Senin, Mei 10, 2010

Cacatnya Pelajaran Sejarah Indonesia

Kata sejarawan “bayaran” Pemerintah, Indonesia adalah bangsa besar. Begitu tertulis di buku pelajaran, apalagi di buku pelajaran sejarah. Konon, Indonesia punya sejarah hebat dan pemimpinnya sejak dulu tanpa cela. Saya, ketika disekolah dulu pernah begitu yakin dengan kehebatan bangsa, yang terus di reproduksi itu. Pelan-pelan saya belajar lebih dalam lagi. Betapa sangat mengejutkan dan menggelikan ketika melihat betapa lucunya sejarah Indonesia. Selalu ada seseorang yang ingin dijadikan dan menjadikan orang lan layaknya Pangeran yang terhormat tanpa cela. Banyak orang akan melihat itu pangeran, namun sebenarnya dia hanya badut atau bahkan penjahat.

Sejarah bukan perkara memiliki masa lalu hebat. Keharusan macam itu telah menyasat banyak generasi kedepan. Karena mereka akan lupa pada kesalahan yang seharusnya mereka perbaiki.

Selalu ada pihak yang selalu menampilkan sisi putihnya dalam sejarah. Nyaris tanpa cacat bahkan. Begitulah sejarah kaum nasionalis dibangun, demi cita-cita nasional katanya. Nyatanya itu hanya menguntungkan sekelompok elit saja. Kita tahu kelakuan Muhamad Yamin—yang mengagungkan sejarah Majapahit yang katanya jaya. Nyatanya Majapahit adalah Imperialis Nusantara. Hal ini tidak pernah dibahas dan sengaja dihindari dan ditutupi.

Tak Ada Sejarah Tanpa Cela
Nasionalisme dalam sejarah Indonesia begitu marak puluhan tahun silam. Dimana Muhamad Yamin sebagai salah satu pendukung Nasionalisme sejarah itu. Yamin terkesan berlebihan mengagungkan sejarah kejayaan nusantara dibawah Majapahtit demi membangkitkan nasionalisme. Padahal Majapahit adalah Imperialis pribumi terbesar di Nusantara sebelum VOC (Belanda) dan bangsa asing lainnya datang dan menguasai Indonesia.

Majapahit, bukan sebuah federasi kerajaan Nusantara dimana Majapahit sebagai pimpinan. Ekspedisi Majapahit sendiri dalam menguasai kerajaan lain dipenuhi kekerasan, walau ada beberapa kerajaan secara sukarela mau diperintah Majapahit ang mereka tahu begiu kuat. Kita tahu bersama peristiwa Bubat, dimana rombongan Sri Baduga Maharaja dihabisi orang-orang-nya Gajah Mada, karena Sri Baduga Maharaja selaku raja Sunda tidak mau tunduk pada Majapahit.

Tangan penguasa cenderung dikotori darah. Sukarno yang bukan pembunuh, bahkan tidak pernah memberi perintah untuk membunuh, pun harus tegak berdiri diatas kematian Musso, Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, Tan Malaka dan lainnya. Suharto pun semua orang tahu betapa berdarah dinginnya dia. Orang yang diakui sebagai Jenderal Besar Bintang Lima itu, tidak pernah bertanggung-jawab atas jutaan pembunuhan politik di Indonesia ketika dirinya berkuasa. Namun nyatanya dalam buku-buku sejarah di sekolah nama-nama pemimpin Indonesia selalu harum dan suci.

Bahkan peran militer dalam sejarah juga ikut ditonjolkan ketika Suharto naik sebagai penguasa. Hingga peran kelompok lain akhirnya terpinggirkan. Dimana seolah hanya militerlah yang paling berjasa dan yang lain tidak begitu berjasa. Nugroho Notosusanto harus bertanggung-jawab soal dominasi militer dalam sejarah Indonesia. Militerisme adalah arah yang dibangun Nugroho Notosusanto dalam sejarah Indonesia.





Selalu Menyalahkan Bangsa Lain

Penulisan sejarah Indonesia yang akan dikonsumsi siswa sekolah dan masyarakat luas, selalu bernada kebencian pada bangsa penjajah secara berlebihan. Selalu digambarkan lebih jahat dari yang sebenarnya.

Lihat saja angka 40.000 korban kekejaman pasukan Westerling di Sulawesi Selatan. Angka 40.000 itu tidak disepakati sejarawan, termasuk sejarawan Indonesia. Seorang mahasiswa sejarah di Makassar malah mengaku bahwa angka sebenarnya bukan 40.000, namun bukan angka-nya yang mengerikan tapi metode pembunuhan yang dilakukan Westerling—yang sebenarnya hanya untuk mencari para gerilyawan ditengah kerumunan. Metode pembunuhan Westerling itu adalah pengadilan sekaligus eksekusi yang lebih banyak salah korban. Aksi Westerling yang hanya sekitar tiga bulan itu, hanya memakan korban sekitar beberapa ribu korban saja, tidak mencapai puluhan ribu. Karena berdasar penelitan dari Angkatan Darat RI, hanya menemukan angka 1.700. itupun angka yang tewas selama revolusi Indonesia. Meski hanya mencapai angka ribuan, tetap saja itu sudah jumlah yang banyak.

Dalam buku sejarah SD, selalu ditulis bahwa bangsa Belanda dengan VOC-nya menerapkan politik Devide Et Impera (politik pecah belah). Memang benar politik itu digunakan. Meski begitu, jangan lupa bahwa sebelum politik pecah belah dijalankan penguasa-penguasa di Nusantara sudah terpecah belah. Bahkan perpecahan antar bangsawan pada sebuah kerajaan sudah ada jauh sebelum bangsa asing datang. Artinya penguasa dan juga bangsawan-nya sudah terpecah belah dan memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Mereka memiliki ego untuk untung dan berkuasa sendiri, hingga dengan mudah dirangkul VOC. Banyak penguasa lokal mau bersekutu dengan VOC dengan syarat-syarat tertentu yang pastinya juga menguntungkan VOC.

Jadi, VOC tidak perlu bersusah payah memecah belah Bangsa yang mengaku Indonesia itu. Mereka sudah terpecah, jadi tidak susah menguasainya. Menguasai nusantara ada kalanya mudah karena sudah terpecah. Namun yang terkesan dalam pelajaran sejarah adalah bahwa VOC berusaha keras memecah belah bangsa di Nusantara.

Inilah hal yang konyol dalam pebelajaran sejarah di sekolah. Penjajah bangsa asing adalah sosok kejam yang menindas dan harus dibenci. Digambarkan kehidupan rakyat jelata menjadi susah ketika bangsa asing lain datang. Padahal kesengsaraan rekyat jelata sudah ada sejak feodalisme dan kerajaan-kerajaan klasik muncul. Pelajaran sejarah slalu mengarahkan bahwa penjajah selalu bangsa asing dan bukan Bangsawan penindas—yang memang menindas sejak dulu.





Harus Berhenti

Banyak hal yang harus dibongkar dalam sejarah Indonesia. Untung saja, kemajuan teknologi informsi membuat pemuda Indonesia makin kritis dan sedikit bisa menelanjangi sejarah yang dibangun pemerintah.

Banyak orang mulai bertanya kenapa Arung Palaka berontak? Kenapa Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, PRRI-Permesta berontak? Lalu kenapa pula Letkol Untung dengan berani menculik para Jenderal AD—yang adalah senior dan atasannya sendiri? Pasti ada sebabnya. Dan sebab pemberontakan selalu dikarang pemerintah karena mereka tidak memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Lebih keji lagi para pemberontak disamakan dengan pengkhianat oleh pemerintah.

Pelajaran sejarah yang tidak jujur telah dibuat. Mulai dari menyalahkan para pemberontak, menutupi jasa-jasa kelompok PKI dalam pergerakan Nasional, mengkultuskan pemimpin nasional tertentu sebagai sosok tanpa cela, namun sebenarnya penuh dosa. Begitulah isi dan tujuan dari kurikulum pemerintah. Yang tidak adil dan sangat tidak jujur.

Efek dari ketidakjujaran yang dibangun pemerintah adalah makin hilangnya wibawa pemerintah di kalangan kaum muda sendiri. Dimata dunia internasional itu jelas memalukan. Setelahnya, bagi masyarkat dunia, Indonesia tentu akan dipandang hina sebagai bangsa pembohong. Jauh lebih memalukan setelah dituduh sebagai Bangsa Terkorup di dunia.

Sudah saatnya kurikulum pelajaran sejarah disusun dengan penuh kejujuran. Setidaknya pelajaran bisa mengajak generasi baru Indonesia untuk lebih bisa bersikap jujur daripada sebelumnya. Harapan jauh kedepannya sikap jujur ini bisa melahirkan perang melawan korupsi di Indonesia. Apa mungkin korupsi yang menjangkiti Indonesia ini dikarenakan pelajaran sejarah yang dipenuhi ketidak-jujuran?

Tulisan ini mungkin akan menjawab mengapa saya enggan menjadi guru sejarah di Sekolah yang harus ikut kurikulum yang tidak-jujur. Lagipula saya punya gelar SPd dan selalu mau membaca buku-buku sejarah non-diktat selama kuliah. Jika mau memotong rambut saya dan berpakaian rapi? Tentu saya semakin layak mengajar di sekolah. Ketidakjujuran kurikulum tadi ikut membuat saya memanjangkan rambut saya dan memilih mengajar dengan gaya saya, lewat tulisan atau diskusi ringan dimana pun, tidak harus di sekolah—yang sudah terkontaminasi.Cacatnya Pelajaran Sejarah Indonesia



Kata sejarawan “bayaran” Pemerintah, Indonesia adalah bangsa besar. Begitu tertulis di buku pelajaran, apalagi di buku pelajaran sejarah. Konon, Indonesia punya sejarah hebat dan pemimpinnya sejak dulu tanpa cela. Saya, ketika disekolah dulu pernah begitu yakin dengan kehebatan bangsa, yang terus di reproduksi itu. Pelan-pelan saya belajar lebih dalam lagi. Betapa sangat mengejutkan dan menggelikan ketika melihat betapa lucunya sejarah Indonesia. Selalu ada seseorang yang ingin dijadikan dan menjadikan orang lan layaknya Pangeran yang terhormat tanpa cela. Banyak orang akan melihat itu pangeran, namun sebenarnya dia hanya badut atau bahkan penjahat.

Sejarah bukan perkara memiliki masa lalu hebat. Keharusan macam itu telah menyasat banyak generasi kedepan. Karena mereka akan lupa pada kesalahan yang seharusnya mereka perbaiki.

Selalu ada pihak yang selalu menampilkan sisi putihnya dalam sejarah. Nyaris tanpa cacat bahkan. Begitulah sejarah kaum nasionalis dibangun, demi cita-cita nasional katanya. Nyatanya itu hanya menguntungkan sekelompok elit saja. Kita tahu kelakuan Muhamad Yamin—yang mengagungkan sejarah Majapahit yang katanya jaya. Nyatanya Majapahit adalah Imperialis Nusantara. Hal ini tidak pernah dibahas dan sengaja dihindari dan ditutupi.



Tak Ada Sejarah Tanpa Cela

Nasionalisme dalam sejarah Indonesia begitu marak puluhan tahun silam. Dimana Muhamad Yamin sebagai salah satu pendukung Nasionalisme sejarah itu. Yamin terkesan berlebihan mengagungkan sejarah kejayaan nusantara dibawah Majapahtit demi membangkitkan nasionalisme. Padahal Majapahit adalah Imperialis pribumi terbesar di Nusantara sebelum VOC (Belanda) dan bangsa asing lainnya datang dan menguasai Indonesia.

Majapahit, bukan sebuah federasi kerajaan Nusantara dimana Majapahit sebagai pimpinan. Ekspedisi Majapahit sendiri dalam menguasai kerajaan lain dipenuhi kekerasan, walau ada beberapa kerajaan secara sukarela mau diperintah Majapahit ang mereka tahu begiu kuat. Kita tahu bersama peristiwa Bubat, dimana rombongan Sri Baduga Maharaja dihabisi orang-orang-nya Gajah Mada, karena Sri Baduga Maharaja selaku raja Sunda tidak mau tunduk pada Majapahit.

Tangan penguasa cenderung dikotori darah. Sukarno yang bukan pembunuh, bahkan tidak pernah memberi perintah untuk membunuh, pun harus tegak berdiri diatas kematian Musso, Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, Tan Malaka dan lainnya. Suharto pun semua orang tahu betapa berdarah dinginnya dia. Orang yang diakui sebagai Jenderal Besar Bintang Lima itu, tidak pernah bertanggung-jawab atas jutaan pembunuhan politik di Indonesia ketika dirinya berkuasa. Namun nyatanya dalam buku-buku sejarah di sekolah nama-nama pemimpin Indonesia selalu harum dan suci.

Bahkan peran militer dalam sejarah juga ikut ditonjolkan ketika Suharto naik sebagai penguasa. Hingga peran kelompok lain akhirnya terpinggirkan. Dimana seolah hanya militerlah yang paling berjasa dan yang lain tidak begitu berjasa. Nugroho Notosusanto harus bertanggung-jawab soal dominasi militer dalam sejarah Indonesia. Militerisme adalah arah yang dibangun Nugroho Notosusanto dalam sejarah Indonesia.





Selalu Menyalahkan Bangsa Lain

Penulisan sejarah Indonesia yang akan dikonsumsi siswa sekolah dan masyarakat luas, selalu bernada kebencian pada bangsa penjajah secara berlebihan. Selalu digambarkan lebih jahat dari yang sebenarnya.

Lihat saja angka 40.000 korban kekejaman pasukan Westerling di Sulawesi Selatan. Angka 40.000 itu tidak disepakati sejarawan, termasuk sejarawan Indonesia. Seorang mahasiswa sejarah di Makassar malah mengaku bahwa angka sebenarnya bukan 40.000, namun bukan angka-nya yang mengerikan tapi metode pembunuhan yang dilakukan Westerling—yang sebenarnya hanya untuk mencari para gerilyawan ditengah kerumunan. Metode pembunuhan Westerling itu adalah pengadilan sekaligus eksekusi yang lebih banyak salah korban. Aksi Westerling yang hanya sekitar tiga bulan itu, hanya memakan korban sekitar beberapa ribu korban saja, tidak mencapai puluhan ribu. Karena berdasar penelitan dari Angkatan Darat RI, hanya menemukan angka 1.700. itupun angka yang tewas selama revolusi Indonesia. Meski hanya mencapai angka ribuan, tetap saja itu sudah jumlah yang banyak.

Dalam buku sejarah SD, selalu ditulis bahwa bangsa Belanda dengan VOC-nya menerapkan politik Devide Et Impera (politik pecah belah). Memang benar politik itu digunakan. Meski begitu, jangan lupa bahwa sebelum politik pecah belah dijalankan penguasa-penguasa di Nusantara sudah terpecah belah. Bahkan perpecahan antar bangsawan pada sebuah kerajaan sudah ada jauh sebelum bangsa asing datang. Artinya penguasa dan juga bangsawan-nya sudah terpecah belah dan memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Mereka memiliki ego untuk untung dan berkuasa sendiri, hingga dengan mudah dirangkul VOC. Banyak penguasa lokal mau bersekutu dengan VOC dengan syarat-syarat tertentu yang pastinya juga menguntungkan VOC.

Jadi, VOC tidak perlu bersusah payah memecah belah Bangsa yang mengaku Indonesia itu. Mereka sudah terpecah, jadi tidak susah menguasainya. Menguasai nusantara ada kalanya mudah karena sudah terpecah. Namun yang terkesan dalam pelajaran sejarah adalah bahwa VOC berusaha keras memecah belah bangsa di Nusantara.

Inilah hal yang konyol dalam pebelajaran sejarah di sekolah. Penjajah bangsa asing adalah sosok kejam yang menindas dan harus dibenci. Digambarkan kehidupan rakyat jelata menjadi susah ketika bangsa asing lain datang. Padahal kesengsaraan rekyat jelata sudah ada sejak feodalisme dan kerajaan-kerajaan klasik muncul. Pelajaran sejarah slalu mengarahkan bahwa penjajah selalu bangsa asing dan bukan Bangsawan penindas—yang memang menindas sejak dulu.





Harus Berhenti

Banyak hal yang harus dibongkar dalam sejarah Indonesia. Untung saja, kemajuan teknologi informsi membuat pemuda Indonesia makin kritis dan sedikit bisa menelanjangi sejarah yang dibangun pemerintah.

Banyak orang mulai bertanya kenapa Arung Palaka berontak? Kenapa Kahar Muzakar, Kartosuwiryo, PRRI-Permesta berontak? Lalu kenapa pula Letkol Untung dengan berani menculik para Jenderal AD—yang adalah senior dan atasannya sendiri? Pasti ada sebabnya. Dan sebab pemberontakan selalu dikarang pemerintah karena mereka tidak memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Lebih keji lagi para pemberontak disamakan dengan pengkhianat oleh pemerintah.

Pelajaran sejarah yang tidak jujur telah dibuat. Mulai dari menyalahkan para pemberontak, menutupi jasa-jasa kelompok PKI dalam pergerakan Nasional, mengkultuskan pemimpin nasional tertentu sebagai sosok tanpa cela, namun sebenarnya penuh dosa. Begitulah isi dan tujuan dari kurikulum pemerintah. Yang tidak adil dan sangat tidak jujur.

Efek dari ketidakjujaran yang dibangun pemerintah adalah makin hilangnya wibawa pemerintah di kalangan kaum muda sendiri. Dimata dunia internasional itu jelas memalukan. Setelahnya, bagi masyarkat dunia, Indonesia tentu akan dipandang hina sebagai bangsa pembohong. Jauh lebih memalukan setelah dituduh sebagai Bangsa Terkorup di dunia.

Sudah saatnya kurikulum pelajaran sejarah disusun dengan penuh kejujuran. Setidaknya pelajaran bisa mengajak generasi baru Indonesia untuk lebih bisa bersikap jujur daripada sebelumnya. Harapan jauh kedepannya sikap jujur ini bisa melahirkan perang melawan korupsi di Indonesia. Apa mungkin korupsi yang menjangkiti Indonesia ini dikarenakan pelajaran sejarah yang dipenuhi ketidak-jujuran?

Tulisan ini mungkin akan menjawab mengapa saya enggan menjadi guru sejarah di Sekolah yang harus ikut kurikulum yang tidak-jujur. Lagipula saya punya gelar SPd dan selalu mau membaca buku-buku sejarah non-diktat selama kuliah. Jika mau memotong rambut saya dan berpakaian rapi? Tentu saya semakin layak mengajar di sekolah. Ketidakjujuran kurikulum tadi ikut membuat saya memanjangkan rambut saya dan memilih mengajar dengan gaya saya, lewat tulisan atau diskusi ringan dimana pun, tidak harus di sekolah—yang sudah terkontaminasi