Kamis, Januari 13, 2011

Orang KNIL Ambon

Setidaknya, ada tiga orang KNIL yang cukup dikenal masuk TNI. Josef Muskita, Tanasale dan Julius Tahiya. Dimana semua punya ceritanya sendiri-sendiri.

Jumlah tentara KNIL tahun 1945 adalah sekitar 60.000 personil. Dalam formasi KNIL saat itu, komposisi serdadu Ambon dan non Ambon secara keseluruhan adalah satu banding lima. Mereka tinggal dalam tangsi-tangsi bersama anak dan istrinya. Orang-orang Ambon yang masuk KNIL biasanya beragama Kristen Protestan.[1]

Mereka juga tidak lagi mendapat gaji yang besar seperti ketika mereka bergabung dalam KNIL. Walau begitu, bekas KNIL ini justeru mendapat gaji besar dibandingkan dengan prajurit TNI yang lebih lama mengabdi dan hal ini pula yang menimbulkan kecemburuan dikalangan TNI sendiri.


Diperkirakan mereka adalah KNIL Ambon

Masa Bersiap, yang menakutkan bagi banyak orang-orang yang dianggap pro Belanda pada awal Revolusi, juga menjadi salah satu sebab bagi banyak anggota atau mantan KNIL Ambon enggan bergabung ke Republik.

Mereka digolongkan sebagai Andjing NICA, seperti halnya sebagian orang pro Belanda. Bergabung dengan Republik sama saja menyerahkan diri pada bekas musuh, yang bisa jadi menjadi musuh abadi.

Ketika banyak bekas serdadu KNIL Ambon kembali pulang ke kampungnya, mereka dalam kondisi tidak terima dengan kekalahan politik Belanda dalam diplomasi, mereka begitu merasa hidup mereka tanpa masa depan.

Josef Muskita

Terahir di kota militer Magelang, 28 Juli 1924. pernah menikmati sekolah di Hogare Burger School bagian B (Ilmu Pasti Alam). Kemungkinan dia belajar di HBS Jakarta sebelum Jepang mendarat. Melihat kota kelahirannya, Muskita nampaknya berasal dari keluarga militer KNIL juga.

Sebelum tahun 1950, dia adalah perwira KNIL. Lalu masuk TNI pasca KMB. Dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal, yang disandangnya sejak 1 Oktober 1967. Dan purnawirawan sejak 28 Juli 1979. Usianya baru 43 tahun ketika menjadi Mayor Jenderal. Meski tergolong cepat, namun tidak pernah menempati posisi strategis dalam kemiliteran di TNI. Beberapa kali belajar di luar negeri.

Diusianya yang harusnya menjadi pucuk pimpinan militer, Muskita hanya menjadi Pimpinan Sementara PT Departemen Store Indonesia Sarinah pada 14 November 1970. Lalu diangkat menjadi Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, pada Departemen Perdagangan dan Koperasi sejak akhir tahun 1970 hingga tahun 1978. Selanjutnya menjadi Duta Besar RRI untuk Jerman Barat sejak 1979. Sejak September 1983 diangkat menjadi sekretaris Wakil Presiden RI.[2]

Karir militer Muskita selesai ketika orde baru mulai merangkak dan berkuasa. Muskita bukan orang politik. Dan yang pasti Muskita juga bukan orang PETA yang punya kencendrungan dekat dengan Suharto dan dapat posisi empuk di militer pada rezim Suharto. Muskita bisa dibilang tersingkir. Mungkin karena dia bekas KNIL zaman revolusi yang jadi musuh TNI dan laskar.

Tidak diketahui dimana dia bertugas sebagai KNIL semasa revolusi. Bisa dipastikan dia hanya berpangkat Letnan KNIL, jika melihat latar belakang pendidikan dan kacaunya revolusi Indonesia yang membuat KNIL butuyh perwira berpendidikan sepertinya. Dia juga bukan perwira KNIL yang populer bagi para gerilyawan RI yang menjadi musuhnya. Berbeda dengan Tanasale.

Muskita, ketika baru ergabung dengan TNI sudah diikutsertakan dalam operasi penumpasan RMS. Pengalamannya di KNIL, dan latar belakang kesukuannya, dinilai potensial untuk menyelesaikan masaah RMS yang melibatkan banyak mantan KNIL

Adjudant Tanasale

Ketika revolusi kemerdekaan Indonesia berlangsung, masih banyak orang Ambon yang tergabung dalam KNIL. Mereka menunjukan diri sebagai prajurit tangguh. Tidak heran jika mereka kemudian direkrut dalam pasukan baret Hijau yang dilatih Westering. [3]

Salah satu pengikut Westerling adalah Adjudant (Pembantuy Letnan) Tanasale. Dia KNIL Agmbon yang hnya berpangkat Spaandrig (serdadu kelas I) sebelum revolusi Indonesia. Dia anggota Batalyon X di Senen, Jakarta—yang kerkenal ganas dan kejam pada pemuda Pro Republik Indonesia yang mereka temui. [4]

Tanasale konon telah membunuh beberapa orang Indonesia militan ghingga pangkatnya dinaikan menjadi adjudant (setara pembantu letnan) di KNIL dimasa revolusi. Ada kabar yang menyebutkan bahwa Tanasale telah masuk TNI dengan pangkat Kapten.[5]

Sebagai pengikut Westerling, Tanasale bahkan tidak tersentu sama sekali. Dia cukup beruntung karena didekati oleh Palupesy dari brigade Patimura.[6] Brigade Patimura adalah kelompok yang akan diberangkatkan ke Maluku Selatan. Termasuk menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Tanasale adalah salah satu dari sekian banyak serdadu KNIL. Namun dia beruntung karena bisa melewati banyak tingkatan. Mulai dari Spandrig lalu menjadi Adjudant. Dan di TNI dia bisa naik pangkat menjadi Kapten. Tanasale tidak memilih ikut ke Negeri Belanda. Jika ia ikut tentara Belanda, dalam Koninklijk Landmacth (Angkatan darat Kerajaan Belanda, disingkat KL) ia hanya akan menjadi adjudant. Dan bisa jadi hanya akan menjadi pensiunan Letnan saja. TNI mungkin menjadi sebuah harapan bagi mantan KNIL yang tidak ingin ikut dengan KL. Setelah itu, tidak ada cerita bagaimana nasib Tanasale di TNI.

Julius Tahiya

Masuk sebagai bintara KNIL di tahun 1937. Dia ikut menyeberang ke Australia ketika Perang Pasifik berkobar dan Tentara jepang masuk Indonesia. Julius Tahiya pernah melakukan pedaratan diam-diam di Saumlaki pada masa pendudukan Jepang sebagai bintara KNIL. Setelah PD II berakhir pangkat Julius Tahiya diaikan menjadi Letnan.

Semasa revolusi kemerdekaan RI, Julius Tahiya bekerja untuk kepentingan Belanda karena dia termasuk KNIL yang dibawa Belanda ke Australia. Julius Tahiya, sebagai orang Indoensia yang pastinya memiliki pengetahuan tentang Indonesia yang berusaha direbut kembali oleh Belanda, sangatlah penting kedudukannya. Karenanya Julius Tahiya dijadikan staf Jenderal Spoor dengan pangkat Kapten. Tahiya tidak lama menjadi staf Jenderal Spoor.[7]

Bulan April 1946 Tahiya meninggalkan KNIL untuk mengikuti pendidikan di jawatan Keuangan Jakarta. Hal ini adalah persiapan dirinya untuk menjalankan perannya dalam Negara Indonesia Timur. Selanjutnya, sebagai orang Maluku, Tahiya ditunjuk sebagai perwakilan orang-orang Maluku di NIT. Ketika Konferensi Malino pada 16 hingga 22 Juli 1946, Tahiya hadir. Dimana disusun struktur pemerintahan Federalis.[8] Julius hanya seorang federalis. Kedekatannya dengan Belanda hanya untuk mendukung kemajuan Indonesia Timur.

Meski mengaku keluar dari KNIL 1946, Julius masih sering terlibat dalam forum penting seperti KMB. Dia kemudian mencapai pangkat Letnan Kolonel.

Agenda pembubaran KNIL 26 Juli 1950, tentu membuat banyak KNIL frustasi. Meski mereka diberi pilihan untuk masuk TNI atau masuk KL dan ikut ke Negeri Belanda. Selama masa penantian itu mereka biasa berbuat rusuh. Mereka begitu tempramentalnya dengan membuat keribeutan. Mereka tampak belum puas bertempur melawan tentara Indonesia.

Sebelum KNIL dinyatakan bubar pada 26 Juli 1950, beberapa kerusuhaan antara KNIL dan TNI kerap terjadi. Seperti di Bandung, Jakarta, Bogor, Makassar dan Malang. Di Jakarta, Bandung dan Bogor masih terkait dengan peristiwa Westerling.

Sebenarnya, kepindahan orang-orag KNIL ke TNI bukan hal mudah. Bergabung di TNI berarti akan kehilangan penghasilan f 140 ssebulan. Orang-orang KNIL sendiri menganggap prajurit TNI umumnya buta huruf. Oran-orang KNIL yang akan bergabung dalam TNI sendiri merasa bahwa mereka akan dianggap sebagai pengkhianat turun-temurun karena semasa revolusi melawtan pemerintah republik. Mantan KNIL yang ingin bergabung ke TNI umumnya orang-orang Menado-Minahasa.[9]

Di Surabaya, muncul kegelisahan orang-orang KNIL. Mereka tampak tidak begitu suka dengan kehadiran Julius Tahiya yang mulai mengadakan sosialisasi mutasi KNIL ke TNI. Beberapa beranggapan bahwa tahiya mengkhianati mereka. Tahiya cukup kesohor di kalangan KNIL Ambon. Menjelang berakhirnya KNIL, Tahiya mulai dibenci oleh serdadu bawahan KNIL ambon. Mereka melihat Tahiya makin condong ke Republik Indonesia. Tahiya adalah anggota delegasi BFO dalam KMB. Serdadu KNIL di Surabaya begitu membencinya. Ketika Tahiya hendak memberikan sosialisasi pemindahan KNIL pribumi kedalam TNI.Sebagian beranggapan selaku orang Maluku Tahiya tidak paham dengan kondisi Maluku.

Julius Tahiya. Dia lebih memilih menjadi pengusaha daripada terus berkarir di TNI. Sebuah langkah bijak bagi seorang ingin membangun sebuah negeri baru. Surplus tentara adalah masalah bagi sebuah Negara yang baru mulai membangun. Latar belakang militer Julius Tahiya di KNIL, dimana dirinya pernah menjadi asisten Jenderal Spoor bisa menjadi masalah bila dirinya terus berkarir di militer. Julius Tahiya mungkin masih bisa hidup sebagai perwira militer dengan gaji kecil karena istrinya yang keturunan Australia adalah seorang dokter gigi.[10] Istri Julius Tahiya bahkan sudah merasa nyaman sebagai seorang istri perwira dan menentang rencana Julius yang ingin keluar sepenuhnya dari dinas militer.[11] Padahal posisi seorang perwira secara ekonomis di masa itu sangatlah lemah, meski tiap bulan dapat gaji. Pilihan Julius keluar dari TNI tepat. Dia akhirnya menjadi pengusaha terkenal yang memiliki usaha minyak dan bank. Sebelum masuk KNIL tahiya meman sudah punya bakat dagang.

[1] Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “La Petite Histoire” Indonesia, Jakarta Kompas, 2004. h. 52-53.

[2] Muskita pernah menjadi pelatih olahraga perahu layar (sailing). Dan ikut serta dalam olimpiade perahu layar di Napoli Itali. Dia juga pernah menjadi Duta Besar RI untuk Jerman Barat (1983-1988) dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1988-1993). Dirinya pernah mendapat Groot-Officier in de Orde van Oranje-Nassau dari pemerintah belanda 1990. Josef Muskita tutup usia pada 1 Mei 2006. (http://anakmaluku.blogspot.com/): Harsya Bachtiar, Siapa Dia: Perwira Tinggi TNI AD, Jakarta, Djambatan, 1988. hlm., hlm. 217.

[3] Laporan Djawatan Kepolisian Negara kpada Pemangku jabatan Presiden RI, perdana Menteri RI, Jaksa Agung,, Yogyakarta 21 Februari 1950. No Polisi: 278/AR/PAM/DKN/50. Perihal Aksi Westerling. Seri Laporan Jawatan Kepolisian Negara Bagian PAM Yogyakarta beserta lampiran. (Desember 1949, Januari, Maret 1950)

[4] Laporan Djawatan Kepolisian Negara kpada Pemangku jabatan Presiden RI, perdana Menteri RI, Jaksa Agung,, Yogyakarta 21 Februari 1950. No Polisi: 278/AR/PAM/DKN/50. Perihal Aksi Westerling. Seri Laporan Jawatan Kepolisian Negara Bagian PAM Yogyakarta beserta lampiran. (Desember 1949, Januari, Maret 1950)

[5] . Laporan Pengawas Aliran Masyarakat kepada Kepala Polisi Keresidenan Bogor di Bogor Tanggal 5 Juli 1950. No: 84/rahasia, Perihal: Suasana Kalangan KNIL, KL dan TNI. (Koleksi ANRI: KPM RI Yogyakarta. No 130 RA 5. Seri Laporan Jawatan Kepolisian Negara bagian PAM Mengenai Insiden antara KNIL dan TNI beserta Lampirannya (Januari, februari, Mei, Juni, Juli 1950)

[6] Laporan Djawatan Kepolisian Negara kepada Pemangku jabatan Presiden RI, perdana Menteri RI, Jaksa Agung,, Yogyakarta 21 Februari 1950. No Polisi: 278/AR/PAM/DKN/50. Perihal Aksi Westerling. Seri Laporan Jawatan Kepolisian Negara Bagian PAM Yogyakarta beserta lampiran. (Desember 1949, Januari, Maret 1950)

[7] Julius Tahiya, Horizon Beyond, ab. Melani Budianta, Melintas Cakrawala: Kisah Sukses Pengusaha Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 37-56, 71.

[8] Ibid., hlm. 73-74.

[9] Lampiran Pengakuan Tuan Korro. Laporan Pengawas Aliran Masyarakat kepada Kepala Polisi Keresidenan Bogor di Bogor Tanggal 5 Juli 1950. No: 84/rahasia, Perihal: Suasana Kalangan KNIL, KL dan TNI. (Koleksi ANRI: KPM RI Yogyakarta. No 130 RA 5. Seri Laporan Jawatan Kepolisian Negara bagian PAM Mengenai Insiden antara KNIL dan TNI beserta Lampirannya (Januari, februari, Mei, Juni, Juli 1950).

[10] Julius Tahiya, op. cit. hlm. 43, 75-76.

[11] Ibid., hlm. 105.

Rabu, Januari 12, 2011

Jan Rapar

Sosok Preman ideal. Dia seorang revolusioner yang punya jasa Republik, namun belakangan dia terlihat sebagai seorang kontrarevolusioner.


Jan Rapar (bertopi) bersama Evert Lengkai

Berdasar pengakuan Vintje Sumual, Rapar adalah bagian dari kelompomk Senen. Dia bagian dari kelompok Preman pimpinan Imam Syafei alias bang Pie’i. Mereka tergolong sebagai bagian dari kelompok yang kemudian pro kemerdekaan Indonesia. Mereka dicap sebagai bagian dari dunia hitam yang menguasai kawasan Senen.[1]

Di Senen, rapar bukan satu-satunya orang Menado-Minahasa. Rapar adalah mantan KNIL. Di masa pendudukan Jepang, Rapar sudah menjadi preman di Senen. Rapar dikenal sebagai manusia bersosok tinggi besar. Dengan berat badan 100 Kg. Postur yang baik untuk seorang preman. Dia dikenal sosok tukang berkelahi. Dan seringkali terlibat perkelahian. Jika sudah begini, Mr AA Maramis, seorang tokoh pergerakan yang juga seorang advocate turun tangan. Dan orang Menado-Minahasa yang ribut dan ditahan polisi itu pun bebas.[2] Hubungan preman Indonesia dengan kaum pergerakan pun terjalin. Meski hanya dalam batas tertentu.

Preman Menado Minahasa, di masa pendudukan Jepang, biasa berhubungan dengan pemuda Menado-Minahasa di Asrama Kaigun (Angkatan Laut Jepang) Gunung Sahari. Di Angkatan laut Jepang, Laksamana Maeda, duduk sebagai wakil Angkatan Laut di Jakarta. Jakarta sendiri adalah pusat Angkatan Darat ke-16 yang menguasai Jawa.

Selama pendudukan Jepang, Maeda pernah mendirikan Choku-eitai, semacam organisasi semi-militer dengan berbagai macam fungsi seperti kontraintelejen, sabotase, dan pengintaian. Guna menghadapi sekutu yang bisa mendarat kapan saja ke Hindia Belanda. Beberapa anggota dari kelompok ini adalah orang-orang Minahasa—yang direkrut di Jakarta karena tidak bisa pulang ke kampungnya ketika Jepang mendarat. Maeda diberi tugas oleh petinggi Angkatan Laut di Makassar untuk mengawasi orang-orang Minahasa itu. Sebagian diantaranya adalah mantan KNIL yang kehilangan pekerjaan dan terpisah dari keluarganya. Organisasi ini terkesan seperti pengawal Maeda.

Di Jawa, pusat Angkatan Laut adalah di Jakarta dan Surabaya, karenanya ketika KRIS berdiri, dua kota in menjadi basis KRIS yang terkuat. Di Surabaya, organisasi ini terkesan dikuasai orang-orang Menado saja dan memfokuskan diri sebagai unit militer. Di Jakarta, KRIS tidak hanya kegiatan militer saja dan tidak hanya terdiri dari orang Menado saja, tap banyak suku di Sulawesi. Di KRIS Jakarta, organisasi API Sulaawesi pimpinan Jan Rapar. Dimana KRIS kemudian membangun diri sebagai unit militer bersenjata yang berdisiplin baik seperti tentara resmi.[3]

Gejolak Revolusi

Sebagai bagian dari kelompok Senen, Rapar juga pendukung Republik di kala Republik baru lahir. Para pemuda Manado-Minahasa di Jakarta, baik yang biasanya bergiat sebagai Preman Senen maupun pemuda penghuni Asrama Kaigun Gunung Sahari, berada dibawah komando Rapar mengamankan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan cara mereka. Mengamankan area sekitar Pegangsaan, dengan berjaga. Menjaga kemungkinan gangguan Angkatan Darat yang bisa datang kapan saja. Angkatan darat dengan angkatan Laut Jepang punya kedekatan dan pemikiran berbeda tentang orang-orang Indonesia yang ingin merdeka.

Ketika Indonesia Merdeka, sebagian orang Menado-Minahasa resah. Mereka, karena selama Kolonial Hindia Belanda berkuasa di Indonesia, banyak orang Menado-Minahasa begitu dekat dengan pemerintah colonial. Banyak diantara mereka yang menjadi pegawai pemerintah Kolonial. Juga menjadi serdadu pemerintah Kolonial KNIL. Kedekatan itu berdampak buruk bagi orang-orang Menado-Minahasa di sekitar Jakarta. Mereka menjadi sasaran buta orang-orang Indonesia anti Belanda yang terjebak dalam euphoria kemerdekaan Indonesia. “Masa bersiap” juga menjadikan mereka terteror. Mereka bukan orang pro Belanda.

Karenanya, orang-orang Menado-Minahasa mendirikan organisasi yang berusaha melindungi orang Menado-Minahasa dari serangan buta orang Indonesia yang dendam pada Belanda. Image orang Menado-Minahasa sebagai Andjing NICA dalam pikiran orang awam yang dendam pada Belanda harus diubah. Dengan susah payah Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi pun terbentuk. Tidak hanya kelompok Menado-Minahasa asal Sulawesi utara saja. Orang Sulawesi Selatan juga bergabung. Salah satu yang kesohor adalah kahar Muzakar. KRIS terbentuk pada 9 Oktober 1945.[4]

Rapar dan kawan-kawan Menado-Minahasa-nya, yang biasa bentrok dengan orang-orang pro Belanda di sekitar Senen, juga dihubungi oleh Willy Pesik, seorang yang kemudian menjadi petinggi KRIS. KRIS sebenarnya sebuah organisasi sosial saja. Dalam perkembangannya, KRIS memiliki seksi pertahanannya sendiri. Seksi pertahanan ini lalu berkembang menjadi sayap militer yang kekuatannya satu Brigade. Rapar adalah salah satu pimpinannya. Bahkan yang paling berpengaruh selama revolusi.

Rapar adalah tipikal gerilyawan nekad. Bersama Lombogia dan Hermanus mereka sering menyerang markas batalyon X yang terkenal ganas di Senen. Bersama preman senen pimpinan Imam Syafei, preman Minahasa kerap melakukan penghadangan untuk memperoleh senjata.

Sebagai pemimpin militer KRIS, Rapar sering terlibat dalam pertempuran melawan pasukan NICA (Nederland Indies Civil Administration atau Pemerintah sipil Hindia Belanda)—yang membonceng pada sekutu. Karenanya Rapar menjadi orang yang begitu dihormati oleh orang-orangg KRIS. Rapar paling sering terlibat bentrokan dengan personil KNIL dari Batalyon X di Senen dan sekitarnya. Batalyon itu juga terkenal ganas di sekitar Jakarta. Namun sebagian orang dari Batalyon itu, mereka yang berasal dari suku Menado-Minahasa, diam-diam bersimpati pada kemerdekaan Indonesia. Kadang-kadang mereka memberi bantuan diam-diam pada Republik.[5]

Dalam perkembangannya, Rapar memimpin KRIS bersama Evert Lengkai. Orang yang pernah terlibat dalam Peristiwa 10 November 1945 dan kenal baik dengan Bung Tomo—pimpinan rakyat dalam Peristiwa 10 November itu. Dimana Rapar menjadi Wakil Lengkai selaku Komandan Brigade. Namun pengaruh rapar jauh lebih besar di pasaukan ketimbang Lengkai. Belakangan, Evert Lengkai mundur dan menyerahkan komando pasukan pada Rapar pada 1947.[6]

Selama kepemimpinannya, Rapar tergolong orang selalu peduli pada bawahannya. Namun bersikap tegas dan menghukum siapa saja bawahannya yang bersalah. Rapar juga selalu menempatkan orang pintar pada posisi yang tepat dalam komandonya.

Pasukan KRIS juga menjadi bagian dari pasukan militer Indonesia, yang kala itu bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang melawan tentara Belanda. Meski masuk dalam ketentaraan, struktur tidak banyak berubah. Dalam artian kepemimpinan masih dipegang oleh orang-orang Sulawesi yang sejak awal bergabung dengan KRIS. KRIS justru semakin besar. Bukan hanya orang Sulawesi tapi dari suku lain. Nama KRIS juga mash dipakai sebagai nama brigade. Ketika pemerintahan republik menyingkir ke Jogjakarta, pasukan Rapar juga ikut ke Jogja dan bertemu dengan pasukan KRIS lain. [7]

KRIS menjadi laskar tangguh karena banyak orang tua mantan serdadu KNIL sebelum jepang mendarat, juga masuk KRIS. Dimana orang tua itu akan berbagi ilmu dan pengalaman militernya.[8]

Tersingkir

Belakangan, Rapar tersingkir dalam ketentaraan. Dia kehilangan posisi penting yang biasa dia pegang dalam pasukan KRIS. Dimana kemudian dia keluar dari ketentaraan. Bersama beberapa pengikut setianya, Rapar kembali ke Jakarta yang berstatus sebaga daerah pendudukan Tentara Belanda. Rapar tetap menjadi orang berpengaruh di kalangan bekas pejuang yang pernah bertempur di sekitar Cikampek. Disini Rapar memiliki ratusan pengikut yang siap bertempur bersamanya.[9]

Rapar kemudian terlibat dalam gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) Westerling. Rapar nampak begitu kecewa pada tentara republik dalam gerakan Weserling itu, rapar bahakan tergolong begitu bersemangat. Tidak begitu jelas apa lasan Rapar ikut Westerling? Beberapa kawan seperjuangan Rapar semasa revolusi yakin jika Rapar hanya membayangi Westerling alias memata-matai Westerling. Seperti juga alasan frans Nayoan, seorang mantan polisi.

Rapar tewas dalam sebuah serbuan ke sebuah asrama polisi ketika akan merebut senjata dari para polisi itu. Rapar tertembak. Ketika itu pasukan APRA gagal memperoleh senjata untuk gerakannya pada 23 Januari 1950. Rapar lalu mengusulkan untuk merebut senjata dari asrama polisi, Westerling setuju. Rencana gagal dan Rapar bernasih naas dan tewas.[10]

Begitulah akhir nasib dari Jan Rapar. Bekas KNIL sangar yang ditakuti. Rapar yang selalu berlinang air mata ketika mengingat kampung halamannya di Sulawesi Selatan sana yang selalu dia rindukan. Perang Dunia II dan revolusi Indonesia menghalanginya pulang. Begitulah pengakuan Vintje Sumual, kawan seperjuangan Rapar dimasa revolusi.

[1]Lihat Laporan Djawatan Kepolisian Negara Bagian PAM kepada Presiden RI di Yogyakarta, tanggal 21 Februari 1950.No. Polisi 278/A.R./PAM/DKN/50. (Koleksi Arsip Nasional)

[2] [2] Bert Supit & BE Matindas, Ventje Sumual: Menatap Hanya Ke Depan (Biografi Seorang Patriot, Gembong Pemberontak), Jakarta, Bina Insani, 1998, hlm. 40-100.

[3] Ben Anderson, Java in the Time of Revolution, Occupation and Resistence, 1944-1946, ab. Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 , Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 290-291.

[4] Jozef Warouw, KRIS 45 Berjuang Membela Negara: Sebuah Refleksi Perjuangan Revolusi KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1999, hlm. 37-46.

[5] Ibid., hlm. 51 & 86.

[6] Ibid., hlm. 95-100.

[7] Ibid., hlm. 160-163, 183, 283.

[8] Ibid., hlm. 68, 143 & 154.

[9] Persatuan Djaksa-djaksa Seluaruh Indonesia, Peristiwa Sultan Hamid II,Jakarta, Fasco Jakarta, 1955, hlm. 60-80: Lihat Laporan Djawatan Kepolisian Negara Bagian PAM kepada Presiden RI di Yogyakarta, tanggal 21 Februari 1950.No. Polisi 278/A.R./PAM/DKN/50. (Koleksi Arsip Nasional)

[10] Dominique Venner, Westerling de Eenling, Amsterdam, Uitgeverij Spoor, 1983, hlm. 348-350.