Kamis, Januari 23, 2014

Dolf Mati Muda dan Jomblo

Sunyi sepi sendiri, gelap tak berbintang.
Sedih sang seniman, merenung diri.
Teringat kasih yang ingkar janji.
Manis seribu rayu, janji tak bertepi.
Tapi apa yang terjadi, semuanya berganti.
Tinggallah seniman sendiri.
Sia-sia semuanya sudah.
Tak berkawan dalam derita.
Tinggallah biola yang setia.
 (Seniman dan Biola, AKA)

Lagu diatas cocok ditujukan pada Wage Rudolf Supratman (kita panggil saja Dolf)—yang kita kenal sebagai penggubah lagu Indonesia Raya.  Banyak yang percaya, Dolf tutup usia dalam kesendirian. Alias mati jomblo. Meski setidaknya ada dua orang wanita yang pernah mengaku jadi istrinya (entah resmi atau tidak, karena Kantor Urusan Agama tak dianggap bagi dua sejoli yang ingin bersama di jaman Kolonial, Supratman tetap saja sendiri seperti lagu gubahan band pimpinan Ucok Harahap bernama AKA itu. Konon, pernah ada yang jadi istrinya, namun tak lama meninggalkannya karena Dolf miskin.
AKA, yang singkatan Apotik Kali Asin itu memang asal Surabaya. Dan Dolf menghembuskan nafas terakhirnya di Surabaya. Kuburannya akan dipinggir jalan ke arah Jembatan Suromadu. Di akhir lagu Seniman dan Biola, terdapat sesi gesekan solo biola yang menyayat. Pikiran saya teringat Dolf mendengarnya. Saya tak tahu pasti, kenapa AKA membuat lagu ini. Namun bagi saya, Dolf Banget!!!
Bicara soal derita, Dolf sudah alami sejak lama. Di usianya yang ke-sebelas tahun, 1914, ELS (Europe Lager School: Sekolah dasar 7 tahun bagi anak pembesar pribumi atau Belanda)  Makassar menendangnya dari sekolah. Itu bukan karena berkelahi, memakai barang terlarang atau tindak asusila, hanya karena ketahuan dia bukan keturunan Belanda. Dia cuma anak angkat W.M van Eldik, kakak iparnya yang memberinya nama tambahan Rudolf. Dolf tentu sedih. Maklum ELS sekolah elit bergengsi yang belum tentu bisa dimasuki orang pribumi.
Lagu diatas cocok ditujukan pada Wage Rudolf Supratman (kita panggil saja Dolf)—yang kita kenal sebagai penggubah lagu Indonesia Raya. Banyak yang percaya, Dolf tutup usia dalam kesendirian. Alias mati jomblo. Meski setidaknya ada dua orang wanita yang pernah mengaku jadi istrinya (entah resmi atau tidak, karena Kantor Urusan Agama tak dianggap bagi dua sejoli yang ingin bersama di jaman Kolonial, Supratman tetap saja sendiri seperti lagu gubahan band pimpinan Ucok Harahap bernama AKA itu. Konon, pernah ada yang jadi istrinya, namun tak lama meninggalkannya karena Dolf miskin. AKA, yang singkatan Apotik Kali Asin itu memang asal Surabaya. Dan Dolf menghembuskan nafas terakhirnya di Surabaya. Kuburannya akan dipinggir jalan ke arah Jembatan Suromadu. Di akhir lagu Seniman dan Biola, terdapat sesi gesekan solo biola yang menyayat. Pikiran saya teringat Dolf mendengarnya. Saya tak tahu pasti, kenapa AKA membuat lagu ini. Namun bagi saya, Dolf Banget!!! Bicara soal derita, Dolf sudah alami sejak lama. Di usianya yang ke-sebelas tahun, 1914, ELS (Europe Lager School: Sekolah dasar 7 tahun bagi anak pembesar pribumi atau Belanda) Makassar menendangnya dari sekolah. Itu bukan karena berkelahi, memakai barang terlarang atau tindak asusila, hanya karena ketahuan dia bukan keturunan Belanda. Dia cuma anak angkat W.M van Eldik, kakak iparnya yang memberinya nama tambahan Rudolf. Dolf tentu sedih. Maklum ELS sekolah elit bergengsi yang belum tentu bisa dimasuki orang pribumi.
Dolf sejatinya anak dari Siti Senen dan Joemeno Senen, seorang Sersan KNIL (Koninklijk Nederlansche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Lahir tepat hari wage: 19 Maret 1903, Sebagian masa kanak-kanaknya dihabiskan sebagai anak kolong alias anak serdadu bawahan. Dolf mengalami masa jadi anak kolong disekitar Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta. Setelah ibunya meninggal, kakaknya, Rukiyem Supratiyah, dan suaminya van Eldik yang pernah jadi anak angkat orang Belanda dan warganegara Belanda. Di Makassar, van Eldik memiliki sebuah band yang biasa manggung di pesta-pesta penggede di Makassar.
Van Eldik pun menghadiahi Dolf sebuah biola warisan. Dan, Dolf kemudian serius bermain musik. Masa-masa beranjak remaja di Makassar, dihabiskan belajar dan bermain musik sepulang sekolah. Dan, kemampuannya sebagai pe,main biola terasah hingga van Eldik menariknya sebagai pemain biola di band yang dipimpinnya. Dolf remaja pun pernah jalani hidupnya sebagai anak band. pemain biola di sebuah band professional yang biasa main di pesta-pesta pembesar Belanda di Makassar.
Dolf sejatinya anak dari Siti Senen dan Joemeno Senen, seorang Sersan KNIL (Koninklijk Nederlansche Indische Leger: Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Lahir tepat hari wage: 19 Maret 1903, Sebagian masa kanak-kanaknya dihabiskan sebagai anak kolong alias anak serdadu bawahan. Dolf mengalami masa jadi anak kolong disekitar Meester Cornelis (Jatinegara), Jakarta. Setelah ibunya meninggal, kakaknya, Rukiyem Supratiyah, dan suaminya van Eldik yang pernah jadi anak angkat orang Belanda dan warganegara Belanda. Di Makassar, van Eldik memiliki sebuah band yang biasa manggung di pesta-pesta penggede di Makassar. Van Eldik pun menghadiahi Dolf sebuah biola warisan. Dan, Dolf kemudian serius bermain musik. Masa-masa beranjak remaja di Makassar, dihabiskan belajar dan bermain musik sepulang sekolah. Dan, kemampuannya sebagai pe,main biola terasah hingga van Eldik menariknya sebagai pemain biola di band yang dipimpinnya. Dolf remaja pun pernah jalani hidupnya sebagai anak band. pemain biola di sebuah band professional yang biasa main di pesta-pesta pembesar Belanda di Makassar.
Tak seperti kebanyakan pemuda, Dolf agak beruntung, dia pernah sekolah di Normaalschool (semacam sekolah lanjutan khusus yang lulusannya bisa menjadi guru). Dolf sempat menjadi pegawai di sebuah firma sebelum akhirnya bosan dan hijrah dari Makassar. Setelah luntang-lantung tak jelas di Surabaya, Dolf tinggal di rumah ayahnya di Cimahi. 
Akhirnya Dolf jadi wartawan suratkabar Kaoem Moeda di Bandung yang juga berhaluan nasionalis. Awalnya, Dolf yang baru terjun jadi kuli tinta, sempat mundur sebentar karena kurang berpengalaman dan gaji kecil. Dia sempat kembali sebentar menggesek biola untuk band yang sering tampil di Societeit (tempat pesta atau pertemuan orang-orang Eropa) di Bandung.
Seorang tokoh penting pers Indonesia, Parada Harahap yang pernah memimpin suratkabar Bintang Hindia, lalu menariknya jadi wartawan lagi di Kantor Berita Alpena (Algemene Pers en Nieuw Agentschap) di Betawi (Jakarta). Nasib kantor berita ini singkat, hanya setahun. Dolf pun tak punya kerjaan tetap. Dia hanya jadi wartawan lepas di Sin Po. 
Selama di Jakarta, Dolf terpengaruh oleh Sukarno dan juga A. Rivai yang terkenal sebagai jurnalis yang juga seorang dokter. Hingga dia pun masuk dunia pergerakan. Sebagai pemuda pribumi yang berpenghasilan sangat rendah yang tak diurus perutnya oleh Pemerintah Kolonial; pernah ditendang dari ELS Makassar karena bukan anak Belanda; dan pernah dipukuli tiga orang Belanda yang menghinanya: “Inlander Busuk!!”, maka tak ada lagi alasan untuk tidak melawan kolonialisme Belanda di Indonesia. Masuk gelanggang pergerakan nasional untuk melawan pemerintah kolonial Belanda alias penjajah adalah jalan suci bagi Dolf.
Jalan yang dipilih Dolf tak mudah. Masuk pergerakan, berarti siap miskin, jadi incaran PID (Politieke Intelingent Dienst: polisi rahasia Belanda yang mengurusi masalah politik), bahkan masuk penjara. Kebetulan, Dolf masuk pergerakan di kala pemerintah kolonial mulai bersikap sangat keras kepada kaum pergerakan.
Tak seperti kebanyakan pemuda, Dolf agak beruntung, dia pernah sekolah di Normaalschool (semacam sekolah lanjutan khusus yang lulusannya bisa menjadi guru). Dolf sempat menjadi pegawai di sebuah firma sebelum akhirnya bosan dan hijrah dari Makassar. Setelah luntang-lantung tak jelas di Surabaya, Dolf tinggal di rumah ayahnya di Cimahi. Akhirnya Dolf jadi wartawan suratkabar Kaoem Moeda di Bandung yang juga berhaluan nasionalis. Awalnya, Dolf yang baru terjun jadi kuli tinta, sempat mundur sebentar karena kurang berpengalaman dan gaji kecil. Dia sempat kembali sebentar menggesek biola untuk band yang sering tampil di Societeit (tempat pesta atau pertemuan orang-orang Eropa) di Bandung. Seorang tokoh penting pers Indonesia, Parada Harahap yang pernah memimpin suratkabar Bintang Hindia, lalu menariknya jadi wartawan lagi di Kantor Berita Alpena (Algemene Pers en Nieuw Agentschap) di Betawi (Jakarta). Nasib kantor berita ini singkat, hanya setahun. Dolf pun tak punya kerjaan tetap. Dia hanya jadi wartawan lepas di Sin Po. Selama di Jakarta, Dolf terpengaruh oleh Sukarno dan juga A. Rivai yang terkenal sebagai jurnalis yang juga seorang dokter. Hingga dia pun masuk dunia pergerakan. Sebagai pemuda pribumi yang berpenghasilan sangat rendah yang tak diurus perutnya oleh Pemerintah Kolonial; pernah ditendang dari ELS Makassar karena bukan anak Belanda; dan pernah dipukuli tiga orang Belanda yang menghinanya: “Inlander Busuk!!”, maka tak ada lagi alasan untuk tidak melawan kolonialisme Belanda di Indonesia. Masuk gelanggang pergerakan nasional untuk melawan pemerintah kolonial Belanda alias penjajah adalah jalan suci bagi Dolf. Jalan yang dipilih Dolf tak mudah. Masuk pergerakan, berarti siap miskin, jadi incaran PID (Politieke Intelingent Dienst: polisi rahasia Belanda yang mengurusi masalah politik), bahkan masuk penjara. Kebetulan, Dolf masuk pergerakan di kala pemerintah kolonial mulai bersikap sangat keras kepada kaum pergerakan.
Meski tak lagi jadi anak band, Dolf tak meninggalkan musik sama sekali. Apalagi setelah majalah Timboel, menyerukan kebutuhan lagu kebangsaan. Dolf pun akhirnya menulis Indonesia Raya, yang menurut beberapa ahli terpengaruh lagu Belanda: Pinda-Pinda. Toch terpengaruh adalah hal yang lumrah. Tetap saja Indonesia Raya, yang terdiri dari beberapa stanza itu, jadi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Meski dianggap berbahaya oleh PID karena liriknya mengajak orang percaya ada sebuah bangsa besar bernama Indonesia, lagu ini nekadi dimainkan dengan biola tanpa lirik di Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 di Jakarta.
Indonesia Raya, yang membahayakan pemerintah kolonial itu, adalah jawaban sekalgus perlawanan atas nasib Dolf sial sebagai pribumi yang harus miskin, tak boleh masuk sekolah ELS, digebuki dan dikatai: Inlander busuk di tanah airnya sendiri. Penghinaan memang bisa dilawan dengan banyak jalan, yang berujung pada kemerdekaan dan kemulian. Dolf melakukannya melalui membuat lagu.
Dolf ternyata juga menulis novel: Darah Muda, Kaum Fanatik dan Perawan Desa. Novel terakhir yang saya tulis, sebenarnya adalah novel pertama yang membuat berang PID. Novel itu berbersinggungan dengan nasib buruk perempuan Indonesia yang dijebak menjadi perempuan dikawin tapi tak dinikah oleh laki-laki Belanda alias Nyai. Novel yang dirilis 1929 ini, gagal rilis karena dia kemudian dauber-uber PID. 
Pembalasan pada kolonialis dan perjuangan untuk jadi orang merdeka belum selesai, sambil jadi wartawan di Koran kuning (yang biasa dan banyak memuat berita kriminal), Dolf terus menulis lagu pencerahan kebangsaan Indonesia. Dolf melakukannya meski sakit-sakitan dan miskin. 
Karena sakit paru-paru, 1934, dirinya pernah tinggal di Cimahi tempat ayahnya. Pemesan lagu sering datang kesana. Karena terus diintai PID, Dolf ke Surabaya tempat kakaknya, Rukiyem. Membuat lagu perjuangan tetap berlanjut. Sampai dua orang PID menjemput paksa Dolf dari studio NIROM Surabaya, 10 hari setelahnya, Dolf meninggal. 
Dolf yang mati muda, mati dalam keadaan miskin, jomblo dan jadi musuh pemerintah. Lengkap sudah deritanya, kecuali mati muda. Tak ada satu wanita pun menemaninya ketika ajal menjemput. Jika pun ada sosok wanita yang dekat dalam hidupnya, itu pasti ibu atau saudara perempuannya.  Mungkin, biola warisan dari van Eldik akan lebih setia ketimbang wanita. Seperti lagunya AKA, “tak berkawan dalam derita, hanyalah biola yang setia.”
Meski tak lagi jadi anak band, Dolf tak meninggalkan musik sama sekali. Apalagi setelah majalah Timboel, menyerukan kebutuhan lagu kebangsaan. Dolf pun akhirnya menulis Indonesia Raya, yang menurut beberapa ahli terpengaruh lagu Belanda: Pinda-Pinda. Toch terpengaruh adalah hal yang lumrah. Tetap saja Indonesia Raya, yang terdiri dari beberapa stanza itu, jadi lagu kebangsaan Indonesia Raya. Meski dianggap berbahaya oleh PID karena liriknya mengajak orang percaya ada sebuah bangsa besar bernama Indonesia, lagu ini nekadi dimainkan dengan biola tanpa lirik di Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 di Jakarta. Indonesia Raya, yang membahayakan pemerintah kolonial itu, adalah jawaban sekalgus perlawanan atas nasib Dolf sial sebagai pribumi yang harus miskin, tak boleh masuk sekolah ELS, digebuki dan dikatai: Inlander busuk di tanah airnya sendiri. Penghinaan memang bisa dilawan dengan banyak jalan, yang berujung pada kemerdekaan dan kemulian. Dolf melakukannya melalui membuat lagu. Dolf ternyata juga menulis novel: Darah Muda, Kaum Fanatik dan Perawan Desa. Novel terakhir yang saya tulis, sebenarnya adalah novel pertama yang membuat berang PID. Novel itu berbersinggungan dengan nasib buruk perempuan Indonesia yang dijebak menjadi perempuan dikawin tapi tak dinikah oleh laki-laki Belanda alias Nyai. Novel yang dirilis 1929 ini, gagal rilis karena dia kemudian dauber-uber PID. Pembalasan pada kolonialis dan perjuangan untuk jadi orang merdeka belum selesai, sambil jadi wartawan di Koran kuning (yang biasa dan banyak memuat berita kriminal), Dolf terus menulis lagu pencerahan kebangsaan Indonesia. Dolf melakukannya meski sakit-sakitan dan miskin. Karena sakit paru-paru, 1934, dirinya pernah tinggal di Cimahi tempat ayahnya. Pemesan lagu sering datang kesana. Karena terus diintai PID, Dolf ke Surabaya tempat kakaknya, Rukiyem. Membuat lagu perjuangan tetap berlanjut. Sampai dua orang PID menjemput paksa Dolf dari studio NIROM Surabaya, 10 hari setelahnya, Dolf meninggal. Dolf yang mati muda, mati dalam keadaan miskin, jomblo dan jadi musuh pemerintah. Lengkap sudah deritanya, kecuali mati muda. Tak ada satu wanita pun menemaninya ketika ajal menjemput. Jika pun ada sosok wanita yang dekat dalam hidupnya, itu pasti ibu atau saudara perempuannya. Mungkin, biola warisan dari van Eldik akan lebih setia ketimbang wanita. Seperti lagunya AKA, “tak berkawan dalam derita, hanyalah biola yang setia.”

Jejak derita Dolf dan juga usahanya agar sumber deritanya hancur atau deritanya tak terulang lagi pada yang lain, bisa kita lihat dalam Majalah Detik edisi edisi khusus kemerdekaan 19-25 Agustus 2013 no 90 atau sumber-sumber lain entah berupa biografi atau bahkan buku pelajaran sejarah.

Sisi Lain Sang Bupati

RAA Wiranatakusuma alias Moeharam, pernah dicap buruk oleh sikap politiknya yang kebetulan tidak sesuai dengan apa yang dimaui orang. Tapi sebelumnya, dia juga pejuang yang layak dihormati.

Namanya, jelas-jelas dicap buruk juga dalam sejarah Indonesia. Namanya terkait sebagai gerakan rahasia Westerling menjelang minggatnya Tentara Belanda dari Indonesia. Sebelumnya lagi, dia pernah ditunjuk sebagai walinegara Pasundan—yang katanya eksistensinya tak dianggap oleh rakyat Sunda pada umumnya.
            Mari sejenak lupakan dulu hal buruk tentangnya. Puluhan tahun sebelumnya, sebelum tahun 1950an, dirinya adalah priyayi yang vocal juga memperjuangkan nasib baik kaum pribumi, yang didalamnya rakyat Sunda juga.
            Dalam persidangan volksraad (Dewan Rakyat) yang membahas penghematan di bidang pendidikan pasca depresi ekonomi dunia 1929, menyatakan pendapatnya bahwa “penghematan (yang dilakukan pemerintah) itu perlu.” Namun, Wiranatakusuma berharap “ tidak mengehentikan perluasan pendidikan rakyat.” Dirinya berharap agar HIS dan MULO untuk kalangan pribumi dipermudah dan jangan dipersempit. Sementara wakil VaderlanscheClub mendukung agenda penghematan itu. Ketika itu, Moeharam Wiranatakusuma yang anggota Volksraad fraksi Nasional pimpinan Husni Thamrin. (Pelita Andalas, 12 Agustus 1932)
            Tak hanya itu, ketika isu ordonansi sekolah liar ramai di HIndia Belanda, dirinya sebenarnya juga berdiri di belakang kaum pergerakan nasional. Dalam siding Volksraadpada 8 Oktober 1932,  Wiranatakusuma, kala itu adalah wakil Pasundan dalam Volksraad,mengusulkan: agar sekolah swasta cukup memberitahukan saja dan tidak perlu meminta izin. Namun, pemerintah kolonial tetap bersikeras dengan ordonansi sekolah liarnya. (Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia:746)
            Sembilan tahun sebelumnya, Wiranatakoesoemah, mengecam pers Belanda yang sering menghina kaum Bumiputera. Misalnya berita mengenai seorang perempuan Bumiputera yang digunting rambutnya secara paksa oleh seorang Belanda di Gang Sekolah, Weltevreden, Batavia. Di lain pihak, suratkabar berbahasa Belanda yang cukup terkemuka, Het Nieuws, membantah pernyataan Wiranatakoesoemah dengan berdalih bahwa pihaknya belum pernah melihat perempuan Pribumi dianiaya dan dihinakan oleh orang Eropa. (Oetoesan Melajoe-Perobahan : Soeara Momok, 30 Juni 1923)
            Wiranatakoesoemah, pada 9 November 1923, mengajukan beberapa pertanyaan mengenai pengelolaan ibadah haji kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seputar : Jumlah orang Hindia Belanda yang pergi haji ke Mekkah? Berapa jumlah mereka yang wafat dan apa penyebabnya?  Apakah mereka diserang perampok selama perjalanan? Adakah pertolongan dari konsulat Belanda di Jeddah? Apakah Pemerintah turutserta dalam usaha perdamaian di Arab Saudi? Mengingat negeri itu sedang dilanda situasi yang tidak kondusif. (Oetoesan Melajoe-Perobahan, 21 November 1923) Pertanyaan tadi sangat penting bagi kepentingan orang Islam yang ingin berhaji ke Mekkah.
            Setahun kemudian, Moeharam Wiranatakusuma pun naik haji juga. Dirinya membuat catatan perjalanan dengan judul: Perjalanan Saya ke Mekkah yang kemudian menjadi cerita bersambung di surat-kabar, De Locomotief. Sepulang dari Mekkah, dirinya digelari nDalem Haji.
            Selain ke Mekkah, dirinya juga pernah ke Belanda tahun 1928. Disana dia mempelajari tentang koperasi, dan mendirikan koperasi rakyat. Dirinya ikut mendukung sekolah keutamaan Istri Dewi Sartika. Dia termasuk orang yang berusaha mengubah rawa menjadi sawah untuk memberantas malaria. Ketika Sarekat Islam berkemabng dirinya ikut mendukung. Dirinya terus jadi orang berpengaruh hingga tahun 1940an. Tak heran jika dirnya diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri RI pertama. Tak sampai 3 bulan, dia diangkat menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung. Ketika Jawa Barat menjadi daerah pendudukan Belanda, dirinya dijadikan Walinegara Pasundan, dan orang menyebutnya: Kanjeng Wali, hingga tahun 1950, ketika RIS bubar menjadi RI. Dirinya kembali jadi bupati Bandung lagi. Sampai digantikan anaknya Male Wiranatakusuma, setelah dirinya meninggal 22 Januari 1965. Hal menarik lain dari Moeharam adalah: dia termasuk orang yang mendukung pembuatan film pertama Indonesia: Loetoeng Kasaroeng (1926). (Henri Chambert Loir,Naik Haji di Masa Silam 1900-1950, 556).
            Pastinya, boleh-boleh saja Wiranatakusuma membela rakyat, namun kodrat priyayi jaman kolonial, haruslah tunduk pada Ratu Belanda dan punggawanya di tanah koloni dibawah Gubernur Jenderal. Dirinya, jika kita anggap sebagai tokoh pergerakan nasional, maka dirinya tergolong koperatif juga seperti Husni Thamrin.
            Membela rakyat Sunda itu boleh, tapi menjaga hubungan baik dengan Ratu Belanda tetap harus. Pada 17 Mei 1940, selaku Bupati Bandung, Wiranatakusumah mengirimkan kawat kepada wali negara, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh di Bogor yang isinya sebagai berikut:
“Kira-kira limapuluh ribu kaum Muslimin, pada bersembahyang pada hari jum’at di dalam masjid besar dan masjid-masjid di pedusunan, dengan sungguh-sungguh  mohonkan berkaat Tuhan untuk keluarga raja dan rakyat Nederland (Belanda) yang mendapatkan kesukaran. Juga atas namanya pendudukan bumiputra dari regentschap (daerah kabupaten) Bandung hamba berharap moga-moga tuan besar (Gubernur Jenderal) mendapat kekuatan dan kebijaksanaan di dalam ini waktu yang sukar untuk memerintah dan meyakinkan kita punya percintaan dan kesetiaan pada pemerintah Hindia.” (Kaoem Moeda, 18 Mei 1940)

Pada 6 Juli 1940, ketika menjabat Bupati Bandung, R.A.A.Wiranatakusumah mendapatkan banyak ucapan selamat dari kalangan pejabat maupun keluarganya.  Acara selamatandigelar di balai Kabupaten. Kemungkinan itu dalam rangka 30 tahun pengabdian dirinya menjadi pangreh praja. Dirinya memulai dari juru tulis sampai bupati. (Kaoem Moeda, 8 Juli 1940)
            Terlahir dari keluarga Wiranatakusuma, yang memang dinasti Bupati di Bandung, dengan nama Moeharam pada 8 Agustus 1888. Ayahnya: Raden Tumenggung Kusumadilaga dan Ibu Raden Ayu Sukarsih. Dirinya dibesarkan di keluarga menak dan diasuh juga oleh orang-orang Belanda, hingga mempengaruhi pemikiran dan wawasan pengetahuannya.
Sebagai turunan Menak, Moeharam bisa sekolah dan lulus di ELS (SD Belanda) dan OSVIA (sekolah pamongpraja) meski tak lulus. Snouck Horgronje juga pernah menjadi mentornya. Melihat, Moeharam pintar, Snouck menyarankan agar dirinya sekolah di HBS (sekolah menengah 5 tahun) meski tidak lulus karena keburu jadi juru tulis di Sumedang. Setelah dua tahun memulai dari juru tulis, mantra polisi, asisten wedana,  dirinya pun menjadi bupati Cianjur pada 1912. Moeharam termasuk bupati termuda, di usia 24 tahun.
            Sebagai priyayi, maka Moeharam bisa poligami. Darah priyayi adalah dayatarik dirinya untuk mendapat istri. Banyak orang merelakan anak gadisnya untuk dinikahi priyayi. Apalagi priyayi yang sudah jadi bupati. Di usia 28 tahun, dirinya sudah punya 4 istri. Yang belakangan diceraikan karena dia menikahi Syarifah Nawawi—perempuan berpendidikan asal Padang—pada tahun 1916. Syarifah anak dari Engku Nawawi—guru HIK Fort de Kock—yang kesohor dan fotonya masih dipajang di SMA N 2 Bukittinggi. Pernikahan itu tak langgeng. Pada 1924, Syarifah diceraikan melalui telegram. Sejatinya, mereka berdua beda pandangan, Syarifah tak suka sikap feodalisme yang dijunjung Moeharam.
            Sebenarnya, Syarifah Nawawi adalah cinta-mati Tan Malaka. Semoga pernikahan Syarifah dengan Moeharam Wiranatakusumah, juga perceraiannya, bukan jadi alasan Tan Malaka menjadi radikal dan marxis nomor wahid di Indonesia.