Minggu, Desember 30, 2007

Makassar Yang Panas (Agustus 1950)

Beberapa hari setelah pelantikannya sebagai perwira TNI, Andi Azis beserta pasukannya menyerang perumahan perwira TNI di staf kwartier dan asrama CPM di Verlegde Klapperlaan (jl Walter Mongisidi). Alibi pemberontakan adalah akan mendaratnya pasukan TNI, Batalyon Worang, pada April 1950 ke Sulawesi Selatan. Berita akan terjadinya pendaratan itu mendapat tentangan dari Andi Azis. Andi Azis menyatakan: “buat apa didatangkan pasukan APRIS dari Jawa, toh pasukan ex KNIL di Makassar-pun telah pasukan APRIS dan sanggup mengamankan NIT.”

Tindakan Andi Azis untuk menentang kedatangan TNI di Makassar mendapat dukungan dari banyak serdadu KNIL di MAkassar dan sekitanya. Sebelum penberontakan mereka mengadakan rapat tanggal 3 April 1950. Bekas serdadu KNIl tersebut membentuk ‘Panitia Pembentukan Peralihan KNIL ke APRIS’ yang disingkat PPPKA. Sebagai ketua, ditujnjuk bekas Sersan Mayor (KNIL) Christoffel. Rapat ini dikunjungi 700 orang anggota KNIL. Mereka mengeluarkan mosi: mendesak pucuk pimpinan KNIL dan APRIS supaya KNIL Makassar dimasukan ke APRIS; mendesak pemerintah RIS supaya pengiriman bekas TNI ke Indonesia timur ditunda untuk sementara waktu; mendesak pemerintah NIT mencegah kedatangan di Makassar dan seluruh NIT dari APRIS bekas TNI. Alasan yang dikemukakan dalam mosi itu adalah belum ada jaminan keamanan untuk anggota-anggota KNIL.

Hari rabu 5 April 1950 pukul 5 pagi, pasukan Andi Azis mengadakan gerakan pendadakan, menyerang asrama CPM dan perumahan perwira Staf Kwatier TNI. Dalam seranga ini letnan colonel Mokoginta dan pengawalnya disandera. Sebagian CPM tertawan dan sebagian lagi mundur untuk selanjutnya bergerilya. Mengenai tertawannya Mokoginta: sekitar pukul 5 subuh 5 April 1950 itu seorang komandan peleton dari pasukan Andi Azis dengan pangkat Pembantu Letnan datang pada Mokoginta dengan diantar letnan du Tumbelaka. Pada Mokoginta diminta diminta agar dirinya datang ke kamp Andi Azis. Sebagai Letnan Kolonel, permintaan dari kapten bawahannya itu ditolak oleh Mokoginta. Ketiak Mokoginta hendak menelpon Andi Azis, rupanya jaringan telepon telah diputus. Ketika akan berangkat ke markasnya, Mokoginta dicegat seorang bintara dan tiga anak buahnya. Tanpa bisa melawan Mokoginta-pun ditahan setelah yakin keluarganya aman. Bersama stafnya dia dibawa ke markas Andi Azis.

Kepada Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginto, Andi Azis—yang dalam TNI berstatus bawahan—mengatakan pada Mokoginto: “Het Pijt me, Overste, maar ik moct het doen”
Setelah Andi Azis menawan panglima TNI itu, pasukannya ditempatkan didaerah strategis dinbalik-balik bukit untuk menghadapi pendaratan Worang. Mereka mengatur arah dan posisi senjata watermantel mengarah ke kapal. Sebuah pesawat pembom B-25 Mitchel, rupanya telah siap membantu perlawanan Andi Azis. Dengan Mokoginta ditangan, Andi Azis meminta lewat Mokoginta agar pasukan jangan mendarat. Kekuatan pasukan Andi Azis ada sekitar 800 orang dengan senjata lengkap dengan lindungan senjata berat dan kendaraan lapis baja kL di Makassar yang berhasil dirampas.

Ketika pasukan Andi Azis berontak, letnan Kolonel Musch, pimpinan militer Belanda di Makassar tidak bisa berbuat apa-apa. Tanggal 5 April itu juga, kapal Waekelo dan Bontekoe yang mengangkut seribu prajurit TNI dari Batalyon Worang tiba di pantai Makassar. Karena kapal tidak bisa merapat, maka kapal bertahan di laut. Karena ada beberapa anggota kelurga pasukan, maka kapal untuk sementara mendarat di seberang pulau Sulawesi. Ada anggota keluarga pasukan yang untuk sementara ditinggalkan di Balikpapan karena kota Makassar jelas tidak aman—termasuk bagi penduduk Makassar sendiri apalagi pendatang dengan seragam TNI.

Tindakan Andi Azis tidak mengatasnamakan KNIL tetapi APRIS dan pemuka NIT macam Sukowati tidak ada sangkut paut denga gerakan militernya. Tujuan utama Andi Azis adalah memerptahankan NIT. Pemerintah NIT sendiri justru kecewa atas tindakan Andi Azis itu, seperti pidato PM Diapari di Radio Makassar pada tanggal 7 April 1950. Dua hari sebelumnya pemerintah mengeluarkan ultimatum pada Andi Azis yang memperingatkan Andi Azis untuk kembali ke Asrama dan tawanan dilepaskan; menyerahkan senjata-senjata pada yang berwenang dan Andi Azis diminta menghadap ke Jakrta. Sayangnya ultimatum tidak respon dengan cepat oleh Andi Azis. Karenanya pemerintah kirim pasukan lebih besar ke sana dibawah komando Kawilarang. Setelah menyerah ke Jakrta dan diadili Andi Azis dipenjara selama 14 tahun.

Jumlah tentara KNIL antara tahun 1945-1949 adalah sekitar 60.000 personil. Dalam formasi KNIL saat itu, komposisi serdadu Ambon dan non Ambon secara keseluruhan adalah satu banding lima. Mereka tinggal dalam tangsi-tangsi bersama anak dan istrinya. Orang-orang Ambon yang masuk KNIL biasanya beragama Kristen Protestan.
Sewaktu pemberontakan Andi Azis memberontak, Julius Tahiya—perwira KNIL terpopuler pribumi yang pernah bergerilya melawan Jepang di Maluku semasa pendudukan Jepang—pernah diajak pemberontak untuk amabil bagian, namun Julius menolak karena tidak lagi tertarik untuk menjadi seorang militer. “Selama Perang Dunia II aku bertemu dengan beriribu tentara Hindia Belanda. Sebagian lari ke Australia pada tahun 1942. Yang lain ditangkap Jepang dan ditahan di Biak, sebuah pulau kecil di barat daya Papua Nugini. Sekutu membebaskan mereka tahun 1944, dan menerbangkan mereka ke Australia. Disana mereka dilatih kembali dan digabungkan dalam unit-unit yang ditugaskan ke Hindia Belanda. Aku meminta agar penugasanku dalam Angkatan Perang Indonesia berlangsung selama dua tahun saja, karena aku tidak mau bekas tentara Hindia Belanda menganggap mereka pimpinanku. Mereka harus menerima diri mereka sebagai bagian dari angkatan bersenjata Indonesia yang merdeka. Salah satu tugasku adalah terbang ke Makassar untuk memeriksa keadaan bekas tentara Hindia Belanda di sana. Tentara-tentara itu lengkap dan telah mengenyam pengalaman yang cukup selama Perang Dunia II. Aku sengaja tidak memberitahukan rencana kedatanganku, dan pergi sendirian tanpa senjata, tanpa seragam. Dalam perjalanan ke Ujung Pandang pilot memanggilku ke kokpit. Ia memberitahu bahwa Kapten Andi Azis, pemimpin bekas batalyon tentara Hindia Belanda yang baru saja dialih-tugaskan ke Angkatan Bersenjata Indonesia, telah menangkap Kolonel Mokoginta, komandan disana. tindakan indisipliner ini jelas tidak dapat diterima. Tak lama aku stelah masuk hotel, tiga orang tentara yang memakai seragam tentara Hindia Belanda dan membawa senjata memberi hormat padaku. Aku mengenali mereka. Mereka adalah teman-teman dari Maluku yang pernah aku kenal ketika Perang melawan Jepang. Mereka meberi hormat. Pemimpin mereka berkata. “Kami meminta maaf. Tapi bapak harus kami tangkap”. “Kalian mau menangkapku?” tanyaku. “Siapa yang menyuruh kalian menangkapku?” Menurut mereka perintah itu datang dari Soumokil, seorang Ambon yang mau memisahkan Maluku sebagai negara sendiri. “Ya Betul. Kami harus menangkap bapak.” “Baik kalau begitu kalian harus memaksa saya.” Tentara-tentara Belanda itu tampak ragu, lalu berbisik-bisik. Akhirnya pimpinan mereka berkata, “Kami akan lapor komandan bahwa bapak tidak mau ikut dengan kami.” “Baik. Silahkan.” Aku segera meninggalkan hotel karena tahu bahwa sebentar lagi seseorangf akan datang bersama tentara yang akan menyeretku. Aku tidur di rumah seorang teman dan pagi harinya berjalan ke barak tentara. Semua tentara memberi hormat. Ketika berjalan diantara mereka, mereka mengelilingiku. “Tolong kami” kata mereka. “Jadilah komandan kami. Pimpin kami untuk mencegah tentara Republik mendarat kemari.” Aku tahu bahwa mereka tidak punya kekuatan melawan tentara Republik, yang punya lebih banyak senjata. Aku berdiri diatas peti mati. “Dengar,” kataku. “Belanda sudah mengakui kedaulatan Indonesia. sekarang saya adalah bagian dari Republik. Kalian ‘kan tentara. Nama kalian termasuk dalam daftar yang dialihkan ke Angkatan Bersenjata Republik. Republik akan menerima kalian dengan tangan terbuka. Jangan memepersulit tentara Republik yang akan datang kemari, karena itu berarti melanggar apa yang telah ditetapkan PBB.” Aku memilih setiap kata dengan hati-hati. “Kalian prajurit sejati atau petualang?Kalau kalian Cuma sekedar petualang, seluruh dunia akan menyalahkan kalian.” “Kami prajurit!”. Seru mereka. Lalu mereka menepuk punggungku untuk meyuakinkan bahwa mereka tidak akan mebuat keributan.

Atas hal ini pemerinbtah pusat di Jakarta bereaksi dengan meberi ultimatum kepada Anbdi Azis melalui Radio RIS. Ultimatum itu tidak dipenuhi sesuai kemauan pemerintah, karena Andi Azis terlambat memenuhi panggilan pemerinta itu. Walau Nadi Aziz menyerah dan diadili di Jakrta, makaassar masih dalam kekacauannya. Pemerintah mengirimkan sebuah pasukan ekspedisi yang terdiri dari beberapa dari brigade di Jawa ditambah batalion Worang yang berang kat laebih dulu ke Makassar. Operasi ini dipimpin Alex Kawilarang.

Sabtu, Desember 29, 2007

Petualangan Andi Azis

Ini adalah simbol sekolah para Belanda, school voor opleiding tot parachutisten, dimana seorang Indonesia juga pernah menjadi instruktur disana. Mengejutkan sekali jika orang itu adalah Andi Azis yang memberontak di Makassar. Andi Azis adalah seorang mantan Letnan KNIL dan sudah masuk TNI dengan pangkat Kapten, dia ikut berontak bahkan memimpinnya. Dia memiliki riwayat yang sama uniknya dengan petualang KNIL lainnya seperti Westerling. Andi Azis memiliki cerita hidupnya sendiri. Cerita hidupnya sebelum berontak jauh berbeda dengan orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya. Tidak heran bila Andi Azis menjalanani pekerjaan yang jauh berbeda seperti orang-orang Sulawesi Selatan pada umumnya, sebagai serdadu KNIL. Bisa dipastikan Andi Azis adalah salah satu dari sedikit orang Bugis yang menjadi serdadu KNIL. Bukan tidak mungkin bila Andi Azis adalah orang Bugis dengan pangkat tertinggi dalam KNIL.

Andi Abdul Azis lahir di Sulawesi, diangkat anak oleh orang tua Eropa-nya yang membawanya lke Belanda dan ikut terlibat dalam PD II. Dirinya lalu kembali sebagai bagian dari tentara Belanda yang ysedang menduduki Indonesia. pasca KMB dia terlibat masalah serius dengan TNI karena kedekatannya dengan tokoh-tokoh federalis macam Saumokil yang memiliki posisi penting dalam Negara Indonesia Timur, Jaksa Agung. Berakhirnya Negara Indonesia Timur mengakibatkan.

Andi Abdul Azis asli Bugis putra orang Bugis. Andi Azis lahir tanggal 19 September 1924, di Simpangbinangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Pendidikan umumnya di Europe Leger School namun tidak sampai tamat. Andi Azis kemudian dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke negeri Belanda. Di Negeri Belanda tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938, selanjutnya meneruskan ke Lyceum sampai tahun 1944. Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri Belanda untuk menjadi menjadi seorang prajurit. Tetapi niat itu tidak terlaksana karena pecah Perang Dunia II. Kemudian Andi Azis memasuki Koninklijk Leger. Di KL, Andi Azis bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara Pendudukan Jerman (NAZI). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman—walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.

Di Inggris kemudian Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet (1945). Di bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan Jepang di front timur memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan ke komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat Sersan.
Andi Azis mungkin satu-satunya orang Indonesia yang mendapat latihan pasukan komando. Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut menjadi bagian, walau tidak secara langsung, dari kelahiran pasukan-pasukan komando dunia seperti SAS milik Inggris dan KST Belanda. Andi Azis, seperti halnya Westerling, merupakan orang-orang yang luar di negeri Belanda yang ikut membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa.

Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar. Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948. pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.

Tentu saja pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan. Kemampuan tempur pasukan itu diatas standar pasukan reguler Belanda—juga TNI. Daerah Cimahi, adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.
Pasukan Andi Azis ini menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak selama bulan April sampai Agustus di Makassar—disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Apa yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen—yang pernah dilatih Westerling—maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando. Westerling kurang didukung oleh pasukan KNIL—Westerling lebih menaruh harapan pada RST yang desersi. Pasukan lain non RST hanya pasukan pendukung semata. Pemberontakan Andi Azis, tulang punggung pemberontakan adalah semua pasukan tanpa melihat kualifikasi pasukan.



KNIL Pedamba Kemerdekaan

Tidak semua anggota KNIL benar-benar memihak Belanda setelah pendaratan tentara Autralia, orang-orang KNIL golongan ini disebut angkatan baru. Alasan utama mereka bertahan di KNIL yang berperang demi ratu Belanda, tidak lain karena alasan perut saja. Hampir semua anggota KNIL biasanya hanya bisa menjadi tentara profesional dan tidak memiliki keterampilan. Tidak pekerjaan lain selain menjadi serdadu, apalagi dalam kondisi perang. Inti KNIL angkatan muda ini adalah antara lain bintara Salendu dan kawan-kawan. Mereka adalah bekas batalyon vechtwagen KNIL sebelum tahun 1942. mereka ditawan Jepang di rabaul dan Filipina bersama pasukan sekutu lain yang tertangkap. Tahun 1943 mereka dibawa ke Morotai. Dari rombongan ini 30 orang kabur dari kamp tawanan dan bergerilya bersama dengan pasukan sekutu dari Australia yang berhasil menyusup. Salah satu dari kelompok ini adalah Lembong, yang kemudian terbunuh sebagai letnan kolonel TNI oleh pasukan Westerling didepan markas SIliwangi di Bandung.
Tahun 1944 Morotai berhasil oleh Tentara Amerika dari tangan Jepang. Gerilyawan itu oleh panglima sekutu disuruh berhenti bergerilya dan melapor pada kepala kampung setempat. Bekas gerilyawan itu akhirnya dimasukan dalam komando tentara Australia. Anjuran itu tidak hanya ditujukan kepada bekas KNIL bekas internir tapi juga kepada bekas Heiho. Tanpa diduga KNIL bekas tawanan Jepang dan bekas Heiho itu rupanya diserahkan pada komando Belanda yang masih belum mapan kala itu. Belanda rupanya akan membentuk gezagstroepen untuk menjadi tentara polisi kolonial kembali di Indonesia setelah sekutu berhasil megusir Jepang. Tentara Belanda membangun kekuatannya kembali dan nyaris tidak peduli dengan pertaruhan kekuatan yang dilakukan sekutu dalam perang tersebut.
Di Morotai sendiri telah berdiri Leger Organisatie Corps (LOC), dimana para bekas KNIL, Heiho, Romusha dan lainnya yang terkait dengan Hindi Bekanda dilatih untuk menjadi serdadu kolonial. Mereka ini tidak mengatahui perkemnbangan yang terjadi di Jawa. Samapi sersan mayor Mamuaya, yang bekerja di dinas perhubungan menangkap berita proklamasi dari radionya. Berita ini diteruskan pada kawan-kawannya. Sebuahh komplotan terbentuk. Beberapa bintara seperti Salendu, Loloan, Mangundap lalu menghubungi seorang perwira NICA bekas Digulis. Berita dan rencana komplotan itu diterima, oleh bekas Digulis yang diperalat menjadi pejabat NICA itu, dengan gembira walau diselingi dengan keraguan. Keraguan atas peluang sukses dari pemberontakan itu tidak lain karena jarak Jawa dan Halmahera yang jauh sehingga pemerontakan tidak akan bertahan lama.
Digulis itu rupanya belajar dari kegagalan pemeberontakan PKI 1926/1927 juga pemberontakan Zeven Provinsion 1933. Pemberontakan itu dengan mudah dipatahkan oleh pemerintah kolonial. Perubahan tidak terjadi dan pelaku pemberontakan dan orang-oarang terkait lain menjadi sasaran penangkapan—tentunya pemerintah kolonial akan bersikap lebih keras lagi pada pemberontak.
Aksi tersebut akan dimulai dari kompi mereka. Sekitar 30% dari seluruh isi kompi telah tergabung dalam komplotan. Sayangnya pihak intelejen mencium rencana mereka. Suatu hari, secara mendadak, mereka dinaikan kapal tanpa diketahui kemana mereka akan dibawa dengan kapal Ophir. Sebelum berangkat terjadi perkelahian antara prajurit Australia dengan Belanda karena prajurit Belanda begitu tamak dengan membawa seluruh amunisi yang ada. Awak kapal ini adalah orang Cina dan Australia. Pelaut Indonesia sudah menolak bekerja kepentinga orang-orang Belanda. Menurut kabar, tujuan Ophir adalah Jakarta yang sedang mebawra oleh pemuda republik. KNIL Inodonesia itu juga sudah dengar kabar akan adanya BKR di Jawa. Dalam kompi tadi hanya ada dua orang Belanda, komandan kompi dan komanda peleton. Mereka berniat berontak di kapal tapi ada suara lain—yang meninginkan tidak berontak dan akan bergabung dengan BKR bila mereka tiba di Jakarta. Kaum pemberontak KNIL itu terbagi dalam dua kubu, masalahnya hanya, berontak sekarang atau nanti. Setelah diadakan perhitungan suara, mereka sepakat untuk berontak setalah sampai, nanti. Kapal itu tidak pernah sampai ke Jakarta melainkan akan ke Makassar. Disana juga sedabng bergolak kaum pemuda pribumi sehingga kapal untuk smentara tidak bisa bersandar. Rencana agak berubah sedikit, mereka akan berontak di Maksaar saja.
Harus disadari oelh bangsa Indonesia saat ini, tidak semua anggota KNIL adalah orang-oarang yang pro Belanda. Pernah ada pemberontakan bekas KNIL di Minahasa. Walau pemberontakan itu gagal, pemberontakan oitu membuktikan pada kita bahwa didalam KNIL—yang notabane adalah masuk angkatan perang Belanda di Indonesia—mereka bukan berarti 100% berpihak pada Belanda. KNIL adalah militer profesional dan bukan PETA yang fanatik. Orang-oarang Indonesia yang bekerja di dinas militer Belanda umumnya karena tuntutan perut. Gaji di di KNIL lebih baik dibanding gaji TNI sekarang.
Ketika KMB ditandatangani, terdapat 66.000 personil anggota KNIL. Dimana 55.000 orang diantaranya adalah orang-orang Indonesia dari berbagai suku. Pembubaran bekas tentara kolonial ini menimbulkan banyak masalah, seperti dalam kasus Andi Azis. Banyak bekas KNIL dari Ambon ingin kembali ke masyarakat namun hal ini tidaklah terlaksana. Dari 55.000 orang anggota KNIL itu, terdapat 26.000 orang akhirnya masuk TNI dan 17.000 orang bekas KNIL memilih kembali ke masyarakat—sebagai penduduk sipil biasa.

KNIL di Nusantara

KNIL adalah didirikan pertama kali tahun 1830 ketika van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Selama puluhan tahun, KNIL dimata pemerintah kolonial di Batavia terbilang sukses dalam menumpas berbagai pemberontakan di nusantara—walaupun masih ada pemberontakan kecil yang terus meletup. Tujuan didirikannya KNIL jelas bisa ditebak, menegakan kekuasaan kolonial secara de facto atas Hindia Belanda dalam rangka memperkaya kerajaan Belanda dengan melakukan berbagai eksploitasi isi tanah Hindia Belanda. Penguasa lokal bisa menjadi pengha;lang rencana itu karena merasa terganggu. Hal itu bisa berbuah menjadi sebuah pemberontakan. Jadi tugas KNIL paling utama menghabisi perlawanan dalam negeri—didalam koloni Hindia Belanda—dan sebagai militer KNIL hanya difokuskan didalam negeri saja. KNIL bukanlah sebagai angkatan perang yang ditugaskan untuk menghadapi musuh dari luar

Perekrutan prajurit bawahan KNIL dilakukan hanya dibeberapa tempat saja di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial, seperti memiliki kebijakan tidak tertulis, hanya merekrut prajurit KNIL dari daerah-daerah yang tidak terjadi pergolakan—atau setidaknya, selama beberapa waktu tidak memiliki permusuhan dengan pemerintah kolonial. pemuda-pemuda dari daerah-daerah sekitar Ambon, Menado, Minahasa adalah lokasi perekrutan ideal, sebelum akhirnya orang-orang Jawa dengan adanya basis militer Belanda di Gombong.
KNIL, dalam sejarah identik dengan suku Ambon yang dicap Belanda hitam—karena banyak yang melakukan Gelijkgesteld. Steriotip bahwa Ambon identik dengan KNIL telah banyak menjebak orang-orang untuk berpikir bahwa serdadu KNIL banyak yang berasal dari orang-orang Ambon. Sebenarnya sebagian besar serdadu KNIL berasal dari Jawa—saat itu Jawa sudahmenjadi pulau, juga suku, dengan populasi terbesar di Hindia Belanda. Hanya saja prajurit KNIL dari suku Ambon memiliki pengaruh dominan dalam KNIL.
Orang Ambon bersama orang-orang Menado dan Eropa lainnya adalah formasi terdepan dalam pertempuran. Orang-orang Ambon mungkin lebih dulu direkrut dalam dinas militer kolonial dibanding suku-suku lain di Indonesia—tercatat sejak zaman Kapitan Yonker. Karena hal ini orang-orang Belanda menganggap orang-orang Ambon loyal terhadap pemerintah kolonial—sehingga pemerintah kolonial memberikan orang-orang Ambon—seperti juga orang-orang Minahasa dan Menado—fasilitas yang lebih baik daripada prajurit KNIL dari suku lain.
Masalah agama juga menjadi sumber perbedaan diantara kalangan KNIL sendiri. Sekitar 7.500 personil KNIL adalah orang-orang Katolik, baik Eropa totok maupun Eurasia. Kalangan katolik dalam KNIL ini mendapat perhatian dari kaum misionaris Eropa yang menyebarkan agama katolik di Indonesia. keuntungan mendapat kenaikan gaji, dengan menjadi seorang kristen menjadi sesuatu yang menarik bagi prajurit rendahan—kendati tidak semua prajurit rendahan pribumi melakukannya. Masalah kedisiplinan religius yang besar harus dihadapi imam serdadu kolonial itu terkait kebiasaan memelihara nyai didalam tangsi.
Pernah ada keinginan dari beberapa prajurit KNIL agar mereka tidak lagi disatukan berdasarkan suku melainkan kesamaan agama. Dalam KNIL pengarush agama protestan, meski tidak dianut oleh sebagian besar serdadu KNIL, adalah sebuah agama yang dominan—seperti yang dianut beberapa serdadu KNIL Ambon. Seorang pater bernama H.C. Verbraak yang pernah terlibat dalam rehabilitasi serdadu KNIL tahun 1882 yang ditangkap lagi setelah desersi menulis: “Pagi ini salah seorang desertir berdamai kembali dengan Allah. Ia berhasil mealrikan diri bersama seorang teman selam tiga minggu. Mereka mengalami penderitaan kejam diantara orang-orang Aceh, dan malah jauh lebih menyedihkan lagi para desertir ini menganut agama Islam. Orang-orang ini tergoda oleh rumor palsu mengenai kehidupan mewah diantara orang-orang Aceh. Barangkali tidak ada lagi keinginan untuk hidup diantara orang-orang Aceh.”.
Pemerintah kolonial berusaha menegakan disiplin tentara dengan menggunakan imam iman katolik mungkin juga pendeta protestan. Semuanya, diharapkan oleh pemrintah, akan menghindari desersi serdadu kolonial ytang sangat dibutuhkan dalam penegakan kedaulatan Hindia Belanda—yang kerap dirong-rong oleh orang-orang lokal anti koloniliasi Belanda yang datang tanpa bisa ditebak kapan akan terjadi.
Agama barat itu diserap dengan sangat baik oleh banyak serdadu KNIL, khususnya yang berasal dari Ambon, Menado, Minahasa. Hingga berakhirnya KNIL banyak serdadu KNIL, bila memang beragama, adalah penganut protestan atau katolik. Mereka nyaris tidak bisa menyatu dengan prajurit TNI yang mayoritas dan dominan dengan dengan kultur Islam—yang diantara menganut Islma kejawen.
Perbedaan agama dengan mayoritas pribumi itu bisa jadi menjadi faktor selain politis dan ekonomis yang membuat mereka begitu ingin bertempur dengan tentara Indoensia yang umumnya berbeda keyakinan dengan mereka. Dimana pada akhirnya banyak bekas serdadu KNIL yang lebih memilih meninggalkan Indoesia tanpa harus berpikir dimana tanah air mereka sebenarnya. Salah satu harapan, mereka tidak perlu pusing untuk hidup dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Didepan mata mereka, sudah muncul suatu ramalan, dominasi agama besar yang berbeda dengan mereka akan membuat mereka menjadi korban diskriminasi sosial dimasyarakat dimasa mendatang.
Dalam pertempuran orang-orang Jawa, berada dibelakang barisan orang-orang Ambon, Menado dan Belanda. Karena formasi ini pula timbul pemikiran bahwa orang-orang Jawa tidak loyal—atau mungkin juga tidak mampu bertempur. Pemikiran macam ini jelas salah, banyak juga orang-orang Jawa terpilih untuk menjadi prajurit Marsose—pasukian khusus Belanda yang mampu bergerilya dan beradu klewang dengan pertempuran jarak dekat. Bukti ini dalam dilihat dalam kerkof (kuburan militer) di Aceh—terdapat nama-nama Jawa, Ambon, Menado yang gugur sebagai prajurit Marsose. Beberapa orang Jawa juga telah mendapatkan medali kehormatan militer Belanda atas keberanian mereka dalam pertempuran—Militaire Willemsorde kelas IV.
Karena diskriminasi fasilitas dalam KNIL—selain karena sedang terjadi revolusi kemerdekaan yang hebat di Jawa—mengakibatkan tidak ada rekrutmen serdadu KNIL lagi di Jawa dalam jumlah besar. Bekas KNIL suku Jawa—yang setelah Jepang menduduki Indonesia dibebaskan oleh Jepang—lebih senang menjadi prajurit TNI yang belum mapan daripada bergabung kembali masuk KNIL yang diskriminatif. Ambil contoh Soeharto, Gatot Subroto dari kelompok bintara. Dari kelompok bintara ini KNIL, banyak yang kemudian diterima oleh Jepang untuk dijadikan perwira dalam PETA. Tentara pendudukan Jepang tidak menerima bekas perwira karena telah menerima pengaruh profesionalisme barat. Kepada prajurit PETA, para Jepang instruktur Jepang cenderung mendiskreditkan KNIL. Pamoe Rahardjo, mantan PETA, menulis: “saya lalu teringat dalam indoktrinasi sewaktu di PETA, selalu diajarkan bahwa KNIL adalah pasukan yang menjadi musuh pokok bangsa Indonesia”.
Banyak orang berpendapat bahwa orang-orang yang bekjerja untuk kepentingan pemerintah kolonial akan mendeapat banyak kesenangan. Hal ini tidak berlaku bagi KNIL. Sebagai serdadu KNIL mereka mendapat uang yang mungkin cukup untuk hidup dan sedikit bersenang-senang. Sebagai alat pemerintah mereka seolah diberi predikat pahlawan dimana orang-orang di Hindia menghormati mereka. Hal yang terjadi pada prajurit KNIL itu bukan sebagai orang yang dihormati sebagai pahlawan yang menegakan kekuasaan kolonial di nusantara. Serdadu KNIL, terutama prajurit rendahan sebenarnya berada dalam kondisi terisolasi dalam struktur masyarakat kolonial. Bukan hanya ketika sedang mengikuti ekspedisi namun ketika berada di garnisun tentara ketika tidak berperang. Meraka, prajurit KNIL itu hanya bisa bergantung pada diri sendiri dan kawan-kawan seprofesinya. Penduduk kota biasanya memandang sebelah mata pada mereka, para serdadu KNIL.
Mereka tidak temukan kenyamanan untuk bergaul dengan orang-orang biasa diluar tangsi kecuali kedai minum dan tempat prostitusi karena kebiasaan mereka pada minuman dan wanita. karenanya, prajurit itu lebih nyaman berada ditengah kawan-kawan KNIL-nya. Hal ini semakin lama makin mengisolasikan mereka baik dari masyarakat kolonial bangsa Eropa maupun orang-orang pribumi. Dimata banyak orang-orang pribumi profesi prajurit kolonial adalah rendah. Mungkin orang memandang mereka pembunuh, penzinah dan pemabuk—bukan karena mereka mematah perlawanan lokal di nusantara untuk kerajaan Belanda. Serdadu bawahan KNIL secara turun-temurun telah dijadikan kelas terhina dalam masyarakat kolonial.
Kehinaan dimasa kolonial jelas mereka rasakan, apalagi setelah revolusi kemerdekaan RI, dimana banyak hal kehinaan yang mereka terima. Rakyat Indonesia, setelah revolusi pasti begitu membenci hal-hal berbau kolonial, apalagi tentara kolonial yang menjadi alat penjajah di nusantara. Bekas KNIL pasca revolusi pasti meramalkan akan adanya kehinaan yang mereka terima dimasa-masa Indonesia merdeka. Kehinaan itu tentu diikuti dengan rasa permusuhan orang-orang opurtunis kini pro Republik pasti merasa bisa berbuat semaunya karena republik tampil sebagai pemenang. KNIL, dalam sejarahnya tidak mau menjadi pecundang, mereka telah patahkan banyak perlawanan rakyat lokal. Sangat tidak mungkin bagi mereka menerima penghinaan dari orang-orang pasca revolusi yang pro republik. Penghinaan yang akan diterima pasti lebih menyakitkan. Bukan lagi dianggap hina namun lebih dihinakan lagi. Dendam historis pasti banyak terjadi pasca revolusi.



PRoklamasi RMS

Beberapa bekas pasukan khusus KNIL dari Baret Hijau datang di kota Ambon pada 17 Januari 1950. Mereka berada dibawah pimpinan Samson. Sebagai pasukan khusus Belanda dan bersenjata, mereka memperlihatkan sikap yang tidak ramai pada penduduk Ambon. Mereka seolah ingin menjadi warlord. Pada 22 Januari 1950, beberapa orang Ambon yang baru saja keluar dari KNIL di Jawa datang ke Ambon berbuat ulah di Ambon. Mereka disertai beberapa anggota KNIL yang masih aktif di Ambon kemudian terlibat sebuah bentrokan dengan pemuda-pemuda pro republik. Sejak kedatangan Soumokil, kota AMbon semakin memanas. Sebagai bekas pejabat, Soumokil gagal memimpin semua bawahannya, khususnya bekas pasukan komando yang menjadi andalan RMS. Harusnya bekas pasukan komando Belanda itu loyal terhadap Soumokil. Hingga proklamasi RMS, tidak ada tim yang solid antara kelompok militer dan sipilnya. Akhir pemberontakan bisa ditebak. RMS seperti melakukan hal yang sia-sia.

Bekas pasukan baret hijau juga tidak jarang melakukan pemganiayaan pada pemuda pro republik. Pada kerusuhansebuah terjadi pada 22 Januari 1950 setidaknya 2 orang meninggal, 2 orang luka berat dan 15 lainnya luka ringan. Berdasar laporan resmi, kebencian menjalar begitu cepat di kalangan rakyat terhadap terhadap bekas KNIL tadi. Kondisi semacam ini tidak akan mampu menegakan kekuasaan Republik Indonesia di Ambon.
Rupanya kerusuhan itu juga tidak lain adanya isu bahwa setelah KNIL dibubarkan, maka bekas anggota KNIL dan juga mereka telah menentang Republik akan disingkirkan atau dihukum. Hasutan-hasutan itu tersebar semua kalangan prajurit KNIL sebelum KNIL benar-benar dibubarkan pada 26 Juli 1950.Hingga 27 Maret 1950, kondisi jota Ambon tetap panas seperti hari-hari sebelumnya. Eksistensi NIT saat itu tidak lagi jelas karena dukungan Belanda atas negara federal itu tentu semakin berkurang. Rakyat Ambon, yang masuh dalam wilayah Ambon minta, kepada kementerian Dalam Negeri NIT, adanya jaminan keamanan dan penegakan hukum tas wilayah Ambon dan sekitarnya. Kerusuhan tidak hanya terjada dikalangan orang-orang Ambon yang pro atau kontra terhadap Republik, tapi juga di dalam kalangan KNIL yang ada di Ambon sendiri. Perselisihan antara mereka adalah seputar pada kelompok-kelompok yang ingin masuk dan tidak ingin masuk TNI yang sebelumnya menjadi musuh mereka dalam revolusi 1945-1949.
Di Ambon, sebenarnya ada bebebarapa satuan KNIL yang ingin bergabung dengan TNI. Masalah mereka adalah mereka tidak mengerti bagaimana prosedur untuk bergabung dengan TNI. Seorang Mayor TNI yang berasal dari Maluku bernama Wesplat berusaha memberi solusi. Dia mengirim sebuah surat yang dititipkan pada seorang wanita separus tua anggota PNI—yang tidak diketahui namanya—yang berangkat ke Ambon. Surat yang kemungkinan digandakan ini ditujukan pada beberapa komanda KNIL yang dikenal oleh Wesplat. Isi surat itu adalah prosedur bagaimana cara bergabung dengan TNI. Surat itu juga sampai kepada Samson pimpinan Baret Hijau juga Nussy pimpinan baret merah disana. surat itu juga disampaikan kepada Sopacua pimpinan KNIL disana.
Wanita anggota PNI ini berusaha menjernihkan pikiran bekas KNIL yang akan dibubarkan itu. Dengan berani wanita ini bertemu dengan pimpinan pasukan baret yang kenal kejam itu. Tanggal 13 Februari 1950, wanita ijni bertemu Nussy, pimpinan baret merah. Kepada Nussy, wanita ini bercerita banyak bagaimana stuasi politik dan militer di Jakarta pasca Pengembalian Kedaulatan. Lebih jauh, wanita ini menceritakan bagaimana gembiranya orang-orang di Jakarta ketika mendengar kabar ada beberapa bekas KNIL yang akan masuk TNI di Ambon. Keesokan harinya, Wanita ini didatangi oleh Sopacua yang memimpin KNIL. Sopacua bercerita bagaimana bimbangnya anggota KNIL untuk bergabung karena adanya juga hasutan dari kalangan KL disana. Diantara bekas komandan tentara Belanda Ambon itu, hanya Nussy yang paling terbakar setelah menerima surat dari Wesplat. Tanpa pikir panjang, Nussy langsung menurunkan bendera Belanda di markasnya, tangsi Victoria. Setelah itu meletuslah pemberontakan terhadap Belanda.
Nussy kemudian memerintahkan kepada anak buahnya yang baret merah mengepung markas tentara Belanda yang ada di Ambon. Setelah itu Nussy mengajak seorang kepala daerah untuk memberontak. Namun yang terjadi justru Nussy diajak bertemu dengan seorang Indo-Belanda reaksioner bernama Kainama yang menjadi Mayor KL. Darisini terjadi perundingan rahasia yang melibatkan Nussy, Kainama, Manuhutu juga seorang perwira Belanda. Darisini lahir keputusan “anti masuk APRIS dan anti berontak melawan Belanda”. Ketika perundingan berlangsung, anak buah Nussy tetap menembaki tentara Belanda. Orang-orang yang hadir dalam rapat rahasia itu lalu datang ke tangsi Victoria untuk memadamkan pemberontakan baret merah itu. Beberapa orang baret merah mau berhenti, namun beberapa yang ingin masuk TNI tidak mau melakukannya dan terus menembak di dalam kota dan mengancam pasukan KL dan orang-orang pro Belanda. Pemberontakan ini mereda dengan sendirinya pada 16 April 1950 karena arah pemberontakan mereka tidak jelas dan tidak mengerti bagaimana melanjutkan pemberontakan. Insiden ini terjadi sekitar 5 April 1950.
Terjadinya kerusuhan di kota Ambon, mendorong Komisariat Tinggi Belanda di Jakarta untuk mengirimkan kapal “Kota Intan”. Kapal itu sedianya untuk mengangkut orang-orang sipil Belanda yang ada di Ambon. Dari Ambon mereka akan dibawa ke Jakarta—yang lebih aman dimata pejabat Belanda di Indonesia. Dinas Perhubungan Tentara Belanda di Jakarta mengumumkan, di kalangan 200 serdadu KNIL Ambon di Ambon terjadi sebuah masalah mengenai reorganisasi KNIL.
Mayor Jenderal J.J. Mojet, yang menjabat penasehat Umum Tentara dan Komandan Tentarqa Belanda dan Komandan Tentara Belanda di Indonesia Timur dari Teritorial Komisi NIT, telah berangkat ke Ambon untuk menyelediki masalah ini. Menurut Dinas Perhubungan Tentara Belanda, “walaupun penyelidikan masih dalam tingkat permulaan, tampak jelas, bahwa sebab dari keributan harus dicari pada ketidaksenangan karena militer KNIL tersebut sejak beberapa waktu tidak mendengar tentang pemindahan pada APRIS dan karena itu menurut perasaannya hari depan mereka berada dalam keadaan tidak pasti. Ini menyebabkan timbulnyasalah sangka dan salah menerima pada mereka, yang akhirnya memuncak dan mengambil putusan menyatakan tidak puasnya.
Di Ambon, Mojet disambut dengan penuh hormat oleh serdadu Belanda di tangsi Victoria. Tidak ketinggalan, musik Ambon juga menyabut Mojet. Hal ini menunjukan pada Mojet bahwa para serdadu KNIL di Ambon masih tunduk pada pemerintah Belanda. Sikap seperti ini tentu menutupi sebuah kenyataan dan perasaan sebagian serdadu yang tidak mau lagi tunduk pada bangsa lain seperti Belanda dan mereka adalah sekelompok orang pribumi yang ingin menjadi orang merdeka. Kemenangan bagi kelompok pro Belanda yang reaksiner dengan isi KMB dalam pasal yang mengatur status KNIL pasca pengembalian kedaulatan. Perselisihan antara mereka seolah tertutupi karena kehadiran Mojet, keadaan mereda.
Kelompok reaksioner pro Belanda berusaha menghasut, bila perlu meneror serdadu KNIL yang ingin masuk TNI. Kepada para anggota KNIL di Ambon, orang-orang reaksioner itu dipropagandakan kehadiran TNI nanatinya hanya akan memperkeruh keadaan. Kelompok reaksiner ternyata harus kecewa dengan sebuah insiden yang berupa pemukulan Mayor in Veld oleh para serdadu KNIL. Mereka tidak lagi menganggap sosok orang Belanda sebagai pimpinan mereka. Konon, hanya Kepala Daerah Manuhutu saja yang lebih mereka turuti ketimbang perwira Belanda yang masih memegang komando atas mereka. Manuhutu sendiri adalah seorang penganut paham unitaris yang ingin bergabung dengan RIS.

“…Memang sebenarnya meskipun turut dalam angkatan Perang Belanda, serdadu KNIL itu akhirnya toh orang Indonesia juga dan pada suatu ketika darah Indonesia akan berbicara juga. Jangan pula dilupakan diantara serdadu KNIL tidak sedikit yang sebanarnya masuk Tentara Belanda karena terjebak oleh propaganda bohong. Serdadu-serdadu yang dulu dalam perang Dunia II turut ke Australia misalnya, pula para Heiho serta Romusha, banyak yang tidak tahu apa yang terjadi di tanah air selama meninggalkan Indonesia. Kepada mereka dikatakan bersama Belanda mereka haruas memerdekakan tanah air dari pada tindasan Jepang, mereka harus mengusir Sukarno-Hatta yang bersama Jepang telah membawa Indonesia kedalam lembah kesengsaraan… Pun sebelum Perang Dunia II sudah nampak ada tanda-tanda, bahwa serdadu Ambon tidak selamamnya setia kepada Belanda seperti Belanda Gemborkan itu. Juga adakalanya mereka memberontak, oleh karena rasa keadilan mereka tertusuk.”
Datangnya Soumokil
Ditengah kebimbangan bekas serdadu KNIL yang terus berlangsung itu, akhirnya mereka mendapat hasutan dari Soumokil, seorang pejabat NIT yang dikenal anti republik. Soumokil adalah praktisi hukum dan ketika peristiwa Andi Azis berlangsung masih menjabat Jaksa Agung dajn mengepalai kepolisian NIT. Sejak pemerintah kolonial Hindia masih berkuasa, Soumokil tidak masuk dalam arus pergerakan nasional seperti sebagian intelektual bumiputra lainnya. Sebagai orang pribumi yang berstatus gelijkgesteld—yang berarti sama secara hukum dengan orang-orang Belanda—Soumokil juga mendapat tentangan dari kawan-kawan Maluku-nya ketika dirinya akan diangkat menjadi anggota Volksraad pada tahun 1938. Sebagai orang Ambon terpelajar, Sounokil tidak bergabung dalam Serikat Ambon atau organisasi lain. Mungkin ini didasari status gelijkgesteld-nya yang membuatnya ekslusif hidup dalam lingkungan kolonial Hindia Belanda.
Soumokil bukanlah seorang yang lahir ditanah nenek moyangnya, Ambon. Soumokil lahir di Surabaya tahun 1905. setelah tamat sekolah menengah di kota kelahirannya, Soumokil berangkat ke Belanda untuk belajar ilmu hukum. Setalah kembali dari Negeri Belanda tahun 1934, Soumokil menjadi pejabat hukum kolonial. Semasa pendudukan Jepang Soumokil ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke Burma dan Thailand. Soumokil bebas setelah Perang Pasifik berakhir dan kembali ke Indonesia. Ketika revolusi Indonesia bergolak Soumokil tetaplah tidak mengikuti arus revolusi Indonesia. Dia lebih memilih menjadi seorang federalis dan tidak mau bergabung dengan kelompok Republik yang kemudian cenderung didominasi Jawa.
Soumokil adalah orang yang mengimpikan orang yang mengimpikan adanya otonomi daerah. RMS mungkin puncak dari cita-cita otonominya—dimana bukan tidak mungkin cita-cita itu sudah diimpikannya sejak masa kolonial dimana dia akan menjadi penguasanya. Keberadaan NIT sebenarnya tidaklah bertentangan dengan cita-citanya. Walau hanya sebuah negara bagian saja, setidaknya tidak ada dominasi kaum Republik. Soumokil nyatanya sangat menjaga jarak, baik sebelum dan sesudah pendudukan Jepang dan puncaknya mulai terlihat dalam NIT. Permusuhan terbesarnya dengan kaum Republik begitu nyata ketika Soumokil menjadi Jaksa dalam persidangan yang mendudukan Walter Mangisidi sebagai tersangka—dengan tuduhan teroris dalam wilayah NIT. Dalam persidangan itu, Walter Mangisidi dijatuhi hukuman mati. Vonis itu dijatuhkan beberapa bulan sebelum NIT dibubarkan. Ketika Walter Mangisidi dihukum mati pada September 1949 di Makassar, sedang berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda.
Malam hari tanggal 4 Agustus 1950, Andi Azis dipanggil oleh Soumokil dirumahnya. Dirumah Soumokil itu, beberapa serdadu Ambon sudah menunggu. Para serdadu Ambon itu sudah bersiap untuk berperang bila pasukan TNI dari Batalyon Worang mendarat di Makassar. Setelah pertemuan itu, Andi Azis memutuskan melaksanakan sendiri kudeta—dimana dirinya akan bertindak sebagai pemimpin kudeta. Keesokan harinya, Letnan Kolonel Ahmad Yunus Mokoginto—Kepala Komisi Militer Teritorial untuk wilayah Indonesia Timur—ditahan untuk beberapa waktu. Atas kejadian ini pemerintah pusat meminta Andi Azis datang ke Jakarta sebelum pukul 14.00 tanggal 9 April 1950. karena permintaan itu tidak dilakukan Andi Azis, maka, Andi Azis dinyatakan sebagai pemberontak yang harus ditumpas TNI oleh pemerintah pusat tanggal 13 April 1950. Keesokan harinya, 14 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta. Sebelumnya Andi Azis pamit pada Soumokil. Kepada Andi Azis, Soumokil berkata: “jika ose mati beta akan berjuang sampai titik darah penghabisan.” Setelah itu Soumokil ke Ambon, dan Andi Azis diadili dan dihukum di Jakarta.
Masih kabur apa alasan Andi Azis akhirnya mau bertanggungjawab atas kudeta yang terjadi di Makassar. Setidaknya, setelah gerakannya gagal, Andi Azis bisa ikut sebagian KNIL yang bergabung dengan Soumokil di Maluku. Andi Azis sendiri meninggalkan Makassar beberapa bulan sebelum pemberontakan KNIL di Makassar ditumpas pasukan Kawilarang. Kepergian Andi Azis ke Jakarta pada 14 April 1950, pemberontakannya baru saja berjalan 9 hari. Semangat perlawanan bekas KNIL belumlah padam kala itu. Secara politis pemberontakan KNIL—yang menentang pendaratan batalyon Worang itu—sia-sia walaupun mereka memiliki peluang untuk menang secara militer.
Beberapa hari setelah pemberontakan Andi Azis meletus, Soumokil melihat tanda-tanda gagalnya pemberontakan Andi Azis itu—seperti banyak ditulis sejarahwan. Seharusnya Soumokil mengerti pasukan KNIL di Makassar tidak akan mampu bertahan dari gempuran TNI yang semakin kuat setalah KMB. Soumokil juga tidak memperhitungkan bahwa hilangnya kegairahan sebagian anggota KNIL, termasuk jajaran komandan-komandannya, untuk bertempur melawan Republik karena menyadari secara politis KNIL sudah kalah. Soumokil pastinya bukan orang bodoh secara politis, walau kemudian gagal, dia juga mengikuti perkembangan yang terjadi di Jawa. Kegagalan Westerling bulan Januari 1950, untuk merebut kekuasaan di Jkarta dan Bandung, berarti Republik memiliki kekutan untuk menghantam sisa-sisa KNIL di perkotaan. Padahal Westerling didukung pasukan khusus Belanda.
Bila Soumokil mengerti kondisi pasukan KNIL dan kekuatan pasukan Andi Azis yang berontak, hasutannya terhadap bekas KNIL di Makassar untuk memberontak bukan hal sia-sia. Dengan kata lain bagian dari rencana besarnya di Ambon. Setelah pemberontakan meletus, Soumokil berpikir cepat dalam beberapa hari. Tanggal 12 April 1950, Soumokil meninggalkan Makassar menuju Ambon. Tepat seminggu setelah pemberontakan Andi Azis. Soumokil tiba di Ambon keesokan harinya, tanggal 13 April. Sebelum sampai di Ambon Soumokil singgah di Menado. Tujuan Soumokil meninggalkan Makassar tidak jelas. Menurut pimpinan KNIL di Makassar menyatakan bahwa pesawat terbang yang dihgunakan Soumokil itu diberikan berdasar kenyataan bahwa Soumokil masih menjabat Jaksa Agung—yang sering melakukan kunjungan ke wilayah NIT untuk memeriksa kepolisian.
Kendati gagal, pemberontakan Andi Azis juga memberi keuntungan bagi Soumokil—walau Soumokil tidak menyadarinya. Kekacauan di Makassar sejak 5 April oleh Andi Azis dan sebelumnya kekacauan di Bandung dan Jakarta yang tidak lain ulah Westerling, setidaknya memberi kesibukan bagi TNI untuk menyelesaikan kekacauan itu. Ketika TNI juga perhatian pemerintan mengarah pada dua kekacauan itu, ketika itu juga Soumokil menyusun rencana untuk berpisah dengan Republik—mendirikan negara baru setelah NIT bubar.
Setelah Andi Azis dikalhakan diM akassar, Soumokil berangkat ke Manado, dimana sebuah pemberontakan disiapkan oleh Soumokil. Di Menado, Soumokil memanfaatkan kaum Perstuan Timur Besar (PTB). Persatuan Timur Besar itu, menurut Ibrahim Ohoril—bekas Menteri Persediaan Makanan RMS yang menyerahkan diri ditahun 1951—terbentuk dari hasutan –hasutan kaum kolonial Belanda yang propagandanya selalu bersifat menentang Republik Indonesia dan selanjutnya ingin berdampingan dengan negeri Belanda sebagai provinsi ke-13. Tapin usaha pemberontakan Soumokil di Menado inipun menemui kegagalan. Setelah pemberontakan yang gagal itu, Soumokil lari ke Ambon. Soumokil menumpang pesawat pembom B-25 milik Militer Belanda. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Militer Belanda, kepegian Soumokil bukanlah dengan cara yang diistimewakan. Kepergian Soumokil sendiri memancing kecurigaan di kalngan pemerintah NIT di Makassar. Karena hal ini, Soumokil diskor dari jabatannya sebagai Jaksa Agung NIT.
Disini Soumokil juga mempengaruhi berbagai kalangan untuk menolak keberadaan RIS di Ambon. Para raja, Partai Timur Besar, pasukan Baret dan tentu saja orang-orang KNIL di Ambon. Keberadaan pasukan baret ini sangat menguntungkan gerakan Soumokil di Ambon. Walau bukan orang Militer, Soumokil tentu mengerti kemampuan pasukan Baret yang telah merepotkan posisi pasukan republik selama Revolusi. Berbeda dengan di Makassar, kali ini gerakan TNI akan sulit sekali untuk melawan RMS yang dipimpinannya. Kasus Makassar, kekuatan Pmeberotakan hanya terdiri kalngan KNIL dan KL yang jarang bertempur. Berbeda denga pasukan Baret yang telah terlatih dan berpengalaman. Bila ini perhitungan Soumokil dalam pengunaan bekas Pasukan Baret Belanda adalah tepat, terbukti TNI kerepotan hinggga mengorbankan perwira TNI.
Soumokil pastinya mengerti kondisi pansanya Ambon karena sebagai Jaksa Agung yang membawahi Kepolisian NIT, Soumokil memperoleh banyak laporan mengenai perkembangan kondisi di Ambon. Apalagi dalam kepololisian NIT banyak terdapat orang-orang Belanda yang berpangkat Inspektur maupun Komisaris—umumnya mereka adalah orang-orang Belanda reaksioner. Kesamaan sikap antara orang-orang Belanda itu dengan Soumokil tentu melahirkan kerjasam dalam hal saling bertukar informasi di Indonesia Timur. Kerjasama itu bertambah besar ketika menyangkut masalah penolakan eksistensi RIS di Indonesia Timur yang kemungkinan akan menggeser mereka dari jabatan mereka sebelumnya.
Kota Ambon yang semakin memanas membuatbanyak penduduk sipil yang menyingkir ke luar kota. Hasutan kaum rekasioner yang sebagian adalah orang-orang Belanda juga dari Perstuan Timur Besar telah menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang di dalam kota. Pasukan KNIL yang merasa nasibnya tidak menentu hanya bisa bersiap dengan senjata lengkap. Mereka bersiap menyambut kedatangan pasukan TNI. Pasukan KNIL bersiap diberbagai posisi dan sebagian lain berpatroli keliling kota Ambon.
Soumokil dan Manusama juga sering melakukan agitasi-agitasi ke publik yang bersifat menentang eksistensi Republik. Mereka berdua mendesak diadakannya sebuah rapat umum yang dipimpin oleh Han Boeng Hiong dari Parlemen NIT. Rapat umum ini dihadiri setidaknya 2.000 orang yang terdiri dari kaum militer dan sipil di Ambon. Diantara orang-orang Sipil itu terdiri atas orang-orang dari Persatuan Timur Besar yang hadir dengan pakaian hijau dan sedikit orang-orang biasa yang datang karena dipaksa. Pada rencana awal, Soumokil yang sudajh berada di Ambon untuk sementara tidak langsung tampil kemuka , seperti dalam rapat besar itu.
Penyelesaian dua kekacauan oleh orang-orang kontrarevolusi itu memberi waktu bagi Soumokil dan gerakan dadakan-nya untuk menyusun kekuatan. Masalah Andi Azis di Sulawesi Selatan, sudah cukup untuk mengalihkan perhatian dan kekuatan pemerintah untuk tidak menghiraukan Maluku. Proklamasi RMS baru terjadi 25 April 1950, ketika kota Makassar masih belum aman. Hal ini berarti pasukan Republik masih jauh untuk menghadapi RMS. RMS sendiri dibantu oleh pasukan baret yang pernah dilatih Westerling di Batujajar. Letak Maluku yang jauh ke timur dan harus dijangkau melalui laut selama beberapa hari. Jelas waktu yang tepat bagi kekuatan militer RMS yang terdiri bekas KNIL untuk bersiap.


Pasukan Weterling di RMS

Pasukan didikan Westerling ini muncul lagi dalam kudeta Westerling pada 23 Januari 1950, disini Westerling menjadikan bekas bawahannya itu sebagai tulang punggung kudetanya yang kemudian gagal itu. Tidak sulit Westerling mengajak bekas anak buahnya itu. Selain karena gila bertempur, kharisma Westerling dalam pasukan itu begitu besar. Setelah pemberontakan Westerling gagal, bvanyak sisa-sisa pasukan khusus Belanda menuju Ambon dan memulai sebuah petualangan, yang mungkin saja sereu untuk bekas prajurit komando Belanda itu. kehadiran mereka lalu merepotkan TNI dalam menumpas RMS-nya Soumokil.


Banyak bekas anggota RST yang terlibat dalam pemberontakan APRA Westerling di Bandung dan Jakarta pada 23 Januari 1950—mereka menjadi tulang punggung gerakan Westerling untuk memukul pasukan TNI. Walau pemberontakan itu gagal, namun kondisi Jakarta dan Bandung sebelum dan sesudah 23 Januari jelas mencekam. Selain pasukan baret dari RST terdapat juga pasukan KNIL dan milisi-milisi kurang terlatih bentukan Jenderal Spoor.
Ketika pemberontakan pasukan APRA Westerling berjalan, pasukan APRA yang datang dari Batujajar sudah bersiap di sebuah rumah dijalan Kramatlaan 20. Jumlah mereka yang terlibat dalam gerakan ilegal buatan Westerling ini adalah 100 orang prajurit RST. Tidak semua anggota RST itu bisa mencapai Jakarta karena beberapa diantaranya telah disergap Batalyon TNI dari Divisi Siliwangi pimpinan Sujoto di Cianjur.
Dalam pemberontakan ini aksi RST tidak begitu mampu memperkuat kudeta Westerling yang gagal ini. Setelah pemberontakan ini selesai, banyak bekas RST yang diadili oleh Pengadilan Militer Belanda. Selain bekas RST yang berjumlah 140 orang itu, terdapat pula 160 pasukan dari Pre Federal Batallion—milisi bentukan Spoor di Jawa Barat semasa Revolusi. Mereka lalu dipenjarakan di pulau Onrust dan Edam—yang terletak di kepulauan Seribu, utara kota Jakarta. Desertir itu diangkut dengan truk militer Belanda ke pelabuhan Tanjung Priok dan dikawal Polisi Militer Belanda.
Peristiwa Westerling di Bandung dan Jakarta telah mencoreng wajah Pemerintah Belanda. Pasca peristiwa, banyak hujatan ditujukan kepada Belanda di Indonesia. Petinggi militer Belanda terbukti tidak mampu mengawasi anak buahnya untuk tidak membuat kekacauan setelah Pengembalian Kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. Kendati terlatih, dimata pers media awal 1950an dan petinggi militer RI, sebagian pasukan RST maupun KNIL rupanya tidak memiliki disiplin yang baik sebagai seorang prajurit. Bergabungnya pasukan RST itu dengan Westerling juga tidak akan mendapat kemenangan sama sekali, tujuan pasukan itu adalah petualangan. Parahnya lagi, pengawasan perwira Belandasangat kurang—karena tidak lagi peduli dengan keadaan—maka di KNIL juga di RST tidak lagi terkendali dan berbuat kerusuhan diluar tangsi mereka. Mereka mungkin hanya akan tunduk kepada Westerling—namun bekas Kapten Komando Belanda ini menghilang sehingga mereka semakin tidak terkendali dan tanpa arah di akhir kudeta Westerling yang gagal itu.
Bekas RST didikan Westerling juga telah menunjukan kehebatannya ketika berada di Ambon. Di Ambonm, bekas RST itu menjadi tulang pungggung RMS ciptaan Soumokil itu. Sebelum pemberontakan meletus, di Ambon telah kedatangan dua macam pasukan Baret. Pertama pasukan Baret Hijau yang dipimpin oleh D.J. Samson; kedua pasukan baret merah yang dipimp[in oleh Thomas Nussy.
Pasukan-pasukan ini adalah sekelompok orang-oarang yang mengalami disorientasi setelah Pengembalian Kedaulatan berdasarkan keputusan KMB. Pasukan komando Belanda ini tidak memiliki bayangan pasti bagaiman masa depannya nanti. Ditengah kebimbangan mereka di Ambon, mereka memiliki sikap tidak jelas, tidak pro republik tapi juga tidak mau tunduk pada pemerintah kolonial.
Beberapa bekas pasukan khusus KNIL dari Baret Hijau datang di kota Ambon pada 17 Januari 1950. Mereka berada dibawah pimpinan Samson. Sebagai pasukan khusus Belanda dan bersenjata, mereka memperlihatkan sikap yang tidak ramai pada penduduk Ambon. Mereka seolah ingin menjadi warlord. Pada 22 Januari 1950, beberapa orang Ambon yang baru saja keluar dari KNIL di Jawa datang ke Ambon berbuat ulah di Ambon. Mereka disertai beberapa anggota KNIL yang masih aktif di Ambon kemudian terlibat sebuah bentrokan dengan pemuda-pemuda pro republik.
Bekas pasukan baret hijau juga tidak jarang melakukan peganiayaan pada pemuda pro republik. Pada kerusuhansebuah terjadi pada 22 Januari 1950 setidaknya 2 orang meninggal, 2 orang luka berat dan 15 lainnya luka ringan. Berdasar laporan resmi, kebencian menjalar begitu cepat di kalangan rakyat terhadap bekas KNIL tadi. Kondisi semacam ini tidak akan mampu menegakan kekuasaan Republik Indonesia di Ambon.
Di Ambon, sebenarnya ada bebebarapa satuan KNIL yang ingin bergabung dengan TNI. Masalah mereka adalah mereka tidak mengerti bagaimana prosedur untuk bergabung dengan TNI. Seorang Mayor TNI yang berasal dari Maluku bernama Wesplat berusaha memberi solusi. Dia mengirim sebuah surat yang dititipkan pada seorang wanita separus tua anggota PNI—yang tidak diketahui namanya—yang berangkat ke Ambon. Surat yang kemungkinan digandakan ini ditujukan pada beberapa komanda KNIL yang dikenal oleh Wesplat. Isi surat itu adalah prosedur bagaimana cara bergabung dengan TNI. Surat itu juga sampai kepada Samson pimpinan Baret Hijau juga Nussy pimpinan baret merah disana. surat itu juga disampaikan kepada Sopacua pimpinan KNIL disana.
Wanita anggota PNI ini berusaha menjernihkan pikiran bekas KNIL yang akan dibubarkan itu. Dengan berani wanita ini bertemu dengan pimpinan pasukan baret yang kenal kejam itu. Tanggal 13 Februari 1950, wanita ijni bertemu Nussy, pimpinan baret merah. Kepada Nussy, wanita ini bercerita banyak bagaimana stuasi politik dan militer di Jakarta pasca Pengembalian Kedaulatan. Lebih jauh, wanita ini menceritakan bagaimana gembiranya orang-orang di Jakarta ketika mendengar kabar ada beberapa bekas KNIL yang akan masuk TNI di Ambon. Keesokan harinya, Wanita ini didatangi oleh Sopacua yang memimpin KNIL. Sopacua bercerita bagaimana bimbangnya anggota KNIL untuk bergabung karena adanya juga hasutan dari kalangan KL disana. Diantara bekas komandan tentara Belanda Ambon itu, hanya Nussy yang paling terbakar setelah menerima surat dari Wesplat. Tanpa pikir panjang, Nussy langsung menurunkan bendera Belanda di markasnya, tangsi Victoria. Setelah itu meletuslah pemberontakan terhadap Belanda.
Nussy kemudian memerintahkan kepada anak buahnya yang baret merah mengepung markas tentara Belanda yang ada di Ambon. Setelah itu Nussy mengajak seorang kepala daerah untuk memberontak. Namun yang terjadi justru Nussy diajak bertemu dengan seorang Indo-Belanda reaksioner bernama Kainama yang menjadi Mayor KL. Darisini terjadi perundingan rahasia yang melibatkan Nussy, Kainama, Manuhutu juga seorang perwira Belanda. Darisini lahir keputusan “anti masuk APRIS dan anti berontak melawan Belanda”. Ketika perundingan berlangsung, anak buah Nussy tetap menembaki tentara Belanda. Orang-orang yang hadir dalam rapat rahasia itu lalu datang ke tangsi Victoria untuk memadamkan pemberontakan baret merah itu. Beberapa orang baret merah mau berhenti, namun beberapa yang ingin masuk TNI tidak mau melakukannya dan terus menembak di dalam kota dan mengancam pasukan KL dan orang-orang pro Belanda. Pemberontakan ini mereda dengan sendirinya pada 16 April 1950 karena arah pemberontakan mereka tidak jelas dan tidak mengerti bagaimana melanjutkan pemberontakan. Insiden ini terjadi sekitar 5 April 1950, beberapa hari sebelum proklamasi RMS.
Pemberontakan ini arahnya tidak jelas, karena prajurit bawahan Baret Merah pimpinan Nussy itu hanya menuruti perintah juga emosinya sehingga tidak bisa berpikir panjang. Pasukan Baret Merah yang berontak itu sebanarnya potensial untuk diperalat karena tidak mengerti situasi politik yang berkembang kala itu. Mereka kemudian dengan mudah mau terbujuk oleh Soumokil.
Menurut Izaal Lebelauw dalam bukunya Wat gebeurde er op Ambon tot 25 April 1951? –yang dalam bahasa Indonesia berarti “Apa yang terjadi di Ambon hingga 25 April 1951”—menyatakan bahwa bekas anak buah Westerling yang terdiri dari sekelompok Baret Hijau (pasukan Komando) yang dipimpin Sersan Nussy; sekelompok Baret Merah (pasukan paratroepen) pimpinan Corputty, sedang beroperasi di Ambon. Bekas pasukan baret gemblengan Westerling itu pastinya tidak kenal ampun seperti di Sulawesi Selatan 1946 dulu. Setiap orang pro Soekarno yang mereka temui akan bernasib malang, dipenjarakan bahkan ditembak mati. Menurut Labelauw, empat sersan KNIL—yaitu: Samson, Pattiwael, Kastanja, Pieters—pemegang masa depan RMS itu menyerah pada TNI setelah Ambon dikepung.
Ir. Manusama dalam bukunya, Istori-istori Maluku terdapat laporan rahasia mengenaiRMS dan Ambon yang mereka obrak-abrik. Di pulau Ambon, saat itu, ada dua kelompok militer yang tidak cocok satu sama lain. KNIL regular di Benteng Victoria disatu pihak dan bekas pasukan baret RST. Suatu kali terjadi bentrok antar mereka, Kapten In ‘t Veld yang dipukul oleh serdadu baret RST lalu melarikan diri. Antara dua pasukan itu, diakhir sejarah KNIL, tidak lagi memiliki disiplin layaknya pasukan regular. Mereka semakin tidak terkendali. Mereka mengalami kekacauan pimpinan, yang satu tidak mau dipimpin oleh yang lain. Pangkat tertinggi dalan pasukan Belanda, termasuk KNIL itu, hanya dipimpin tiga bekas Adjudant yakni Sopacua, Tahapary dan Siwabessy. Serdadu KNIL lain tidak lebih dari Sersan mayor, sersan dan kopral. Mereka terus bersikap merasa paling tahu. Pemerintah sipil RMS yang seharusnya mereka turuti tidak lagi dihormati oleh panglima Samson, sebelum panglima RMS itu ditangkap TNI. Anggota pasukan baret juga tidak pernah mau menuruti panglima tertinggi RMS, mereka hanya mau tunduk pada komandan mereka saja, Sersan Nussy dan Corputty. Tidak solidnya koordinasi antara militer RMS itu, membuat mereka hancur terlebih dahulu sebelum mereka akhirnya dihabisi TNI yang datang dibawah komando Kolonel A.E.. Kawilarang.
Sebagai bekas pasukan komando Belanda, RMS jelas merepotkan pasukan TNI. Ketika TNI melakukan operasi penumpasan terhadap RMS di Maluku, TNI dibuat repot oleh pasukan RMS bekas pasukan baret Belanda itu. Jumlah pasukan RMS itu tidak banyak namun cukup merepotkan gerak pasukan TNI. Mereka rupanya bekas pasukan yang pernah dilatih oleh Westerling. Kawilarang juga mengakui: “Mereka mampu berpindah kesana-kemari untuk mengacau kedudukan lawan”. Kerepotan TNI harus mengorbankan beberapa perwira-nya, Letnan Kolonel Slamet Riyadi; Letnan Kolonel Sudiarto; Mayor Abdullah dan prajurit-prajurit lainnya.
Bekas pasukan baret Belanda jelas memiliki peran besar dalam RMS. Tidak heran bila beberapa pimpinan baret, baik merah maupun hijau, begitu ditakuti oleh orang-orang RMS. Bagaimana tidak, kehadiran pasukan baret saja sudah demikian menakutkan. Tidak memberi posisi yang baik pada pimpinan dua pasukan baret tadi jelas akan membawa masalah—terlepas mereka memang ada bakat dalam hal militer. Menurut propaganda RMS, terdapat 800 orang pasukan baret dari baret merah maupun baret hijau.
Mereka bisa menjadi potensi masalah sekaligus pendukung bagi RMS. Atas pertimbanmgan ini pula Soumokil dan pimpinan RMS lain untuk menjadikan dua pimpinan pasuian baret seperti Samson sebagai Panglima Tentara RMS dan Nussy sebagai Kepala staf. Soumokil tidak memiliki pilihan lain untuk dua posisi kunci militer RMS-nya. Hanya mereka yang paling paham diantara orang-orang RMS itu tentang militer. Walaupun dua orang tadi bisa jadi sosok yang menyebalkan sekaligus berbahaya bagi Soumokil sendiri.
Nussy sendiri adalah orang yang sering berhubungan dengan kelompok desersi militer. Nussy sering dipanggil oleh Westerling sebelum Desember 1949 di Bandung. Nussy sempat diajak Westerling untuk membujuk bawahan baret merahnya untuk masuk APRA—tidak lupa Westerling menawarkan sejumlah uang untuk hal itu. Nussy menolak tawaran Westerling. Ketika hendak pulang ke Ambon bersama 108 anak buahnya, Nussy sempat bertemu Andi Azis di Makassar. Oleh Andi Azis, Nussy dan anak buahnya diminta untuk tinggal saj di Makasar yang rusuh pada 5 April 1950. Kolonel Schotborgh, kemudian Soumokil, juga meminta hal yang sama kepada Nussy. Nussy tetap pada rencana pulang kampungnya dan tidak peduli dengan ajakan orang-orang penting di Makassar itu. Saat itu Westerling sedang melakukan gerakan kudetanya yang meletus pada 23 januari 1950 bersama pasukan APRA di Bandung dan Jakarta.
Beberapa hari kemudian, Nussy bertemu lagi dengan Soumokil yang membawa surat dari kopral Tomasoa—yang isisnya meminta Nussy agar membunuh orang-orang pro republik diantaranya adalah Weirizal dan Manuhutu. Hubungan Nussy dan Soumokil berlanjut ketika Nussy menjadi Kepala Staf Tentara RMS, dimana Soumokil memerintahkan kepada Nussy untuk mempertahankan pulau Seram dari serangan TNI, sampai titik darah penghabisan.
Gerakan TNI sulit karena pasukan RMS sering kali melakukan sniperfire—jelas ini akan mengancam nyawa pasukan TNI yang kurang berhati-hati. Setiap perlawanan dihentikan TNI, maka sisa-sisa pasukan RMS yang merasa terdesak itu menghilang ke hutan. Pada masa itu, TNI yang belum memilki pasukan komando sekelas pasukan baret Belanda jelas sangatlah sulit menghadapi RMS.
Bagaimanapun, dengan kemampuan komando yang baik, namun kejenuhan juga melanda bekas pasukan baret yang mengikuti gerakan RMS. Semakin lama gerakan mereka semakin terdesak oleh TNI. Amunisi dan logistik pasukan juga semakin lama-semakin berkurang. Dengan sukarela mereka akhirnya menyerah pada TNI. Mereka memang pasukan Komando yang tergolong jago berperang di hutan, namun mereka bukan pasukan gerilya seperti Che Guevara yang mampu bergerilya begitu lama di hutan.



KNIL Dan Orang-orang Ambon Didalamnya

KNIL adalah didirikan pertama kali tahun 1830 ketika van den Bosch menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda. Selama puluhan tahun, KNIL dimata pemerintah kolonial di Batavia terbilang sukses dalam menumpas berbagai pemberontakan di nusantara—walaupun masih ada pemberontakan kecil yang terus meletup. Tujuan didirikannya KNIL jelas bisa ditebak, menegakan kekuasaan kolonial secara de facto atas Hindia Belanda dalam rangka memperkaya kerajaan Belanda dengan melakukan berbagai eksploitasi isi tanah Hindia Belanda. Penguasa lokal bisa menjadi penghalang rencana itu karena merasa terganggu. Hal itu bisa berbuah menjadi sebuah pemberontakan. Jadi tugas KNIL paling utama menghabisi perlawanan dalam negeri—didalam koloni Hindia Belanda—dan sebagai militer KNIL hanya difokuskan didalam negeri saja. KNIL bukanlah sebagai angkatan perang yang ditugaskan untuk menghadapi musuh dari luar
Perekrutan prajurit bawahan KNIL dilakukan hanya dibeberapa tempat saja di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial, seperti memiliki kebijakan tidak tertulis, hanya merekrut prajurit KNIL dari daerah-daerah yang tidak terjadi pergolakan—atau setidaknya, selama beberapa waktu tidak memiliki permusuhan dengan pemerintah kolonial. pemuda-pemuda dari daerah-daerah sekitar Ambon, Menado, MInahasa adalah lokasi perekrutan ideal, sebelum akhirnya orang-orang Jawa dengan adanya basis militer Belanda di Gombong.
KNIL, dalam sejarah identik dengan suku Ambon yang dicap Belanda hitam—karena banyak yang melakukan Gelijkgesteld. Steriotip bahwa Ambon identik dengan KNIL telah banyak menjebak orang-orang untuk berpikir bahwa serdadu KNIL banyak yang berasal dari orang-orang Ambon. Sebenarnya sebagian besar serdadu KNIL berasal dari Jawa—saat itu Jawa sudahmenjadi pulau, juga suku, dengan populasi terbesar di Hindia Belanda. Hanya saja prajurit KNIL dari suku Ambon memiliki pengaruh dominan dalam KNIL.
Orang Ambon bersama orang-orang Menado dan Eropa lainnya adalah formasi terdepan dalam pertempuran. Orang-orang Ambon mungkin lebih dulu direkrut dalam dinas militer kolonial dibanding suku-suku lain di Indonesia—tercatat sejak zaman Kapitan Yonker. Karena hal ini orang-orang Belanda menganggap orang-orang Ambon loyal terhadap pemerintah kolonial—sehingga pemerintah kolonial memberikan orang-orang Ambon—seperti juga orang-orang Minahasa dan Menado—fasilitas yang lebih baik daripada prajurit KNIL dari suku lain.
Dalam pertempuran orang-orang Jawa, berada dibelakang barisan orang-orang Ambon, Menado dan Belanda. Karena formasi ini pula timbul pemikiran bahwa orang-orang Jawa tidak loyal—atau mungkin juga tidak mampu bertempur. Pemikiran macam ini jelas salah, banyak juga orang-orang Jawa terpilih untuk menjadi prajurit Marsose—pasukian khusus Belanda yang mampu bergerilya dan beradu klewang dengan pertempuran jarak dekat. Bukti ini dalam dilihat dalam kerkof (kuburan militer) di Aceh—terdapat nama-nama Jawa, Ambon, Menado yang gugur sebagai prajurit Marsose. Beberapa orang Jawa juga telah mendapatkan medali kehormatan militer Belanda atas keberanian mereka dalam pertempuran—Militaire Willemsorde kelas IV.
Jumlah tentara KNIL tahun 1945 adalah sekitar 60.000 personil. Dalam formasi KNIL saat itu, komposisi serdadu Ambon dan non Ambon secara keseluruhan adalah satu banding lima. Mereka tinggal dalam tangsi-tangsi bersama anak dan istrinya. Orang-orang Ambon yang masuk KNIL biasanya beragama Kristen Protestan.
Mereka juga tidak lagi mendapat gaji yang besar seperti ketika mereka bergabung dalam KNIL. Walau begitu, bekas KNIL ini justeru mendapat gaji besar dibandingkan dengan prajurit TNI yang lebih lama mengabdi dan hal ini pula yang menimbulkan kecemburuan dikalangan TNI sendiri.




Yonker: Mitos Dalam KNIL

Ternyata tentara memiliki mitosnya sendiri. Tidak jarang mitos itu menjadi sebuah jimat dalam pertempuran bagi para prajurit bawahan. Mitos akan membuat mereka percaya diri, juga bisa membuat mereka tidak berdaya dalam pertempuran. Begitu juga para serdadu KNIL, khususnya dari Ambon, memiliki mitos yang terangkat dari legenda seorang prajurit legendaris zaman VOC. Tersebutlah seorang Ahmad alias Yonker. Nama paling belakang adalah nama yang merujuk pada anak-anak bangsawan yang biasanya menjadi perwira militer di Eropa sana.

Yonker adalah nama besar dalam kalangan KNIL Ambon. Kapitan Yonker adalah legenda sekaligus mitos bagi banyak prajurit KNIL selama beberapa abad, hingga lenyapnya KNIL dari muka bumi. Peran kapitan Yonker terhadap Belanda sangatlah besar.

Yongker terlahir dengan nama Ahmad anak dari Kawasa seorang Sangaji (bupati) yang berkuasa di pulau Manipa—menurut dokumen-dokumen VOC. Ketika kawasa ditangkap oleh VOC, putra Kawasa, Ahmad—yang lalu dipanggil Yonker oleh orang-orang Belanda—dibawa oleh VOC ke Batavia pada tahun 1655. Istilah Sangaji yang sama dengan bangsawan, sebagai anak bangsawan Ahmad layak disebut Jonkher seperti anak laki-laki bangsawan Eropa yang biasanya menjadi perwira militer. Sebagai militer kolonial, Yonker pernah dikirim melakukan ekspedisi militer pada abad XVII, tidak hanya sebatas Jawa tetapi juga ke Sumatra, Sulawesi bahkan ke India Selatan.

Ia menerima banyak hadiah dari pemerintah kolonial atas keberanian, kepemimpinan dan keterampilan militernya dalam peperangan. Ia mencapai pangkat kapten dalam dinas militer Belanda, VOC. Sebutannya adalah ‘Kapiten Yonker’. Kehebatan Yonker ini menginspirasi bahkan membuat sebuah mitos Yonker dikalangan serdau Ambon dimasa depan. Banyak yang percaya bahwa Yonker tidak pernah mati, bersama istrinya dia menjadi sepasang merpati putih. Serdadu KNIL Ambon ada yang percaya bahwa bila ada sepasang merpati putih melintasi pasukan, maka kemenangan ada ditangan mereka dan tidak akan ada korban dipihak mereka.

Yonker sudah menjadi semacam dewa pelindung bagi mereka. Banyak hal yang lalu terkuak tentang Yonker. Kendati dipuja kalngan KNIL Ambon yang Kristen, Yonker bukan seorang Kristen melainkan masih Islam sepererti keluarganya di Maluku dulu. Dongeng pembaptisannya dikalangan serdadu KNIL terpelihara. Yonker selam hidupnya menikah dengan wanita asal Sulawesi Selatan. Kematian Yonker sendiri adalah karena orang-orang Belanda mengkhianatinya. Oleh perwira Belanda dia dituduh perkhianat. Mungkin saja perwira Belanda itu cemburu atas kharisma Yonker.

Hadiah tanah yang didapatnya ada di Jakarta Utara—sekarang daerah itu dinamakan Pejongkoran. Pemberontakan di Ambon terakhir kali terjadi dalam skala besar pada zaman Pattimura. Setelah itu tidak ada cerita lagi. Pada abad XIX, eksploitasi atas Ambon tidak semassif masa-masa sebelumnya. Rempah-rempah dari Maluku nyaris dilupakan orang Belanda sedang eksploitasi masa itu sudah beralih ke pulau Jawa lalu pulau Sumatra yang dimulai pada akhir abad XIX. Pertimbangan ini menjadi kebijakan pemerintah kolonial dalam merekrut serdadu kolonialnya dengan mengambil orang-orang Ambon.

Perekrutan orang-orang Ambon dalam KNIL selama seabad telah membuat sebagian orang Ambon kerap disalahkan sejarah Indonesia sebagai antek kolonial. Sebenarnya tidak semua orang Ambon suka menjadi serdadu KNIL. Terkadang, salah kaprah dalam sejarah Indonesia terjadi ketika banyak yang mengindentifikasikan KNIL dengan Ambon. Banyak yang berpikir bahwa sebagian terbesar komposisi pasukan KNIL adalah serdadu-serdadu dari Ambon. Secara jumlah serdadu Ambon bukan penyumbang terbanyak dalam di KNIL. ORang Jawa justru lebih banyak. Hanya saja serdadu Ambon mendapat fasilitas hidup lebih baik di tangsi bersama serdadu dari Minahasa, Menado dan Timor. Sedang orang-orang Jawa dan suku lainnya tidak mendapat hal sama dengan serdadu Ambon.



Fasisme di Indonesia

Awal tahun 1933, berdiri Nederlandsche Indische Fascisten Organisatie (NIFO) di Batavia. Organisasi ini berkiblat pada organisasi fasis di Jerman dan mengklaim diri sebagai bagian dari Nationaal Socialistische Beweging (NSB) yang didirikan oleh Ir Mussert dua tahun sebelumnya. Sepertihalnya kaum Fasis di Jerman, NIFO juga memiliki sayap pemuda militant, Barisan Pemuda. Sebuah pasukan yang mendapat latihan ketentaraan dan berseragam hitam. Sayangnya, tidak semua anggota Nifo setuju dengan pembentukan pasukan ini, dengan alas an akan menimbulkan pertentangan antar golongan di tanah Hindia. Mereka, melalui vergadering dan kursus-kursus politik gencar menyebarluaskan ajaran fasis.

Awalnya gerakan ini tidak pernah dihiraukan di Hindia. Pemerintah colonial lebih memfokuskan diri memonitor kaum pergerakan pribumi. NIFO bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ketika kaum NAZI berhasol merebut kekuasaan, November 1933, sekelompok warga Jerman di tanah Hindia menyambut dengan antusias dengan menghimpun 1000 tanda tangan orang Jerman di Hindia untuk mendukung pemerintahan Adolf Hitler. Meski tidak seluruh orang Jerman tidak bisa memberikan tanda tangannya, dipastikan hamper seluruh warga Jerman di Hindia mendukung Pemerintahan baru Hitler di Jerman
Simpati terhadap NAZI Jerman juga ditemui pada sekelompok pemuda Belanda yang berbaris di taman-taman atau jalanan. Mereka mengenakan kemeja krem dengan celana atau rok coklat tua. Setiap berpapasan, mereka saling memberikan heil Fuehrer atau heil Hitler (hormat ala kaum NAZI). Ini bukanlah bentuk keberpihakan sepenuhnya pemuda Belanda tadi, melainkan sekedar mode yang musiman saja pada saat itu di kalangan pemuda Indo.
Selama dalam pembuangan di pulau Banda, Sutan Sjahrir melihat suksesnya propaganda fasis. Istri seorang dokter dipulau itu sering menyapa kawan-kawannya dengan heil Hitler. Istri dokter itu hanya menganggap salam itu bagus dan terkesan modern tanpa mengerti lebih jauh apa itu Fasis.
Setelah propaganda kaum fasis Hindia mulai mempertanyakan “ keabsahan “ pemerintah, pemeritah colonial berkesimpulan gerakan fasis akan menggangu ketertiban umum dan akan mempengaruhi wibawa pemerintah dimata kalangan bumi putra. Polisi colonial-pun mulai bertindak terhadap kaum fasis ini. Sebuah pertemuan NIFO di Bandung setelah pemimpin NIFO disana menanjurkan Hindia lepas dari Negeri Belanda. Kaum fasis yang semakin radikal ini membuat kesal pemerintah colonial.
Antara anggota NIFO pernah terlibat konflik. Suatu kali Rhemrev, van Huut dan Ten Holder dalam sebuah rapat tertutup mengancam akan mundur dari NIFO bila Ocherse, Gouwenberg dan Kankeler masuk sebagai dewan pimpinan NIFO. Alas an penolakan itu berkisar pada propaganda fasis, untuk kaum Indo Eropa atau untuk seluruh rakyat Hindia.
Setelah sempat keluar dalam waktu yang tidak lama, Rhemrev, van Huut dan Ten Holder masuk kembali dalam NIFO setelah ada pengumuman bahwa Ocherse, Gouwenberg dan Kankeler tidak akan dimasukan dalam daftar anggota dewan pimpinan. Dalam Adil edisi 29 Juni 1933, Rhemrev menyangkal bahwa dirinya telah keluar dari NIFO.
Masalah apakah NIFO hanya diperuntukan bagi kaum Eropa dan Indo Eropa atau bagi seluruh Hindia menimbulkan perpecahan di kemudian hari. Di kemudian hari anggota yang memandang perlunya fasisme bagi seluruh rakyat Hindia mendirikan Fascistische Unie. Dalam anggaran dasarnya, Fascistische Unie disebutkan:
1.Kerajaan Nederlansche terdiri atas Hindia Timur dengan Hindia Barat;
2.Kerajaan ini harus dibawah Koninghuis Orange;
3.Penduduk baik individual maupun dengan cara bergolong-golong boleh mendapat staats burgerschap dengan berpegang pada adapt golongan masing-masing; 4.Memajukan samenwerking antara golongan antara golongan pendudukberdasar kegunaannya pada staat;
5.Kaum majikan dan kaum buruh, dengan ttidak memandang bangsa akan dianggap sama harganya pentingnya untuk kemajuan staat;
6.Akhir sekali staat dirubah menjadi satu staat yang berdasar syndico-corporatieven grondslag;
7.Mengakui kegunaan agama bagi seseorang dan semua agama harus dimajukan dan paham yang tidak mengakui adanya tuhan dibantah.
Agenda politik organisasi ini menyebut, Negeri Belanda harus diubah menjadi pemerintahan fasis. Kaum pribumi Hindia tidak lepas untuk difasiskan agar bisa menerima Fascistische Staatvorm Negeri Belanda.
Sebuah usaha menyatukan kaum fasis Hindia dilakukan dengan mengumpulkan para wakil dari IEV, VC juga NIFO pada Juli 1933 untuk merumuskan program bersama. Kerjasama ketiga organ itu lebih didasarkan pada tiga program pokok: pembelaan keras untuk kekuasaan (gezeg); membezuinig sehabis-habisnya sehingga bergrooting menjadi klop; menunjang pemutusan hak tanah (grond-rechten) buat kaum Indo Eropa. Yhal ini menunjuikan pengaruh VC dan IEV sangat besar pada masa itu. VC sangat memusuhi kaum pergerakan. EIV kesal lantaran tuntutan hak tanahnya ditolak pemerintah atas desakan anggota volksraad pribumi Husni Thamrin. Hingga VC dan IEV menjadi pendukung NIFO dalam mengusung fasisme sebagai bagian dari NSB.
Berdirinya cabang NSb di Indonesia pada tahun 1934, bermula dari kembalinya Mr Hamer—tokoh VC—dari Negeri Belanda. Hamer mengaku dirinya angggota dan wakil NSB di Hindia Belanda. Banyak pejabat dan pengusaha yang menjadi anggota NSB walau bukan anggota tetap. Sudah pasti mereka tidak akan mau ambil resiko dan terkesan membatasi diri dalam perannya di organisasi. Mereka sering membari bantuan dana bagi para NSB. Bila di Negeri Belanda pegawai sector public (pegawai negeri) dilarang menjadi anggota NSB, maka anggota NSB HIndia adalah para guru, pegawai dan sarjana.
Untuk merndukung propaganda-nya, NSB memiliki media sendiri, surat kabat Het Licht. Kemenangan kaum Fasis terhadap kaum komunis selalu menghiasi headline surat kabar Fasis itu. Sikap anti pergerakan diperlihatkan kaum fasis dengan memposisikan kaum komunis sebagai kaum yang berbahaya seperti dalam pemberontakannya pada tahun 1926-1927. Kaum pribumi, dimata orang Eropa yang terpengaruh Fasis tidak berbeda dengan kaum komunis, orang Eropa merasa orang pribumi selau memata-matai dan menunggu lengah lalu menikam dari belakang seperti dalam pemberontakan PKI. Apa yang dilakukan kaum fasis tadi, dimata kaum pergerakan sama saja dengan apa yang dilakukan pemerintah colonial, mematikan kaum pergerakan. Sejak dulu setiap kekuatan yang menetang pemerintah selalu dicap ‘komunis’ (merah).
Pengaruh Fasis diterima dengan baik oleh beberapa orang pribumi. Pada bulan Agustus 1933 di Bandung, Dr Notonindito mendirikan Partai Fascist Indonesia (PFI). Partai ini mengusung fasisme demi romantisme sejarah kejayaan budaya dimasa lampau, seperti halnya romantisme Musolini pada kejayaan Romawi, Italia La Prima. Berbeda dengan fasis Eropa dan Indo yang bisa jadi dilator belakangi oleh kepentingan ekonomi. Pada dasarnya PFI ingin membangun kejayaan kerajaan Indonesia purba macam Sriwijaya atau Majapahit. Gagasan dan cita-cita ini juga mengejutkan kaum pergerakan nasional waktu itu. Notonindito yang pernah tinggal di Jerman rupanya tidak ingin mengikuti fasisme Jerman pada tahun 1924, sebagai orang Jawa dirinya lebih mengakar pada kebudayaan Jawa saja. Ia bukan bermaksud mendirikan Negara korporasi, melainkan sebuah Negara yang dipimpin oleh seorang raja seperti pada masa lampau. Seperti dikutip dalam Adil: “mendapatkan kemerdekaan Djawa dan nanti diangkat raja yang tunduk pada grondwet dan raja ini adalah turunan dari Penembahan Senopati; akan mebangunkan kembali statenbond (Perserikatan Negeri-negeri) dari kerajaan-kerajaan di Indonesia yang merdeka, dimana terhitung juga tanah-tanah raja (Vorstenlanden.
Kaum pergerakan dalam Pemandangan memberikan reaksi kepada PFI. Dengan didahului dengan beberapa tulisannya, diambil kesimpulan bahwa PFi merupakan kelajutan dari cita-cita Soetatmo, juga seorang nasionalis Jawa. Ketika Notonindito di Jerman, 1924, Soetatmo meninggal dunia karena sakit. Surat kabar Adil edisi 26 Juni 1933, mengecam PFI sebagai ‘perkakas politik’ untuk memecah pergerakan nasional. Fasisme dipandang juga sebagai bibit dari sikap provinsialisme yang merugikan. Lebih lanjut dibahas nasionalisme yang dibutuhkan kaum pergerakan untuk rakyat Hindia adalah nasionalisme kerakyatan bukan nasionalisme yang dilandasi jiwa priyayi Jawa dan stelsel kapitalisme. Panji Timoer menuduh, kaum fasis Hindia tidak ubahnya kaum fasis di Eropa, mereka telah ‘membunuh aliran revolusioner’.

Akibat serbuan Jerman ke penjuru Eropa, banyak terjadi perubahan atas Hinjdia Belanda. Di Ternate, tempat Didi Kartasasmita Bertugas sebagai Letnan KNIL. Didi melihat, orang-orang Jerman umunya berprofesi sebagai pedagang hasil bumi atau sebagai pekerja di Zending. Setelah penyerbuan itu, orang-orang Jerman itu diasingkan. Biasanya jika serdadu KNIL bangsa Belanda bertemu orang-orang Jerman, mereka akan membuat pesta. Setelah keluar aturan pengasingan bagi orang-orang Jerman, justru orang-orang Belanda KNIL itulah yang menangkapnya. Serdadu-serdadu pribumi justru tidak dilibatkan dalam penangkapan itu.
Pernah Didi mendengar pemisahan Negeri Belanda dengan Hindia Belanda. Banyak orang-orang Belanda Indo mendukung hal ini, orang-orang Belanda totok justru tidak menginginkannya.



Kamis, Desember 27, 2007

Kudeta Yang Tertunda

Hari itu, setelah Natal 1949, sekelompok orang-orang Belanda juga beberapa orang pribumi pro Belanda. berkumpul. hampir semua yang hadir adalah orang-orang militan Belanda. ada seorang komisaris Polisi Belanda dan beberapa prajurit KNIL dan KL dalam pertemuan rahasia itu. Diantara mereka terdapat Westerling yang sudah keluar dari Korps Speciale Tropen. Hari itu juga Westerling mengajak orang-orang Belanda itu untuk melakukan perebutan kekuasaan dari tangan Republik keesokan harinya, tepat 27 Desember 1949. ("Westerling: Kudeta Yang Gagal", h. 75-77)


Orang-orang pro Belanda itu tentu sudah mendengar bahwa 27 Desember esok hari akan diadakan pengembalian kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Republik Indonesia. Artinya Pemerintah di Negeri Belanda mengakui kedaulatan RI sepenuhnya.

27 Desember itu dianggap tepat oleh Orang-orang pro Belanda itu untuk melakukan sebuah gerakan yang menentang keberadaan RI sebagai sebuah Negara ditanah yang dulu mereka sebut HIndia Belanda itu.

Dunia sudah berputar, namun begitu kuat keinginan orang-orang pro Belanda itu untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum Perang Pasifik, karenanya oleh orang Republik mereka disebut kaum kontrarevolusiner. Mereka punya kepentingan atas Indonesia. mulai dari teh sampai minyak bumi. Kepentingan itu semakin membakar Westerling yang haus petualangan. Banyak pengusaha kontrarevolusi, baik asing atau pribumi menanam saham dalam gerakan gila dari Westerling. Orang-orang yang berkumpul secara rahasia itu adalah bagian dari gerakan Westerling. Hampir semuanya adalah orang pernah mendapat latihan militer. Mereka tidak memiliki pengalaman dalam mealakukan kudeta, kecuali nekad saja.

Orang-orang kontrarevolusioner itu seperti sudah tidak sabar untuk menunjukan diri mereka sebagai orang-orang anti Republik. Mereka menginginkan pemberontakan secepatnya. Westerling paling panas dalam hal ini, dia hanya ingin pemberontakan itu cepat terjadi. Segera! Rupanya logika masih tersisa dikepala mereka. Mereka sadar mereka belum punya cukup senjata untuk berontak. Westerling akhirnya sadar juga dan memang bukan waktunya. Dan rencana pemberontakan itupun bubar sampai senjata terkumpul.

Pemberontakan orang-oramng pro Belanda itu baru terjadi pada 23 Januari 1950, hampir satu bulan sesudah pertemuan itu. Para pemberontak tanpa visi pemberontakan yang jelas itu akahirnya gagal. Mereka masih melupakan masalah senjata. Dalam jangka waktu sebulan Westerling cs gagal mempersenjatai pasukan Angkatan Perang Ratu Adil-nya dengan baik. Westerling seperti tidak sedang melakukan kudeta, melainkan hanya membuat kekacauan. Westerling hanya haus petualangan. Kudetanya jelas tanpa visi. Persiapan kudeta itu juga jauh dari sempurna. Masalah senjata tidak bisa diatasi Westerling dengan baik.

Westerling gagal menyelesaikan apa yang menjadi masalah pada tanggal 26 sebulan sebelumnya. Sebelumnya, 27 Desember 1949 batal lalu pada 23 Januari 1950 gagal. Weterling memang sudah berusaha mempersenjatai namun senjata itu sudah ditahan dan tidak sampai ke tangan pasukannya. Dan akhirnya pemberotakan yang direncanakan selama berbulan-bulan itu gagal lagi.

Rabu, Desember 12, 2007

Dan Kematian itu datang untuk Gie

"Manusia paling Beruntung pertama adalah yang tidak pernah dilahirkan; kedua dilahirkan tapi mati muda; terakhir yang paling sial adalah menjadi tua".Rasanya ini yang ada dibenak Gie sebelum menghirup gas beracun di puncak Semeru.
Pagi itu, 16 Desember 1969, seorang pemuda baru saja menikmati puncak kehidupannya—tepat dipuncak Gunung tertiggi di Jawa. Besarnya cipta Hyang Kuasa itu dia nikmati begitu rupa—walau dia tidak peduli pada Hyang kuasa sekalipun--hingga gas beracun merasuk dalam tubuhnya. Mati, ya kematian itu datang menghampiri pemuda itu—seperti apa yang ada dibenaknya beberapa tahun sebelumnya. Dia seperti meramalkannya.Dan,dia tidak perlu jadi manusia paling sial di dunia, menjadi tua.

Gie terlahir ditengah pergolakan sejarah dunia, Asia juga Indonesia—17 Desember 1942 di Jakarta. Tepat dimana zaman sedang bergerak cepat. Masa Gie bocah berbarengan dengan perang Pasifik di Timur sana dan pendudukan Jepang di Indoensia lalu diteruskan dengan masa-masa bergolaknya Revolusi Kemerdekaan Indonesia--tidak salah bila Gie juga pertikel kecil anak sejarah dari negeri ini yang lahir ditengah kekacauan.
Apa yang ditulisnya ketika berusia 20an, sebenarnya berakar jauh ketika Gie dalam masa pertumbuhan pada usia belasan tahun. Gie mulai keras membaca apa saja pada usia belasan tahun itu--bukan cuma buku tebal koleksi Soe Lie Piet ayahnya yang penulis. Gie juga mulai membaca situasi politik Indoensia yang labil—juga kotor dalam benak Gie. Dia lihat banyak ketimpangan termasuk juga di SMP Strada—sekolah yang menendangnya ke SMP Kanisius.
"Hari ini adalah hari dimana dendam telah mengeras menjadi batu" kata Gie dalam catatan hariannya. Ketimpangan di sekitarnya juga di Indonesia menumbuhkan benih perlawanan dalam dirinya. Bacaan membuatnya menjadi penulis muda—lalu tulisan itu menjadi senjata. "Kata adalah senjata" kata Subcomandante Marcos pemimpin Zapatista di Meksiko beberapa tahun silam, tapi Gie memulainya sebelum Sukarno tumbang dari kekuasaannya.
Gie merasa Sukarno dan generasi tuanya adalah kelompok paling bertanggungjawab atas timpangnya Indonesia. Sukarno masih diatas angin awal dekade 1960an itu. Sebagai orang yang merasa sebagai Bapak revolusi Indoensia Sukarno kerap berkata bahwa revolusi akan mengorbankan anaknya. Sementara anak-anak dimakan revolusi, bapak-bapak yang merasa harus dihormati terus memperkosa Ibu Pertiwi.
Gie sadar Sukarno harus runtuh. Sukarno tahun 1960an bukan Sukarno sebelum tahun 1950an—dimana Sukarno adalah sosok idealis bahkan dimasa pergerakan jauh dari kekuasaan.
Tulisan Gie mulai bermain lagi dikala keruntuhan Sukarno. Lingkaran setan kekuasaan Sukarno berhasil dibongkar mahasiswa 66 dan sebuah lingkaran kekuasaan baru lahir—dimana sebagian mahasiswa 66 itu masuk dalam lingkaran kekuasaan itu. Sejarah memang durhaka, bukan anak yang harus dikorbankan namun bapaknya. Dalam hal ini, mengorbankan anak, berarti menruskan tabiat buruk bapaknya. Sukarno salah besar bila revolusi harus mengorbankan anaknya. Nyatanya revolusi justru mengorbankan bapaknya dengan kejam. Bagaimana mungkin revolusi bergulir bila anak terus dikorbankan, lalu dimana dimana akan ada perubahan sementara orang-orang kolot masih jadi nakoda—sejarah pun tidak akan berubah sedikitpun kecuali omong kosong orang macam Yamin.
Lumrah terjadi dalam revolusi, ketika penguasa lama tumbang, 'dagang sapi' terjadi dimana pemenang akan berbagi 'harta pampasan perang' bernama kekuasaan.
Sukarno yang menyebalkan itu tumbang, Suharto berhasil naik dengan menumpang gerakan Mahasiswa 66 dan G 30 S yang digagalkan. 'Kuda Hitam'bernama Suharto tidak banyak merubah ketimpangan, kecuali meneruskannya dengan caranya sendiri. Artinya pemimpin menyebalkan yang bebal kembali hadir di Indonesia. Gie tetap saja terusik lagi seperti dulu. sejarah berulang lagi. Penindasan tidak pernah berhenti—seperti halnya sejarah terus berputar dan melindas manusia.
Menjadi orang berbeda sama saja hidup menderita. Gie mengalaminya, perubahan yang ikut dia gulirkan juga mulai menjauhinya. Hal yang bertentangan dengan nuraninya kembali lagi mengusik. Gie mulai menjadi orang-orang kesepian. Kampus yang menjadi rumahnya juga mulai sepi baginya. Kawan-kawan seperjuangan menghilang jauh dari matanya. Kenang-kenangannya sebagai mahasiswa begitu kuat mengikat hidupnya. Masa mahasiswa membuatnya bebas sementara lulus dan menjadi dosen membuatnya semakin sepi dari dunianya yang bebas dan bernuarani. Banyak hal berubah dan tidak semua perubahan menyenangkan bagi Gie.
Kesepian juga hal berat dalam hidup manusia—seorang NAZI Jerman bernama Heidt akhirnya memilih bunuh diri di pulau Nias karena merasa sepi padahal baru saja memenangkan sebuah kudeta hebat di pulau itu sebelum Jepang datang ke pulau itu.
Gie memang tidak bunuh diri, namun dia seperti memilih kematiannya. Naik gunung adalah kesukaannya sekaligus pengantar kematiannya di puncak Semeru. Sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 tahun, Gie berhasil mencapai puncak Gunung Semeru—gunung tertingi di Jawa dengan ketinggian 3676 meter diatas permukaan laut—salah satu gunung impian yang selalu ingin didaki anak-anak pecinta alam. Tanpa diduga gas beracun munyembul, bersama Divantara Lubis, Gie menghirupnya. Gas beracun itu membebaskannya dari derita dunia. Gie lelap menuju kematian dipangkuan sahabatnya Herman Lantang. Gie merasakan kematiannya yang indah tepat dipuncak tertinggi Jawa, tepat sehari sebelum ulang tahunnya ke-27. Gie menuju kedamaian diusia produktifnya sebagai Sejarawan di Universitas Indonesia. Gie boleh bersemayam bersama angin, namun tulisannya menjadikannya abadi. Mahasiswa sejarah yang belum membaca karya-karya Gie rasanya belum layak disebut mahasiswa sejarah.



Tulisan ini kubuat untuk mengenang Soe Hok Gie atas historiografinya juga atas perjuangannya sebagai salah satu sosok humanis di Indonesia.

Jakarta,12 Desember 2007
Petrik Matanasi
Sejarahwan yang sekarang lagi jadi Kronikus Indonesia: Boekoe


Jumat, November 23, 2007

Balikpapan Bagian Dari Indonesia
“Generaal, jaga baik-baik reffinaderij (kilang minyak) di Balikpapan”
(Pesan Presiden Sukarno pada Jenderal Sumitro)
Setelah pendaratan sekutu, keadaan dianggap aman. Semasa Revolusi kemerdekaan RI, Balikpapan sebagai kota penting dikuasai oleh Belanda. Dari kota ini, NICA beserta pasukan KNIL dan KL dipersiapkan untuk membungkam perlawanan pendukung RI yang berada diluar Balikpapan seperti di Sanga-sanga, Samboja maupun daerah lain yang posisinya agak kedalam. Tentu saja Balikpapan menjadi konsentrasi pasukan KNIL dan KL. Kendati bekerja untuk NICA, sebagian pasukan KNIL pribumi banyak yang menaruh simpati pada kemerdekaan Republik.[i]
Balikpapan setelah PD II adalah tumpukan puing-puing dari keganasan perang Pasifik. Bom-bom sekutu membabi buta menghancurkan Balikpapan yang dikuasai Tentara Jepang.

Setelah Jepang menyerah dan Balikpapan diduduki Tentara Australia yang mewakili Sekutu, sebelum bulan Agustus 1945, mulailah NICA masuk ke kota Balikpapan. NICA mulai membangun kembali bangunan-bangunan kecil untuk kepentingan tugas mereka di Balikpapan—menjadikan Balikpapan sebagi bagian dari koloni Belanda seperti sebelum PD II.[ii]
Pendudukan Jepang dan Perang Dunia tentu saja menjadi tonggak semakin memanasnya semangat anti kolonialisme bagi rakyat Asia Tenggara. Sebagian orang-orang Balikpapan ada yang dengan berani mengambil sikap untuk melawan kehadiran kembali kolonilis Belanda dalam wujud baru bernama NICA. Pada 13 Januari 1946, di Balikpapan, lahir semacam gerakan anti kolonialis-imperialis yang dipimpin oleh Kasmani dan Suganda Cs. Mereka melawan tentara NICA yang ada di Balikpapan. Beberapa prajurit Australia bersimpati pada gerakan rakyat merdeka itu. Orang-orang pro republik yang berjuang mengusir Belanda itu tidak pernah berhenti melawan. Hingga Mei 1946 mereka masih menyerang kedudukan NICA di Balikpapan.[iii]
Dibawah kuasa NICA, berdasar Staatblad no 64 tahun 1946, Balikpapan dimasukan sebagai bagian dari Residentie Oost-Borneo.[iv] Status ini tidak bertahan lama, tidak lebih dari 4 tahun, karena penandatanganan Konferensi Meja Budar yang disusul Pengembalian Kedaulatan 1949 dan kemudian Balikpapan menjadi salah satu kota yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat—yang kemudian berubah lagi menjadi Republik Indonesia.
Berita proklamsi Republik Indonesia datang terlambat di Balikpapan. Antara 1945-1946, adalah masa berbenah kota Balikpapan. Salah satunya adalah merehabilitasi Kilang Minyak yang masih berstatus milik BPM. Tidak heran bila para pekerja BPM yang pribumi—terutama yang berasal dari Jawa atau yang memiliki jiwa merdeka—lebih disibukan oleh kerja mereka di Kilang Minyak yang dihancurkan oleh Jepang ketika mereka akan kalah dalam Perang Pasifik.
Melalui para pekerja BPM dari Jawa itulah berita proklamasi akhirnya tersampaikan di Balikpapan. Berita itu ditindaklanjuti dengan sebuah rapat raksasa di Lapangan Foni—di daerah Kampung Baru—dimana lahir pernyataan sikap rakyat Balikpapan tentang dukungan mereka pada Republik Indonesia yang baru lahir. Kendati masih ada usaha dan kekuasaan Belanda di Balikpapan, tetap saja keinginan untuk tidak tunduk pada kekuasaan kolonial adalah keinginan rakyat Balikpapan juga. Rakyat Balikpapan begitu berharap akan datangnya zaman baru yang damai, zaman dimana tidak dikuasai oleh orang asing.[v]
Balikpapan tetap menjadi bagian dari industri minyak besar di Indonesia. Kilang-kilang minyak yang sudah ada sejak zaman kolonial, masih begitu berharga dimasa pemerintahan Sukarno. Kepada Brigadir Jenderal Soemitro—yang baru ditunjuk sebagai Panglima KODAM Mulawarman—Sukarno berujar: “Generaal Mitro, saya titip reffinaderij (kilang minyak) yang ada disana. Jagalah baik-baik!” Sumitro, dengan sepenuh hati lalu menjawab: “Baik, pak. Akan saya perhatikan.” Amanah Sukarno itu dijalankan Sumitro dengan menjaga stabilitas kota Balikpapan ditengah pusaran politik nasional yang kian memanas pada dekade 1960an itu. Soemitro juga tidak ragu untuk turun langsung berpatroli menjaga kilang minyak yang diamanahkan Panglima besar Revolusi kepadanya. Soemitro sendiri sering berkeliling di sekitar kilang minyak pada malam hari. Soemitro menjaga agar panas-nya situasi politik nasional tidak sampai membakar Balikpapan.[vi]
Atas usaha Sumitro, kota Balikpapan masih dianggap nyaman pada pertengahan dekade 1960an yang kacau. Balikpapan terhindar untuk menjadi ladang pembantaian orang-orang Komunis seperti yang terjadi di Jawa dan Bali—dimana telah memakan banyak korban yang mencapai angka ratusan ribu. Orang-orang Komunis, oleh Sumitro ditahan sebelum meletus G 30 S di Jakarta. Orang-orang Komunis itu banyak yang dilokalisasikan di Samboja dalam di dekat pantai.
[i] Adulrahman Karim, Kalimantan Berdjuang, Jakarta, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1956. h. 35.
[ii]Tjilik Riwut, Kalimanatan Membangun, Palangkaraya, 1979. h. 106.
[iii]Tjilik Riwut, Kalimanatan Membangun, Palangkaraya, 1979. h. 106-107.
[iv] Tjilik Riwut, Kalimanatan Membangun, Palangkaraya, 1979. h. 33.
[v] (http://www.balikpapan.go.id/index.php?option=com_balikpapan&task=sejarah: http://id.wikipedia.org/wiki/balikpapan)
[vi] Ramadhan K.H, Soemitro(Mantan Pangkopkamtib): Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994. h. 22-23.