Jumat, Agustus 30, 2013

Kami adalah Keluarga (Besar) Metallica

Musik rock di Indonesia seolah tenggelam begitu dalam, buat saya. Geliatnya baru gemilang lagi 25 Agustus 2013, ketika Metallica manggung.

Selain Tae Kwon Do, Palang Merah dan pastinya Sejarah, musik rock adalah hal penting di masa-masa SMA. Tanpa sadar, saya sudah dengar John Lennon dari kecil. Saya baru menyadarinya saat SMA. Di SMP, saya sudah dengar dengar Led Zeppelin; Deep Purple; Grand Funk Railroad; AKA dan entah apalagi dari piringan hitam di rumah. Hampir semua piringan yang ada pernah saya putar, termasuk lagu-lagu cengengnya Panbers atau Freedom of Rhapsodia.
            Saya punya banyak teman keren yang kenalkan saya banyak hal. Tukul alias Dwi Saputro perkenalkan Guns and Roses dan juga Metallica. Tak sekedar dengar lagu-lagu cadas mereka, kami kadang bicara tentang mereka. Kami sering menikmati Nothing Else Matter atau Enter sandman. Saya tak pernah punya mimpi untuk menonton langsung konser band rock besar macam mereka. Itu sangat mustahil. Saya kira, waktu itu, band-band rock besar dunia ogah konser di Indonesia. Apalagi Metallica punya mengalaman buruk konser di Indonesia. 
            Trend musik lalu berubah. Anak muda Indonesia belakangan lebih suka musik yang tak menggugah smangat, macam ST 12, Kangen Band dan entah apalagi. Itu semakin meyakinkan saya, "sampai kiamat pun tak bakal ada Band rock, bahkan yang Metal bakal ridho konser di negeri ini. Sebuah kiamat panjang yang menyakitkan dan terpaksa harus dinikmati anak muda pecinta musik cadas.
            Di masa kiamat panjang itu, ternyata masih ada segelintir anak muda yang masih doyan rock. Beruntung, di kampus saya yang payah masih ada penggemar rock. Ada anak-anak mahasiswa pecinta alam, anak-anak band kampus dan beberapa senior organisasi kampus lain yang bisa diajak berbagi MP3 atau cerita soal band rock. Meski nampak ketinggalan jaman, tetap saja musik rock hebat di masa itu. 
            Sekian lama musik rock tak menggema begitu rupa. Tanpa semarak konser rock band besar dunia Indonesia seolah mengalami kiamat panjang, beruntung Metallica akhirnya datang. Secara pribadi saya bukan penggemar metal, banyak tahu saya adalah penikmat Pink Floyd, tapi Metallica meyakinkan saya jika rock itu masih layak didengar oleh orang-orang Indonesia. Tanpa ragu saya terima ajakan kawan sekantor saya, sebut saja Angga Adil Darmawan, yang mengajak saya nonton Metallica. Kami tak peduli harganya, yang penting Metallica. Kami berdua berjuang memburu tiket untuk melihat Kirk Hammet, James Hetfield, Lars Ulrich dan Robert Trujilo manggung di Senayan. Beruntung kami temukan tiket itu juga di Matraman, maaf nama tempat itu ogah saya sebutkan.
            Tanggal 25 Agustus 2013 pun tiba. Kami bersukacita menyambut konser itu. Kami berangkat bersama. Mendekati Senayan, kami orang berbaju hitam dimana-mana. Mereka juga akan ke Senayan seperti kami. Metallica adalah tujuan kami. 
Norak bersama John Paul Ivan
Norak bersama John Paul Ivan
Sampai di Senayan, saya melihat rocker keren yang dipuja-puja bocah-bocah jaman saya. Dia John Paul Ivan, mantan gitaris Boomerang yang sekarang tak pernah saya lihat lagi. Terakhir lihat di Palembang, waktu ada konser yang menghadir banyak gitaris di sana, bersama kawan saya Olin Reynaldi dua tahun silam.        
Saya mendadak norak, minta foto bareng. Saya mendadak seperti anak SMA lagi. Tak apa, itu bukan dosa! Ini nostalgia. Beruntung, JOhn Paul Ivan yang mulai terlupakan itu dengan senang hati diabadikan bersama kami. 
            Pukul lima sore kami masuk Stadion Senayan. Ternyata festival A masih agak sepi. Kami ambil posisi di depan. Sambil duduk, kami pun dengan cepat ngobrol dengan penonton lain. Tanpa memperkenalkan nama. Kami hanya bicara Metallica tanpa tahu siapa nama lawan bicara kami. Kami seolah sudah kenal sejak SMA. Semua penonton Metallica di stadion rasanya seperti kawan baik. Di konser lain saya tak pernah merasa seperti itu.
  Seringai tampil sebagai band pembuka. Sebelumnya ada Raisa, penyanyi cewek yang baru naik daun, memimpin kami semua menyanyikan Indonesia raya dari atas panggung. Saya baru tahu itu adalah Raisa yang sering dibicarakan teman-teman di kantor. Seringai tampil juga bersama Stevi Item, yang aslinya memang anak Metal, tapi orang lebih sering lihat dia jadi personilnya Andra and The Backbone.
Setelah seringai turun panggung, kami menunggu satu jam Metallica untuk naik panggung. Entah alasannya apa, tetap saja itu menyebalkan. Banyak yang tak sabar, beruntung orang-orang bisa tahan diri. Tak seperti yang dibayangkan, penonton Metallica di sekitar kami adalah orang-orang tertib karena punya kesadaran pentingnya damai. Mungkin tak seperti penonton dangdut koplo yang mabuk. Maklum kebanyakan penonton adalah orang-orang yang usianya sekitar 30 tahunan, bahkan lebih.
James dkk beraksi
James dkk beraksi
Akhirnya, James dkk pun muncul. suasana mendadak meriah. Dan kiamat kecil yang panjang, dimana lingkungan sekitar jauh dari hingar bingar musik rock, pun segera berakhir. Ada kegembiraan tak tertahan dalam benak saya. Entah penonton lain. Ada diantara mereka yang menanti 20 tahun untuk menonton Metallica. Kangen mereka terobati. Dari jauh mereka datang ke Jakarta. Dengan pesawat, kereta api juga mungkin kapal laut. Semua demi Metallica. Jakarta pun menghitam. Tapi damai. 
Sebenarnya FPI ulang tahun di hari Metallica konser. Mereka sepertinya takut sama anak-anak metal. Dulu mereka boleh gagalkan Lady Gaga, tapi tidak Metallica. Mereka pasti hancur jika mencoba gagalkan Metallica, karena anak metal itu berotak dan berotot, cerdas dan bersemangat.  Harus diakui, kawan-kawan saya yang penggemar Metallica adalah orang-orang cerdas dan berani. FPI tak berani sweep and destroy...
James, ditengah konser berteriak pada semua penonton, "kalian adalah keluarga besar Metallica." Saya sepakat sekali. Saya terenyuh ketika penonton bagian depan mengambil air mineral gelasan, lalu mengoperkannya ke belakang, yang dibelakangnya, menyerahkannya ke belakang lagi. Banyak penonton yang berbagi segelas air gelasan itu ditengah konser. Jakarta boleh mengajarkan individualisme, tapi saya tak lihat rasa Individualisme yang belakangan diangkat oleh kawan-kawan Jakartais saya kantor.
Kembali ke konser, saya lupa urutan lagu-lagu yang dibawakan. JUjur saya tak hafal lagu-lagu Metallica, tapi tetap saja saya jingkrak-jingkrak, kadang seperti kerasukan. Ada rasa yang luar biasa ketika Nothing Else Matter yang alunannya agak santai. 
Semua lalu memuncak ketika Enter Sandman dibawakan James dkk. Hampir semua penonton tampak lebih menikmati konser. Seperti ada kebahagiaan yang sulit digambarkan. Senang bisa menonton Metallica. Hitam itu ternyata tidak buruk, nyatanya penonton Metallica yang berbaju hitam punya humanisme yang baik daripada orang berdasi. Saya masih terngiang, "kami adalah keluarga besar Metallica."

Mengintai Orang Kate Dari Utara

Ini bukan review film. Tapi hanya catatan soal bagaimana sekutu memata-matai Jepang di Pasifik.

Sekutu tak tinggal diam ketika Balatentara Jepang menduduki Indonesia. Untuk Indonesia, di Australia yang menjadi ladang pengungsian besar-besaran dari pihak Belanda pun sudah punya rencana untuk Indonesia. Bersama Tentara Belanda, pihak Australia terus melakukan kerja terpisah dalam mengumpulkan data-data kekuatan militer Jepang di Indonesia. Hanya infiltrasi yang bisa dilakukan mengingat kuatnya militer Jepang di Indonesia. 
Wilyah kekuasaan Angkatan Laut Jepang, Armada Selatan Kedua, yang membawahi  daerah Kalimatan hingga sekitar perairan Papua, adalah sasaran infiltrasi yang agaknya dianggap lemah. Wilayah armada selatan kedua itu jelas jauh lebih luas daripada wilayah Tentara ke-16 (Angkatan Darat) di Jawa dan Tentara ke-25 (Angkatan Darat) di Sumatra.
Ada beberapa misi rahasia dari pihak sekutu: Inggris; Belanda; Australia dan Selandia Baru dalam memata-matai Jepang di Indonesia. 

Z Force Hingga Mel Gibson
Sebuah satuan intelejen bernama SAD Force (Z Force) dikirim menyusup ke Balikpapan untuk mengumpulkan informasi intelejen. SAD Force adalah regu intelejen yang berpangkalan di Morotai. Regu ini berjumlah 14 orang tentara sekutu yang dipimpin oleh William C. Dwyer, salah satunya adalah orang Melayu. dengan kapal selam regu ini berangkat dari Morotai dan mendarat ditepi pantai Sigaku, Samboja. Mereka mendapat bantuan dari penduduk setempat. Tidak semua penduduk bersimpati pada mereka karena ada salah satu penduduk yang melapor pada Kempeitai Jepang di Balikpapan mengenai keberadaan penyusup itu di Samboja. Atas laporan itu Jepang segera bertindak dengan mengirim sekompi pasukan untuk memburu para penyusup itu. (Agus Suprapto, Perang Berebut Minyak: Peranan Strategis Pangkalan Minyak Kalimanatan Timur dalam Perang Asia Pasifik 1942-1945, hlm.197-202).
Pasukan Jepang berusaha menangkap mereka, penyusup SAD Force itu berlari kearah hutan Sigaku yang lebat. Dua anggota SAD Force tertangkap Jepang ketika merusak sarana komunikasi milik Jepang di Sungai Tiram. Dengan menambah jumlah pasukan, para penyusup itu terus diburu tentara Jepang. Akhirnya, hutan itu dipagar betis oleh pasukan Jepang agar para penyusup tidak bisa lolos lagi. Akhirnya terjadi pertempuran sengit antar pasukan itu. Pasukan khusus SAD Force tidak mau menyerah dan terus mealwan pasukan Jepang yang jumlahnya lebih dari satu kompi itu.
Penyusup SAD Force terus membobol kepungan pasukan Jepang yang sudah rapat itu. Penyusup itu berhasil membedah kepungan pasukan Jepang yang dianggap lemah dengan tembakan bertubi-tubi sehingga prajurit yang mengepung itu tewas. Kecuali seorang petugas radio yang ditangkap, penyusup SAD Force berhasil meloloskan diri dari kepungan Jepang itu.
Misi ini seolah tanpa hasil karena belum cukup memperoleh data. Mereka kembali ke pangkalan mereka di kepulauan Morotai dengan dijemput oleh pesawat Catalina—bersama penyusup SAD Force terdapat empat orang penduduk setempat yang kemudian dimintai keterangan mengenai posisi Jepang di Balikpapan. Tetap saja belum ada informasi intelejen yang layak yang digunakan untuk merencanakan penyerbuan ke Balikpapan. Setelah penyusupan itu gagal, Penjawat (camat) Samboja A.R. Ariomidjoyo, Mantri Polisi H. Anwar, dan Kepala kampung H. Arief ditangkap dari rumahnya. Atas tuduhan membantu penyusup SAD Force ketiga orang itu dieksekusi tanpa diadili terlebih dahulu. (Agus Suprapto, Perang Berebut Minyak: Peranan Strategis Pangkalan Minyak Kalimanatan Timur dalam Perang Asia Pasifik 1942-1945, hlm. 204).
Begitulah misi Z Force di Indonesia. Ternyata, Z Force tak hanya bergerak di Kalimantan saja. Mereka juga bergerak di daerah pendudukan Jepang yang lain di Asia Tenggara dan sekitar Papua. Tim khusus ini tak hanya melibatkan serdadu-serdadu Bule, orang-orang Timor, melayu pun dilibatkan. Mereka tak hanya cari informasi, mereka juga melakukan sabotase untuk mengganggu gerakan Jepang di Kepulauan Pasifik. (David Horner, (1989). SAS: Phantoms of the Jungle-A History of the Australian Special Air Service, hlm. 26).
Kisah heroik tim khusus ini pun kemudian difilmkan pada 1982 oleh Australia dan Taiwan. Saya belum telusuri lebih jauh apakah kisah film itu real atau tidak, setidaknya film buatan Australia itu terinspirasi dari aksi-aksi tim Z Force tadi. Film yang berjudul Attack Z Force ini juga melibatkan Mel Gibson sebagai Kapten Kelly, komandan pasukan misi. Tampaknya Mel Gibson tertarik dengan cerita pembebasan hingga dia terlibat dalam The Patriot,Braveheart, dan juga Galipoli. 

Misi Saumlaki dan NEFIS
Belanda tentu tak ketinggalan memata-matai Indonesia. Julius Tahiya dan seregu KNIL dikirim ke Kepulauan Saumlaki. Dengan kekuatan terbatas pasukan kecil ini berusaha melawan serdadu Jepang yang mengincar mereka. Meski sempat menuai kemenangan, tetap saja mereka harus pergi. Serdadu Jepang takan lepaskan mereka.
Julius Tahiya, masuk sebagai bintara KNIL di tahun 1937. Dia ikut menyeberang ke Australia ketika Perang Pasifik berkobar dan Tentara jepang masuk Indonesia. Julius Tahiya pernah melakukan pedaratan diam-diam di Saumlaki pada masa pendudukan Jepang sebagai bintara KNIL. Setelah PD II berakhir pangkat Julius Tahiya diaikan menjadi Letnan.
Semasa revolusi kemerdekaan RI, Julius Tahiya bekerja untuk kepentingan Belanda karena dia termasuk KNIL yang dibawa Belanda ke Australia. Julius Tahiya, sebagai orang Indoensia yang pastinya memiliki pengetahuan tentang Indonesia yang berusaha direbut kembali oleh Belanda, sangatlah penting kedudukannya. Karenanya Julius Tahiya dijadikan staf Jenderal Spoor dengan pangkat Kapten. Tahiya tidak lama menjadi staf Jenderal Spoor. (Julius Tahiya, Horizon Beyond, ab. Melani Budianta, Melintas Cakrawala: Kisah Sukses Pengusaha Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 37-56, 71).
Seharusnya,  pengalaman JUlius dan kawan-kawannya bisa menjadi bahan pertimbangan bagi NEFIS yang berdiri sebelum 1945. NEFIS sendiri berdiri di AUstralia. Mereka sudah mulai mengumpulkan informasi apa saja soal kekuatan Jepang dan juga soal masyrakat Indonesia. Sayangnya, NEFIS gagal membuat analisa yang tepat soal Indonesia. Mereka mengira orang Indonesia akan senang jika Belanda kembali, karena kejamnya Jepang, namun yang terjadi sebalikanya. Mereka disambut dengan perlawanan, bukan sebagai pahlawan. Pimpinan NEFIS yang kesohor adalah Simon Hendrik Spoor yang kemudian jadi Legercommandant KNIL.
Gerrits Kakisina adalah lulusan Kader  School Gombong sebelum perang dunia II. Dia ikut mengungsi ke Australia. Sebagai Sersan II KNIL, dia dilatih  tentara Amerika untuk tugas Field Combat Intelliegence untuk menyerbu Asia Tenggara. Konon, Gerrits pernah bertugas di front Pasifik juga. Setelah Jepang menyerah, Gerrits adalah anggota NEFIS. Gerrits masuk ke Surabaya pada November 1945.Gerrits buta politik. Dia hanya berpikir dirinya serdadu yang harus professional yang harus jalankan apapun perintah komandan. Bukan mengikuti perkembangan politik. Selama di Australia, atasan-atasan Belandanya mengatakan yang akan dihadapinya di Indonesia adalah Ektrimis. Ketika bertugas di TNI, di tahun 1960an, dengan pangkat Letnan Satu, di Sumatra Selatan. Gerrits tidak begitu disukai. Bahkan dijauhi. Karena dirinya bekas musuh TNI di masa revolusi. Gerrits tak banyak bicara.  Dia pensiun dengan pangkat Kapten. (Z.A. Maulani, Melaksanakan Kewajiban Kepada Tuhan danT anah Air (Memoar Seorang Prajurit TNI),Jakarta, Desata, 2005, hlm. 132-134). 
Gerits yang mantan NEFIS, mungkin juga termasuk orang yang ikut meneropong dan mematai serdadu Jepang yang disebut sebagai orang kate dari utara. Setidaknya dia pernah ikut melawan serdadu Jepang. Tak seperti orang macam Suharto yang tidak melawan Jepang.