Minggu, Juni 10, 2012

Catatan dari (film) Soegija

Ini film tak bicara masalalu, Soegija bicara soal masa kini dengan media masalalu untuk masa depan yang lebih baik. Historis sekali, meski tak andalkan fakta detail soal sejarah Indonesia.


 
Film Soegija

Bicara soal film ini, saya lihat betapa cepatnya orang Indonesia tahu kalau Kaisar Hirohito  menyerah kalah pada sekutu. Juga penggambaran serdadu Belanda derapkan langkahnya dari keretapi untuk rebut Jogja. Padahal serdadu Belanda masuk ke Jogja dengan terjun di lapangan Maguwo dan naik truk dari arah luar kota. Tapi ini film pastinya bukan buku sejarah. Film ini tak bertujuan beri detail fakta histories. Film ini lebih menginginkan menyampaikan pesan perdamaian dan keadilan (kemanusiaan).
            Kemanusiaan adalah satu, begitu tulis Soegija alias Monsinyor  Sugiopranoto—orang Indonesia yang pertama kali jadi Uskup. Tiba-tiba saya teringat  Prof Syafi’i Maarif—Profesor saya waktu kuliah dulu. Dari dia saya dengar kalimat Soegija itu. Ternyata itu ajaran dua orang hebat. Sayang tak banyak dari kita yang mau belajar dan membumikan ajaran itu.
            Banyak pesan berusaha disampaikan dalam film ini. Lihatlah dari awal sampai akhir. Ada pejuang—yang diperankan Kedung Darma Romansyah seorang penyair Jogja—berpesan agar pemimpin bangsa tahu darah yang dikorbankan pejuang jaman dulu. Makanya, pemimpin bangsa masa kini harus tahu diri kalau dulu nyawa jadi korban agar Negara yang dipimpin pemimpin yang nikmati fasilitas dari uang rakyat mengerti. Romo Soegija juga ajarkan kalau jadi pemimpin harus rela menderita. Sebuah kritik yang harus ditanggapi dengan baik oleh pemimpin masa kini.
            Meski berlatar sejarah, film ini tak sedang bicara tentang masa lalu. Masa lalu hanya sebuah media saja. Film ini bicara tentang masa kini, dan berharap masa depan yang lebih baik. Film ini cukup jujur bicara soal mental orang Indonesia yang rusuh. Serusuh masa revolusi dulu.
            Ternyata, meski berjudul Soegija, film ini tak bicara soal kehidupan Soegija melulu. Catatan Soegija adalah rekaman Indonesia masa peralihan di Semarang dan Jogja. Dari mulai runtuhnya sang penjajah serta perjuangan orang Indonesia lawan penjajah.
            Seperti pesan Soegija dalam film. Layani mereka (yang sedang ditimpa kemalangan karena perang). “Jangan layani saya!” Begitu pesan sang Romo. Gila! Pemimpin ini begitu hebat. Sulit, bisa jadi tak ada, pemimpin yang mau seperti ini di masa kini.
            Pastinya film ini punya misi. Lupakan cacian ekstrim kanan agama tertentu yang mau cekal ini film. Film ini meski berlatar gereja bukan film keagamaan apalagi propaganda agama katolik. Mentang-mentang Soegija seorang Romo—pemuka agama Katolik Jawa. Propaganda perdamaian tak bisa disanggah.
            Suara akan rindu perdamaian tergambar juga dalam lakon Lingling yang keturunan Tionghoa. Bocah manis ini kehilangan ibunya  yang diculik serdadu (cabul) Nippon. Bocah turunan Tionghoa ini bertanya, mengapa kami dijarah. Seperti nasib orang-orang Tionghoa yang selalu jadi korban penjarahan kalau ada kerusuhan.
            Ada bocah berwajah jelek yang ternaknya diculik. Dia agak kesal dengan kata merdeka karena di masa merdeka ternaknya hilang. Dia lalu terpaksa jadi gerilyawan jadi-jadian. Tapi, pelan-pelan bocah berlagak preman buta huruf ini belajar membaca juga. Kata yang pertama dia bisa baca adalah “merdeka.” Dia cuma bisa kata itu. Ketika diajak belajar dari Tan Malaka yang hebat itu, bocah ini mendadak malas dan cuma bisa bilang “gelut wae.” Dia cuma mau berkelahi pakai otot daripada belajar jadi orang cerdas. Bocah ini adalah gambaran orang Indonesia yang suka kekerasan daripada perdamaian. Perang yang tahu dirilah yang membentuk anak ini jadi suka kekerasan.
            Tergambar juga seorang perwira muda Belanda bernama Robert. Dia merasa dirinya mesin perang yang harus menghancurkan Republik Indonesia. Gambaran seorang serdadu KNIL di masa revolusi. Dia wakili sebagian watak serdadu Belanda yang bernafsu hancurkan Indonesia.
            Tergambar juga wartawan Belanda bernama Hendrik yang jatuh cinta pada Mariyem yang disapanya Maria. Cukup romantis pula. Hendrik terpesona pada mata Mariyem si Maria-nya. Sayang Mariyem lebih suka tumpahkan kekesalannya pada Belanda dengan marah-marah pada Hendrik.
            Ada lagi. Seorang perwira Jepang yang suka sekali pada lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang. Dia bisa bersikap baik pada seniman karena seniman itu bisa mainkan Bengawan Solo. Mirip adegan-adegan dalam film The Pianist-nya Roman Polanski.
            Banyak karekater berbeda disajikan. Tak melulu Soegija Sang Romo. Soegija hanya benang merah dari semua karakter yang ada. Itu karena Soegija juga gembala mereka.
            Penggarapan film ini cukup baik. Musik film garapan Djaduk Ferianto tak usah diragukan. Nuansa musik tempo dulu tersaji alami dan indah. Acting para pemain tak usah diragukan, mengalir. Kita semua percaya Garin Nugroho sang sutradara adalah jaminan yang tek perlu diragukan garapannya. Intinya, ini film bagus dari sisi penggarapan dan pesan yang disampaikan.
            Tak rugi jika anda menontonnya. Rasanya, kita harus berterimakasih pada Romo Banar. Dialah yang mengumpulkan catatan harian Romo Soegija semasa perang. Kita juga harus bersyukur kalau Romo hebat ini sudah jadi Pahlawan Nasional. Gelar yang ia layak terima karena perjuangannya. Bukan karena dia adalah pemuka agama.

Selamat menonton.





Tidak ada komentar: