Sabtu, Januari 12, 2008

Cinta Charlie Chaplin Pada Bali

Siapa percaya komedian kelas dunia bernama Charlie Chaplin pernah berkunjung ke Indonesia. Kata Pewarta Deli, Charlie Chaplin Jadi Turis di Bali. itu terjadi di dekade 1932. Ketika dunia dilanda Depresi Ekonomi yang juga disebut Malaise. Orang Indonesia biasa menyebutnya zaman 'meleset'. Banyak orang kehilangan pekerjaan, perusahaan gulung tikar dan angka kejahatanmeningkat. Tapi Chaplin yang pernah miskin di London pada pergantian abad XIX ke XX itu justru berlibur. Chaplin memang berhak menggunakan uangnya untuk apa saja. Kunjungannya ke Bali, pulau Indah yang menjadi bagian dari dunia ketiga.


Pewarta Deli edisi 2 April 1932, memberitakan bahwa Charlie Chaplin tiba di Surabaya dan menginap di hotel Oranje, Surabaya. Dimana insiden merah putih Surabaya terjadi di hotel yang zaman Jepang bernama Yamato. Kedatangan Charlie Chaplin itu dielukan banyak penggemarnya di Surabaya. Para penggemar Chaplin itu yang sudah menunggunya di stasiun--karena mengira Chaplin akan turun dari kereta api padahal Chaplin tiba di Surabaya dengan menggunakan mobil. Kedatangan Charlie Chaplin ke Hindia Belanda itu tidak lain dalam rangka berwisata ke Hindia Belanda. Selama kunjungannya ke Hindia Belanda, Chaplin sempat mengunjungi Garut dan Bali. Kedatangan Chaplin ke Hindia Belanda adalah sebuah hal pentung sekali mengingat predikat Charlie Chaplin sebagai komedian besar kelas dunia yang memiliki karya penting dalam sejarah film komedi dunia dimasa film bisu berjaya.

Charlie Chaplin berkunjung ke Indonesia bersama Sidney (kakak Charlie dari ibu yang sama namun yang juga seniman lawak). Dalam kunjungannya ke Indoensiaitu, Chaplin menyempatkan diri mengunjungi Bali. Dari Surabaya, Charlie dan abangnya menuju Singaradja, Bali pada 4 April. Mereka sedang berlibur di Hindia Belanda dan menghentikan kegiatan berkeseniannya selama beberapa waktu. Mereka mendapat sambutan dari penduduk asli Bali dan orang-orang kulit putih disana. Dikabarkan mereka telah mengunjungi residen setempat.

Kunjungan Chaplin, komedian dunia kesohor itu, menjadi kehormatan bagi Hindia Belanda, juga Bali--yang belum terlalu berkembang sebagai tempat wisata yang ramai seperti sekarang. Pada dekade 1930an, Bali mulai dilirik sebagai tempat kesenian yang mulai dikenal dunia karena juga keberadaan orang kulit putih disana yang mulai memperkenalkan seni Bali ke seluruh dunia, salah satunya oleh Walter Spies atau Rudolf Bonnet.

Pewarta Deli, 8 April 1932 memberitakan Charlie Chaplin masih berada di Bali. Dia menginap di Bali Hotel, di Denpasar. Karena merasa senang di Bali, Chaplin menunda perjalanannya kembali ke Surabaya--yang semula tanggal 10 menjadi tanggal 17 April kedepan. Chaplin tampak menikmati suguhan gemalan dan tarian Bali. Wujud kesenangan Chaplin adalah dengan mengadakan pemutaran film-filmnya di Denpasar untuk menghibur rakyat Bali. Masyarakat Bali mungkin adalah orang-orang beruntung dibanding tempat lain. Untuk bisa nonton film, orang harus mengantri di Bioskop, bayar pastinya.

Kedatangan Charlie Chaplin ke Bali adalah anugrah tersendiri. Legenda film komedi sepanjang sejarah. Lebih dari itu, Chaplin terpesona hingga mau berlama-lama karena keramahan alam-nya. Pulau Bali menjadi milik Chaplin juga saat itu seperti kita memilikinya.

Mungkinkah kunjungan Chaplin ke Hindia Belanda (nama Indonesia untukmenyebutnusantara ini belum dipakaisaat itu)itu membuat Chaplin semakin peka atas kemiskinan. Sebagaiorang yang pernah miskin, tidak salah bila Chaplin menaruh simpati pada komunisme--yang berusaha memberi solusi atas masalah abadi bernama kemiskinan.

Rasanya, bukan Pewarta Deli saja yang berkata Charlie Chaplin pernah ke Indoensia zaman HIndia Belanda dulu. Bataviase Nouvelles tahun lalu juga berkata Chaplin pernah ke Indonesia. Saya hanya bisa berimajinasi kalau Charlie Chaplin, mungkin juga abangnya, jatuh hati pada pulau Dewata bernama Bali.

Kamis, Januari 10, 2008

Rock Cengeng AKA yang abadi

Piringan hitamku pernah mutar lagu bagus. Melankolis memang, tapi itu lagu punya makna dalam untuk seniman bermasa depan suram. Judul lagu itu "Jeritan Seniman" milik AKA yang ada Ucok Harahap 'Kribo' itu. Lagu itu, bisa dibilang cukup cengeng. Lirik dan musiknya 'Ngeblus'(sedih, tapi bukan lagu yang menyedihkan secara kualitas). AKA memang band aliran cadas Indonesia zaman retro dulu. Uniknya, lagu-lagu mereka yang kata orang 'cengeng' kerap direquest di radio-radio yang memutar lagu-lagu lama, atau yang memiliki acara yang menyajikan lagu-lagu zaman dulu--alias Jadul. Sebenarnya, sebagai band cadas memang diakui dengan aksi panggungnya yang cukup sarang zaman dulu, mungkin belum ada yang meniru kegarangan AKA diatas panggung.

AKA kependekan dari Apotik Kali Asin--apotik milik keluarga Ucok Harahap di Surabaya. Ucok Harahap, rocker kribo yang sekarang menyepi di kaki sebuah gunung di Jawa Timur, itu tidak lain otak dari AKA. Dia vokalis dalam band yang juga memainkan organ. personil AKA yang lain adalah Arthur Anez Kaunang--ayah dari Tessa Kaunang yang selebritis itu. Basis kidal itu lulusan sastra Inggris di sebuah PTN di Surabaya zaman dulu. Personil lain adalah Sunata Tanjung yang memainkan gitar untuk AKA--yang cukup diakui kualitas permainan gitarnya. Syech Abidin bertugas memainkan drum.

Band ini mengikuti perkembangan rock dunia. Awalnya mereka kerap memainkan lagu-lagu Jimi Hendrix. AKA seperti band rock lain juga menikmati zaman kebebasan musik rock di Indonesia. Mereka tidak mengalami apa yang dialami Koes Bersaudara yang dibui oleh rezim penguasa orde lama.

Lagu-lagu AKA umumnya keras. Apalagi yang berbahasa Inggris. Mereka juga memiliki lagu yang bisa dibilang komersil karena diminati masyarakat umum, yang mungkin saja tidak suka musik rock. Lagu "Badai Bulan Desember", "Seniman dan Biola" atau "Jeritan Seniman" masih suka di request orang-orang yang pernah muda di dekade 1970an. Dua lagu tadi bisa dibilang lagu cengeng. Seperti umumnya lagu sekitar dekade 1970an, lagu AKA tadi, diiringi sound dari organ Hammond. Iringan itu, walau terkesan 'jadul' bahkan kuno oleh anak zaman sekarang, lagu tadi menjadi semakin kuat karakternya. Walau tidak sepopuler "Whiter Shade of Pale" milik Procol Harum yang sepertinya irama lagu itu nyontek dari "Air in G String"-nya Johan Sebastian Bach. Sound Organ Hammond mungkin tidak saja dipakai oleh AKA, tapi juga band lain. Bagaimanapun sound itu seperti air abadi untuk band-band zaman dulu, termasuk "Badai Bulan Desember", Seniman Dan Biola" dan "Jeritan Seniman" milik AKA.

"Do What you Like" adalah album AKA yang cukup kesohor di negeri ini. Beberapa mereka berbahasa Inggris. Untuk ukuran Indoensia, beberapa lagu mereka cukup eksperimental juga, seperti apa yang dibuat Pink Floyd di belahan dunia lain.

Aksi panggung AKA cukup sangar. Pakai aksi gantung diri Ucok Harahap di awal konser segala. Konser AKA selalu ramai dipadati penggemar rock fanatik. Nama AKA patut disejajarkan dengan God Bless. Sayang AKA tidak eksis selama God Bless yang kerap ganti personil. AKA menghilang di dekade 1990an. AKA tinggal nama. Mereka tidak konser. Apa yang direkam AKA tak pernah mati. Lagu mereka, apalagi yang lagu-lagu cengeng, kerap diputar oleh penggemar atau radio yang menyajikan lagu-lagu lawas.

Pasca vakumnya AKA, selain Ucok Harahap, tiga personil lain--Syech Abidin, Arthur Anez Kaunang dan Sunata Tanjung membentuk SAS yang merupakan kependekan dari nama mereka. Musik mereka tidak sekeras AKA namun cukup sukses dimata publik karena musik rock di dekade 1980an tidak lagi sekeras awal 1970an. Musik rock tahun 1980an, pamornya sedikit menurun dibanding 1970an.


AKA membuat para personilnya jadi selebritis. Ucok Harahap pernah bermain dalam film-nya Rhoma Irama, "Darah Muda" dimana Ucok berperan sebagai rocker bengal dengan geng motornya. Ucok dapat peran antagonis dan Rhoma Irama tentu saja dapat peran jadi jagoan--seperti di film-film box office. Film tadi seperti memposisikan rock sebagai sebagai musik orang-orang bengal yang tidak memiliki kegiatan positif. Padahal ada rocker yang jadi Astronom seperti Brian May.

Hampir semua personil AKA belakangan menjadi orang-orang yang religius. Rock juga mengantarkan mereka menjadi itu secara tidak langsung. Ucok konon diberitakan menjadi paranormal. Mereka tetap berkesenian, namun tidak Ngerock seperti 1970an dulu. Usia mereka tidak lagi cocok untuk membawakan lagu-lagu pemberontakan ala Rock.

Minggu, Januari 06, 2008

Rock n Roll Indonesia (1): Dari Ngak Ngik Nguk hingga Deg Deg Plas

Suatu hari dibulan Desember 1999, aku alami kejadian yang tidak akan aku lupa. Aku tidak dendam atas hal itu. Ayahku marah dan punggungku dipukul. Habis kejadian itu aku langsung kabur. Entah kemana aku lupa. Semua bermula dari keisenganku pada lagu-lagu zaman dulu yang nggak ada matinya.Satu-satunya hiburan dihunianku yang sempit waktu kecil hanyalah piringan hitam. ya, piringan hitam milik ayah. Entah bagaimana dulu ayah mendapatnya. Itu barang berharga miliknya. Ayah akan marah bila aku memutar lagu Speed King dari piringan hitam Deep Purple miliknya. Dia hampir memukulku waktu aku ketangkap basah sedang memutar lagu dari barang keramat itu. Sejak itu selama beberapa waktu itu aku tidak menyentuh barang hebat itu lagi.
Persetan dengan kawan-kawan yang merasa hebat dengan lagu Backstreet Boy. Gila, ada juga anak-laki-laki penggemar Boyband. Entahlah, aku belum pernah dengan Beatle’s, Queen atau barang kali Pink Floyd yang dibilang ayah sebagai band hebat. Aku lebih tertarik mencari tahu nama besar band Inggris itu. Diantara piringan hitam ayah, terdapat lagu-lagu Koes Plus—paling tidak sekitar sepuluh album pop dan tidak termasuk lagu-lagu Melayu maupun keroncong.
Aku pernah menonton di tiga film Beatles akhir bulan ini. Aku tidak mengerti film itu. Hanya tergambar di kepalaku band itu selalu membuat para gadis zaman itu menjerit. Pernah juga aku dengar piringan hitam Beatles dilarang orde lama. Sukarno melarang lagu-lagu Beatles, Ngak Ngik Nguk katanya. Kata pendukung Sukarno zaman itu, lagu-lagu barat dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Negara rupanya berhak mengatur selera musik rakyat yang mereka tindas. Pemerintah waktu itu, seperti sering dihimbau dalam harian Rakyat milik PKI, masyarakat luas diminta menyerahkan piringan hitam Beatles atau musik barat lainnya secara sukarela. Rasanya tidak ada pemuda pecinta rock n roll yang rela menyerahkan piringan hitamnya.
Pemerintah orde lama paling paranoid soal musik, Koes Bersaudara harus masuk bui karena nekad membawakan lagu I Saw Her Standing There dalam sebuah acara. Dalam acara itu, sebuah keributan terjadi, atap di tempat konser dilempari batu oleh orang-orang yang katanya pendukung revolusi Sukarno yang anti kapitalis.
Anti rock n roll tidaklah lama di Indonesia. Politik Indonesia lalu menenggelamkan kekuasaan Sukarno. Bapak Pemimpin Besar Revolusi itu digulingkan secara merangkak oleh kekuatan siluman yang kemungkinan juga ada campir tangan asing. Kejatuhan Sukarno memberi nafas bagi berjayanya musik rock di Indonesia. Masa-masa kebangkitan rock Indoensia ini, Koes Plus merekam dan merilis Deg Deg Plas (1969). Album ini tidak terlalu sukses penjualannya, karena masyarakat saat itu belum bisa menerima lagu-lagu mereka. Beberapa lagu dalam album itu seperti Manis dan Sayang, Derita, Awan Hitam, Kembali Ke Jakarta, Cintamu Telah Berlalu adalah lagi-lalgu yang kemudian populer hingga saat ini. Takdir lagu itu harus mengalami penolakan terlebih dahulu sebelum publik bisa menerimanya.
Tersebutlah seorang pemuda kelahiran Tuban 19 Januari 1936 bernama Koestono Koeswoyo, anak dari Koeswoyo pegawai negeri di Depertemen Dalam Negeri. Pemuda ini begitu tertarik pada musik rock n roll yang sedang mengila di barat sana. Tony Koeswoyo, begitu orang mengenalnya dalam sejarah musik pop Indonesia, lalu mengajak saudara-saudaranya yang laki-laki untuk membentuk band keluarga. Tony setidaknya pernah bermain band bersama kawan-kawannya dalam Teruna Moeda. Salah satu personilnya adalah Sopan Sophian—mantan fungsionaris PDI P dan anggota DPR.
Band keluarga itu kerap mendapat job menggung. Bayarannya mungkin tidak sebeerapa, namun mereka jelas senang bisa manggung. Mereka sering mengisi acara pesta dimana mereka pasti bisa makan gratis dalam pesta remaja itu.
Mereka juga menyambangi sebuah perusahaan rekaman. Bersama perusahaan rekaman itu, anak-anak Koeswoyo membuktikan diri sebagai musisi rock n roll. Nama besar yang terlibat dalam rekaman itu adalah Jack Lesmana, ayah Indra dan Mira Lesmana yang orang kenal sebagai musisi Jazz kesohor tanah air.
Bagi Tony Koeswoyo, musik adalah hidupnya, meskipun bukan sebagai mata pencarian yang menjanjikan pada awalnya. Tony sempat bekerja di Perkebunan Nusantara. Tony terus melangkah bersama Band-nya yang berubah nama dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus karena Nomo keluarga. Dua adik Tony, Yon dan Yok tetap bersamanya. Abang mereka Jhon, yang pernah ikut dalam Band belakang tidak ikut lagi. Jhon merelakan sebagian gajinya dipakai untuk membeli alat band. Jhon, seperti juga ibu mereka, sering menjadi sasaran omelan Koeswoyo yang tampak tidak rela anak-anaknya bermain band karena masa itu menjadi musisi tidak akan bisa hidup mapan.
Tony memimpin adik-adiknya dan anggota baru mereka Murry dalam Koes Plus. Band ini menjadi legenda musik Indoensia. Mereka berjaya di tahun 1970an dengan lagu mereka yang easy listening dan sederhana. Musik yang diusung Tony Koeswoyo bersama band dan saudaranya itu menjadi pelopor perkembangan musik pop setelah kejatuhan Soekarno. Perjuangan Tony seperti menjadi perjuangan musik pop yang memang berbau barat berkembang di Indonesia. Tony dan saudara-saudaranya harus merasakan penjara karena kegilaan mereka ini. Meski Koes Plus tidak ngerock ditahun 1970an, mereka seperti menjadi pembuka lembaran baru bagi perkembangan musik rock tanah air lewat album Deg Deg Plas---yang dimata sebagaian pihak dianggap gagal dari sisi penjualan namun memiliki beberapa lagu pop dasyat yang selalu diaingat orang. Apapun musik yang diusung Tony Koeswoyo, sangat munafik menggeser namanya dari jajaran tokoh musik rock tanah air. Perjuangan Tony yang kerap mengusung lagu-lagu the Beatles diawal karir musik adalah usaha berani yang membuat mereka harus di bui di penjara Glodok.
Aku ingat lagi ditempat ayahku tinggal sekarang, piringan hitam Deg Deg Plas itu masih ada. Aku pernah memutarnya waktu SMP dulu. Lagu-lagu mereka tidak jelek dan masih nyaman didengar hingga sekarang. Omongan kawan-kawan sekolahku kalau lagu lama, seperti juga lagu-lagu Koes Plus, adalah ketinggalan zaman hanya omong kosong mereka sebagai anak kecil yang hanya tahu yang terbaru adalah yang terbaik. Musik masalah selera, setiap penikmat musik punya ukuran sendiri mana musik yang bagus. Anak kecil hanya bisa bilang musik terkinalah yang terbaik.
Album gagal dalam penjulan tidak selamanya buruk dari sisi musikalitas. Entah apa yang dipikirkan Tony, apakah album itu akan laris ketika dirilis kita tidak tahu. Orang pada masa itu boleh saja memasukan rekaman mereka ke tong sampah. Sekarang album yang katanya dulu tidak laris itu masih kerap diputar, walau semakin jarang yang memutarnya sekarang ini. Karena orang lebih menyukai lagu-lagu baru. Biar tidak ketinggalan zaman kata mereka. Bagaimanapun, Tony dan dua bandnya menjadi anak di zamannya dan menjadi salah satu mata rantai dalam perkembangan msuik pop tanah air hingga seramai dan beragam seperti sekarang ini.