Selasa, Juni 12, 2012

Samin Surantiko: Pembebas Kaum Kromo


Tanah kering di Blora yang kaya hutan jati itu ternyata memiliki sosok Mahatma Gandhi yang telah membentuk masyarakat komunalnya seperti Utopia-nya Thomas Robert More. Sejarah Indonesia telah mencatat perlawanan Samin Surantiko, walau hanya sedikit.

 

Potret Samin Sang Pencerah dan Pembebas Kaum Kromo
 
Sebenarnya orang-orang Samin setelah kematian sang pemimpinnya yang bernama Samin Surontiko, tidak suka dijuluki Samin. Kata Samin memiliki konotasi bodoh, tapi bukan kebodohan karena tidak atau kurang cerdas, tetapi bodoh yang keras kepala dalam mengukuhkan pendirian mereka. [1] Orang-orang Samin lebih suka dijuluki Wong Sikep (orang yang bertanggungjawab dalam konotasi baik dan jujur). [2]
Samin yang awalnya nama seorang pernah melawan kekuasaan dengan cara yang unik itu, kini menjadi kata juga cemoohan. Kata samin yang menjadi bahan ejekan bisa jadi bersifat politis. Hal ini diciptkan oleh penguasa yang telah menghancurkan perlawanan tanpa kekerasan ditambah sebuah ejekan. Samin yang semula adalah berusaha memanusiakan manusia, telah dijadikan ejekan yang tidak manusiawi. [3] 
Samin yang kadang diartikan bodoh ini telah menutupi keharuman nama samin dalam sejarah perlawanan sosial di Indonesia. Samin adalah sosok gerakan sosial yang nyaris dilupakan dalam sejarah. Samin bisa disejajarkan dengan Pitung Robinhood Betawi yang juga dikecilkan dan nyaris tidak disebut dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Samin telah meninggalkan masyarakat Samin yang telah dibentuknya lebih dari seabad lalu.   Masyarakat Samin adalah masyarakat eksklusif yang hidup komunial dibeberapa kabupaten diutara perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur. Mereka memulai perlawannya dari sebuah protes atas program perluasan hujan jati oleh pemrintah kolonial dan pendukung pribuminya. Lama-kelamaan gerakan ini berkembang menjadi gerakan kebatinan yang menentang segala bentuk formalitas. Seperti administrasi negara dan lembaga sekolah. Hal menarik dari Samin adalah mereka menolak membayar pajak. [4]
Perlawanan Tanpa Kekerasan dan Masyarakat komunal gaya Samin
Mereka tidak mau membayar pajak kepada pemerintah manapun di zaman kemunculannya; kepada penguasa lokal pribumi; juga pada pemerintah kolonial Belanda. Ini juga salah satu ajaran politik Samin Surontiko yang membuat pemerintah kolonial berang dan menindaknya. Dalam ajaran Samin ada tradisi lisan:
"Dhék jaman Landa niku njaluk pajeg boten trima sak legané nggih boten diwéhi. Bebas boten seneng. Ndandani ratan nggih bebas. Gak gelem wis dibébaské. Kenék   jaga ya ora nyang. Jaga omahé dhéwé. Nyengkah ing negara telung taun dikenék kerja paksa." (Di zaman Belanda dulu orang-orang membayar pajak bukan berdasar sukarela, tetapi atas paksaan (ditentukan besarnya) hingga orang-orang (Samin) tidak mau membayarnya. Mereka tidak senang. Memperbaiki jalan tidak mau. Dikenai ronda mereka juga tidak senang; lebih baik menjaga rumah. Bila berselisih dengan pemerintah mereka akan dikenakan hukuman kerja paksa.) [5]

Keengganan orang Samin untuk membayar pajak juga pernah disaksikan oleh sorang wartawan yang berkunjung ke Rembang. Seorang Samin diperiksa seorang patih karena tidak mau membayar pajak. Patih bertanya: "Kamu masih hutang 90 sen kepada negara." Orang Samin itu bilang: " Saya tak hutang kepada negara." Patih naik darah lalu bicara dengan nada memaksa: "tapi kamu harus bayar pajak." Orang Samin itu menjawab lagi: "Wong Sikep (orang Samin) tak kenal pajak." Jawaban tadi terlalu berani menurut patih. Seorang polisi yang duduk disebelah orang Samin tadi lalu disuruh menampar muka orang Samin itu. Reaksi orang Samin yang tenang-tenang saja atas pemukulan itu semakin membuat patih marah. Lebih lanjut sang patih bertanya lagi: "Apa kamu gila tau pura-pura gila?" Orang Samin menjawab: "saya tidak gila atau pura-pura gila." Patih lalu bilang lagi: "Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?" Orang Samin menjawab sambil balik bertanya: "Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?" Dengan lagak birokratnya patih bilang: "negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik." Orang Samin berargumen lagi: "Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri." Patih lalu membentak: "jadi kamu tak mau bayar pajak." Sekali lagi orang Samin menjawab dengan mantap: "Wong Sikep tak kenal pajak." Berargumen sepeti orang Samin tadi tentu saja membutuhkan keberanian luar biasa. Dizaman itu priyayi rendahan masih ditakuti; karena dianggap perpanjangan tangan dari raja Jawa, kadang tiap katanya kadang harus diikuti. [6]
 Apa yang dipegang oleh orang Samin dalam kutipan diatas adalah salah satu bentuk perlawanan tanpa kekerasan. Ciri pemberontakan Samin memang tanpa kekerasan. Cara perlawanan mereka yang individual adalah umum. Dunia luar hanya mengenal Mahatma Gandhi dari India, nama Samin tidak dikenal sama sekali. Ketika gerakan Samin sedang berkembang, Gandhi sedang di Afrika Selatan; sebagai pengacara dan masih mencari jati dirinya sebagai seorang Mahatma (jiwa yang agung). Kesamaan antara Gandhi dengan Samin adalah perlawanan mereka terhadap kolonialisme kulit putih yang merengut kemanusian kulit berwarna diluar benua kulit pucat, Eropa. Gandhi sendiri mengakui bahwa perlawanan tanpa kekerasan bukan hal baru. Sebelum dia mejalankannya, memang sudah ada   perlawanan tanpa kekerasan, namun tanpa nama. [7]

Orang-orang Samin bukan orang berpendidikan Modern. Cara perlawanan mereka kepada penguasa sangat unik. Ketika mereka diperintah oleh penguasa memindahkan onggokan batu, mereka hanya memindahkannya satu saja dan membiarkan batu-batu yang lainnya. Ketika mereka disuruh mengangkat kayu untuk dipindahkan, mereka akan mengangkat tadi lalu meletakannya ditempat semula tanpa membawanya kemana-saja. Ketika dimintai cap oleh petugas pemerintah untuk melengkapi sebuah surat, mereka menjawab: sudah ada yang mereka harus cap sendiri, yaitu istrinya. [8]
Orang-orang Samin hidup secara komunal besama kaumnya. Mirip warga Utopia, sebuah negeri imajiner dalam buku Thomas Robert More sahabat Desiderius yang kesohor itu. Utopia, buku More itu mengilhami kaum komunis dan sosialis yang sebagian besar dicap atheis.
Sebagai "wong deso sing ndeso"  Samin tidak nyaris tidak mengenal peradaban barat.   Bagaimana mungkin seorang buta huruf seperti Samin membacanya. Tidak ada catatan yang menyebutkan Samin pernah berhubungan dengan dunia pendidikan barat sekuler. Di zamannya ketika muda saja sekolah sekuler Belanda macam Hollandsche Inlands School belum tersebar.
Orang-orang Samin yang layak disebut komunis dengan sistem masyarakat komunalnya, tidaklah atheis. Mereka bukan Islam mereka menganut agama Adam. [9] Seperti ungkap Samin dalam tradisi lisan desa Tepalan:
"Agama iku gaman, Adam pangucapé, man gaman lanang." [10]Maksudnya adalah Agama Adam adalah senjata. Agama Adam-lah yang mereka imani. Mereka merasa mereka semuanya adalah budak Tuhan; semua yang terjadi didunia bagi mereka adalah takdir Tuhan. Manusia adalah utusan Tuhan. Mereka juga percaya pada pembalasan Tuhan. Samin pernah meyabdakan hal ini pada pengikutnya:
.........Janjining manungsa gesang wonten ing dunya punika dados 'utusaning pangeran,' sageda amewahi asrining jagad, namung Sudarmi nglapahi. Dados dhumanwahing lalampahan begja tuwin cilaka, bingah tuwin susah, saras tuwin sakit, sadaya wau sampun ngantos angresula sanget, amergi sampun sagah déné prajanjining manusa. Gesang wonten ing dunya punika sageda angestokaken angger-anggering Allah, dateng aselipun piyambak-piyambak.......
Maksudnya:....Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan didunia untuk menambah keindahan dunia jagat raya. Dalam hubungan ini manusia harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila amnusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia sudah terikat pada perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing.

Orang Samin menganggap hidup hanya sekali. Tidak ada orang Samin yang percaya pada penitisan atau reinkarnasi. Ajaran lisan Samin Surontiko kepada pengikutnya tentang hidup adalah:
"Wong urip kudu ngerti uripé, sebab urip siji digawa salawasé" (  setiap orang hidup harus mengerti hidupnya karena hidup hanya sekali dan akan ditanggung selamanya). [11] 

Orang-orang Samin adalah orang yang menghargai hidup dengan caranya. Hidup mereka dijaga dari pengaruh luar yang membelenggu. Tidak heran jika mereka begitu berani menentang pemerintah kolonial yang siap memuntah amunisinya untuk menghancurkan penetangnya, termasuk juga orang-orang Samin.
           
Riwayat Samin Sang Ratu Adil
Seorang priyayi rendahan bernama Raden Surowijoyo di desa Ploso Khediren pada tahun 1859 menerima kehadiran putra keempatnya.
Bayi itu diberi nama Kohar. Didepan namanya dia berhak memakai gelar Raden.  Dalam tradisi lisan di desa Tapelan, Samin adalah putra dari Raden Surowijoyo dari Bojonegoro. Priyayi yang menjadi bromocorah dan bekerja untuk kepentingan orang-orang desa yang miskin. Raden Surowijoyo dikenal sebagai Samin Sepuh. Raden Kohar sendiri memiliki pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro; juga dengan Pangeran Kusumaningayu (Dalam tradisi Jawa Timur disebut Pangeran Kusumawinahyu). Pangeran Kusumaningayu adalah nama lain dari Raden Mas Adipati Brotoningrat yang sejak 1802-1826 memerintah Kabupaten Sumoroto (sebuah daerah di Tulungagung) [12]
Ketika dewasa, Raden Kohar menjadi petani dengan sawahnya yang tiga bau dan ladang satu bau. Enam ekor sapi juga dimilikinya. Raden Kohar menganti namanya menjadi Samin. Sebuah nama yang merakyat, kendati dirinya adalah turunan priyayi rendahan. Samin mulai menyiarkan ajarannya sejak tahun 1890 di desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa itu, juga desa (sebelahnya) Tapelan kemudian berguru padanya. Awalnya pemerintah kolonial tidak peduli pada ajaran ini. Waktu itu ajaran ini tidak mengganggu keamanan dimata pemerintah. Samin hanya dianggap ajaran kebatinan. Lebih ekstrim lagi hanya dianggap agama baru saja. Laporan Residen Rembang ada sekitar 772 orang Samin yang tersebar di 34 desa dalam lingkup Kabupaten Blora di bulan Januari  1903. Ajaran ini kian lama kian berkembang. Orang-orang Samin mulai terlihat mengubah tatacara hidupnya dalam kehidupan sehari-hari di tahun 1905 oleh Pemerintah. Mereka tidak mau lagi menyetor pajak kepada pemerintah. Mereka juga tidak mau lagi mengandangkan sapi-sapinya bersama sapi-sapi milik orang bukan Samin. Mereka telah menganut agama Adam. Hal ini tidak lain dirunut dari sikap Samin yang memang enggan untuk membayar pajak. [13]
Awal tahun 1907 jumlah pengikut Samin semakin meningkat. Angka pengikut Samin yang mencapai 5000 orang itu mengejutkan pemerintah kolonial. Ketakutan pemerintah muncul setelah ada kabar: Maret 1907 akan ada pemberontakan orang Samin. Orang-orang Samin yang hadir dalam selamatan di desa Kedhung Tuban lalu ditangkapi dengan alasan sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan.
Oleh pengikutnya, 8 November 1907, Samin diangkat menjadi Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam. Raden Pragola, Asisten Wedana di Randublatung di Blora bertindak atas nama pemerintah dengan menangkap sang Ratu Adil pada hari ke 40 setelah pengangkatan itu. Sang Ratu Adil-pun dikurung di bekas tobong pembaran batu gamping, sebelum akhirnya dibawa ke Rembang untuk diintrogasi. Bersama pengikutnya Sang Ratu dengan pengikutnya dibuang keluar Jawa. [14]
            Pemerintah merasa bahaya geger Samin harus diatasi dengan pembuangan Samin dan pengikutnya keluar Jawa. Sepeninggal Samin, gerakannya masih terus berkembang. Wongsorejo, seorang pengkut Samin ditahun 1908 giat mengembangkan ajaran Samin di distrik Djiwan,   Madiun. Orang-orang desa disana dianjurkan untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah. Nasib Wongsorejo-pun dibuat sama dengan panutannya oleh pemerintah. Bersama dua kawannya, Wongsojuga dibuang. [15]
            Surohidin, menantu Sang Ratu dan Engkrak, murid sang Ratu ditahun 1911 menyebarkan ajaran Samin ke Grobogan   (Purwodadi). Karsiyah, pengikut Sang Ratu lainnya mengembangkannya di Kajen, Pati. Penyebaran ajaran Samin di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban pada tahun 1912 mengalami kegagalan.
            Pemerintah kolonial ditahun 1914 menaikan pajak. Hal ini semakin memperhebat gerakan Samin. Di Grobogan, orang-orang Samin tidak lagi menghormati para pamong desa dan pemerintah kolonial. Orang-orang Samin di distrik Balerejo, Madiun membohongi pegawai pemerintah untuk menghindari pajak. Di Kajen, misi Karsiyah sukses dengan himbauannya pada orang-orang desa untuk tidak membayarmpajak kepada pemerintah. Di Larangan, Pati orang-orang Samin menyerang lurah dan polisi. Di Tepalan, Bojonegoro orang-orang Samin yang tidak mau membayar pajak juga mengancam Asisten Wedana. Mereka lalu ditangkap dan penjarakan.
            Perlawanan ditahun 1917 semakin meningkatkan pergerakannya terhadap pemerintah. Perlawanannya masih dalam bentuk perlawanan pasif. Tidak dengan kekerasan. Pemerintah yang semakin gerah kemudian menindas perlawanan pasif ini. Gerakan Samin sejak 1930 perlahan memudar dengan tidak adanya pemimpin tangguh bagi gerakan. Samin Surontiko alias Sang Ratu meninggal dalam pembuangannya tahun 1914, di Padang. [16]
"Wajah pucat, tangan diikat, rambut digundul, celana kolor hitam, dan lemah lunglai tubuhnya." Begitulah ungkap seorang warga Samin dari desa Tapelan melihat pemimpinnya diseret oleh pemerintah kolonial menuju tempat pembuangannya. [17]
Semasa menjadi dokter pada sebuah rumah sakit Zending di Blora, dr Soetomo sejak tahun 1913-1918, sang pendiri Budi Utomo ini pernah melakukan penelitian mengenai masalah gerakan sosial, termasuk gerakan Samin. Samin yang menjadi bahan ejekan para priyayi yang merasa prestise mereka diacuhkan oleh orang-orang Samin, tapi tidak oleh priyayi bernama Soetomo ini. Soetomo malah menjadikannya sebagai bahan agitasinya dalam pergerakan nasional. Setidaknya Soetomo bahkan menyanjung semangat demokratis mereka (orang-orang Samin). [18]
Bicara tentang Ratu Adil, ketika ditanya apakah dirinya Raja atau Ratu? Samin menjawab "tidak." Ketika ditanya: "apakah Samin tahu akan datangnya Ratu Adil atau Herucakra?" Samin juga menjawab tidak tahu. [19] Samin Surontiko mungkin ingin menunjukan sikap bodoh khas Samin-nya.
Setidaknya, dengan sikap bodoh-nya orang-orang Samin telah menunjukan pada kita: bodoh ala Samin juga perlawanan yang cukup menggeramkan penguasa lokal dan pemerintah kolonial Belanda ketika. Ketika di Aceh, Tanah Batak dan Bali bergiat untuk melawan pasukan KNIL [20] demi kedaulatan raja-raja feodal, maka orang-orang Samin melawan demi dirinya sendiri.


[1] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 59.
[3] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h.60.
[5] Saripan Sadi Hutomo, Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya, Majalah Basis edisi Januari 1985. h. 7-8.
[6] Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 65
[7] Ibid., h. 65.
[8] Ibid.
[9] Marwati Djuned dkk, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, Jakarta, Balai Pustaka, 1993. h.327.
[10] Saripan Sadi Hutomo, Samin Surontiko dan Ajaran-ajarannya, Majalah Basis edisi Januari 1985. h.7.
[11]Ibid., h. 7.
[12] Ibid., h.4.
[13] Ibid.
[14] Ibid., h.5
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., h. 2.
[18]Paulus Widiyanto, Samin Surantiko dan Konteksnya, Majalah Jurnal Prisma edisi 8 Agustus 1983. h. 65
[19] Marwati Djuned dkk, Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, h. 326-327.
[20] KNIL: Koninklijk Nederlandsche Indische Lager (Tentara Hindia Belanda)