Minggu, Maret 21, 2010

Sunarti Nasution, Terimakasih Telah Bercerita


Sejarah akan berbicara lewat mulut anaknya. Seperti Sunarti bercerita tentang dunia sosial di Indonesia dengan segala masalahnya, juga tentang hidupnya yang hebat.

Suatu hari di Bulan Desember 2009, saya harus mewawancarai Yohana Sunarti Nasution—tentang berbagai kegiatan Sosialnya yang seabrek. Seperti tokoh Angkatan 45 lainnya, hari itu wanita tangguh yang rela saya sapa Ibu Sunarti itu, berbicara pada saya panjang lebar soal kegiatan sosialnya dengan penuh semangat. Dia berkata pada saya ingin bercerita semuanya tentang dirinya dan apa yang dilakukannya, sebelum Tuhan memanggilnya.

Kegiatan sosial, dikenalkan oleh Ibunya, Maria Federika Rademayer—yang Belanda tulen dan Sunario Gondokusumo—salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia. Jadi Sunarti juga bagian kecil dari dunia pergerakan Nasional. Diusianya yang kelima, dia ikut hadir dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Meski berasal dari keluarga terpandang dan berada, hidup sebagai bagian dunia pergerakan nasional tidaklah terlalu menyenangkan. Selalu ada pengintai PID suruhan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sering tidak disadari.
Saya lebih mengenal suaminya, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Orang-orang Indonesia yang pernah buku sejarah kemerdekaan Indonesia pasti mengenalnya. Nama itu kerap saya tulis dalam tulisan-tulisan saya yang amis darah. Hanya sejarawan militer Indonesia bodoh saja yang tidak tahu siapa itu Abdul Haris Nasution. Sementara itu, tidak banyak yang tahu Yohana Sunarti Nasution, istri Jenderal Besar itu.
Masa mudanya, sebenarnya tergolong beruntung. Dia bisa menikmati pendidikan terbaik di zamannya. Dia pernah nikmati Lyceum (sekolah menengah elit) di Bandung sebelum Jepang datang. Lalu dia berhasil lulus ujian SMA zaman Jepang. Karena tidak bisa baca tulis huruf kanji, Ika Dai Gakku (sekolah tinggi Kedokteran) tidak menerimanya sebagai mahasiswa. Cita-citanya menjadi dokter pun pupus. Akhirnya Sunarti harus berpuas diri belajar menjadi apoteker. Zaman revolusi, Sunarti sempet belajar hukum di UGM, namun harus ditinggalkan karena salah satu pendiri Tentara Nasional Indonesia, Abdul Haris Nasution—yang masih berpangkat Kolonel—menikahinya. Segera Sunarti memasuki dunia para istri tentara—yang kerap diliputi kekhawatiran karena suami-suami mereka pergi berperang.
Menjadi istri Nasution bukan hal mudah. Nasution kerap berseberangan dengan penguasa negeri ini. Berkali-kali ancaman kematian menguntit hidupnya sejak zaman revolusi. Hal tragis lalu menimpanya. Putri bungsunya menjadi tumbal sejarah Indonesia dalam Gerakan 30 September 1965.
Lepas dari nasib tragis tadi, Sunarti masih terus menunjukkan kekuatannya. Dia terus membantu menanggulangi masalah sosial masyarakat yang menjadi korban pembangunan yang kejam dan tidak adil. Sunarti bersama-sama dengan banyak pihak berjuang untuk mensejahterakan orang-orang bernasib malang—yang tidak mampu disejahterakan negara.
Sunarti terus bergelut dalam dunia sosial ketika Nasution tidak lagi menjadi pejabat negara. Setidaknya dia bergelut di dunia sosial lebih dari separuh abad. Kegiatan sosial dijalani lebih lalui sepanjang hidupnya sejak belia. Hingga Magsaysay Award, penghargaan bergengsi dari Filipina, diganjarkan padanya beberapa dekade silam.
Pada saya, Sunarti mengaku, dirinya tidak melakukannya sendiri. Dia merasa apa yang dikerjakan berhasil bukan semata karena dirinya saja. Banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Ini menjadi hal penting baginya. Betapa egalitariannya Sunarti. Tanpa sadar dia telah ajarkan itu pada saya.
Namun, tetap saja ada orang-orang tertentu yang ikut merusak kerja sosial. Bahkan di eselon atas sendiri. Kerja sosial menjadi semakin kacau ketika orang-orang bermotif bisnis pencari profit pribadi masuk bahkan memimpin sebuah lembaga sosial. Duka dialami dan menghambat kerja sosial Sunarti di zaman orde baru. Penguasa yang tidak suka pada sang suami, begitu membatasi hubungan Sunarti dengan lembaga sosial luar negeri yang bermaksud membari bantuan pada Sunarti. Bukan Sunarti namanya jika dirinya berhenti begitu saja. Sunarti terus bergerak. Satu program digagalkan, Sunarti masih bergerak dengan program-program lainnya. Hanya sedikit cerita darinya yang bisa saya tulis sekarang.
Kalimat Sunarti yang masih terngiang di kepala saya adalah, “biarkan masalah datang pada saya, maka saya akan mencari penyelesaiannya.” Mengobrol dengannya menyenangkan dan membuat saya lupa bahwa hari sudah siang, juga lupa makan siang. Lalu saya pamit meninggalkan Sunarti sibuk menjalani kegiatan sosial dan hari tuanya. Usia tidak bisa mengalahkannya. Tidak ada matinya. Itulah Sunarti.
Pada saya, Sunarti telah bercerita banyak Desember itu. Lalu saya menuliskan ceritanya. Saya bangga pernah mendengar ceritanya. Sebagai salah satu anak sejarah, dia telah membuat sejarahnya dan memberikan saya petunjuk dari jejak-jejak sejarahnya, juga sejrah bangsanya yang ikut dia ukir. Saat itu adalah saat terakhir saya bertemu dengannya. Semoga Sunarti yang saya kenal pergi dalam damai. Terimakasih sudah berbagi cerita pada saya… Selamat Jalan Menuju Surga.