Rabu, Desember 12, 2007

Dan Kematian itu datang untuk Gie

"Manusia paling Beruntung pertama adalah yang tidak pernah dilahirkan; kedua dilahirkan tapi mati muda; terakhir yang paling sial adalah menjadi tua".Rasanya ini yang ada dibenak Gie sebelum menghirup gas beracun di puncak Semeru.
Pagi itu, 16 Desember 1969, seorang pemuda baru saja menikmati puncak kehidupannya—tepat dipuncak Gunung tertiggi di Jawa. Besarnya cipta Hyang Kuasa itu dia nikmati begitu rupa—walau dia tidak peduli pada Hyang kuasa sekalipun--hingga gas beracun merasuk dalam tubuhnya. Mati, ya kematian itu datang menghampiri pemuda itu—seperti apa yang ada dibenaknya beberapa tahun sebelumnya. Dia seperti meramalkannya.Dan,dia tidak perlu jadi manusia paling sial di dunia, menjadi tua.

Gie terlahir ditengah pergolakan sejarah dunia, Asia juga Indonesia—17 Desember 1942 di Jakarta. Tepat dimana zaman sedang bergerak cepat. Masa Gie bocah berbarengan dengan perang Pasifik di Timur sana dan pendudukan Jepang di Indoensia lalu diteruskan dengan masa-masa bergolaknya Revolusi Kemerdekaan Indonesia--tidak salah bila Gie juga pertikel kecil anak sejarah dari negeri ini yang lahir ditengah kekacauan.
Apa yang ditulisnya ketika berusia 20an, sebenarnya berakar jauh ketika Gie dalam masa pertumbuhan pada usia belasan tahun. Gie mulai keras membaca apa saja pada usia belasan tahun itu--bukan cuma buku tebal koleksi Soe Lie Piet ayahnya yang penulis. Gie juga mulai membaca situasi politik Indoensia yang labil—juga kotor dalam benak Gie. Dia lihat banyak ketimpangan termasuk juga di SMP Strada—sekolah yang menendangnya ke SMP Kanisius.
"Hari ini adalah hari dimana dendam telah mengeras menjadi batu" kata Gie dalam catatan hariannya. Ketimpangan di sekitarnya juga di Indonesia menumbuhkan benih perlawanan dalam dirinya. Bacaan membuatnya menjadi penulis muda—lalu tulisan itu menjadi senjata. "Kata adalah senjata" kata Subcomandante Marcos pemimpin Zapatista di Meksiko beberapa tahun silam, tapi Gie memulainya sebelum Sukarno tumbang dari kekuasaannya.
Gie merasa Sukarno dan generasi tuanya adalah kelompok paling bertanggungjawab atas timpangnya Indonesia. Sukarno masih diatas angin awal dekade 1960an itu. Sebagai orang yang merasa sebagai Bapak revolusi Indoensia Sukarno kerap berkata bahwa revolusi akan mengorbankan anaknya. Sementara anak-anak dimakan revolusi, bapak-bapak yang merasa harus dihormati terus memperkosa Ibu Pertiwi.
Gie sadar Sukarno harus runtuh. Sukarno tahun 1960an bukan Sukarno sebelum tahun 1950an—dimana Sukarno adalah sosok idealis bahkan dimasa pergerakan jauh dari kekuasaan.
Tulisan Gie mulai bermain lagi dikala keruntuhan Sukarno. Lingkaran setan kekuasaan Sukarno berhasil dibongkar mahasiswa 66 dan sebuah lingkaran kekuasaan baru lahir—dimana sebagian mahasiswa 66 itu masuk dalam lingkaran kekuasaan itu. Sejarah memang durhaka, bukan anak yang harus dikorbankan namun bapaknya. Dalam hal ini, mengorbankan anak, berarti menruskan tabiat buruk bapaknya. Sukarno salah besar bila revolusi harus mengorbankan anaknya. Nyatanya revolusi justru mengorbankan bapaknya dengan kejam. Bagaimana mungkin revolusi bergulir bila anak terus dikorbankan, lalu dimana dimana akan ada perubahan sementara orang-orang kolot masih jadi nakoda—sejarah pun tidak akan berubah sedikitpun kecuali omong kosong orang macam Yamin.
Lumrah terjadi dalam revolusi, ketika penguasa lama tumbang, 'dagang sapi' terjadi dimana pemenang akan berbagi 'harta pampasan perang' bernama kekuasaan.
Sukarno yang menyebalkan itu tumbang, Suharto berhasil naik dengan menumpang gerakan Mahasiswa 66 dan G 30 S yang digagalkan. 'Kuda Hitam'bernama Suharto tidak banyak merubah ketimpangan, kecuali meneruskannya dengan caranya sendiri. Artinya pemimpin menyebalkan yang bebal kembali hadir di Indonesia. Gie tetap saja terusik lagi seperti dulu. sejarah berulang lagi. Penindasan tidak pernah berhenti—seperti halnya sejarah terus berputar dan melindas manusia.
Menjadi orang berbeda sama saja hidup menderita. Gie mengalaminya, perubahan yang ikut dia gulirkan juga mulai menjauhinya. Hal yang bertentangan dengan nuraninya kembali lagi mengusik. Gie mulai menjadi orang-orang kesepian. Kampus yang menjadi rumahnya juga mulai sepi baginya. Kawan-kawan seperjuangan menghilang jauh dari matanya. Kenang-kenangannya sebagai mahasiswa begitu kuat mengikat hidupnya. Masa mahasiswa membuatnya bebas sementara lulus dan menjadi dosen membuatnya semakin sepi dari dunianya yang bebas dan bernuarani. Banyak hal berubah dan tidak semua perubahan menyenangkan bagi Gie.
Kesepian juga hal berat dalam hidup manusia—seorang NAZI Jerman bernama Heidt akhirnya memilih bunuh diri di pulau Nias karena merasa sepi padahal baru saja memenangkan sebuah kudeta hebat di pulau itu sebelum Jepang datang ke pulau itu.
Gie memang tidak bunuh diri, namun dia seperti memilih kematiannya. Naik gunung adalah kesukaannya sekaligus pengantar kematiannya di puncak Semeru. Sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 tahun, Gie berhasil mencapai puncak Gunung Semeru—gunung tertingi di Jawa dengan ketinggian 3676 meter diatas permukaan laut—salah satu gunung impian yang selalu ingin didaki anak-anak pecinta alam. Tanpa diduga gas beracun munyembul, bersama Divantara Lubis, Gie menghirupnya. Gas beracun itu membebaskannya dari derita dunia. Gie lelap menuju kematian dipangkuan sahabatnya Herman Lantang. Gie merasakan kematiannya yang indah tepat dipuncak tertinggi Jawa, tepat sehari sebelum ulang tahunnya ke-27. Gie menuju kedamaian diusia produktifnya sebagai Sejarawan di Universitas Indonesia. Gie boleh bersemayam bersama angin, namun tulisannya menjadikannya abadi. Mahasiswa sejarah yang belum membaca karya-karya Gie rasanya belum layak disebut mahasiswa sejarah.



Tulisan ini kubuat untuk mengenang Soe Hok Gie atas historiografinya juga atas perjuangannya sebagai salah satu sosok humanis di Indonesia.

Jakarta,12 Desember 2007
Petrik Matanasi
Sejarahwan yang sekarang lagi jadi Kronikus Indonesia: Boekoe