Senin, Desember 13, 2010

Pasifikasi ala Westerling di Zuid Celebes

Pasifikasi ala Westerling di Zuid Celebes


Sebagian pasukan DST dalam Kampanye Pasifikasi Westerling Di Sulawesi Selatan. Mereka menerapkan Pengadilan lapangan atas rakyat sipil yang dituduh pro geriluawan kemerdekaan.
Zaman permulaan revolusi Indonesia di Sulawesi Selatan tidak kalah panasnya. Perlawanan gerilya pro republik di Sulawesi Selatan membuat perwira tertinggi KNIL disana frustasi dan menghubungi Spoor. Harus ada solusi atas perlawnan gerilya yang sengit dan membuat Sulawesi Selatan menjadi daerah, yang bagi Belanda, paling tidak aman di luar Jawa.
Spoor akhirnya memerintahkan pasukan Westerling untuk turun tangan. Pasukan Westerling itu belum lama dibentuk. Mereka melakukan berbabgai latihan militer khusus. Sepertinya penerjunan pasukan Westerling ke Sulawesi Selatan itu seolah menjadi ujicoba pasukan Komando baru itu. Ini tentu hal baru, sebab metode pelatihan yang digunakan Westerling adalah yang didapatnya di Inggris—metode bertempur Komando yang dirancang untuk wilayah Eropa.
Mereka berangkat 5 Desember 1946. Dan Aksi mereka mulai sejak 11 Desember 1946. Aksi mereka baru berakhir 3 bulan kemudian. Dengan menumpahkan banyak darah orang yang belum tentu bersalah juga.
Pasukan yang mengikuti tugas Westerling di Sulawesi Selatan itu terdiri dari 123 prajurit komando—yang sudah dilatih Westerling. Seabian besar kompi Westerling itu adalah orang-orang Ambon yang diambil dari kesatuan KNIL. Mereka juga diambil dari Batalyon X KNIL sebelum PD II yang memang militan.
Mungkin ada perbedaan medan Eropa dengan medan tropis Indoensia. Ini tantangan sendiri bagi Westerling—dimana dia harus menyesuaikan metode yang didapatnya di inggris dengan mengadaptasikannya dengan medan tropis Indonesia. Selalu ada kesamaan dalam dunia pasukan komando antara satu dan yang lain. Mereka selalu dilatih untuk meminimalisir penggunaan senjata api dan berusaha beradaptasi untuk bertempur disegala medan. Hanya saja, sebuah pasukan komando selalu dilatih dengan menyesuaikan diri disegala medan dan keadaan yang tidak selalu nyaman. Pasukan yang diberi pelatihan ini pernah diturunkan dalam kampanye Pasifikasi Belanda Di Sulawesi Selatan, dimana Westerling menjadi komandan pasukan dan operasi yang membanatai banyak nyawa orang-orang Sulawesi Selatan itu.
Pasukan Westerling yang ikut dalam kampanye pasifikasi itu adalah pasukan yang sangat loyal kepada Ratu Belanda. Selama di Jakarta, mungkin sebelum direkrut dalam DST, orang-orang itu sering terlibat baku hantam dengan pemuda-pemuda pro republik.Kebencian mereka terhadap hal berbau republik menjadi tersalur dengan kekejaman mereka di Sulawesi Selatan. Dalam mendapatkan informasi tentang gerilyawan, mereka berlaku kejam terhadap rakyat sipil—yang dimata mereka adalah orang republik yang tidak layak dihormati.
Westerling berangkat ke Sulawesi Selatan bersama 120 prajurit komando yang selesai dilatihnya. Sebelum Westerling dalam rombongan besar berangkat, sebuah tim pendahuluan telah dikirim terlebih dahulu. Tim yang terdiri 20 prajurit DST ini dipimpin oleh Letnan Satu Vermeulen. Tim pertama ini melakukan tugas-tugas intelejen untuk melacak keberadaan pimpinan republik di Sulawesi Selatan.
Aksi (pasukan) Westerling ini tidak peduli status sosial dalam menghabisi korban. Seorang bengsawan Bugis pro republik Datu Suppa juga dijadikan korban. Dalam tulisan Ricklefs tercatat sedikitnya 3.000 orang tebunuh karena aksi Westerling dan pasukannya ini.
Selama penugasan di Sulawesi Selatan, Westerling sama sekali tidak berpedoman pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionale Taak van het Legel (VTPL)—pedoman pelaksanaan bagi tentara untuk tugas politik dan polisional—dimana terdapat petunjuk mengenai pelaksanaan tugas intelejen dan bagaimana memperlakukan penduduk dan tahanan. Westerling telah mengulang apa yang dilakukan van Daelaan di Aceh dan Tanah Gayo. Kitab VTPL dianggap kuno oleh Westerling dan hanya taktik komando yang berlaku dalam melakukan Counter Insurgency (menghadapi pemberontak).
Pasukan ini tentu saja melakukan tugasnya seperti mesin perang. Mereka sudah memiliki latar belakang sebagai orang-orang yang akan membela Ratu Belanda untuk menguasai Indonesia kembali. Mereka merasa mereka hanya membunuh para gerilyawan saja dan merasa tidak peduli dengan hukum perang dan kemanusian.
Belum empat bulan aksi Westerling di Sulawesi Selatan, Spoor menarik Westerling dan pasukannya ke Jakarta. Terlepas dari berbagai kecaman orang-orang sipil peduli HAM, dimata petinggi militer, pasukan Westerling itu dinilai sukses di Sulawesi Selatan.
Keberadaan Westerling di daerah Jakarta yang tergolong aman oleh militer Belanda tentu bukan untuk bersantai di tangsi. Bersama para stafnya, Westerling tentu harus melatih terus pasukannya, baik yang lama apalagi y ang baru. Melatih pasukan semacam ini tentunya tidak bisa langsung dalam jumlah besar. mereka dipilih berdasar kemampuan sebagai seorang militer. Dari sekian ratus calon prajurit komando dari berbagai kesatuan militer Belanda, hanya beberapa orang saja yang terpilih. Mereka dilatih dalam sebuah kamp khusus di Jakarta dan Jawa Barat.
Kegilaan Westerling tidak berhenti di Sulawesi Selatan. Westerling selalu berambisi untuk menangkap orang-orang pemerintah RI. Westerling berserta pasukan khususnya pernah melakukan pembunuhan terhadap orang sipil—sekitar 150 orang di Cikalong, selatan Tasikmalaya; 200 orang yang dituduh preman dan melukai 200 lainnya di Karawang. Selain menewaskan 150 orang, pasukan Westerling yang kala itu sudah bernama Korps Speciale Troepen, di Cikalong juga menghancurkan 165 rumah dan membakar 980 ton padi—tujuannya tidak lain untuk memperlemah perlawanan gerilyawan yang ada di sekitar Cikalong. Aksi KST itu terjadi sekitar bulan Mei 1947.
Aksi pasukan Westerling juga menimbulkan protes dari kalngan pemuda wajib militer dan sukarelawan KL. Melalui Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 Resimen Infanteri di Tasikmalaya, ulah Westerling dan pasukannya itu dilaporkan kepada Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen. Pengaduan Schill itu menyebutkan bahwa tanpa alasan yang jelas, 10 orang penduduk dibantai pasukan DST dan membiarkan 10 mayat itu dibiarkan begitu saja dipinggir jalan. Setelah diusut, disimpulkan bahwa DST telah mengalami kemerosotan moral dan Westerling paling disalahakan dalam hal ini.
Menurut Batara Hutagalung, Jenderal Spoor mengambil langkah aman dengan me-nonaktif-kan Westerling dari pasukan Khusus untuk menghindari penyelidikan lebih lanjut—yang menurut Spoor tidak baik bagi jalannya peperangan Belanda di Indonesia. Akhirnya Westerling dinonaktifkan sejak 16 November 1948 oleh Jenderal Spoor, orang yang paling mengandalkannya untuk merebut ibukota RI. Dalam biografinya, Westerling justru mengaku bahwa dia dinonaktifkan oleh Spoor bukan karena kasus HAM-nya, melainkan karena menolak perintah Spoor untuk memimpin operasi ke Yogyakarta.
Terjadi simpangsiur berapa sebenarnya korban pembantaian alias pasifikasi ala Westerling ini. Ada yang menyebut 40.000 jiwa. Yang mana sebagian orang Sulawesi Selatan sendiri meragukan jumlah ini. Mereka percaya jumlahnya pasti banyak ribuan orang. Sulit menghitungnya. TNI AD yang pernah membuat penyelidikan menyatakan jumlahnya sekitar 1.700 jiwa. Saya hanya bisa perkirakan, meski bukan angka pasti, jumlah korban hanya ribuan, tidak sampai puluhan ribu. Dengan melihat waktu pembantaian dan personil pembantainya yang tidak terlalu banyak. Jadi saya ragu dengan angka 40.000 jiwa.

Tjeritera dari Peng Gepeng

Tersebutlah seorang botjah bernama Tjipto. Tjukup Broken Home didjamannja. Ajahnja djadi kriminil lantaran tjuri duit dari sebuah onderneming (Perkebunan, Belanda). Ibunja pun kawin lagi dengan orang Madura. Tjipto jang awalnja sekolah di Europe Leger School (ELS)--jang elite itu--lalu pindah ke sekolah jang lebih rendah drajatnja. Ajah tiri Tjipto tjukup kedjam djuga padanja. Hingga kelujuran djadi djurus mudjarab biar tidak ketemu dia punja ajah tiri jang galak itu.

Tjipto tinggal di Situbondo kala itu. Kemungkinan tidak djauh dari Kampung Panjie jang luas itu. Situbondo banjak dihuni orang-orang berbahasa Medura. Ja, mereka itu memang orang Medura pastinja. Seperti djuga ajah Tjipto jang tiada tara galaknja itu.

Bukan botjah djika tidak suka kelajapan. Tjipto suka kelajapanan pastinja. Tjipto punja perdjalanan heibat. Suatu hari. djika tidak salah masih diawal abad lalu, abad XX. Sekitar 90 taun silam rasanja. Tjipto berdjalan menudju sebuah bukit. Orang biasa sebut itu Bukit Ulama. Dengan smangat botjah-nja Tjipto susuri djalan jang pastinja tidak semulus djaman kita sekarang. Kemungkinan, Tjipto mulai perjalannja tidak lama sehabis petang.

Langkah botjah seusia Tjipto biasanja ketjil. Dan tidak bisa tjepat sepertinja. Dia berdjalan bersama prempuan-prempuan dewasa. Prempuan-prempuan itu djuga aken menudju itu bukit. Mereka bawa sadjen. Mereka, para prempuan itu tentu akan djiarah kubur. Bersama prempuan-prempuan itu, Tjipto berdjalan slama satu djam. Setelah bersusah pajah, tibalah mereka di sebuah bukit. Itulah jang di sebut orang djaman itu sebagai Bukit Ulama.Tempat dimana orang biasa minta berkah kehidupan.

Setiba disana, Tjipto disidik sama pendjaga makam. Laiknja seorang orang asing mentjurigakan. Pendjaga makam mungkin merasa aneh dengan botjah Tjipto ini. Mengapa kelujuran ke makam jang agak djauh dari kampung itu? Malam-malam pula. Rupanja si pendjaga makam tidak ambil pusing djuga akhirnja. Dan Tjipto pun bebas kelujuran disitu.

Tjipto menjaksikan pemandangan bagus disitu. Dia tidak tjuma liat makam--jang rupanja makam Panji Anom Prangkusumo--jang dianggep makam pendiri kampung Panjie itu. Ketika Tjipto menghadap arah barat daja, Tjipto liat gemerlapnja Situbondo di kala malam.

Soal Panji Anom Prangkusumo, ada jang sebut ini orang adik dari Djoko dari Medura. Kemungkinan besar, Panji Anom dari Medura djuga. Dia pendiri kampung Panjie di Situbondo.Tidak banjak tjatetan tentang Panji Anom. Panji Anom beserta keluarganja memang dimakamkan di makam itu djuga.

Meski bukan perdjalanan pandjang, tapi ini perdjalanan tjukup heibat untuk anak seumur Tjipto. Mungkin kala itu, Tjipto baru berumur 11 taun. Usia dimana dia sudah bisa batja tulis. Diantara orang bumiputra, dia tentu tergolong pintar djuga.Bagi botjah seperti Tjipto pemandangan Situbondo kala itu begitu heibat karena dia belum banjak jelajahi kota lain.

Tjipto kemudian bikin cerita soal perdjalanan hebatnja itu. Dalam sebuah naskah. Ben Anderson mengetahui naskah itu. Dan memang menarik mendengar apalagi membatja ceritera Tjipto itu. Menurut Ben, kisah masa ketjil jang dimasukan dalam sebuah memoar 90 taun silam adalah hal langka di Hindia Belanda. Kemungkinan Tjipto orang Bumiputra jang pertama kali melakukannja.

Beruntung Tjipto pernah bercerita pada kita tentang Bukit Ulama. Saat ini tidak seorang pun di Situbondo jang mengerti ada tempat jang bernama Bukit Ulama. Mereka hanja mengerti Penggepeng. Sebuah bukit dimana masih tersisa sebuah makam kuno. Makam jang sama sekali tidak berbau Islam. Meski dulu itu disebut Bukit Ulama.

Tidak sulit menemukannja. Djika anda di Situbondo, silahkan pergi ke Panjie lalu tanja dimana Penggepeng. Maka orang aken menundjukan sebuah bukit. Dimana berdiri tiang sutet. Nah makam itu disebelah tiang sutet itu. Nama makam itu berbau Madura memang. Penggepeng.