Kamis, Februari 23, 2012

Kita Memang Orang Kampung

Kenapa harus malu dibilang Kampungan atau nDeso? Itu adalah fakta bagi banyak orang Indonesia.

KAMPUNGAN, jadi teringat album Slank, band papan atas Indonesia. Kampungan, memang jadi kata yag memalukan di beberapa kalangan. Karena identik dengan orang yang kurang beradab dan ketinggalan jaman. Entah siapa yang memulai itu? Dasar gila, memang kampung salah apa? Hingga kata kampungan begitu buruk?

Kitorang, sedari dulu dasarnya emang kampungan. Kenapa tidak, toch banyak dari kita yang tinggal di kampung-kampung. Itu fakta. Meski tinggal di rumah gedongan atau bangsal-bangsal, tetap saja masih ada mental kampung diantara kita.

Akar orang-orang di Nusantara (nama keren dari Indonesia) adalah desa (kata lain dari kampung). Begitulah. Karena kota sendiri adalah hal baru. Sepertinya, orang-orang India yang pernah punya Mahenjodaro-Harappa, adalah orang-orang yang mempengaruhi orang-orang di Nusantara untuk memiliki kota. Kitorang bisa lihat bagaimana kota kuno Majapahit di Trowulan. Tapi, rasanya jauh lebih banyak kampung di Indonesia ketimbang kota.

Jauh sebelum bangsa asing masuk ke Indonesia, orang-orang Indonesia sudah beradab. Lihat saja kampung-kampung di Flores atau Nias yang tidak terasa sama sekali pengaruh Hindu atau Budha.

Orang-orang di Nusantara sudah kenal kampung dari awal. Kampung adalah susunan masyarakat terpenting bagi orang-orang di Nusantara. Sedari awal, masyarakat di nusantara hanya kenal kampung. Setelah masa kehidupan berburu dan berpindah-pindah, mereka hidup menetap dan pelan-pelan kampung-kampung terbentuk di nusantara.

Orang kampung tidak butuh sistem kerajaan, seperti yang dibawa orang-orang India, sebenarnya. Orang kampung hanya perlu kepala kampung yang bijaksana. Yang mengerti kebutuhan mereka. Yang selalu melindungi semuanya. Kita semua tahu, raja kadang sering lalim. Cuma bisa menindas dengan perang, lalu pungut hasil panen, tak lupa ambil perempuan kampung untuk penuhi hasrat raja yang katanya suci.

Mereka sebenarnya bisa hidup damai sebelum orang asing datang. Karena tiap manusia pasti punya hasrat jadi raja. Agar bisa semena-mena atau setidaknya kaya dan dihormati. Sistem kerajaan, karena rawan permusuhan, rasanya tidak baik bagi orang-orang kampug rindu damai. Dalam sejarah, sering terjadi perang antar kerajaan, dengan alasannya ingin berjaya katanya. Belum lagi permusuhan dilingkungan keluarga raja sendiri sering bikin suasana tidak tentram. Dan orang kampung pasti jadi korban.

Kampung, atau biasa disebut desa, begitu penting sebenarnya. Kota-kota biasanya tidak bisa hidup tanpa adanya kampung-kampung. Bahkan di dalam kota-kota juga ada kampung-kampung yang membuat kota jadi hidup. Kota butuh kampung karena dari kampung dipinggiran kota yang punya lahan pertanian, orang kota bisa dapat pasokan makanan.

Tidak heran jika gerilyawan komunis menganggap kampung begitu penting. Karena makanan ada disana. Jika kampung dipegang, maka kemenangan atas serangan kaum komunis ke kota hanya menunggu waktu saja. Begitulah tentang, “desa mengepung kota.”

Jadi, banggalah jadi orang kampung. Toch kekuatan orang-orang di Indonesia adalah di desa. Desa adalah akar. Desa adalah rumah. Desa pastinya juga lumbung. Dimana kehidupan bisa berjalan karenanya. Kota hanyalah pusat segala administrasi dan pasar yang tidak akan hidup tanpa desa.

Pernah ada orang bilang, tidak ada kota besar di Indonesia, hanya ada desa besar. Mungkin terkait dengan perilaku orang Indonesia yang tidak bisa tertib. Orang kampung, pada dasarnya orang yang penyabar, namun budaya kota membuat orang-orang kampung kekota-kotaan dan jadi agresif.

Akhirnya kampung sebagai tempat yang nyaman pun hilang. Namun beberapa kampung seperti sebagaian kampung-kampung Badui seolah berusaha menjadi diri mereka sendiri. Bangga jadi orang kampung yang damai.

Jadi, kepada semua orang Indonesia, sadarilah kampung sebagai akar kita. Dari sana kita bisa hidup dan kota nyatanya hanya formalitas. Dan, soal Negara apapun bentuknya, hanya pelengkap yang kadang tidak perlu dan menyebalkan. Padahal dengan hidup di kampung saja, orang-orang nusantara pernah sentosa.

Banggalah jadi orang kampung.

Senin, Februari 20, 2012

Arti Memori

Sukarno bilang: Jangan Sekali-kali melupakan sejarah. Ternyata itu lebih dari sekedar seruan, tapi juga mampu menjaga identitas sebuah bangsa.

Apa jadinya jika sebuah bangsa tidak punya sebuah sebuah memori (ingatan)? Mungkin bangsa itu tidak bedanya dengan segerombolan ternak. Yang hanya mengerti makan dan bereproduksi.

Kenapa memori begitu penting? Dengan memori sekelompok orang akan sadar jika mereka adalah kelompok atau bangsa. Memori mampu membangun sebuah identitas kelompok atau bangsa. Identitas bisa membangun solidaritas dan rasa saling menjaga sebagai sebuah bangsa. Identitas juga memberi semangat bagi seseorang untuk berjuang.

Identitas, yang merupakan memori kolektif, juga bisa membangun karakter sebuah kelompok atau bangsa pastinya.

Sejarah adalah pelajaran melawan lupa. Tapi jika dipolitisir sejarah juga bisa membuat sebuah bangsa jadi amnesia (hilang ingatan). Itu sudah terjadi di banyak Negara. Di masa lalu, jika terjadi suksesi (pergantian) raja di Tiongkok, maka si penguasa baru yang mungkin berkuasa secara tidak sah, akan membakar semua buku sejarah yang terkait dengan raja sebelumnya. Raja baru itu akan membuat buku sejarah baru yang mendukung dirinya. Ingatan rakyat tentang raja sebelumnya pun hilang.

Tanpa sejarah, sebagai penjaga memori akan sebuah identitas, sebuah bangsa juga bisa hancur. Karena mereka tidak punya identitas yang menjaga persatuan mereka. Bersatu adalah penting bagi sebuah bangsa.

Bayangkan jika orang Indonesia tidak pernah tahu sumpah pemuda, dimana pemuda-pemuda Indonesia berikrar untuk berbangsa satu sebagai bangsa Indonesia. Mungkin orang-orang Batak akan dirikan Negara Batak,orang Jawa akan dirikan Negara Jawa. Orang Sulawesi dirikan Negara Sulawesi dan lainnya.

Jika pelajaran sejarah tidak dipelajari anak-anak muda, otomatis mereka tidak akan tahu siapa diri mereka. Maka sebuah generasi akan lupa. Mereka tidak lagi punya memori atau ingatan tentang bagaimana pendahulu mereka membangun dan menjaga sebuah bangsa. Akhrnya menjadi manusia yang tidak punya identitas dan karakter positif sebagai bangsa. Kedepannya bangsa itu akan terpecah atau mungkin hilang.

Itulah mengapa Sukarno berucap, “jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” Itu karena agar Bangsa Indonesia yang merdeka tidak hancur. Dan belajar sejarah yang obyektif dan tidak dipolitisir akhirnya menjadi sebuah kebutuhan. Kita bisa belajar sejarah di mana saja. Kadang dalam sejarah bangsa kita sering temukan prestasi hebat yang patut dibanggakan dan ditiru.

Penting juga kiranya para sejarawan untuk jujur. Jika sejarawan tidak jujur, maka akan timbul ketidakpercayaan generasi baru pada bangsanya, karena telah dibohongi. Dan ada cap bahwa bangsanya adalah bangsa pembohong. Itu hanya akan memburuk karakter bangsa di masa depan. Jadi lebih baik seorang menulis seadanya, agar generasi muda bisa membuat sejarah bangsanya jadi lebih baik lagi dengan belajar dari kesalahan dari masa lalu.

WebRepPredikat secara keseluruhan

Untuk Yang Berhak

Beasiswa, harusnya bisa menjadi sebuah penghargaan atas tindakan positif dan kerja keras, dan juga menjadi harapan atas masa depan yang lebih baik untuk semua.

Tersebutlah bocah dekil penuh kudis. Dia berumur 9 tahun. Ketika itu dia sedang bermain bersama teman-temannya di dekat alun-alun. Seorang Belanda, bernama Hazeu, lalu memberikan beberapa keping uang ke bocah dekil itu. Hazeu lalu geleng-geleng. Si bocah dekil itu kemudian membagi kawan-kawannya. Hazeu terkesima. Lalu si bocah dekil itu dijadikan anak angkatnya. Tentu saja bocah dekil itu di sekolahkan. Bocah dekil itu tak lain adalah Alimin.[1]

Hazeu adalah pejabat urusan pribumi Hindia. Dia adalah pejabat penting di HIndia Belanda. Alimin, yang berasal dari keluarga miskin itu kemudian di sekolahkan di sekolah elit bernama Europe Lager School—yang biasanya diperuntukan bagi anak-anak Eropa maupun pribumi kaya di Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Alimin kemudian dikenal sebagai tokoh pergerakan kiri yang membuat Indonesia merdeka juga.[2] Alimin bukan satu-satunya anak Indonesia berasal dari keluarga miskin yang beruntung. Mungkin masih banyak contoh.

Hazeu mengambil Alimin sebagai anak karena bocah ini memiliki rasa berbagi yang sangat tinggi. Bagaimana mungkin bocah miskin, yang tidak punya uang anyak, masih mau berbagi uang. Alimin jelas luar biasa di masa bocahnya. Hazeu memilih orang yang tepat untuk di sekolahkan.

Bagi Yang Berminat

Tidak semua anak miskin berminat untuk sekolah. Pikiran mereka lebih banyak untuk berpikir bagaimana caranya bertahan hidup dan mencari uang. Penting kiranya untuk mencari hanya anak-anak yang berminat keras. Biasanya anak yang punya minat dia akan berusaha keras untuk mejadi lebih baik dan mengusai sebuah bidang.

Sudjojono, Bapak Ahli gambar Indonesia, juga berasal dari keluarga miskin. Namun, beruntungnya, sejak usia 4 tahun si bocah sudah djadikan anak angkat oleh seorang guru. Hingga bisa bersekolah dan menjadi ahli gambar atau pelukis terkemuka Indonesia. Sedari kecil, Sudjojono memang pintar hingga diangkat anak oleh Yudhokusumo—sang guru yang baik hati itu.

Sangat sulit untuk bisa mencari anak yang berminat sekolah seperti yang dilakukan Hazeu. Sekolah mungkin tidak terpikir Alimin awalnya. Begitu juga Yudhokusumo mengangkat Sudjojono sebagai anak. Baik Alimin atau Sudjojono, jelas keduanya memiliki sisi menonjol, walau belum menghasilkan prestasi.

Di masa kini, beasiswa biasanya diberikan kepada anak-anak yang diketahui cerdas meski belum memiliki prestasi. Penting juga untuk mengetahui minat seorang bocah yang tidak mampu bersekolah. Biasanya, seorang bocah memiliki cita-cita tinggi. Sedikit diantaranya obsesif. Hingga mereka tampak keras berusaha mengejar cita-cita atau mimpi mereka.

Penghargaan dan Harapan

Selain minat belajar, perlu kiranya dilihat latar belakang atau tindakan positif si anak dari keluarga miskin. Seperti yang pernah dilakukan Alimin. Membagi uang, seperti dilakukan Alimin yang sama miskinnya, pada anak miskin lainnya jelas hal luar biasa.

Banyak juga anak-anak miskin dengan pemikiran maju, meski hidup mereka dalam kesulitan. Mereka biasanya punya mimpi. Mulai dari ingin punya taman bacaan dan lain sebagainya. Diantara anak-anak itu juga, pasti ada yang berjiwa pemimpin. Anak berjiwa pemimpin biasanya memiliki semangat tinggi untuk terus belajar dan bertindak.

Rasanya penting juga bagi pihak pencari anak-anak penerima beasiswa dari keluarga miskin, untuk melihat hal positif yang pernah dilakukan si anak. Setidaknya sebagai penghargaan tas solidaritasnya. Dan harapan kedepannya, dengan ilmu dan kesuksesan yang dimiliki di masa depan, maka dia bisa menolong orang miskin yang lainnya.

Banyak bocah-bocah miskin di masa-lalu. Banyak diantara mereka yang tidak mampu bersekolah. Tidak heran jika seorang bernama RM Suryopranoto, kakak dari KI Hajar Dewantara mendirikan Hollands Inlandsche School Adhi Dharma di Yogyakarta. Sebuah sekolah untuk anak-anak miskin.[3] Tentu saja itu hanya bisa dinikmati oleh anak-anak di sekitar Yogyakarta saja.

Setidaknya, sedikit anak itu bisa menjadi pemimpin di kampungnya. Dimana akan ada harapan kampong akan bisa lebih maju dan tercerdaskan pelan-pelan.

Note:

[1] Tempo, 8 November 2010.

[2] Parakirti Simbolon, Menjadi Indonesia, Jakarta, Kompas, 2003, hlm. 619.

[3] Bambang Sukawati, Raja Mogok Suryopraoto: Sebuah Buku Kenangan, Jakarta, Hasta Mitra, 1983, hlm. 72-74.