, sebelum akhirnya terus berjalan menuju desa Tonrorita. Jalan yang kami lalui jauh lebih berat dari sebelumnya. Selain penuh tanjakan curam, jalannya pun hanya berupa batu yang dikeraskan. Ditengah perjalanan, hujan pun turun. Cukup deras. Hingga jalan menjadi licin. Kami sempat berteduh sebentar dibawah pohon. Karena hari sudah sore dan diperkirakan hujan akan terus mengguyur, kami pun memutuskan terus berjalan. Bukan hal tentunya, karena jalan licin.
Setelah berkali-kali bertanya, kami pun menemukan juga jalan aspal lagi sebelum akhirnya sampai di desa Tonrorita. Dimana kami bertemu kembali dengan Irfan yang mensurvey desa itu. Irfan sudah lama selesai ketika kami tiba. Dia sedang duduk-duduk dirumah seorang penduduk ketika kami tiba. Malam sebelumnya Irfan menginap di masjid. Di desa ini, Aci harus mengganti ban dalam motornya. Tidak lama Muhtang pun datang dari surveynya di desa Batumalonro. Karena hampir malam kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esok hari, kembali ke Makassar dan melaporkan hasil survey mereka.
Kami diterima dengan ramah oleh Pak Djummang, tempat Irfan duduk-duduk tadi. Kami pun duduk-duduk dan mengobrol. Pak Djummang tidak terlalu bisa berbahasa Indonesia. Namun bukan masalah besar. Saya jadi sedikit belajar bahasa Makassar, tentu saja saya kesulitan. Pak Djummang adalah petani jagung sederhana. Saya cukup salut dengan kesederhanaannya. Di rumahnya kami disuguhi makanan untuk menahan hawa dingin. Setelah makan kami berbincang dengan Pak Djummang. Tentu hanya membicarakan hal sederhana saja. Tidak lama saya pun memutuskan tidur di kasur yang disediakan istri Pak Djummang yang tidak kalah baiknya. Kami disediakan selimut karena malam sangat dingin.

13 Juni 2010
Pagi ini, saya harus bersiap lagi. Mengemasi barang di ransel lagi, lalu duduk-duduk dan mengobrol santai dengan Pak Djummang dengan bahasa campuran antara Makassar dan Indonesia. Tidak lama kemudian, kami lalu sarapan pagi dengan nikmatnya. Setelah sarapan, kami pun pamit pada Pak Djummang dan mengucapkan terimakasih atas keramahannya.
Setelah isi bensin, sepeda motor kamipun berangkat. Lagi-lagi menyusuri jalan desa yang sempit dan naik-turun. Namun kami tidak menemukan jalan batu, hanya jalan aspal saja. Jalan berkelok-kelok, membuat kami harus berhati-hati.
Pagi ini masih dingin. Masih banyak pucuk gunung masih tertutup kabut. Pemandangan sepanjang perjalanan begitu indah. Tentu saja kami berfoto dengan latar pucuk pegunungan tertutup kabut. Lalu melewati hutan pinus yang rindang, tentu saja berfoto. Akhirnya kami pun memasuki daerah hutan Suaka Margasatwa Komara. Tidak ada hewan satu pun terlihat dipinggir jalan. Kami sempat singgah disitu, dekat sungai kecil yang airnya jernih. Pemandangannya cukup bagus. Lagi-lagi berfoto.
Sekitar seperempat jam berhenti dan menikmati alam yang sejuk kami pun berjalan lagi. Hingga akhirnya kami menemukan bendungan Bili-bili. Dan Makassar semakin dekat. Jalan raya di sekitar bendungan tidak cukup baik dengan lubang-lubangnya, yang di musim hujan menjadi masalah.
Setelah dua jam perjalanan dari rumah Pak Djummang, kami pun samapai juga di Sungguminasa, Gowa. Dimana kami melewati Istana Balalompoa yang megah. Istana kebanggaan raja Gowa ini terbuat dari kayu dan tampak kurang terawat. Sultan Hasanudin si Ayam Jantan dari Timur itu, pernah bertahta di istana ini. Sejak melewati Gowa dua hari sebelumnya, pikiran saya selalu melayang pada sosok Sultan pemberani itu.
*****
Banyak hal yang saya pelajari dari perjalanan bersama tiga kawan dari Unhas. Perjalanan saya ke Gowa, sedikit mencari jawaban, mengapa Gowa-Tallo (Makassar) bisa menjadi kerajaan besar dan berkuasa di Sulawesi Selatan diabad XVII?
Wilayah Gowa yang luas dan pertaniannya cukup maju, dan posisi Makassar yang memiliki laut dan pelabuhan, membuat Makassar kuat dalam perniagaan dan kelautan. Hal ini memungkinkan Gowa memiliki senjata-senjata modern yang belum tentu dimiliki kerajaan lain disekitarnya. Populasi kuda di daerah selatan Gowa, juga mempengaruhi kekuatan militer Gowa. Dimasa itu pula Gowa sudah menjadi kerajaan terbuka. Tidak heran jika kerajaan di utara seperti Bone dan lainnya dikuasai. Itu hanya simpulan sementara saja. Masih butuh kajian mendalam lagi, dan juga perjalanan yang lebih panjang lagi. Mungkin lain waktu.

Joka-joka ke Pancana


Pagi hari, 9 Juni 2010. Saya bangun pagi lagi. Sehari sebelumnya saya susuri kota kecil Barru. Tidak lupa mengunjungi Makam Andi Aziz, seperti rencana saya sebelumnya. Setelah mandi dan berkemas, lalu sarapan pagi, bersama Andi Idris kami menuju rumah Andi Hasanudin—seorang tokoh budaya Bugis di Barru. Seperti saran Andi Irvan di Jakarta. Andi Idris mengendarai mobil. Dia tampak kuat, meski dengan jujur mengaku pada saya soal penyakit dan usia menggerogotinya. Sampai di rumah Andi Hasanudin, tentu saja kami bicara santai soal Barru dan sejarahnya. Meski santai, tetap saja banyak hal baru yang menarik untuk saya pelajari, mungkin ditulis lagi, dilain waktu. Kedua tokoh sepuh Barru itu begitu bersemangat ketika bercerita pada saya.

Saya tidak bisa terlalu lama di Barru. Hanya dua hari saja, meski sebenarnya saya merasa nyaman dengan banyak hal. Selalu ada kawan baru yang mau berbagi dan menyenangkan. Mereka mau bicara apa saja soal Barru. Informasi mereka tidak memungut biaya dan dengan senang hati mereka bercerita. Seperti Bang Kurniawan dan kawan-kawannya. Salah satu kawan Bang Kurniawan adalah Om Bob dari Pancana—yang begitu disegani di Pancana. Om Bob tidak lupa bercerita dengan penuh semangat soal penemuan kuburan raja yang belum lama ditemukan. Mereka terheran mengapa saya mau belajar sejarah mereka? Dan saya hanya bilang, saya hanya tertarik saja. Walau secara kebetulan ada yang menawarkan saya pada awalnya.

Setelah pamit dengan Andi Idris dan Andi Hasanudin—yang beri saya banyak cerita-cerita menarik—saya pun berjalan kaki menuju terminal dengan berjalan kaki layaknya backpacker.

Tepat siang hari saya menuju Pancana, Tanette. Tujuan kali ini adalah Makam We Tenriolle—raja wanita yang sekitar 55 tahun menjadi Datu Tanette (Raja Tanette). Tokoh yang membuat saya belajar lebih soal wanita Bugis. Soal ketangguhan mereka, yang tidak kalah dengan lelaki. Ternyata tidak sulit menemukan makamnya, meski saya harus berjalan sekitar 2 KM dari jalan raya poros Makassar-Barru di daerah Pancana.

Cuaca Pancana cukup cerah. Saya menyusuri jalan aspal yang cukup bagus menyusuri tambak. Penduduk Pancana cukup ramah. Mereka tampak senang disapa dan menunjukan pada saya makam We Tenriolle. Tentu pencarian jadi semakin mudah. Letak makam berada di Barat Masjid. Makam ini boleh difoto. Tidak ada pungutan untuk kamera di situs bersejarah (Pancana) sini, seperti di obyek-obyek wisata Yogyakarta yang menyediakan pungutan khusus macam itu. Jadi saya pun memoto sesuka dan sesopan mungkin Makam We Tenriolle.

Setelah puas memotret, saya pun beristirahat sekaligus buang air kecil di rumah salah satu penduduk. Lagi-lagi ramah dan mengijinkan saya. Pemilik runah bahkan mengajak saya berbincang-bincang dan bertanya asal saya. Setelah saya jawab saya dari Jogja dan baru saja dari Makam We Tenriolle, tuan rumah beri saya informasi ada kursi tinggalan We Tenriolle di rumah Andi Citta. Informasi ini gratis dan pemberi informasi bahkan memberi dengan Ikhlas. Saya pamit lalu saya menuju rumah besar milik Andi Citta.

Andi Citta tidak di rumahnya, tapi anggota keluarga lain menerima saya. Meski belum mengenal saya, tanpa ragu saya diperbolehkan memoto kursi dan foto-foto lama. Kursi warisan We Tenriolle itu begitu terawat dan masih bisa digunakan. Meski ada foto yang hilang dikursi karena ulah Balatentara Jepang. Saya tidak lama dirumah Andi Citta karena kawan-kawan yang akan menampung saya sudah menunggu di Makassar. Saya segera berjalan kaki lagi menuju jalan raya.

Apa yang saya alami dan saya dapat membuat saya girang. Barru dan Pancana menyenangkan. Sebenarnya juga ingin berlama-lama dan belajar lebih banyak, tapi mungkin lain kali. Atas kunjungan saya, hanya bisa bilang Terimakasih pada semua atas segala keramahannya.