Rabu, September 18, 2013

Karaeng Patinggaloang: Orang Paling Terpelajar dari Timur

Nama orang terpelajar nyaris tak pernah disebut dalam sejarah Indonesia. Akhirnya kita muntah karena nama penguasa macam gajah Mada atau Suharto lebih sering disebut.

Jika ada yang bertanya, siapa manusia paling bijak dari Indonesia timur? Karaeng patinggaloang lah orangnya. Saya tak terkejut secara tidak sengaja menemukan Museum yang menggunakan namanya di dalam komplek Benteng Somba Opu, di Sungguminasa. Ini Karaeng Keturunan Bangsawan Tallo. Dimana dia kemudian menjadi karaeng atau semacam raja di Tallo. Tallo di masa sekarang adalah pusat kota Makassar sekarang.
Makassar kota yang lebih dikenal sebagai kota tawuran. Begitulah kata media nasional. Seolah, tak ada yang dilakukan orang-orang Makassar selain tawuran. Mereka lupa, Makassar di masa lalu punya Karaeng Patinggaloang. 


Semasa hidupnya, diperakan sejak 1600-1654, Karaeng Patinggaloang adalah mangkubumi kerajaan besar Makassar, dimana Gowa adalah pemimpinnya. Artinya Patinggaloang adalah penasehat raja sekaligus perdana menteri dari Sultan Muhammad Said, Sultan Gowa kala itu. Karena terbiasa berhubungan dengan orang asing, entah untuk urusan kerajaan atau dagang, maka dirinya menguasai beberapa bahasa asing seperti Belanda, Portugis, Spanyol, dan lainnya. 
Banyak yang mencatat, Patinggaloang punya banyak koleksi buku dari barat yang disimpannya dalam perpustakaannya. Dirinya pernah memesan bola dunia (globe) buatan Bleu dari Inggris. Dia juga punya atlas eropa. Tak hanya berhubungan dengan orang Eropa, sejarah Eropa pun dia pelajari.  
Pastor Alexander de Rhodes S.J mencatat: “Jika kita mendengar omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira bahwa dia adalah orang Portugis sejati, karena ia berbahasa orang Portugis sama fasihnya dengan orang Lisbon ....  Menguasai dengan baik segala misteri kita, dan telah membaca semua kisah raja-raja kita di Eropa dengan keingintahuan yang besar.”
Semasa hidupnya, diperakan sejak 1600-1654, Karaeng Patinggaloang adalah mangkubumi kerajaan besar Makassar, dimana Gowa adalah pemimpinnya. Artinya Patinggaloang adalah penasehat raja sekaligus perdana menteri dari Sultan Muhammad Said, Sultan Gowa kala itu. Karena terbiasa berhubungan dengan orang asing, entah untuk urusan kerajaan atau dagang, maka dirinya menguasai beberapa bahasa asing seperti Belanda, Portugis, Spanyol, dan lainnya. Banyak yang mencatat, Patinggaloang punya banyak koleksi buku dari barat yang disimpannya dalam perpustakaannya. Dirinya pernah memesan bola dunia (globe) buatan Bleu dari Inggris. Dia juga punya atlas eropa. Tak hanya berhubungan dengan orang Eropa, sejarah Eropa pun dia pelajari. Pastor Alexander de Rhodes S.J mencatat: “Jika kita mendengar omongannya tanpa melihat orangnya, pasti kita mengira bahwa dia adalah orang Portugis sejati, karena ia berbahasa orang Portugis sama fasihnya dengan orang Lisbon .... Menguasai dengan baik segala misteri kita, dan telah membaca semua kisah raja-raja kita di Eropa dengan keingintahuan yang besar.”
Matematika pun menjadi ilmu yang menarik bagi Patinggaloang. Banyak hal soal ilmu-ilmu pengetahuan dari barat dia coba ketahui. Tak ada untuk bukti menuduhnya menjadi barat, atau menginginkan adanya pembaratan di Makassar. Yang terlihat hanya dirinya sebagai orang dengan rasa ingin tahu lebih jauh tentang ilmu dari barat.
Sayang, nyaris tak ada bangsawan lain yang serius untuk belajar soal ilmu-ilmu yang dikuasai orang Belanda di masanya. Di masa setelahnya pun, orang-orang Indonesia sekolah bukan karena cinta pada ilmu pengetahuan, melainkan lebih karena mengejar ijazah dan prestis. Akhirnya kita tak perlu heran jika generasi muda sekarang adalah generasi pemburu ijazah, karena tak diajarkan untuk mencintai ilmu pengetahuan sejak dini di sekolah.
Matematika pun menjadi ilmu yang menarik bagi Patinggaloang. Banyak hal soal ilmu-ilmu pengetahuan dari barat dia coba ketahui. Tak ada untuk bukti menuduhnya menjadi barat, atau menginginkan adanya pembaratan di Makassar. Yang terlihat hanya dirinya sebagai orang dengan rasa ingin tahu lebih jauh tentang ilmu dari barat. Sayang, nyaris tak ada bangsawan lain yang serius untuk belajar soal ilmu-ilmu yang dikuasai orang Belanda di masanya. Di masa setelahnya pun, orang-orang Indonesia sekolah bukan karena cinta pada ilmu pengetahuan, melainkan lebih karena mengejar ijazah dan prestis. Akhirnya kita tak perlu heran jika generasi muda sekarang adalah generasi pemburu ijazah, karena tak diajarkan untuk mencintai ilmu pengetahuan sejak dini di sekolah.
Beruntung sekali orang-orang Makassar punya tokoh teladan macam Karaeng Patinggaloang. Serta sangatlah beruntung Arung Palakka, raja Bone terbesar dalam sejarah, yang pernah menjadi anak asuh dari Karaeng Patinggaloang.  Sedikit banyak Karaeng Patinggalong tentu ada yang bisa dipelajari oleh Arung Palakka. Banyak hal bijak yang dipelajari dari Karaeng Patinggalong, termasuk dalam pemerintahan untuk menjadi raja. Tak perlu heran jika Arung Palakka jadi raja besar yang dihormati. Arung Palakka mungkin murid Karaeng Patinggalong yang kesohor. 
Nama Patinggaloang, yang seharusnya bisa dibanggakan seolah tenggelam oleh nama Hasanudin. Ini karena sentiment anti Belanda yang berlebih dari orang Indonesia. Yang melawan Belanda boleh jadi Pahlawan, walau ada main dengan Portugis.
Beruntung sekali orang-orang Makassar punya tokoh teladan macam Karaeng Patinggaloang. Serta sangatlah beruntung Arung Palakka, raja Bone terbesar dalam sejarah, yang pernah menjadi anak asuh dari Karaeng Patinggaloang. Sedikit banyak Karaeng Patinggalong tentu ada yang bisa dipelajari oleh Arung Palakka. Banyak hal bijak yang dipelajari dari Karaeng Patinggalong, termasuk dalam pemerintahan untuk menjadi raja. Tak perlu heran jika Arung Palakka jadi raja besar yang dihormati. Arung Palakka mungkin murid Karaeng Patinggalong yang kesohor. Nama Patinggaloang, yang seharusnya bisa dibanggakan seolah tenggelam oleh nama Hasanudin. Ini karena sentiment anti Belanda yang berlebih dari orang Indonesia. Yang melawan Belanda boleh jadi Pahlawan, walau ada main dengan Portugis.
Dia bukan penguasa yang bijak belaka. Dia adalah pecinta ilmu pengetahuan. Orang terpelajar haruslah jadi orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Sejarah Indonesia yang disajikan di sekolah selama ini cuma omong bagus soal politik saja. Sejarah Indonesia di sekolah tak pernah belajar bagaimana menghargai dan mendalami ilmu pengetahuan.
Bagi Anda yang bosan, karena lebih sering dijejali soal Sukarno dan Suharto atau Gajah Mada, sebaiknya acuhkan mereka sejenak! Mari kita berkaca pada seseorang yang jelas-jelas mencintai ilmu pengetahuan dulu. Sejarah Indonesia harusnya memberi contoh pemimpin bijak dan ilmuwan atau pecinta ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan teladan. Harapannya, Indonesia bisa seperti Jerman yang punya Goethe, Itali yang punya Da Vinci atau tokoh kesohor di bidang ilmu pengetahuan dan Teknologi. Indonesia baru punya beberapa orang macam Habibie, negara sebesar Indonesia harus punya banyak.
Dia bukan penguasa yang bijak belaka. Dia adalah pecinta ilmu pengetahuan. Orang terpelajar haruslah jadi orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Sejarah Indonesia yang disajikan di sekolah selama ini cuma omong bagus soal politik saja. Sejarah Indonesia di sekolah tak pernah belajar bagaimana menghargai dan mendalami ilmu pengetahuan. Bagi Anda yang bosan, karena lebih sering dijejali soal Sukarno dan Suharto atau Gajah Mada, sebaiknya acuhkan mereka sejenak! Mari kita berkaca pada seseorang yang jelas-jelas mencintai ilmu pengetahuan dulu. Sejarah Indonesia harusnya memberi contoh pemimpin bijak dan ilmuwan atau pecinta ilmu pengetahuan yang bisa dijadikan teladan. Harapannya, Indonesia bisa seperti Jerman yang punya Goethe, Itali yang punya Da Vinci atau tokoh kesohor di bidang ilmu pengetahuan dan Teknologi. Indonesia baru punya beberapa orang macam Habibie. Untuk negara sebesar Indonesia, harusnya punya banyak Habibie

Senin, September 16, 2013

Antara Max, Adipati dan Korupsi

Di sebuah kadipaten kere bernama Lebak kedatangan bule humanis, yang kebetulan kaki tangan pemerintah kolonial Belanda juga. Namanya Max Havelaar. Pegawai muda ini tiba bersama Tine, istrinya dan anak semata wayangnya yang lucu. Max diantar oleh residen. Sebelumnya, Max pernah bertugas di luar Jawa. Max orang yang sangat peduli pada orang pribumi yang dulunya seharga sampah, alias tak berarti. Max orang yang siap susah. Dia bahkan pernah berduel dengan Letnan KNIL yang kurang ajar. Perwira itu melecehakan seorang wanita pribumi berwajah cukup manis. Max berhasil melukai lawannya. Namun Max menyesalinya.
Tahun 1850an, Jawa sudah jadi pulau termaju di Hindia Belanda. Kepindahan dinas Max ke pulau Jawa, sebenarnya menyenangkan istrinya pada awalnya. Apalagi, Max yang karirnya tak terbilang bagus, kini diangkat jadi Asisten Residen. Namun begitu sadar di daerah yang miskin, rasa gembira Tine berkurang. 
Di Lebak, mereka menempati rumah asisten residen lama. Bekas Nyai Asisten Residen lama tinggal tak jauh dari rumah itu. Asisten Residen lama, Mr Slotering, sebetulnya mati diracun orang-orang setia sang Adipati. Namun, laporan pemerintah menyebut, Slotering mati karena liver. 
Max terkejut. Di pulau yang katanya punya budaya luhur itu, rakyat jelata diperlakukan oleh para penguasa lokal. Dimana ada orang-orang tak dibayar yang diharuskan bekerja membersihkan rumput di pekarangan kadipaten. Max marah atas penghisapan, yang bagi kaum feudal Indonesia adalah wajar jika rakyat jelata harus menurut apa saja perintah Adipati. Orang-orang itu disuruh pulang. Sang Adipati lalu mengirim orang-orang untuk memberishkan pekarangan rumah Max. Dengan tegas Max menolak.
Tahun 1850an, Jawa sudah jadi pulau termaju di Hindia Belanda. Kepindahan dinas Max ke pulau Jawa, sebenarnya menyenangkan istrinya pada awalnya. Apalagi, Max yang karirnya tak terbilang bagus, kini diangkat jadi Asisten Residen. Namun begitu sadar di daerah yang miskin, rasa gembira Tine berkurang. Di Lebak, mereka menempati rumah asisten residen lama. Bekas Nyai Asisten Residen lama tinggal tak jauh dari rumah itu. Asisten Residen lama, Mr Slotering, sebetulnya mati diracun orang-orang setia sang Adipati. Namun, laporan pemerintah menyebut, Slotering mati karena liver. Max terkejut. Di pulau yang katanya punya budaya luhur itu, rakyat jelata diperlakukan oleh para penguasa lokal. Dimana ada orang-orang tak dibayar yang diharuskan bekerja membersihkan rumput di pekarangan kadipaten. Max marah atas penghisapan, yang bagi kaum feudal Indonesia adalah wajar jika rakyat jelata harus menurut apa saja perintah Adipati. Orang-orang itu disuruh pulang. Sang Adipati lalu mengirim orang-orang untuk memberishkan pekarangan rumah Max. Dengan tegas Max menolak.
Max juga kemudian harus menyaksikan demang dari kadipaten merampas kerbau keluarga Saidjah. Mereka tak berdaya dan takut melawan demang beserta centeng-centengnya. Ketika Max mendatangi mereka, tak ada seorang pun yang berani buka mulut soal perampasan itu, meski Max berjanji akan melindungi mereka. Rakyat jelata memang tak doyan melawan. 
Hidup Max tentu dibuat tak tenang. Ular-ular berbisa pun dikirim ke sekitar rumah Max. Max junior bahkan hampir mati dipatuk. Nyai dari Slotering lalu cerita pada Max, soal Slotering yang diracun. Max mulai waspada. Makin hari antek-antek sang Adipati makin menggila, mereka rela membunuh orangtua Saidjah. Namun mereka tak berani terang-terangan melukai Max.
Max juga kemudian harus menyaksikan demang dari kadipaten merampas kerbau keluarga Saidjah. Mereka tak berdaya dan takut melawan demang beserta centeng-centengnya. Ketika Max mendatangi mereka, tak ada seorang pun yang berani buka mulut soal perampasan itu, meski Max berjanji akan melindungi mereka. Rakyat jelata memang tak doyan melawan. Hidup Max tentu dibuat tak tenang. Ular-ular berbisa pun dikirim ke sekitar rumah Max. Max junior bahkan hampir mati dipatuk. Nyai dari Slotering lalu cerita pada Max, soal Slotering yang diracun. Max mulai waspada. Makin hari antek-antek sang Adipati makin menggila, mereka rela membunuh orangtua Saidjah. Namun mereka tak berani terang-terangan melukai Max.
Rupanya, kerbau-kerbau rampasan itu dijadikan hidangan sang Adipati yang sedang menjamu tamu jauh yang katanya agung dari Bandung. Max yang telah meminjamkan uang pada Adipati pun merasa kesal dan melapor pada residen. Namun residen beserta jajarannya lebih suka mendukung sang Adipati. Mungkin karena para adipati atawa Bupati yang sangat berjasa dalam membantu program tanam paksa yang berhasil menambah pemasukan Belanda. Belakangan Max pun dipecat.
Sejatinya, dalam sejarah rakyat jelata adalah kelas yang selalu menderita. Itu seolah takdir yang diamini orang-orang. Rakyat jelata, mungkin sejak jaman orang-orang Indonesia kenal kerajaan, adalah orang yang boleh diperas: boleh diambil ternaknya; istrinya; anak gadisnya; atau apa saja yang berharga lainnya oleh para penguasa yang kadang berupa raja, bupati atau tuan tanah. 
HIngga hari ini, feodalisme, meski mulai ditinggalkan tetap saja ingin dipertahankan penguasa. Lihat saja para pejabat lokal Indonesia masa kini. Feodalisme, sebetulnya akar terbesar dari korupsi di Indonesia. Seorang feodal seperti raja selalu merasa apapun yang ada disekitar dirinya adalah miliknya. Boleh perintah orang seenaknya; semua uang atau apa saja yang ada didepan matanya adalah miliknya jadi boleh dia mabil dan pakai semaunya. Kalau sudah ada di wilayah mereka uang itu harus jadi milik mereka. Tak istilah uang rakyat lagi dimata mereka. 
 Film Max Havelar yang sempat dilarang ini sebetulnya bisa membantu kita menelisik akar korupsi atau bentuk penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia. Mungkin itu juga alas an kenapa film ini pernah dilarang beredar di Indonesia. Sebuah film yang bagus, meski agak menyesakkan dada kaum nasionalis buta yang selalu bilang orang Belanda selalu jahat. Mereka tentu tak akan terima kalau ada priyayi Indonesia asli menindas bangsa sendiri.
Rupanya, kerbau-kerbau rampasan itu dijadikan hidangan sang Adipati yang sedang menjamu tamu jauh yang katanya agung dari Bandung. Max yang telah meminjamkan uang pada Adipati pun merasa kesal dan melapor pada residen. Namun residen beserta jajarannya lebih suka mendukung sang Adipati. Mungkin karena para adipati atawa Bupati yang sangat berjasa dalam membantu program tanam paksa yang berhasil menambah pemasukan Belanda. Belakangan Max pun dipecat. Sejatinya, dalam sejarah rakyat jelata adalah kelas yang selalu menderita. Itu seolah takdir yang diamini orang-orang. Rakyat jelata, mungkin sejak jaman orang-orang Indonesia kenal kerajaan, adalah orang yang boleh diperas: boleh diambil ternaknya; istrinya; anak gadisnya; atau apa saja yang berharga lainnya oleh para penguasa yang kadang berupa raja, bupati atau tuan tanah. HIngga hari ini, feodalisme, meski mulai ditinggalkan tetap saja ingin dipertahankan penguasa. Lihat saja para pejabat lokal Indonesia masa kini. Feodalisme, sebetulnya akar terbesar dari korupsi di Indonesia. Seorang feodal seperti raja selalu merasa apapun yang ada disekitar dirinya adalah miliknya. Boleh perintah orang seenaknya; semua uang atau apa saja yang ada didepan matanya adalah miliknya jadi boleh dia mabil dan pakai semaunya. Kalau sudah ada di wilayah mereka uang itu harus jadi milik mereka. Tak istilah uang rakyat lagi dimata mereka. Film Max Havelar yang sempat dilarang ini sebetulnya bisa membantu kita menelisik akar korupsi atau bentuk penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia. Mungkin itu juga alas an kenapa film ini pernah dilarang beredar di Indonesia. Sebuah film yang bagus, meski agak menyesakkan dada kaum nasionalis buta yang selalu bilang orang Belanda selalu jahat. Mereka tentu tak akan terima kalau ada priyayi Indonesia asli menindas bangsa sendiri.

Yang Katanya Negara Agraris

“Orang Indonesia akan bilang belum makan kalau belum makan nasi”

Nasi goreng sudah mendunia. Berdasar survey media kesohor dunia, nasi termasuk makanan paling enak di dunia. Ini makanan sudah ada sedari jaman kolonial. Ini makanan lahir karena masuknya orang-orang Belanda yang susah ketemu roti di Indonesia. Akhirnya nasi pun mereka makan, tentu setelah menggorengnya.
            Nasi bukan satu-satunya makan di Indonesia. Meski harus kita akui, “orang Indonesia akan bilang belum makan kalau belum makan nasi.” Entah ini dosa rezim siapa? Sepertinya ratusan tahun silam tak seperti itu. Orang Madura biasa makan jagung. Orang Papua atau Maluku punya tradisi makan sagu. Kata seorang kawan, satu pohon sagu bisa mengisi perut satu keluarga selama beberapa bulan. Dalam sebuah acara di televisi, cacing yang ditemukan di pohon sagu pun bisa dimakan
Indonesia memang punya banyak makanan enak. Tak melulu yang dari beras. Papeda juga makanan enak dari sagu. Kata seorang anak Digulis, "asal bisa mengolah. Ikan dan sagu bisa menjadi makanan enak." Begitu kenangan ibu-ibu tua di masa bocahnya di pedalaman Papua, Boven Digoel.
Ada semacam konversi pangan. Nasi dijadikan makanan pokok Indonesia. Tak masalah jika itu hanya berlaku di Jawa, atau daerah-daerah yang bisa ditanami padi. Tap bagaimana dengan orang Papua dan Maluku yang sudah terbiasa dengan sagu? Kelaparan yang terjadi di Papua beberapa tahun silam jangan-jangan dosa pemerintah yang mengkonversi makanan pokok menjadi nasi. Nampaknya, ini hanya bagian dari bisnis. Agar orang-orang diluar Jawa tergantung pada beras. Agar orang terpaksa membeli beras. Tapi, rupanya pemerintah pun gagal sediakan beras murah.
Tak hanya itu, petani beras pun tak pernah untung. Rupanya, diam-diam pemerintah masih import beras. Meski begitu tak pernah ada himbauan yang jelas dari pemerintah pada rakyat untuk mencari sumber makanan lain selain beras. Sedari dulu pertanian pribumi adalah eksploitasi yang memiskinkan. Petani adalah kaum paling menderita sepanjang sejarah. Di jaman kerajaan, petani adalah kelompok yang sudah pasti paling sering dipungut berasnya oleh raja-raja. Di jaman kolonial, dengan perantara priyayi, para petani dipaksa menanam tanaman komoditas, non beras, hingga lupa tanam padi. Akhirnya mereka kelaparan. Sekarang pun, di jaman kemerdekaan, petani Indonesia belum merdeka. 
Masalah pertanian rakyat pribumi juga menjadi perhatian Husni Thamrin. Masalah pemasaran gula, kedelai beras di dalam negeri dipelajarinya dengan teliti bahkan diperdebatkan dengan sengit jika masalah ini menyangkut kaum petani sebagai produsen lokal yang harus diperjuangkannya. Dalam sebuah sidang delegasi pada 24 Februari 1934 telah gagal dibatasinya Import beras. Thamrin kemudian mendesak untuk pemerintah segera mengubah tanah-tanah yang disewa perusahaan besar agar dikembalikan kepada petani untuk menanam padi pada musim hujan.  Karena import beras yang harga pasarannya rendah maka terjadi banjir beras, baik yang berasal dari Jepang maupun dari Thailand. Dalam hal ini Thamrin mendesak dilakukannya keseimbangan antara beras lokal dengan beras import. Desakan Thamrin gagal, import beras telah mendorong gagalnya produksi beras dalam negeri, pemerintah juga rupanya lebih senang mengimpor beras Thailand yang lebih murah. Import beras mendatangkan rezeki bagi importir maupun pedagang Cina menangguk banyak untung. Pemerintah kolonial juga tidak lepas beruntungnya dengan bertambahnya keuangan mereka dari import beras ini. (Bob Hering , M.H. Thamrin and His Quest for Indonesian Nationhood 1917-1941 ,  hlm.  241)
 Kata seorang kawan, seorang dosen pertanian di UGM, maaf off the record, para petani Indonesia beserta lahan-lahan yang ada sebetulnya mampu memberi makan semua orang Indonesia. Itu belum termasuk sagu-sagu orang Papua dan Maluku, juga belum termasuk jagung-jagung orang Madura. Tapi, kenapa masih impor beras? Padahal, waktu Syahrir jadi perdana Menteri, beras-beras Karawang pernah dikirim ke India yang kelaparan. Indonesia punya sejarah manis itu. Tapi sekarang bertolak belakang. Apa yang terjadi sejak masa Suharto dan setelahnya nampaknya pengulangan jaman kolonial.  Untuk bangsa yang katanya anti kolonial, kita masih menganut kebijakan impor beras macam kolonial Belanda dulu. Itu sama saja NKRI meludahi wajah dan perjuangan Husni Thamrin.