Minggu, September 11, 2011

Onthel Poenja Tjeritera

Banyak wanita mengantri dibonceng dengan Onthel saya waktu kuliah dulu. Itu cerita saya bersama Onthel. Mana cerita anda?


(Mijn Pit Onthel)

Terbayang film Cintaku Dikampus Biru (1976) bikinan Ami Priyono.[1] Dimana sepeda masih jadi raja jalanan. Jogja, kota dalam film Cintaku Di Kampus Biru, masih menyisakan banyak sepeda—yang akrab disapa onthel oleh orang-orang Jogja dan sekitarnyasampai kini. Onthel masih sering berkeliaran di Jogja. Masih punya gengsi, walau kalah banyak dengan sepeda-motor. Meski kalah cepat dengan sepeda motor, Onthel tetap dihargai. Entah oleh penggunanya, atau orang yang sekedar melihatnya.

Onthel

Onthel, adalah barang tak kenal kelas di Jogja. Pembeda kelas ala Marxisme tidak akan bisa memilah siapa si kaya dan siapa si miskin diantara para pemilik Onthel. Siapa saja bisa punya Onthel di Jogja. Entah itu Sultan Jogja, bahkan rakyat jelatanya sekalipun. Jangan heran jika banyak komunitas sepeda Onthel di Jogja. Tinggal pilih. Semua komunitas punya keunikannya masing-masing.

Sebenarnya, onthel bukan masalah kelas sosial. Ini masalah gaya hidup. Jogja, adalah kota dengan bermacam gaya hidup. Jangan heran jika ada seorang berumah besar, bermobil dan punya banyak kekayaan lain, kadang dia lebih memilih melaju dengan onthelnya. Jangan samakan Jogja dengan kota lain.

Onthel masalah rasa juga. Bukan karena masalah kantong yang melilit banyak mahasiswa di Jogja. Tak terhitung jumlah kawan yang bangga mengendarai dan memiliki Onthel. Cobalah anda mengitari Jogja dengan Onthel.

Pertama, anda akan rasakan betapa menjijikannya modernitas ala orang Indonesia—yang ngawur dan tak beradab kadang. Kedua, anda seperti berada di masalalu. Seperti seorang mandor atau priyayi berwibawa dimasalalu ketika mengendarai Onthel. Ketiga, dengan Onthel anda akan belajar menghargai waktu. Anda akan mengatur waktu anda untuk menuju tempat acara agar tidak telat. Anda akan alokasikan waktu bersepeda untuk sampai ke tempat acara terlambat. Keempat, anda akan belajar sabar. Onthel tidak punya mesin jadi tidak bisa cepat. Dan anda juga akan bersabar dengan kelakuan pengendara sepeda motor atau mobil Jogja yang arogan dan ngawur.

Bisa dipastikan, Onthel masuk ke Indonesia di jaman Hindia Belanda. Dimana awalnya, hanya kaum pegawai kolonial dan misionaris yang punya Onthel. Lalu para priyayi pun punya Onthel. Orang Belanda menyebut sepeda atau onthel sebagai fiets. Dan orang Jawa melisankan menjadi “pit” sampai sekarang. Hingga kini orang Jawa masih menyebut sepeda sebagai pit.[2] Jaman itu Onthel adalah barang mewah. Yang memilikinya sudah pasti dianggap modern.

Cerita dibalik Onthel

Ada banyak kisah heroik antara manusia dengan Onthel. Seperti dalam film Malena, Amoroso Renoto bersepeda menjalani hari hingga jadi dewasa, mengitari kota yang dicintainya, dan juga memantau wanita pujaannya Malena. Begitulah sepeda menjadi kawan penting dalam kehidupan seseorang.

Dalam sebuah film dokumenter, saya lupa namanya, serdadu Jepang yang mendarat di pesisir pantai Rembang dengan menggunakan sepeda. Sepeda membantu mobilitas serdadu Jepang itu untuk mengalahkan KNIL yang tidak siap terhadap serangan asing. Serdadu Jepang menang. Dan sepeda pun jadi barang penting bagi unit militer. Hingga kini, pasukan payung di negara berkembang pun menyertakan sepeda sebagai bagian dari logistik dalam penerjunan atau operasi militer. Betapa bergunanya sepeda.

Cerita lain soal sepeda adalah cerita dari Abdul Haris Nasution. Jenderal Bintang Lima AD ini pernah kabur dari KNIL, menjelang pendaratan Jepang. Dia melarikan diri ketika berjaga sebagai Letnan KNIL di Jawa Timur. Nasution kabur ke perkampungan. Setelahnya dia mendapatkan sepeda. Dengan sepeda itu, Nasution bersepeda dari Jawa Timur, melewati Jawa Tengah dan akhirnya sampai ke Jawa Barat. [3] Serdadu Jepang memburu dan mengawasi banyak bekas serdadu dan perwira KNIL di masa pendudukan Jepang.

Hingga akhirnya Nasution sampai juga di Bandung, ke rumah keluarga Gondokusumo. Nasution sejak awal kenal keluarga itu. Di jaman Jepang keluarga Gondokusumo adalah pelindungnya. Sepeda juga, selain tenis dan Gondokusumo—Bapak Kos yang orang pergerakan dan jadi mertua Nasution di kemudian hari—yang mempertemukan Nasution dengan jodohnya. Yohana Sunarti Nasution. Mereka berdua memperbaiki sepeda milik keluarga Gondokusumo.[4] Dengan sepeda itu Nasution bisa berkeliling Bandung dan mengikuti perkembangan perang pasifik barangkali.

Cerita heroik dan romantis tentang sepeda adalah Cerita Ahmad Yani dengan istrinya. Ketika belum menikah, Yani yang bertugas di luar kota Purworejo, kalau tidak salah sekitar Magelang. Demi melepas kangennya pada Yayuk gadis pujaannya yang tinggal di Purworejo, Yani harus bersepeda melewati perbukitan di sekitar perbatasan Magelang-Purworejo.[5] Heroik sekali.

Ada banyak kisah antara manusia dengan sepada lainnya. Ada seorang anak yang mencari ayahnya ke Sumatra. Selama bertahun-tahun tiadak ada kabar dari sang ayah. Didorong rasa rindu yang begitu besar dari sang anak, maka perjalanan besar pun di mulai. Si anak bersepeda berhari-hari dari Jogja ke Sumatra. Sampai Sumatra, si anak harus terima kenyataan bahwa si ayah telah punya istri lagi. Memilukan juga perjalanan itu.[6]

Selama di Jogja, onthel sering saya lihat dikendarai banyak orang. Dari berbagai usia dan kalangan. Bapak-bapak tua yang jadi abdi dalem kraton, ibu-ibu dengan belanjaannya, mahasiswa kucel yang entah kuliah di kampus mana, anak-anak sekolah. Rasanya, tanpa Onthel Jogja tidak ada rasa Jogjanya. Onthel adalah bentuk egalitarian dari Jogja.

Seingat saya, waktu kuliah dulu banyak mahasiswi mengantri dan ingin dibonceng oleh saya keliling kampus Karangmalang. Lumayan, bisa bikin iri banyak kawan-kawan saya. Dan onthel begitu berjasa membantu saya di masa-masa skripsi dan menulis. Sepulang menulis di Patehan, menyusuri Pasar Ngasem, dan bersepeda melawan arah di Malioboro dan sampai di kampus karangmalang, sebelum akhirnya kembali ke rumah di Minomartani. Mengunjungi rumah Nenek dengan Onthel dari Jogja ke Bagelen (Purworejo) waktu lebaran 2005, juga menyenangkan. Onthel juga mengantarkan naskah skripsi pertama, yang gagal meluluskan saya, ke penerbit. Beberapa tahun bersama onthel adalah masa penting dalam hidup saya. Itu cerita saya bersama onthel, mana ceritamu?

NB: Tribute to Mas Dede Febrianto dan Onthel yang dipinjamkan pada saya yang entah dimana sekarang?

Catatan:

[1] Cintaku Di Kampus Biru, Sutradara Ami Priyono, dibintangi Roy Marten, Yati Octavia, Rae Sita, Farouch Avero. Diangkat dari Novel berjudul sama karya Ashadi Siregar. Settingan film adalah suasana kampus UGM tahun 1970an di Yogyakarta.

[2]Tentang sepeda, ada beberapa versi soal sejarahnya. Ada yang mengatakan sepeda berasal dari Perancis. Dimana Baron von Drais merakitnya pada 1817.( Onthel: Sepeda Jaman Dulu Yang Berkelas, http://www.anneahira.com/sepeda-jaman-dulu.htm; pada 1839, Kirkpatrick MacMillan, pandai besi kelahiran Skotlandia, membuatkan "mesin" khusus untuk sepeda. Tentu bukan mesin seperti yang dimiliki sepeda motor, tapi lebih mirip pendorong yang diaktifkan engkol, lewat gerakan turun-naik kaki mengayuh pedal. MacMillan pun sudah "berani" menghubungkan engkol tadi dengan tongkat kemudi (setang sederhana). ensiklopedia Britannica.com mencatat upaya penyempurnaan penemu Perancis, Ernest Michaux pada 1855, dengan membuat pemberat engkol, hingga laju sepeda lebih stabil. Makin sempurna setelah orang Perancis lainnya, Pierre Lallement (1865) memperkuat roda dengan menambahkan lingkaran besi di sekelilingnya (sekarang dikenal sebagai pelek atau velg). Lallement juga yang memperkenalkan sepeda dengan roda depan lebih besar daripada roda belakang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sepeda)

[3] Tentang pengalaman Nasution muda lihat, Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid I, Bandung, Angkasa, 1977.

[4] Wawancara dengan Yohana Sunarti Nasution (Jakarta, Desember 2009)

[5] Tentang Ahmad Yani, lihat Amelia Yani, Profil Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Sinar Harapan, 1988.

[6] Kisah ini pernah dimuat di majalah kampus Ekspresi UNY (2003).