Jumat, Januari 07, 2011

Akhir Andjing NICA


Batalyon KNIL terganas ini andalan bagi NICA di zaman revolusi. Akhir pahit harus mereka alami di Balikpapan. Dimana mereka harus berhenti jadi andjing NICA.



Menjelang kalahnya Jepang, KNIL dibangun kembali. Bekas KNIL, juga tawanan perang, pun direkrut menjadi serdadu KNIL. KNIL sedang membutuhkan personil banyak pasca kalahnya balatentaara jepang. Batalyon Infanteri II, IV dan V adalah pasukan yang terdiri dari bekas tawanan juga. Namun, revolusi Indonesia yang buta dan tak kenal belas kasih kepada orang-orang pro Belanda, juga yang dituduh pro Belanda, harus melahirkan dendam bagi sebagian orang. Inilah yang terjadi di masa bersiap. Dimana banyak orang pro Belanda, maupun yang dianggap pro Belanda, mengalami ketakutan luar biasa dari orang-orang Indonesia yang begituy antipati pada belanda.

Rasa dendam pun lahir dari sekelompok orang yang kemudian rela menjadi serdadu KNIL. Dimana mereka bergabung sebuah Batalyon paling brutal di zaman revolusi Indonesia. Batalyon Infanteri V KNIL. Alias Andjing NICA. Batalyon yang biasa bertempur dengan gaya beringas di front-front pertempuran. Batalyon ini dibentuk di Bandung.[1]



Lahir Untuk Bertempur

Batalyon V terbentuk pada 2 Desember 1945. ketika ‘masa bersiap’ mencekam banyak orang Eropa maupun Ambon dan Menado. Nyawa mereka terancam oleh kacaunya revolusi Indonesia yang diwarnai kebencian kepada hal-hal berbau Belanda, termasuk orang-orang Belanda dan semacamnya. Tidak heran jika banyak orang-orang Belanda dan Ambon pro Belanda menaru dendam atas kebencian orang-orang Indonesia di kemudian hari. Dua bulan, antara September hingga November, setidaknya menjadi masa mengerikan bagi beberapa orang itu.[2]



Terbentuknya batalyon V bisa menjadi solusi mereka. Dengan bersenjata mereka bisa menjaga diri dan terlepas dari rasa takut atas serangan kekacauan revolusi. Masa mencekam itu segera tertutup oleh rasa benci tak terhingga pada orang-orang Indonesia.

Batalyon ini bertempur dengan ganasnya. Banyak bekas pejuang kemerdekaan mengerti betapa menerikannya pasukan ini. Pasukan ini menyebut dirinya sebagai Andjing NICA. Lamban mereka adalah anjing galak berwarna merah. Batalyon ini terlibat dalam beberapa seranga militer Belanda ke Jawa Tengah.[3] Di seragamnya,mereka selal menuliskan kata “Andjing NICA”. Orang-oran kemudian lebih mengenal pasukan ini sebaai Andjing NICA.

Istilah Andjing NICA lebih banyak diketahui orang sebagai julukan atau stigma kepada orang-orang Indonesia pro Belanda. NICA sendiri adalah pemerintahan sipil di Hindia Belanda. Sebuah badan untuk mengambil-alih kembali kekuasaan belanda atas Hindia Belanda sebagai bagian dari republik Indonesia. Orang Indonesia pro Belanda tersebut biasanya, orang-orang pribumi yang menjadi pegawai sipil maupun militer pada pemerintah Hindia Belanda. Secara tidak langsung, orang-orang Ambon maupun Menado yang berdomisili di Jawa dan keluarganya berkaitan erat dengan KNIL maupun pegawai gubernemen kena getahnya pula.

Diera penuh kekacauan itu, keluarga Ambon maupun menado di Jakarta, Bandung dan sekitarnya terancam keselamatannya karena revolusi membunuh orang yang dianggap pro Belanda tanpa pandang bulu.

Padahal tidak sedikit orang Menado maupun Ambon yang berpihak pada Republik dan dimasa sebelum perang terlibat dalam pergerakan nasional. Hanya image belanda itam atau Andjing NICA saja yang ada di kepala orang-orang tentang orang Ambon maupun Menado.

Selain batalyon V,ada juga batalyon X KNIL yang berkedudukan di Senen, tepatnya di bekas daerah yang kini menjadi Hotel Borobudur. Batalyon ini terdapat banyak orang Ambon sebagai serdadu bawahannya. Mereka tidak kalah ganasnya kepada oran-oran Indonesia pro republik.

Dari batalyon X ini, Westerling memperoleh banyak pasukan untuk dijadikan inti dari Depot Speciale troepen. Mereka terlibat dalam “kampanye pasisfikasi”ala westerling di Sulawesi Selatan. Batalyon X d Senen banyak beranggotakan orang-orang Ambon yang temperamental. Mereka mudah tersulut emosinya. Hingga mereka sering bentrok dengan pemuda-pemuda Indonesia, terutama yag pro republik.[4] Orang-orang biasa menyebut pasukan ini Belanda Hitam. Mereka dianggap lebi belanda daripada orang belanda sendiri.

Beberapa orang Ambon, yang kerap muncul di Senen, bernama Wimpie, Albert, Mingus Gerardus dan Polang, konon pernah menyuruh orang republic yang mereka temui ntuk menelan lencana merah putih yang dikenakannya.[5]

Nyaris tidak ada gambaran positif dari oran Indonesia tentang Andjing NICA. Menurut orang-orang KRIS, sebagian anggota Batalyon X, ada juga yan mau membantu republic diam-diam.

Andjing NICA bertempur dengan ganasnya. Layaknya marsose dimasa perang aceh. Dimana bertempur adalah dengan penuh kebencian. Bukan bertempur dengan kehormatan. Mereka bertempur untuk Nederlands Indies Civil Administration (NICA)—pemerintah sipil di Hindia Belanda—yang baru dibentuk dan berkuasa atas nama kerajaan Belanda di Indonesia selama revolusi. Sangat layak jika juluki diri mereka, atau orang lain menjuluki mereka, Andjing NICA.







Sebuah Batalyon



Batalyon Andjing NICA, semula beroperasi di Jawa Barat di bawah komando Brigade W. Sejak 2 Desember 1945, Batalyon ini menyusun kekuatan di Bandung. Dimana diadakan pendidikan dan perekrutan oleh mantan Kapten KNIL JC Pasqua—yang semula jua bekas tawanan Jepang. Batalyon ini dibentuk di gedung bekas Koninklijk Militaire Academie (KMA) Bandung.

23 Desember 1945 hingga 18 januari 1946 kekuatannya terus dibangun di sekitar Bandung dan Cimahi. Lalu Juni 1946, batalyon tersusun dalam 4 kompi. Dimana mereka memakai warna dasi yang berbeda. Kompi Eropa dengan dasi hijau, Kompi Ambon dengan dasi merah, Kompi Timor dengan warna hitam. Dan kompi campuran denan warna biru.

Batalyon V Infanteri memilih julukan itu tetapi gelar kehormatan yang disajikan dalam lambang lengan dirancang oleh E.C.E. Amade.[6] Lambang Anjing menyala pun dipakai.



Andjing NICA yang Lain

Istilah Andjing NICA juga dipakai untuk menyebut` orang-orang pro Belanda di kalangan sipil. Siapa pun yang dekat dengan orang Belanda, meski tidak terkesan politis dan sekedar bersahabat, juga bisa kena cap Andjing NICA. Revolusi Indonesia meman buta dan orang tak bersalah pun bisa kena getah.

Kebencian antar manusia, terutama pada yang berbeda kulit, begitu besar di Indonesia. Seperti yang tulis dalam Menjadi Tjamboek Berdoeri: memoir Kwee Thiam Tjing, digambarkan:



Di Malang, masih terdapat banjak pendoedoek golongan Belanda(kebanjakan golongan Indo) maka tentoe sadja saling bentji membentji dan mentjoerigai ada hal² jang bisa dimengerti. Satoe waktoe terdapat aroes apa jang dinamakan “andjing NICA”. Dengen Nica dimaksoedken kekoeatan militer Belanda jang datang poela dengen membontjeng dibelakang sekoetoe. Baik di stasion kereta-api, di pasar, di kendaraan oemoem, dimana sadja, kalaoe badan lagi apes dan kita ditjoerigai sebage “andjing Nica” (mata² Belanda), nasib kita aken djelek sekali. Soedah bagoes kalaoe tjoeman dihadjar dan digeboekin sadja. Dan ini tjap “andjing Nica” tida pandang boeloe, tjoema oedji nasib. Mala orang² Indonesia asli tida djarang jang ditjap sebage mata² Belanda, hal mana saja sendiri saksikan kebenarannja, kalaoe ditilik dari matjamnja orang² jang lagi alamken nasib djelek begitoe.[7]



Begitulah revolusi Indonesia. Sementara yang dicap Andjing NICA terus kena sial, Batalyon Andjing NICA terus brutal melawan tentara republic dan laskarnya. Andjing NICA pernah diterjunkan ke Jawa Tengah. Tentu saja berhadapan dengan TNI yang berkonsentrasi di pedalaman Jawa. Kebrutalan itu membuat mereka kesohor dimasa revolusi.





Balikpapan: Akhir Sejarah Andjing NICA

Balikpapan adalah kota penting dengan instalasi minyak. Tidak heran jika KNIL ditempatkan di Balikpapan. Kehadiran Andjing NICA juga cukup penting di kota itu. Setidaknya hanya menjaga kota dan instalasinya. Perlawanan bersenjata di Kalimantan timur tidak separah di Jawa. Andjing NICA tidak terlalu banyak musuh berat di Balikpapan. Perlawanan bersenjata dari pihak RI lebih banyak terjadi diluar kota balikapapan. Pemerintah NICA tentunya telah memperkuat militernya di kota balikapapan. Hingga angguan keamanan cukup minim. Dalam sebuah tulisan Bambang Sadaryanto Santoso di multiply.com:





Meskipun di Balikpapan masih ada sebahagian pasukan dari Yon Anjing NICA yang merupakan seteru lama (yang mundur dari Jawa Tengah) dan KMK hanya membawahi empat orang TNI saja, tampaknya tantangan itu dapat dilewati.

Dari buku Anjing NICA terbaca bahwa Yon V (Anjing NICA) / KNIL tsb. diangkut mundur dengan kapal laut, diantaranya adalah kapal Waibalong, pada bulan Desember 1949 dari Semarang dalam suasana hati depresi. Letkol Van Santen yg telah menjadi komandan Batalyon selama 4 tahun baru diganti dengan Letkol Van Loon. Pada pagi hari sebelum Waibalong bongkar sauh, Van Loon cedera akibat kecelakaan (jip nya menabrak pohon) sehingga pimpinan batalyon diserahkan kepada perwira paling senior, yaitu Kapten Schlosmacher. Sementara loading barang2 ke kapal cukup rumit sehingga banyak yang rusak. Setelah mendarat di Kalimantan, staf dan kompi staf nya ditempatkan di Balikpapan

. Kompi-kompi lainnya ditempatkan di Samarinda, Samboja dan Sepinggan.

Letnan Toorop yg saat itu menjabat Komandan Kompi dari Yon XIV / KNIL dan sudah beberapa lama bertugas di Balikpapan menulis: Karena jumlah perwira sangat minim, terjadilah situasi-situasi aneh. Saya Komandan Kompi 3 / Yon XIV, tetapi hrs merangkap komandan kompi staf / Yon XIV. Betul2 gila (helemal te gek) ketika saya hrs juga mengurus kompi staf / Yon V (Anjing NICA) yg baru mendarat.[8]









Ketika Batalyon Andjing NICA ditempatkan di Balikpapan, sebagian besar serdadu KNIL sebenarnya dalam kondisi terpuruk. KNIL yang dalam proses pembubaran. Seorang perwira KNIL di Balikpapan merasa mengalami situasi yang unik. Dimana dirinya harus sekaligus memimpin tiga kompi dari dua batalyon berbeda.

Semua anggota KNIL yg berminat beralih ke APRIS ditempatkan di Batalyon XIV. Sisanya ditempatkan di batalyon V yg kemudian akan dibubarkan. Si perwira ini, secara resmi pada tanggal 16 Mei 1950 juga dipindah dari Batalyon XIV ke Batalyon V. Namun dia tetap di batalyon sebelumnya juga sampai hari pembubarannya.

Aksi APRA (Westerling) di Bandung dan Jakarta. Juga Peristiwa Andi Azis di Makasar juga mempengaruhi anggota KNIL di Balikpapan. Nyaris saja aksi seperti itu terjadi di Balikpapan. Hal ini mungkin saja terjadi di kalangan KNIL yang sebagian besar temperamental. Schlosmacher menulis:



“Pemberontakan telah dilakukan di Balikpapan oleh anggota KNIL terutama yang asal Ambon, yg antara lain kecewa karena tdk diperbolehkan kembali ke Ambon. Mereka mengancam untuk membakar kilang minyak BPM. Mereka menduduki tangsi, menguasai gudang senjata dan amunisi serta menyekap beberapa perwira dan tidak mengijinkan seorang pun masuk tangsi. Untunglah situasi ini diselamatkan oleh Jenderal Scheffelaar, yang pernah jadi komandan Anjing NICA. Ia memerintahkan agar kapal Waterman - yg berisi ex KNIL (kebanyakan asal Ambon) yg baru dikalahkan APRIS di Makasar - singgah di Balikpapan. Lalu pimpinan pemberontak KNIL di Balikpapan yg asal Ambon dibiarkan berbicara dgn konco (teman2) nya di kapal. Pendekatan ini berhasil. Pemberontakan di Balikpapan diakhiri dan pemberontak setuju menyerahkan senjatanya bila mendapat 'perlindungan KL'. Hal ini berlangsung dan orang-orang asal Ambon yg tidak mau beralih ke APRIS itu diberangkatkan dengan kapal ke Jakarta dan kemudian ke Negeri Belanda.”[9]



KOndisi di Balikpapan mungkin berbeda dengan KNIL di Bandung,Jakarta, Malang, maupun di makassar. Dimana bekas KNIL itu harus menentukan pilihan yang keduanya tidak menyenangkan. Mereka terkalahkan secara politis. Diplomasi Belanda harus kalah dengan diplomasi Republik, walau secara militer, Belanda lebih unggul. Sebagian KNIL diberi pilihan juga untuk bergabung dengan tentara Republik. Soal ini Toorop juga menulis:



“Serah terima resmi dari pasukan KNIL (yang mau beralih ke APRIS) dilakukan melalui suatu upacara militer. Mayor Wiluyo (Puspoyudo), otoritas militer APRIS tertinggi setempat, menerima pasukan itu. Sisa pasukan KNIL (yg tidak mau beralih ke APRIS) secara resmi dibubarkan melalui surat Ratu Belanda tanggal 20 Juli 1950. Kelak Balikpapan (dan Dewan Kalimantan Timur) ikut mendukung peleburan RIS menjadi RI (NKRI) pada tanggal. 17 Agustus 1950.”[10]



Bubarnya KNIL, berarti bubarnya Andjing NICA. Riwayat mereka tamat bersama riwayat NICA selaku pemegang kuasa atas daerah pendudukan Belanda di Indonesia semasa revolusi.

Djokja, 19 Desember 1948


“Good Luck,” ucap Spoor si legercommant KNIL yang membawahi tentara Belanda dan tentara Hindia belanda di Indonesia. Spoor menucapkannya pasukan payungnya. Ujung tombak serangan ke jantung Republik musuhnya itu. Dua puluh menit kemudian, pasukan-pasukan itu duduk dalam pesawat untuk berangkat ke Yogyakarta.



Spoor tampaknya optimis akan serangannya kali ini. Setelah tertunda operasi impiannya itu terlaksana juga. Tidak tanggung-tanggung, Spoor mengerahkan pasukan baret merah (penerjun) dan baret hijau (komando) yang pernah dipimpin Westerling. Kedua pasukan itu cukup terlatih.



Pasukan payung terjun dari udara. Mereka berangkat dari Andir. Sementara itu pasukan baret hijau berangkat dari Semarang. Naik pesawat juga namun mereka mendarat bersama pesawat. Berbeda dengan pasukan payung sebagai pasukan pendahulu yang membersihkan area pendaratan.



Sementara itu pasukan pendukung lain, seperti pasukan brigade T pimpinan Kolonel van Langen akan memasuki Jogja setelah pasukan merah dan hijau memasuki kota Jogja. . Operasi bersandi "Gagak," alias Kraai Operatie itu pun sukses.



Jantung Republik



Mengapa Jogja? Kota ini begitu penting karena disinilah pusat pemerintahan Republik yang telah menyingkir dari Jakarta yang kacau oleh kebrutalan tentara Belanda. Salah satu sumber kerusuhan itu adalah Batalyon X KNIL, yang markasnya kini menjadi Hotel Borobudur. Batalyon ini cukup sering adu fisik dengan orang-oran pro Republikdi Senen.



Mengapa Jogja? Kota ini relatif tenang. Selama Gunung Merapi tidak sedang erupsi tentunya. Selain itu, Bangunan fisik untuk perkantoran di Jogja bisa diandalkan untuk menjalankan roda pemerintahan. Malioboro terdapat gedung yang bisa dijadikan perpustakaan umum. Dan ada bekas benteng Vredeberg dan istana bekas gubernur Jawa Bagian Selatan yang kini disebut Istana gedung Agung itu. Sultan Jogja, Hamengkubuwono IX, yang berkuasa atas Jogja juga dengan rela menerima Jogja sebagai Ibukota.



Menjadikan Joja sebagai ibukota tentu hal yang tepat bagi kaum Republik. Hingga sebagai ujud terimakasih pada Jogja, selama puluhan tahun Jogja menjadi daerah istimewa. Dimana Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam yang memerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Rakyat Jogja pada umumnya menerima dua bangsawan itu sebagai pemimpin. Dan ketenangan pun tercipta.



Jakarta, selaku pusat Republik selama puluhan tahun menerima kondisi Yogyakarta. Meski terkesan feodal, Keistimewaan Jogja itu seolah menjadi identitas daerah Jogja pada umumnya. Dimana sisa kejayaan Mataram masih tersisa. Di kota yang katanya feodal inilah, banyak orang dari luar Jogja yang sedah sekolah atau kuliah belajar apa itu demokrasi. Termasuk saya sendiri.







“Good Luck”



Republik Indonesia memang beruntung punya Jogja. Yang membantu Republik berdiri tegak dari kehebatan militer Belanda. Beruntung sekali bisa ke Jogja. Apalagi menguasainya. Hingga untuk merebutnya, Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor pun harus berucap “Good Luck” (semoga beruntung) pada pasukannya yang akan terjun ke Jogja. Spoor nampak berdoa dalam ucapannya itu.



Singkat kata, penerjunan pasukan pun sukses. Tidak sampai sehari kota Jogja dikuasai pasukan Spoor. Tentara Belanda memang beruntung. Dengan susah payah Joja sebagai jantung republik Indonesia akhir mereka kuasai.



Dari foto-foto yang saya lihat, tentara Belanda, baik KNIL maupun KL, tampak gembira memasuki Jogja—walau mereka juga takut kena peluru nyasar tentara republik yang kapan saja akan menyerbu mereka di Jogja.

“Good Luck,”



“Good Luck,” tentara Belanda, atau bandit-bandit VOC kata Romo Mangun dalam novel Burung Burung Manyar-nya, sangat beruntung. Doa Spoor terkabul lewat kerja keras pasukannya yang hebat itu. Jogja mereka kuasai. Namun mereka tidak berani macam-macam pada Sultan Jogja. Sungguh musuh yang beradab.



Beruntunglah tentara Belanda itu. Namun Republik lebih beruntung lagi karena Jogja kemudian kembali ke tangan Republik pasca Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Atas dedikasinya Jogja lalu menjadi daerah istimewa selama pemerintahan beberapa Presiden. Bahkan Presiden suharto yang paling dikator pun tidak berani mengusiknya.



Dan sungguh tidak tahu diuntung, orang yang mencabut keistimewaan Jogja! Apalagi dengan menjual nama demokrasi. Bagaimanapun, demokrasi bukan sekedar memilih dan dipilih, atau juga ditetapkan. Demokrasi itu juga menghargai! Yang pasti juga, demokrasi tidak menjual nama demokrasi juga.



Beginilah Jogja! Tidak megistimewakannya mungkin sebuah pengkhianatan dalam perjuangan republik ini. Meski terkesan feodal, banyak orang belajar demokrasi disini.

Mbah Sireng van Bagelen


110 tahun silam. Pergantian abad modern, XIX menuju XX. Kata cerita yang kudengar dari Adik dari Eyang kakung, membuatku menyimpulkan Eyang buyut sudah jadi serdadu kompeni kala itu. Perang Aceh juga sedang berkobar kala itu. Para serdadu kompeni, yang kelak disebut KNIL, dengan dibantu Marsose yang jago berantem itu.



Eyang buyut, kami menyebutnya Mbah Sireng, berasal dari bukit-bukit kecil di Bagelen yang tidak subur. Tanah yang tidak subur itu pula alasan banyak orang Bagelen jadi serdadu. Dari jaman kompeni sampe jaman Presiden NKRI berkuasa. Biasanya jadi serdadu rendahan. Serdadu rendahan tak tahu sekolah. Kalau mereka bisa baca tulis, di kompeni mereka bisa jadi kopral. Tidak jadi spandrig. Kata adik Eyang kakung, mbah buyut bisa baca tulis karena belajar di tangsi.



Orang Bagelen memang cocok jadi serdadu. Mereka bisa juga berkelahi. Konon, kampung-kampung di Bagelen didirikan pengikut Diponegoro yang dikalahkan dengan licik oleh Jenderal Mayor de Kock di Magelang (1830). Bisa dibilang umur sebagian kampung di Bagelen paling tua belum lebih dari 180 tahun. Makanya mereka juga punya darah petarung. Meski tidak sesangar orang KNIL dari luar Bagelen seperti dari Ambon. Menado, Minahasa, timor dan lainnya.



Kata sejarawan sableng, Ambon adalah KNIL paling setia. Mungkin seperti ituy, tapi harus dicatet, orang Jawa adalah penyumbang terbanyak serdadu KNIL. Tahun 1916, terdapat 17.854 orang Jawa; 1.792 orang Sunda; 151 orang Madura; 36 orang Bugis; 1.066 orang Melayu; 3.519 orang Ambon; 5.925 orang Menado dan 59 orang Alfuru dalam formasi KNIL. Banyak orang Jawa kan? Eyang buyut bagian dari serdaduy KNIL Jawa. Dia dari Bagelen.



Kata Adik Eyang Kakung lagi, Mbah Sireng pernah dikirim ke beberapa daerah di Nusantara. Ke Nias, Aceh dan daerah lainnya. Aku hanya bisa bayangkan kalau Mbah Sireng adalah bagian dari Serdadu Jawa yang tidak pakai sepatu kalo berjalan kaki dan bertempur. Orang Jawa paling sial di KNIL. Sepatu tidak pakai, gaji paling kecil.



Ada yang bilang Orang Jawa tidak loyal. Tapi tidak demikian kata menantu Van Heutz, si Jenderal Perang Aceh.Menantuy Van Heutz ituy menulis:



“Prajurit Jawa tidak rendah kualitasnyua, tetapi direndahkan oleh kita sendiri, orang-orang Belanda. Apakah kita tidak belajar dari sejarah perang Jawa, dimana orang-orang Jawa dapat berperang dengan gagah berani serta nekad, meskipun melawan kita, orang orang Belanda, yang jumlahnya lebih banyak. Karena ia tahu berperang untuk tujuan mulia. Kita tidak boleh melupakan orang Jawa setelah orang Aceh adalah lawan kita paling tangguh dan berani.”



Sejak itu Serdadu KNIL Jawa Bersepatu. Dan Mbah Sireng pun jadi Serdadu KNIL bersepatu. Pangkat terakhir Mbah Sireng adalah Spandrig. Dia rajin dimutasi petinggi KNIL ke beberapa daerah di Indonesia. Dia lalu dapet pensiun dari pemerintah kolonial. Kata Adik Eyang, uang pensiun spandrig KNIL Jawa cukup untuk hidup. Dengan uang itu anak Mbah Sireng, kakek dan saudaranya, bisa belajar baca tulis tanpa perlu jadi serdadu. Anak Mbah Sireng terbiasa dengan dunia serdadu. Anak tertuanya, seorang wanita, kawin dengan serdadu KNIL yang kemudian masuk TNI di zaman revolusi. Ketiga anak lelakinya, tidak ada yang jadi KNIL. Anak lekaki tertua, Eyang buyutku pernah jadi tentara Republik di zaman revolusi. Dia pernah jadi tawanan tentara Belanda. Hebatnya dia sukses kabur waktu mandi di sebuah kali. Entah di kali mana? Arah larinya ke kampung halannya di bagelen.



Di kampung eyang Buyut menikahi seorang gadis kampung juga, yang kelak jadi Eyang putriku. Waktu Tentara Belanda pergi, Eyang kakung dapet panggilan jadi serdadu lagi. tapi panggilan itu tidak dipenuhi. Dia pilih hidup tidak jadi serdadu seperti ayahnya, Mbah Sireng. Dia pilih kerja di Pertamina jadi terrain bewaging alias petugas keamanan di kilang minyak Balikpapan. Kata Eyang Putri, Eyang kakung jago nyanyi krongcong. Anak Lelaki kedua, dia pensiunan Pembantu Letnan TNI, istilah jaman Belandanya Adjudant. Dia dinas di kesehatan tentara KODAM Siliwangi. Di zaman revolusi, usianya baru belasan tahun. Dia suydah ikut jadi tentara republik.semasa revolusi ini Mbah Sireng wafat. Dia pergi dengan damai. Dan disemayamkan di sebuah bukit.Anak laki-laki terakhir tidak jadi serdadu. Namun menikahi anak serdadu juga. Putri seoran TNI danhidup tenang di Jogja. Dialah adik bungsu eyang kakung yang bercerita banyak pada saya soal Eyang Buyut yang serdadu KNIL, tentang Bagelen, tentang Bagus Kendo dan lainnya. Kami memanggilnya Mbah Sihir.



Imajinasiku selalu membayangkan, bedil Mbah Sireng menembaki para pemberontak yang ingin merdeka. Aku tidak menganggapnya jahat, meski tidak juga membenarkannya. Karena itu tugasnya sebagai serdadu kompeni. Itu pilihan hidupnya.



Jika dia datang ke suatu daerah dengan bedilnya danpanji-panji negara di zamannya. Aku hanya perlu membawa buku. Entah ke Nias, Aceh, Sulawesi, atau ke tempat lainnya. Aku harus bawa buku saja. Ya kami, Mbah Sireng dan aku, hidup di zaman berbeda. Juga dengan pilihan dan jalan berbeda pula. Diam-diam aku bangga padanya sebagai orang yang berpindah-pindah tempat. Rasanya, darah backpacker dalam diriku datang darinya.



Sesekali aku selalu berceloteh, "aku anak KNIL" dan kenalanku tertawa. Dia adalah serdadu KNIL tulen berpangkat spandrig. Sebagai cicitnya, saya hanya pemerhati sejarah militer yang sering bicara dan menulis tentang KNIL. Beberapa orang bilang saya adalah sejarawan KNIL. KNIL menjadi penghubung saya dengan Eyang buyut saya.





Tulisan ini hanya sejarah kecil tentang orang kecil, dalam hal ini Eyang buyut saya. Kita punya sejarah keluarga kita sendiri. Dan tidak jarang itu menarik bagi kita sendiri. Saya yakin semua orang yang ingin menulis sejarah keluarganya, bisa melakukannya. Menulis sejarah kita sendiri.

Bekas Vaandrig Itu

Mereka bekas serdadu kolonial berpengalaman. Namun revolusi memecah mereka. Dan revolusi juga buat mereka kecewa.



KNIL punya banyak vaandrig, alias perwira muda rendahan. Banyak diantaranya melampaui pangkat diatasnya. Banyak yang bilang, keberadaan perwira pribumi dalam KNIL adalah keterpaksaan. Karena butuh banyak perwira lapangan. Pangkat tertinggi perwira pribumi yang bertugas di pasukan umumnya mayor. Namun ada juga yang menjadi Letnan Kolonel namun di kesehatan.[1]

Bekas perwira KNIL pribumi, berdasarkan berita radio tanggal 9 Maret 1942 KNIL telah dibubarkan dan seluruh prajurit KNIL tidak lagi terikat dengan sumpah setia Ratu Belanda

Perwira macam ini pastinya mengalami masa pahit pendudukan Jepang yang membuat mereka dendam. Bagaimana tidak, pendudukan Jepang memberi perlakuan khusus kepada bekas perwira KNIL yang tentu saja tidak diberi kesempatan untuk berkarir sebagai perwira militer dalam PETA—karena paham profesionalisme KNIL sebagai militer dengan pengaruh barat. Dimasa pendudukan Jepang Suriosentoso juga diawasi Jepang meskipun kerap berhubungan dengan kelompok bawah tanah Syahrir.[2]

Pasca Proklamasi Sukarno Hatta, sebagian bekas perwira KNIL itu mendukung gerakan kemerdekaan republik Indonesia. Mereka berdiri dibelakangnya dan siap melaksanakan apa yang dimintah pemerintah baru, Republik Indonesia.

Didi Kartasasmita, salah satuy dari bekas perwira KNIL itu, ikut menentukan keberpihakan bekas perwira KNIL pada republik baru. Dikalangan bekas perwira KNIL sendiri paling dominan dalam TNI adalah KNIL angkatan-angkatan terakhir macam Nasution setelah kelompok perwira tua tersingkir satu persatu dari tentara baru itu. Didi adalah lulusan KMA Breda tahun 1938 dan menjadi perwira KNIL sampai PD II meletus dan akhirnya diinternir Jepang.

Sebagai dukungannya pada Republik, Didi mencari para bekas KNIL yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk mengumpulkan tanda tangan untuk mendukung pernyataan yang dibuatnya bersama Soedibyo dan Samidjo.[3]

Di lain tempat, ada beberapa eks perwira KNIL yang ikut KNIL lagi. Ketika KNIL dibangun kembali beberapa mantan perwira KNIL seperti Mayor Surio Sentoso, Kapten Kavaleri Suryobroto, Mayor Sugondo, Letnan Satu Hamid Algadrie bergabung kembali dengan KNIL. Beberapa mantan KNIL bahkan sudah diculik untuk berabung kembali dalam KNIL.[4]

Terdapat juga nama Poerbo Soemitro (kelahiran tahun 1915). Dia menjadi Letnan II sejak 1939, pastinya mengalami ikut berperang melawan Jepang sebelum kapitulasi Kalijati.[5] Diawal kemerdekaan, Poerbo Soemtro yang ditemui Didi Kartasasmita ketika memgumpulkan petisi bekas perwira KNIL untuk mendukung kemerdekaan RI, mendukung isi petisi itu. Belakangan, Poerbo Soemitro justru menyeberang kepada tentara Belanda. Bersama istrinya Poerbo Soemitro mengikuti tentara Belanda yang kembali ke Negeri Belanda.[6]

Sultan Hamid Alqadrie II sebagai perwira KNIL yang mengalami masa interniran setelah kalah dalam pertempuran di Balikpapan, juga pembunuhan Tentara Jepang terhadap ayahnya yang Sultan Pontianak dan anggota keluarganya yang lain, setidaknya membuat Hamid membenci kekejaman fasisme Jepang.[7]

Pemerintahan RI yang baru dengan formasi Sukarno dan Hatta, yang terlanjur dicap sebagai kolaborator fasisme Jepang bahkan juga penjahat perang dimata sekutu, tentu saja tidak menarik simpati sama sekali dari Hamid. Sukarno dan Hatta yang identik dengan Jepang dan cukup mengundang antipati dari sekutu, dimata Hamid bukanlah sosok yang layak dihormati sebagai pemimpin negara baru. Inilah mengapa kemudian Sultan Hamid II terlibat dengan Belanda dalam BFO yang berusaha memperlemah posisi RI.[8]

Hamid adalah lulusan KMA Breda juga.[9] Dia cukup lama jadi Letnan KNIL. Dan pernah alami sebuah diskriminasi rasial juga. SROI yang didirikan atas prakarsa Sultan Hamid II itu untuk mencetak perwira tentara federal BFO itu.[10] Dari latar belakang Hamid dapat diramalkan bagaimana arah sekolah perwira itu. Model perwira itu bisa saja sama dengan para lulusan KMA Breda. Tentara BFO itu juga tidak jauh dari model militer KNIL.

Kolonel Sugondo juga mantan KNIL yang kecewa dengan keadaan. Menurut Hamid beberapa perwira yang kemudian gabung dengan APRIS mengeluh. Menurut Hamid “Perwira-perwira itu, di Kementrian Pertahanan hanya doiberi meja saja dengan tidak diberi komando” oleh petingg APRIS.[11]

Kolonel Soegondo sebenarnya sudah dinyatakan pensiun tahun 1939.[12] bekas perwira KNIL pribumi yang berpihak pada Belanda selama revolusi kemerdekaan umumnya telah berpangkat perwira menangah, sudah mayor, sebelum PD II berlangsung.

Satu persatu mantan Perwira KNIL seperti Urip Sumoharjo menghilang daari markas Besar TKR dan Didi Kartasasmita lalu mengundurkan diri dan hidup di Pariangan karena merasa tidak lagi diterima dalam Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat. Usia tua membuat Oerip harus mundur dari pertarungan antar kepentingan dalam Markas Besar TKR. Perannya untuk TKR dianggapnya sudah cukup dalam pendirian Markas Besar TKR di Jogjakarta. Organisasi Tentara pun sudah dia rancang. Sebagai sosok yang tidak ambisius, dirinya merasa lebih baik mundur dan jalani hari tuanya dengan tenang.

Markas Besar TKR hanya menyisakan beberapa mantan perwira KNIL yang lebih muda. Suryadarma dan Didi Kartasasmita lalu digolongkan sebagai orang tua setelah kepergian Urip dari dinas militer. Perwira lain adalah perwira mantan KNIL muda seperti Nasution dan Simatupang. Meski muda, mereka cukup brilyan dalam TKR, meski juga tidak disenangi. Nasution adalah satu-satunya mantan perwira KNIL yang bisa mencapai jabatan tertinggi dalam Ketentaraan, sebagai KSAD lalu menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang dalam kurun waktu yang cukup lama dan berliku karena ditentang banyak perwira mantan PETA.[13]

Didi, mengaku berberat hati, menulis surat pengunduran dirinya pada Presiden tanggal 20 april 1947. Surat itu tidaklah berbalas dengan pengabulan dari pemerintah. Didi tetap saja diberi posisi tidak strategis di ketentaraan selama setahun lebih. Akhirnya, pada 31 Juni 1948, Didi resmi tidak berhubungan dengan tentara republic yang pernah dia bangun. Pasca pengunduran dirinya Didi kembali ke Jawa barat. Dalam perjalanan, Didi dibawa tentara Belanda yang menangkapnya ke Purwokerto. Dari Purwokerto Didi dibawa ke Semarang. Dan terbang dari lapangan udara Jatingaleh ke Jakarta. Didi kemudian menetap di Bandung. Dimana Didi dibujuk untuk jadi komandan Veilligheids Bataljon Negara Pasundan. Namun Didi lebih memilih bekerja di dinas kesehatan Negara Pasundan saja.[14]

Disbanding, Sultan Hamid II, Soeriasentoso dan lainnya, Didi jauh dari klaim pengkhianat Indonesia. Meski kecewa setidaknya Didi pernah membangun tentara republik di awal kemerdekaan. Mengapa Didi masuk ke daerah pendudukan Belanda? Mungkin adalah salah satu bentuk kekecewaannya pada tentara republik yang pernah dibangunnya bersama Urip Sumoharjo.

Rupanya tidak hanya Didi saja yang keluar, mantan perwira KNIL lain yang keluar dari tentara republik adalah Kolonel Samidjo dan Jenderal Mayor Soedibyo.[15] Mereka tampaknya juga kecewa.

Mereka semua, mulai dari Hamid, Soegondo, hingga Didi adalah orang potensial yang kecewa pada keadaan. Ada yang kecewa dengan Negara baru yang dipimpin kolaborator Jepang, Sukarno-Hatta. Ada yang kecewa dengan sekelompok perwira bekas didikan Jepang yang dominan di ketentaraan. Dan lainnya. Hingga mereka mau bekerja sama dengan musuh. Hal yang manusiawi.





[1] Harsya Bachtiar, Siapa Dia?Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 4-5.



[2] George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution In Indonesian, ab. Nin Bakdi Soemanto, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, tanpa kota, UNS Press & Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 432-434.



[3] Rosihan Anwar, Sejarah Kecil “La Petit Histoire” Indonesia, Jakarta: Kompas, 2004, hlm. 251-253.



[4] Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid II, Bandung, Angkasa dan Disjarahad, 1977, hlm. 215.



[5] Harsya Bachtiar, Siapa Dia?Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 4.



[6] Didi Kartasasmita bertemu kembali dengan Poerbosoemitro pada perayaan 150 tahun berdirinya KMA Breda tahun 1978 di Negeri Belanda. Poerbo Soemitro, seperti pengakuan Didi, pernah menjadi perwira KL di Suriname dan mencapai pangkat yang cukup tinggi dalam KL. (Tatang Sumarsono, Didi Kartasasmita: Pengabdian Untuk Republik, Jakarta, Pustaka Jaya, 1995, hlm. 114.)



[7] Sultan Hamid II sendiri beristrikan wanita Belanda. Dikalangan orang-orang Eropa, Sultan Hamid biasa dipanggil, dengan nama Eropa, Max.



[8] Hamid melihat peluang berdirinya sebuah pemerintahan lain non RI diluar Jawa melalui BFO-nya. Pandangan buruk dari orang-orang pro republik kapada Hamid semakin kentara sekali ketika terjadi Kudeta 23 Januari yang digerakan Westerling. Disini Hamid, seperti banyak dituduhkan dan diakuinya sendiri, jelas terlibat bahkan menjadi otak atas peristiwa yang rencananya akan membunuh beberapa pejabat dan melukai Hamid sendiri.



[9] Buku Kenang-Kenangan Alumni KMA Breda. Yayasan Wira Bakti. Tanpa kota dan tahun. Hlm. 82



[10]Ibid.



[11] Persatuan Djaksa-djaksa Seluruh Indonesia, Peristiwa Sultan Hamid II, Jakarta, Fasco Jakarta, 1955, hlm. 156.



[12] Harsya bachtiar, Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD, Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 5.



[13] Ulf Sundhaussen, Road to Power: Indonesian Army, ab. Hasan Basary, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES, 1982., hlm. 70.



[14] Tatang Sumarsono, Didi kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan, Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 1993, hlm. 210, 238-256



[15] Ibid., hlm. 223.