Jumat, Februari 29, 2008

Musisi Tua dan Tuhannya


"Semua yang ada padaMu ohh...
Membuat diriku tiada berdaya
Hanyalah bagimu untukMu Tuhanku
Seluruh hidup dan cintaku"
(Gito Rollies, Cinta yang Tulus)
Bila mendengar lagu itu versi sebelum dirilis Gito Rollies bersama Gigi, liriknya pastilah berbeda. Tanya saja pada orang-orang yang hidup sepanjang dekade 1970an yang mengikuti perkembangan lagu Indonesia. Perubahan lirik itu menyiratkan sebuah pencerahan yang dialami Gito Rollies diakhir usianya. Gito merubah lirik lagu itu diakhir usianya, beberapa bulan sebelum berpulangnya Gito pada 28 Februari 2008 kemarin.Banyak musisi yang hidup relijius diusia tua. Sebutlah beberapa personil AKA—yang dulu digawangi Ucok Harahap—yang kehidupan masa tuanya merasa lebih tentram dibanding ketika mereka masih muda dan jaya dulu. Mereka kembali pada Tuhan. Kini mereka menjadi orang relijius.
Gito Rollies pun merasa masa mudanya cukup kelam. Masa dimana Gito berkarya, berjaya dan lakukan banyak kegilaan. Mungkin juga, Gito Rollies berpikir, dirinya jauh dari Tuhan di kala muda itu. Atas dosa-dosa masa lalu, yang Gito Rollies rasakan, maka masa tuanya diisi dengan pertobatan.
Hari kelulusan SMA, Gito melakukan hal gila. Dia merasa tidak akan lulus SMA karena kebadungannya. Setelah lihat papan pengumuman, dia dinyatakan lulus. Gito pun senang. Dia bugil keliling kota Bandung untuk merayakan kebebasan dari sekolah yang mungkin menyiksa dan membosankan itu. Kegilaannya semakin menjadi ketika dirinya menjadi bagian dari sejarah musik Indonesia bersama band legendarisnya, The Rollies. Keanggotaan yang membuat dirinya memakai nama Rollies di belakang nama panggilannya. Nama asli Gito adalah Bangun Sugito Tukiman, kelahiran Biak 1 November 1947, dari namanya bisa ditebak dia adalah keturunan Jawa. Dia habiskan masa mudanya jauh dari tanah kelahirannya.
Bersama The Rollies, yang pendiriannya disponsori orang tua Deddy Stanzah, Gito melanglang buana keluar negeri. Mereka pernah tampil dan rekaman di Singapura. The Rollies memiliki ciri khas yang rasanya tidak dimiliki band Indonesia lainnya pada masa itu, mungkin juga masa sekarang. Mereka mirip Chicago. Musik mereka yang kerap memakai brass section (alat tiup), membuat mereka mirip Brassband. Jago Trombon Indonesia, Benny Likumahua, pernah mencurahkan hidupnya di band yang katanya tergolong kaya di zamannya ini. Band dengan alat tiup, orang pasti akan berasosiasi pada musik ska, seperti yang dimainkan Tipe X sekarang ini. Tapi ini The Rollies, mereka tergolong sangar di zamannya.
Mereka tidak hanya satu vokalis. Gito salah satunya. Suara Gito yang serak sudah cukup dikenal di zamannya. Mirip Rod Steward, Sting atau Ikang Fauzi lah. Gito bahkan sempat ikut terlibat dalam beberapa film.
Gito terlibat dalam film “Janji Joni” dan “Ada Apa Dengan Cinta” di masa kebangkitan kembali film Indonesia. Gito tidak meninggalkan dunia seni di akhir hidupnya. Tidak sekedar mengganjal perut, tapi juga berusaha memberi sesutu dalam perkembangan budaya populer Indonesia. Dia masih jalani hidup sebagai seniman dimasa dia merasa lebih dekat dengan Tuhan. Gito Rollies boleh menyesali apa yang dia perbuat dimasa mudanya, yang mungkin dianggapnya buruk. Namun tidak sepenuhnya yang dilakukan Gito buruk. Bersama The Rollies, Gito Rollies ikut memberi warna dalam musik pop Indonesia. Kini, musisi bersuara serak itu pergi meninggalkan dunia dengan karya-karyanya. Orang akan selalu ingat suara serak Gito karena ‘yang terekam tak pernah mati’. Gito boleh merasa pernah jauhdari Tuhannya, namun Gito tidak menyiakan apa yang diberikan Tuhannya. Dia Berkarya dengan suara dan bakat musiknya. Kedekatannya pada Tuhan telah terlihat dalam lirik lagu diatas.

Aku menulis ini untuk menghormati Gito Rollies, pada pagi 29 Februari 2008. Kemarin Gito Rollies wafat. Aku harus pulang besok. Mungkin menengok
piringan hitam dimana Gito Rollies berkesenian. Mereka yang berkarya memang tak pernah mati. Ini tulisan kedua di blog setelah hampir sebulan aku mandeg menulis.

Mereka Yang Mati Muda

Mati itu takdir kata orang beragama. Mati hal biasa, meski harus ditangisi. Kematian tetap menjadi misteri menarik bagi beberapa orang. Banyak buku membahas kematian. Seorang kawan bahkan sedang mengedit sebuah buku tentang kematian. Mati itu indah bagi beberapa orang. Ada adegan film dimana kematian begitu indah bagiku. Kematian Sersan Elias Grodin dalam film Platoon. Adegan yang sulit kulupakan, bahkan buat aku terobsesi.
Banyak orang orang hebat yang kukenal mati muda. Sebutlah Jimi Hendrix, Janis Joplin, Jim Morisson, juga Soe Hok Gie dan lainya. Mereka punya karya yang masih diingat. Nama paling belakang kusebut bahkan menjadi inspirasiku sebagai mahasiswa sejarah. Aku membaca dan akhirnya menulis, itu konsekuensi dari pilihan hidup yang kubuat waktu SMA dulu. Gie seolah menuntunku. Gie mati muda setelah menulis dua skripsinya yang terkenal, “Dibawah Lentera Merah” dan “Orang-orang Dipersimpangan Kiri Jalan”. Mahasiswa sejarah Indonesia bodoh saja yang tidak pernah tahu kalau dua buku itu pernah ditulis. Gie mati dalam kedamaian dipuncak Semeru. Tragis sekaligus heroik.
Beberapa penulis dekat dengan kematian. Hidup dan mati seperti dua sisi mata uang dan bukan lagi lawan kata. Paling ekstrim tidak lain sastrawan Jepang. Yasunari Kawabata, orang Asia kedua peraih nobel sastra, mati bunuh diri. Lalu muncul beberapa sastrawan Jepang yang bunuh diri. “Sekali berarti sesudah itu mati”, seperti Chairil Anwar.
Mungkin saja sastrawan dan sebangsanya yang terobsesi dengan kematian itu menganggap kematian itu indah. Seperti Maximus yang merasa melihat pemandangan indah menjelang kematiannya, seperti dalam film Gladiator. Juga oleh Archer dalam Blood Diamond. Keindahan itu seoleh menjadi pintu antara hidup dan mati. Bagi beberapa orang, pintu itu begitu menakutkan. Bagi para mujahid, seperti dipercaya orang Islam, pintu kematian itu begitu indah juga. Ada yang bilang ada bau wangi disekitar pintu kematian bagi orang yang berjuang di jalan Allah (Jihad).
Bagi beberapa orang yang berjuang dengan keyakinan dan mati dalam keyakinan itu indah. Tidak salah bila sebelum di eksekusi Walter Manginsidi menulis: “Setia sampai akhir didalam keyakinan”. Mati itu indah. Walter Manginsidi orang beruntung. Salah besar bila dirinya menyia-nyiakan hidup dan mati muda. Dia meninggalkan puisi yang ditulis dalam penjara. Seperti halnya Soe Hok Gie, Walter Manginsidi adalah manusia yang hidup bebas dan mati muda. Hidup bebas adalah milik mereka yang berjuang bukan milik mereka yang hanya bisa menerima ketidakadilan.
Dua sosok pemuda Indoensia yang mati itu nyaris terlupakan—hanya Gie saja yang sedikit diingat hanya karena film Gie yang dibesut Riri Riza. Keduanya ’kiri’—dalam artian melawan apa yang menjadi arus utama dalam kehidupan mereka dimasa muda. Manginsidi, nyaris tidak menikmati masa mudanya karena perang. Masa muda Manginsidi adalah revolusi yang diliputi opurtunisme. Gie sempat menikmati Bob Dylan dan Joan Baez—ketika Sukarno melarang musik barat.
Sejarah Indonesia tidak hanya mencatat Walter Manginsidi dan Soe Hok Gie saja. Banyak pemuda yang tidak diketahui namanya yang harus mati muda untuk sebuah kebebasan sejati. Banyak diantaranya terlupakan—sebagian diantaranya tidak ingin diingat sebagai pahlawan. Mereka hanya ingin hidup bebas, namun akhirnya mereka mati muda. Mungkin ketika mereka menuju pintu kematian mereka terlihat keindahan membentang hadapan mereka, meski tubuh mereka tertembus peluru.