Jumat, Februari 10, 2012

Belajar dari (Pelaku) Sejarah

Mudah membagikannya, tapi butuh waktu lama meresapi dan memiliki karakter positif untuk menjadi Meanusia Indonesia Berkarakter.
Kita selalu dingiangkan soal pendidikan pendidikan karakter. Ada banyak definisi pendidikan karakter, namun intinya pendidikan karakter adalah penanaman nilai-nilai dan sikap-sikap positif agar menjadi manusia yang baik dan berkarakter. Pendidikan Karakter memang bukan hal mudah. Butuh proses panjang yang tidak sebentar. Meski bukan hal mudah, bukan berarti proyek mulia ini butuh suntikan dana besar. Hanya butuh renungan dari apa yang sudah ada atau apa yang sudah terjadi. Lalu membagikannya pada siswa. Tampak begitu mudah membagikannya. Yang tersulit dari proses pendidikan karakter dalam pelajajaran sejarah
Beberapa karakter penting yang harus dimiliki oleh orang-orang Indonesia. Dimana karakter-kareakter ini bisa ditemukan oleh tokoh-tokoh terbaik bangsa Indonesia, yang diantaranya adalah pendiri Negara.
Dibutuhkan banyak sikap Positif jika Indonesia ingin terus ada dan maju, apalagi untuk Indonesia yang jaya di masa depan. Dimana semua karakter ini harus ditanamkan sejak dini pada generasi baru Indonesia dalam pendidikan karakter yang melibatkan semua pihak. Pendidikan karakter tentu akan melibatkan banyak pihak. Mulai dari sekolah, pemerintah, media dan juga masyarakat.
Guru di sekolah jelas sekali punya pengaruh besar dalam pendidikan karakter. Seorang guru biasanya punya tokoh favorit, dimana tokoh itu punya banyak karakter positif yang membuat si tokoh dikenal banyak tokoh. Siapapun tokohnya, bisa kita ambil sebagai pelajaran. Bahkan orang semacam Adolf Hitler yang jahat sekali pun. Tentu saja, kita hanya tarik sikap positifnya saja. Terlepas dari kekejamannya pada orang-orang Yahudi, Hitler adalah orang yang pantang menyerah, punya prinsip dan selalu mencari ide-ide jenius. Ini yang membuat Jerman maju di masa Perang Dunia II (1939-1940).
Kita bisa mengambil Para Nabi sebagai manusia mulia yang layak diteladani. Kita tahu manusia mulia seperti nabi jelas punya karakter mulia juga pastinya. Agama-agama ajarkan kemuliaan pada umatnya.
Indonesia juga punya banyak tokoh hebat. Kita semua tahu Sukarno. Pembebas Indonesia dari penjajahan dan bukan hanya pemimpin Indonesia saja sebenarnya, tapi juga pemimpin dunia. Dari buku sejarah, kita bisa lihat Sukarno sebagai orang yang berani, mandiri dan cinta pada kemerdekaan. Itu yang bisa kita petik.
Karena pelaku sejarah juga manusia, maka kita akan temukan sifat negatif dari si tokoh. Itu sangatlah manusiawi. Yang positif jelas bisa kita petik, yang negatif juga bisa dipelajari dan diusahakan agar tidak terulang lagi. Itulah inti dari belajar sejarah. Sangat rugi belajar sejarah di sekolah jika tidak bisa memetik karakter positif dari pelaku-pelaku sejarah.
Ada ribuan buku biografi di perpustakaan. Dimana dengan membacanya kita bisa menarik karakter pelaku sejarah. Jika bosan membaca kita bisa menonton film atau film dokumenter tentang biografi tokoh-tokoh. Metro TV setiap minggunnya punya program acara Biography yang membicarakan tokoh-tokoh peting dunia.
Harus diakui, suka tidak suka bangsa (Indonesia) ini adalah bangsa berkarakter. Semua hanya kembali bagaimana arah bangsa ini saja.

Selasa, Februari 07, 2012

Jangan Lupakan Letnan Gozsen

Banyak sudah yang hilang dari laut Indonesia. Jadi, di laut, Indonesia harus jaya. 


Kenapa dengan mudah nusantara dikuasai oleh kompeni Belanda? Orang-orang Indonesia hanya percaya, itu hanya karena politik Devide et Impera—alias politik belah bambu. Bukan politik belah duren pastinya. Sebuah kepercayaan yang membutakan orang Indonesia, seolah orang Indonesia sebelumnya tidak terpecah belah atau hidup tentram satu dengan yang lain. Orang Indonesia tidak mau belajar dari kasus pemberontakan Kuti, yang difitnah Mahapati Gajah Mada. Inilah Indonesia yang sedari dulu doyan sikut-sikutan.
Sebagai bangsa yang pelupa dan durhaka pada kodratnya, dijajah Verenigng Oost-Indische Compagnie (Maskapai dagang Hindia Timur) alias kompeni Belanda adalah sebuah hukuman yang layak diterima. Jika di abad XV orang Indonesia paham jika Indonesia adalah bangsa Maritim, maka kapal-kapal dan orang-orang Kompeni Belanda tidak akan bisa kuasai Indonesia. Orang Indonesia lupa jika nenek moyang mereka seorang pelaut dan akhirnya laut yang dulu menjadi kejayaan nenek moyang mereka kemudian dikuasai bangsa asing.
Lemahnya laut Indonesialah yang membuat Indonesia dengan mudahnya dijajah Kompeni Belanda. Itulah yang harus dijaga Indonesia sekarang. Jangan sampai laut menjadi milik kekuatan asing.
Hindia Belanda Memang Lupa, Tapi Masih Usaha
Melupakan laut, lalu dilakukan oleh Hindia Belanda. Mereka lebih suka membangung Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (Tentara Hindia Belanda) alias KNIL. Laut terlupakan. Karenanya dengan mudah Tentara Jepang masuk ke Indonesia. Dan dengan mudah KNIL dikalahkan oleh balatentara Jepang.
Meski melemah, Hindia Belanda juga masih ada usaha menjaga kawasan laut Hindia Belanda. Meski hasilnya masih buruk pada Perang Pasifik. Setidaknya di awal abad XX, pemerintah berencana membangun Armada Laut yang baik dan tangguh.
Tersebutlah seorang Letnan Laut bernama Goozsen, yang kemudian menjadi perwira tinggi armada laut Belanda di Indonesia juga. Tentang dia Pewarta Makassar mennyebut bahwa Letnan Goozsen, perwira Angkatan Laut Hindia Belanda yang tinggal di Bogor, mendapat perintah agar membantu petinggi militer Hindia untuk mendirikan sekolah pelaut di Hindia Belanda yang akan dibangun di Padang dan Makassar.
Rencananya, Orang-orang pribumi yang lulus dari sekolah pelaut itu akan ditempatkan di kapal perang yang menjaga perairan Hindia Belanda—yang sekarang menajdi perairan Indonesia. Tujuan dari perekrutan orang-orang prinbumi tidak lain untuk mengurangi ketergantungan dari pelaut yang diambil dari negeri Belanda. Wilayah koloni Hindia Belada yang demikian besar--dimana lautannya lebih luas dibandingkan daratannya, maka armada laut yang menjaga lautan sangatlah penting sekali. (Pewarta Makassar, 20 Februari 1914)
Bukan hanya mendirikan sekolah, kapal perang juga didatangkan dari negeri Belanda.
Dua kapal torpedo, Wolf dan Linx, yang datang dari Surabaya tiba di perairan Makassar. Kapal-kapal itu tiba sekitar pukul 09.00 pagi. Kapal-kapal tersebut diawaki 80 orang pelaut--yang terdiri dari pelaut Jawa dan Belanda. Kapal-kapal itu, menurut rencana akan menjadi bagian dari pendidikan para pelaut pribumi--pemerintah kolonial baru saja merencanakan pendirian sekolah pelaut disana. (Pewarta Makassar, 21 Februari 1914)
Pemerintah kolonial, sebenarnya tidak begitu peduli dengan masalah pertahanan laut karena doktrin militernya lebih memperhatikan pertahanan darat. Tidak heran bila kekuatan darat Hindia Belanda lebih besar, namun hanya ditujukan untuk permasalahan domestik--seperti menumpas para pemberontak--dan tidak sekalipun memperhatikan ancaman yang datang dari luar.
Melawan Pemerintah Yang Latah
Sekarang, setelah hampir 98 tahun setelah perintah kepada Goozsen, pemerintah meski sudah banyak menghasilkan para pelaut Indonesia, tetap saja belum bisa menjaga lautan Indonesia. Kekayaan laut Indonesia jelas harus dijaga. Sudah banyak kekayaan laut yang dicuri. Menjaga laut pun jadi keharusan yang tidak bisa ditawar lagi jika ingin kekayaan laut tidak hilang.
Pemerintah Indonesia tampaknya latah. Seperti berhasrat mengulangi kesalahan bangsa Indonesia ratusan tahun silam. Jika ratusan tahun silam pelan-pelan Indonesia dijajah, maka sekarang pelan-pelan dan pasti banyak kekayaan laut Indonesia hilang.
Banyak hal yang dibutuhkan untuk menjaga laut. Personil dan peralatan yang memadai tentunya, juga beberapa hal lain yang mendukung. Indonesia butuh alat yang memadai untuk menjaga lautnya. Soal perrsonil, ribuan pemuda Indonesia siap dilatih untuk menjadi pelaut atau penjaga pantai yang siap bertugas di segala perairan Indonesia.
Sambil mengingat  Goozsen, rasanya penting sekarang bagi Indonesia untuk memiliki para Penjaga Pantai (Coast Guard) untuk menjaga semua area perairan Indonesia. Ini sudah jadi keharusan. Jika di darat pernah ada Hansip (Pertahanan Sipil) mengapa di laut tidak diadakan semacam itu.
Buat apa menyia-nyiakan semangat pemuda Indonesia yang menggebu-gebu untuk menjaga Indonesia? Jika disia-siakan mereka bisa menjadi masalah besar dari bangsa ini, solusi untuk mereka tak lain adalah diberdayakan dengan tepat.
Indonesia harus mengingat bagaimana usaha pemerintah kolonial yan beri perintah pada Goozsen untuk membuat sekolah pelaut 98 tahun silam.

Sulawesi Selatan Dalam Sejarah


Yang saya dapati sejarah Sulawesi Selatan, cukup menarik dikaji. Sulawesi Selatan dalah daerah termaju di Indonesia Timur.


Sebelumnya saya mengenal Sulawesi Selatan hanya dari buku atau hanya dari cerita kawan-kawan saya ketika kecil. Suatu kali Indonesia Boekoe, tempat saya pernah bekerja memberi tugas pada saya untuk menulis salah satu tokoh wanita dari Sulawesi Selatan, We Tenriolle. Tokoh ini sangat asing sekali dalam sejarah Indonesia.

Bukan Sekedar Sejarah Kekerasan
Sejarah Sulawesi selatan cukup disoroti dalam sejarah Indonesia. Sayangnya, dalam Sejarah Nasional Indonesia yang disusun Nugroho Notosusanto, kebanyakan hanya berupa kekerasan saja. Dimana ditemukan tentang perang Sultan Hasanudin melawan VOC. Juga memposisikan Arung Palaka pengkhianat karena bersekutu dengan VOC melawan Sultan Hasanudin. Lalu ada cerita heroik Walter Monginsidi dan selanjutnya ada pemberontakan Kahar Muzakar yang dituduh antek DI/TII, padahal pemberontakan terjadi karena pemerintah tidak bisa bertrima-kasih kepada bekas pejuang kemerdekaan yang kemudian ikut berontak dengan Kahar Muzakar.
Sayangnya, Sejarah intelektulitas masyarakat Sulawesi Selatan tidak diangkat. Padahal orang-orang Sulawesi Selatan punya cendikiawan sekelas Karaeng Patinggalong, Syech Yusuf dan lain-lainnya. Bicara soal hukum dan lautan, orang Bugis-Makassar memiliki Amanna Gappa. Sejarah Nasional Indonesia, yang enam jilid dan belum lama cetak ulang itu, kebanyakan berbicara Jawa jauh lebih banyak daripada yang lainnya.
Pergerakan nasional, sebagai titik penting Sejarah Nasional Indonesia, dianggap banyak sejarawan sebagai masa berakhirnya perlawanan fisik rakyat Indonesia yang menentang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Dengan kata lain, masa pergerakan, sesudah 1908, adalah waktunya berjuang dengan otak dan otot tidak lagi dipakai. Berarti beberapa tokoh yang melakukan perlawanan seperti Kiai Hasan di Cimereme dan tokoh lain ditempat yang lain tidak lebih daripada perusuh saja. Mereka tentu tidak akan menjadi pahlawan nasional karena dianggap perusuh.
Perjuangan tanpa kekerasan, atau yang dianggap perjuangan gaya modern, yang pakai otak, sebenarnya dimulai sebelum 1908. Sebelum meninggalnya ditahun 1904, Kartini sudah berusaha mencerdaskan kaum putri.
Sejarah Sulawesi Selatan sendiri, tidaklah hanya diisi dengan sejarah kekerasan yang memakan nyawa saja. Tradisi intelektual sebenarnya sudah dimulai juga menjelang abad XX. Dimana beberapa orang tua dari kalangan berada memasukan anak-anaknya ke sekolah modern, dan jauh sebelumnya lagi mengirim anaknya ke pesantren.
Meski orang tua terkesan opurtunis, dengan anaknya belajar di sekolah modern, maka si anak akan mengerti perkembangan dunia dan juga bisa mengenali musuh-musuhnya. Jangan heran jika keluarga bangsawan Jawa, juga Bugis, mengirim anakanya ke sekolah modern.
Meski di Makassar pada zaman kolonial, hanya ada sekolah menengah. Yakni hanya sekelas Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO; setara SMP) saja, tidak ada Algemene Midelsbare School (AMS; setara SMA) maupun Hogare Burger School (HBS; sekolah menengah 5 tahun yang lulusannya setara lulusan SMA). Jika ingin sekolah lebih tinggi maka pemuda sulawesi selatan harus pergi ke pulau Jawa—dimana akses pendidikannya paling maju di zaman kolonial.
Tradisi sekolah di Sulawesi Selatan, sebenarnya tidak hanya dilakukan pemerintah kolonial pada kalangan terbatas. Banyak juga tokoh pribumi yang membuka sekolah. We Tenriolle adalah salah satunya di Sulawesi Selatan. Raja wanita dari Tanette ini pernah mendirikan sebuah sekolah. Dimana sebagian muridnya adalah wanita. Dengan sekolah ini, modernisasi di Sulawesi Selatan bisa berjalan meski palan. Karena terbatasnya akses sekolah.
Sebenarnya, sejak dulu, dari apa yang saya baca tentang Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan memiliki produk intelektual yang hebat. Mulai dari Sureq La Galigo sampai etika kelautan Amanna Gappa. Tradisi menulis juga dilakukan dalam lontara’ dengan huruf Bugis yang bentuknya berbeda dengan huruf Jawa.
Bicara soal La Galigo, untuk sementara saya menilai, cerita ini asli dan tidak mengadaptasi dari cerita lain dari luar. Berbeda dengan beberapa karya Jawa seperti Arjunawiwaha yang lebih banyak dipengaruhi oleh cerita Ramayana maupun Baratayudha. Menurut saya La Galigo jelas asli Sulawesi Selatan. Tentunya orang Sulawesi Selatan harus bangga pada La Galigo.
Dari budaya pemkiran yang ada tadi, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa Sulawesi Selatan punya kebudayaan intelektual. Sayangnya, banyak pemberitaan di media mengidentikan daerah ini dengan kekerasan saja. Begitu juga dalam sejarah Indonesia, dimana sejarah Sulawesi Selatan lebih banyak hanya menonjolkan perang dan kekerasan tanpa mengangkat sejarah intelektualnya. Tidak mengangkat sastra dan produk hukum lautnya.

Yang Termaginalisasi
Kota Makassar sudah menjadi pusat politik sejak lama. Ketika Revolusi Indonesia terjadi, Makassar juga masih menjadi kota penting. Makassar juga menjadi pusat sebuah Negara Boneka buatan Van Mook, selaku kolonialis sejati yang berusaha menegakan kembali Hindia Belanda di tanah yang sudah menyatakan diri Indonesia.
Negara Indonesia Timur buatan van Mook itu dicap oleh sejarah Indonesia sebagai kelompok pendukung politik kembalinya kolonialisme di nusantara. Dengan kata lain, orang-orang NIT banyak dicap sebagai antek-antek Belanda.
Dengan politik Devide et Impera gaya barunya Van Mook tampak ingin memecah belah Indonesia. Dengan BFO yang kemudian berdiri dan diketuai oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, semua Negara buatan Van Mook bersatu. Sebagai pihak ketiga, selain Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia, dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dan setelah tentara Belanda ditarik, maka kaum federalis yang dulu pernah dalam BFO dan lain sebagainya adalah pihak yang paling disalahkan dalam sejarah.
Ada tidaknya BFO dan Negara-negara bagian buatan Van Mook itu, tetap saja Indonesia merdeka dan akan memperoleh wilayah nusantara sebagai wilayah kekuasaan, seperti wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena situasi dunia pasca Perang Dunia II, nyatanya lebih mendukung Indonesia ketimbang Belanda. Negara-negara boneka itu juga didirikan pasca perundingan yang mempersempit wilayah RI.
Negara-negara bagian itu sempat bersatu dengan RI dalam kerangka Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun Negara federal itu tidak bertahan lama ditahun 1950. beberapa kerusuhan seperti Peristiwa Westerling di Bandung dan Jakarta, dan juga Peristiwa Andi Aziz di Makassar, maka antipati terhadap Negara federal pun tumbuh dan RIS kemudian bubar. Negara federal lalu disalhakan dan siapapun yang mendukungnya berarti menolak Negara kesatuan dan harus berhadapan dengan TNI. Sistem federal lalu disamakan dengan disintegrasi dan pengkhianatan.
Dalam sejarah Indonesia, Peristiwa Andi Azis dianggap sebagai contoh sejarah atas buruknya sistem federal. Dimana kaum federalis itu dianggap menolak Republik Indonesia di Makassar, meski sebanarnya mereka cukup mengakui pemerintahan RI di Makassar, namun kebijakan RI atas NIT terkesan tidak menghargai bekas kaum federalis. Kota Makassar adalah saksi dikambinghitamkannya sistem federal. Karenanya pasca reformasi 1998, otonomi daerah menjadi jembatan anatara sistem federal dengan Negara kesatuan.
Masalah federalisme pun bisa teratasi namun pengkambinghitaman terhadap kaum pendukung federalisme di Indonesia terus berlangsung. Tidak banyak yang menyadari, bahwa kaum federalis disamakan dengan menolak NKRI dan dianggap pengkhianat.
Kaum federalis bukan satu-satunya yang termarginalisasi. Tokoh penting Sulawesi Selatan yang temarginalisasi dlam sejarah adalah Arung Palaka. Dirinya dianggap berkhianat kepada Indonesia, entah Indonesia yang mana? Ini karena persekutuannya dengan VOC melawan Sultan Hasanudian, Raja Gowa yang dizamannya telah menjajah Bone—tanah kelahiran Arung Palaka.
Sejarah Nasional umumnya sulit berkata jujur, dan hanya mengambil sisi praktis semata untuk pemerintah yang hanya ingin kestabilan dan menghindari keadilan sejarah. Dan soal gelar pahlawan yang diberikat Negara pada seorang tokoh, juga predikat pengkhianat pada yang tidak sejalan jelas adalah hal yang sangat politis. Meski Negara bisa stabil oleh politisasi sejarahnya yang tidak jujur dan tidak adil, namun kebohongan akan tercium dan akan bisa merusak citra Negara tersebut, khususnya di kalangan intelektualnya.

Penulisan Sejarah Sulawesi Selatan
Tidak ada yang mengalahkan kebenaran sejarah nasional yang disusun pemerintah. Apalagi untuk Negara macam Indonesia. Wacana buku Sejarah Nasional Indonesia, dijadikan sesuatu yang dibenarkan. Tentunya wacana-wacana itu dimasukan dalam pelajaran sejarah sekolah dari SD hingga SMA.
Jika wacana sejarah ala pemerintah tadi memuat ketidak-adilan sejarah, maka penulisan sejarah alternatif harus dilakukan. Sangat penting menulis sejarah dari sudut pandang berbeda, jika ada sebuah wacana yang secara politis memelintir sebuah fakta sejarah dan berpihak pada sebuah golongan khususnya golongan penguasa. Karenanya penulisan sejarah haruslah beragam dari sudut pandang yang berbeda, yang tentunya berusaha berpihak pada kemanusiaan saja.
Penulisan sejarah ini tentu saja tidak bermaksud membuat masyarakat bingung untuk mengikuti yang mana. Sebenarnya, justru masyarakatlah yang seharusnya menjadi juri yang menilai kebenaran sejarahnya. Selama ini, pemerintah yang begitu dominan dalam menentukan mana wacana sejarah yang dibenarkan dan harus dianut oleh masyarakat. Hingga pembodohan sejarah pun menjadi penyakit akut masyarakat Indonesia. Penting sekali untuk menjadikan masyarakat Indonesia sebagai juri pengadilan sejarah Indonesia yang berhak menilai kebenaran sejarah. Sementara itu tugas sejarawan, yang selama ini dianggap sebagai sumber kebenaran, sebenarnya hanyalah menafsirkan fakta-fakta sejarah yang ada. Sejarawan tidak berhak menjadi orang yang merasa diri dan karyanya paling benar.
Soal penulisan sejarah Sulawesi Selatan, saya melihat ada dua macam penulis. Pertama penulis atau peneliti asing. Mereka bisa berlatarbelakang Sejarah maupun ilmu-ilmu social lain. Jumlah saya pikir cukup banyak. Sebut saja Leonard Andaya, Christian Pelras dan lainnya. Tentunya mereka-mereka ini bukan berdarah Sulawesi Selatan, malainkan dari luar Sulawesi Selatan. Mereka adalah peneliti yang cukup mumpuni di bidangnya masaing-masing dan telah memiliki karya ilmiah penting tentang Sulawesi Selatan.
Kedua, penulis asli Sulawesi Selatan. Mereka tentunya berdarah Sulawesi Selatan, bahkan masih berdomisili di Sulawesi Selatan. Mereka bisa berasal dari etnis Bugis maupun Makassar biasanya. Diantaranya adalah Haji Daeng Mangemba, Ahmad Ubbe dan lain-lain. Sebagian dari mereka adalah akademis yang berpengalaman dalam penelitian. Sebagian lagi, meski bisa jadi tidak memiliki pendidikan tinggi formal, namun mereka adalah orang yang mengerti dan peduli pada sejarah lokal Sulawesi Selatan. Mereka memiliki ikatan emosi yang cukup kuat dengan daerahnya.
Dari beberapa buku tentang Sulawesi Selatan yang saya baca, tulisan-tulisan tentang Sulawesi Selatan sudah cukup banyak. Baik yang ditulis oleh peneliti asing maupun pemerhati lokal yang berdarah asli Sulawesi Selatan. Meski saya lihat cukup banyak ditengah payahnya tradisi menulis di Indonesia, namun beberapa pihak menyatakan kurang. Sebuah hal yang wajar. Tradisi menulis sejarah di Indonesia, yang saya lihat paling menonjol adalah deerah Jawa secara umum, lalu disusul Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan. Di Sumatra Barat, penulisan sejarah kota lebih menonjol. Sementara itu di Sulawesi Selatan adalah sejarah tokoh.
Penulisan sejarah tentang Sulawesi Selatan juga cukup terbantu dengan adanya buku biografi maupun autobiografi tokoh yang berasal Sulawesi Selatan seperti Jenderal M. Yusuf, Bahar Mattalioe, Arung Palaka (yang ditulis Leonard Andaya), dan tokoh-tokoh lain. Keberadaan biografi maupun autobiografi tokoh Sulawesi Selatan yang ada itu tentu sangat membantu penelitian maupun penulisan sejarah di masa mendatang.
Sementara itu beberapa penulis asli Sulawesi Selatan, meski tulisannya terkesan sebuah penelitian ringan, yang tentunya bukan berupa tesis maupun disertasi, tetap saja karya-karya tersebut penting dalam memperkaya khasanah penulisan dan tentunya pengetahuan tentang daerah Sulawesi Selatan apapun judulnya.
Semua penulisan sejarah tadi sangat penting dalam mendokumentasikan pentingnya Sulawesi Selatan dalam sejarah. Khususnya bagi Indonesia bagian timur. Apalagi sejarah kejayaan etnis-etnis di Sulawesi Selatan yang memiliki karya besar dan pengaruh politiik yang cukup besar juga di nusantara.

Jenderal dan Wanitanya

Sebagai manusia, jenderal juga bisa tergoda. Pada apa lagi kalau bukan pada harta, tahta dan wanita.

Manusia tak ada puasnya, begitu kata banyak orang. Kebutuhannya selalu tak terbatas. Kebutuhan itu pun tak pernah ada habisnya. Hidup juga menyajikan banyak godaan yang membuat kebutuhan manusia jad semakin banyak dan rumit. Mengikuti godaan berarti menjadikan hidup menjadi lebih rumit.


Jenderal Yani
Tersebutlah Yani. Alias Letnan Jenderal Ahmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat. Ribuan tentara ada dalam komandonya. Dia memulai karir militernya sebagai Sersan topografi KNIL, lalu perwira PETA dan pelan-pelan jadi perwira tinggi TNI. Yani tergolong orang Indonesia beruntung karena bisa sekolah sampai Algemene Middelbare School (SMA di zaman Hindia Belanda). Yani menguasai beberapa bahasa asing.

Letnan Jenderal Ahmad Yani
        
  Dengan segala kecerdasan Yani menjadi perwira andalan di Divisi Diponegoro awalnya. Lalu ditarik ke Jakarta dan kuliah di Sekolah staf dan komando AD AS, di Fort Benning, AS. Karir Yani melesat setelah operasi penumpasan PRRI/Permesta di Sumatra.[1]
Semula, Yani adalah seorang yang lurus. Dia semula menolak poligami. Dia sayang pada istrinya, yang dipacari sejak zaman Jepang. Dimana Yani rela bersepeda dari Magelang ke Purworejo dengan jalan penuh tanjakan. Cinta Yani yang begitu besar tanjakan itu pun dilampui juga oleh Yani.
Hingga orang-orang tahu soal poligami yang dilakukan Yani. Banyak pejabat-pejabat di sekitar Sukarno dan istana Negara melakukan itu. Yani nampaknya terjebak Jakartanisasi yang membuatnya punya wanita lain. Poligami adalah isu yang nyaris tidak pernah didengar ditubuh militer.  Tidak banyak mengetahui hal ini karena tertutup dengan posisi Yani sebagai pahlawan nasional.
Poligami Yani, yang tentunya diam-diam itu, sungguh ironis. Karena sebelumnya Yani sempat melarang para prajurit AD melakukan poligami, namun Yani yang mengeluarkan larngan itu malah berpoligami.[2]
Istri kedua Yani, Khadjah, setelah Yani meninggal dalam sebuah tragedi bernama G 30 S, kemudian dinikahi oleh Letkol Herman Sarens Sudiro. Yang kemudian menjadi jenderal kaya penggemar motor gede, Harley Davidson.[3]  Herman dikenal pernah menikahi artis ibukota yang tidak begitu popular dan terlibat kasus korupsi dan peggelapan tanah negara.

Jenderal Sarwo

 
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo

Ada lagi jenderal lain. Dia juga dituduh punya simpanan.  Tersebutlah Sarwo Edhi Wibowo. Sarwo, masih sekampung dengan Yani. Mereka tampak seperti saudara.  Ketika masih sama-sama di PETA mereka sudah saling kenal. Sarwo adalah perwira dengan karakter keras. Mereka cukup dekat meski pernah berkonflik. Suatu kali karena suatu perkara, pangkat Sarwo yang semula kapten diturunkan menjadi Letnan Satu. Hal itu membuat Sarwo sakit hati meski tak ada dendam pada Yani.
Ketika Yani menjadi Jenderal, Sarwo masih Kolonel. Pengalaman Sarwo Edhi di militer jelas tidak diragukan. Tidak heran jika dia kemudian dijadikan Komandan RPKAD (Kopassus) sekarang. Meski banyak yang meragukannya karena bukan berlatar belakang pedidikan komando. Karenanya, Sarwo ikut pelatihan singkat komando. Ketika menjabat komandan RPKAD, Sarwo pun bisa membuktikan ketangguhannya sebagai komandan operasi pasca G 30 S—yang menewaskan beberapa perwira tinggi AD. Dimana Sarwo memimpin operasi penumpasan pengikut PKI di Jawa. Dimana dia jadi berjarak dengan istrinya.
Di Jogja, Sri Wulan baru saja kehilangan suaminya kolonel Katamso Darmokusumo. Sarwo datang ke Jogja bak pahlawan perang tentunya. Betapa tidak, Sarwo ikut menghabisi orang-orang, yang barangkali di mata Sri Wulan adalah orang-orang yang membuatnya jadi janda.  Banyak perwira datang ke rumah sang janda agar kuat setelah ditinggal. Tak ketinggalan Sarwo juga datang. Pertemuan itu berulang.
Di kalangan para jenderal AD pasca G 30 S, Sri Wulan adalah sosok yang mempesona. “Istri Katamso cantik dan seksi sekali,”kata seorang jenderal. Sarwo, sosok yang gagah dimata wanita, itu pun bisa jatuh hati pada Sri Wulan. Ini godaan besar bagi Sarwo tentunya. Sarwo punya istri yang jelas setia dan juga anak-anak. Sarwo tentu bukan tipikal orang suka menyakiti wanita.
Sebagai wanita yang baru tinggalkan suaminya, dalam sebuah kematian yang tragis, Sarwo tentu iba. Bukan tidak mungkin itu menimbulkan rasa kasih Sarwo pada Wulan. Sarwo jadi rajin berkunjung ke rumah Wulan selama operasi di Jawa Tengah. Hingga secara alami mereka menjalin hubungan yang cukup rumit.
Di permukaan kehidupan rumah tangga Sarwo tampak baik-baik saja, karena tidak ada perceraian karena hubungan itu. Konon, dari hubungan itu, lahir seorang anak yang diberi nama Hartanto yang dijadikan anak angkat Sarwo. Dimana dia diperlakukan sebagai anak sendiri oleh Sarwo dan istrinya Sunarti.[4]  
Berhubung Ani Yudoyono adalah putri Sarwo Edhi Wibowo, cerita cinta Sarwo dan Sri Wulan bisa jadi cerita yang sangat seru. Tapi tidak bagi Partai Demokrat dimana Susilo Bambang Yudoyono, sang menantu, adalah Dewan Pembinanya. Seuah kisah cinta hebat bagi musuh Demokrat tentunya.
Beberapa pejabat Indonesia memang suka selingkuh. Namun selingkuhan tentunya hanya wanita muda yang masih cantik dan segar di mata mereka. Beda dengan Sarwo, meski Sri Wulan masih cantik, hubungan mereka lebih digiring karena keadaan Indonesia yang kacau. Selingkuh memang Indah, bagi pelaku pastinya.

***
Begitulah kisah Yani dan Sarwo. Kesamaan dua jenderal asal Purworejo ini adalah, meski mereka kepingcut pada wanita lain, mereka tidak bisa tinggalkan istri pertama mereka. Bagaimana pun istri pertama adalah istri perjuangan. Lebih dari kawan semasa dalam penderitaan. Bersama istri pertama pula terkadang karir dan mimpi dibangun.





[1] Amelia Yani, Ahmad Yani: Profil Seorang Prajurit TNI, Jakarta, Sinar Harapan, 1998.

[2] Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Jakarta, LP3ES, 2005, hlm. 100.

[3] Tempo, 25 Januari 2010

[4] Tempo, 13 November 2011