Selasa, Februari 07, 2012

Jenderal dan Wanitanya

Sebagai manusia, jenderal juga bisa tergoda. Pada apa lagi kalau bukan pada harta, tahta dan wanita.

Manusia tak ada puasnya, begitu kata banyak orang. Kebutuhannya selalu tak terbatas. Kebutuhan itu pun tak pernah ada habisnya. Hidup juga menyajikan banyak godaan yang membuat kebutuhan manusia jad semakin banyak dan rumit. Mengikuti godaan berarti menjadikan hidup menjadi lebih rumit.


Jenderal Yani
Tersebutlah Yani. Alias Letnan Jenderal Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat. Ribuan tentara ada dalam komandonya. Dia memulai karir militernya sebagai Sersan topografi KNIL, lalu perwira PETA dan pelan-pelan jadi perwira tinggi TNI. Yani tergolong orang Indonesia beruntung karena bisa sekolah sampai Algemene Middelbare School (SMA di zaman Hindia Belanda). Yani menguasai beberapa bahasa asing.

Letnan Jenderal Ahmad Yani
        
  Dengan segala kecerdasan Yani menjadi perwira andalan di Divisi Diponegoro awalnya. Lalu ditarik ke Jakarta dan kuliah di Sekolah staf dan komando AD AS, di Fort Benning, AS. Karir Yani melesat setelah operasi penumpasan PRRI/Permesta di Sumatra.[1]
Semula, Yani adalah seorang yang lurus. Dia semula menolak poligami. Dia sayang pada istrinya, yang dipacari sejak zaman Jepang. Dimana Yani rela bersepeda dari Magelang ke Purworejo dengan jalan penuh tanjakan. Cinta Yani yang begitu besar tanjakan itu pun dilampui juga oleh Yani.
Hingga orang-orang tahu soal poligami yang dilakukan Yani. Banyak pejabat-pejabat di sekitar Sukarno dan istana Negara melakukan itu. Yani nampaknya terjebak Jakartanisasi yang membuatnya punya wanita lain. Poligami adalah isu yang nyaris tidak pernah didengar ditubuh militer.  Tidak banyak mengetahui hal ini karena tertutup dengan posisi Yani sebagai pahlawan nasional.
Poligami Yani, yang tentunya diam-diam itu, sungguh ironis. Karena sebelumnya Yani sempat melarang para prajurit AD melakukan poligami, namun Yani yang mengeluarkan larngan itu malah berpoligami.[2]
Istri kedua Yani, Khadjah, setelah Yani meninggal dalam sebuah tragedi bernama G 30 S, kemudian dinikahi oleh Letkol Herman Sarens Sudiro. Yang kemudian menjadi jenderal kaya penggemar motor gede, Harley Davidson.[3]  Herman dikenal pernah menikahi artis ibukota yang tidak begitu popular dan terlibat kasus korupsi dan peggelapan tanah negara.

Jenderal Sarwo

 
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo

Ada lagi jenderal lain. Dia juga dituduh punya simpanan.  Tersebutlah Sarwo Edhi Wibowo. Sarwo, masih sekampung dengan Yani. Mereka tampak seperti saudara.  Ketika masih sama-sama di PETA mereka sudah saling kenal. Sarwo adalah perwira dengan karakter keras. Mereka cukup dekat meski pernah berkonflik. Suatu kali karena suatu perkara, pangkat Sarwo yang semula kapten diturunkan menjadi Letnan Satu. Hal itu membuat Sarwo sakit hati meski tak ada dendam pada Yani.
Ketika Yani menjadi Jenderal, Sarwo masih Kolonel. Pengalaman Sarwo Edhi di militer jelas tidak diragukan. Tidak heran jika dia kemudian dijadikan Komandan RPKAD (Kopassus) sekarang. Meski banyak yang meragukannya karena bukan berlatar belakang pedidikan komando. Karenanya, Sarwo ikut pelatihan singkat komando. Ketika menjabat komandan RPKAD, Sarwo pun bisa membuktikan ketangguhannya sebagai komandan operasi pasca G 30 S—yang menewaskan beberapa perwira tinggi AD. Dimana Sarwo memimpin operasi penumpasan pengikut PKI di Jawa. Dimana dia jadi berjarak dengan istrinya.
Di Jogja, Sri Wulan baru saja kehilangan suaminya kolonel Katamso Darmokusumo. Sarwo datang ke Jogja bak pahlawan perang tentunya. Betapa tidak, Sarwo ikut menghabisi orang-orang, yang barangkali di mata Sri Wulan adalah orang-orang yang membuatnya jadi janda.  Banyak perwira datang ke rumah sang janda agar kuat setelah ditinggal. Tak ketinggalan Sarwo juga datang. Pertemuan itu berulang.
Di kalangan para jenderal AD pasca G 30 S, Sri Wulan adalah sosok yang mempesona. “Istri Katamso cantik dan seksi sekali,”kata seorang jenderal. Sarwo, sosok yang gagah dimata wanita, itu pun bisa jatuh hati pada Sri Wulan. Ini godaan besar bagi Sarwo tentunya. Sarwo punya istri yang jelas setia dan juga anak-anak. Sarwo tentu bukan tipikal orang suka menyakiti wanita.
Sebagai wanita yang baru tinggalkan suaminya, dalam sebuah kematian yang tragis, Sarwo tentu iba. Bukan tidak mungkin itu menimbulkan rasa kasih Sarwo pada Wulan. Sarwo jadi rajin berkunjung ke rumah Wulan selama operasi di Jawa Tengah. Hingga secara alami mereka menjalin hubungan yang cukup rumit.
Di permukaan kehidupan rumah tangga Sarwo tampak baik-baik saja, karena tidak ada perceraian karena hubungan itu. Konon, dari hubungan itu, lahir seorang anak yang diberi nama Hartanto yang dijadikan anak angkat Sarwo. Dimana dia diperlakukan sebagai anak sendiri oleh Sarwo dan istrinya Sunarti.[4]  
Berhubung Ani Yudoyono adalah putri Sarwo Edhi Wibowo, cerita cinta Sarwo dan Sri Wulan bisa jadi cerita yang sangat seru. Tapi tidak bagi Partai Demokrat dimana Susilo Bambang Yudoyono, sang menantu, adalah Dewan Pembinanya. Seuah kisah cinta hebat bagi musuh Demokrat tentunya.
Beberapa pejabat Indonesia memang suka selingkuh. Namun selingkuhan tentunya hanya wanita muda yang masih cantik dan segar di mata mereka. Beda dengan Sarwo, meski Sri Wulan masih cantik, hubungan mereka lebih digiring karena keadaan Indonesia yang kacau. Selingkuh memang Indah, bagi pelaku pastinya.

***
Begitulah kisah Yani dan Sarwo. Kesamaan dua jenderal asal Purworejo ini adalah, meski mereka kepingcut pada wanita lain, mereka tidak bisa tinggalkan istri pertama mereka. Bagaimana pun istri pertama adalah istri perjuangan. Lebih dari kawan semasa dalam penderitaan. Bersama istri pertama pula terkadang karir dan mimpi dibangun.





[1] Amelia Yani, Ahmad Yani: Profil Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Sinar Harapan, 1998.

[2] Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta, LP3ES, 2005, hlm. 100.

[3] Tempo, 25 Januari 2010

[4] Tempo, 13 November 2011

Tidak ada komentar: