Rabu, Februari 25, 2015

KNIL di Boven Digoel

Tak perlu memukuli orang buangan untuk menyiksa mereka. Cukup pastikan saja mereka tetap di Boven Digoel, Papoea, karena berada di Digoel pun juga penderitaan.

Dengan lagak mirip backpacker, dengan iseng  saya cari cerita Thomas Najoan di Boven Digoel. Sekitar 410 KM dari Merauke. Bersama sebuah hiline (mobil gardan ganda), saya menghabiskan waktu sekitar 10 jam. Dimana saya harus melewati hutan belukar yang saya kira masih cukup ganas. Jalanan yang dilewati mobil tumpangan kami, bukan jalan aspal mulus. Kebanyakan jalanan tanah, yang jika musim hujan dijamin becek dan sulit dilewati.
Pos-pos tentara dan polisi harus kami lewati. Tentara selalu berjalan bawa bedil SS mereka. Melihat tentara-tentara itu saya teringat serdadu-serdadu KNIL yang dikirim untuk menjaga oran komunis yang jadi orang buangan di Boven Digoel.
Demi menyikat semua musuh Ratu Singa van Negeri Orange, butuh serdadu-serdadu yang bernaung dibawah Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (baca: Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang biasa disingkat KNIL. Namun, lidah-lidah orang Indonesia lebih suka menyebutnya kompeni.
Sekitar ¾ dari semua serdadu-serdadu KNIL itu adalah orang-orang Indonesia.Mulai dari Jawa, Ambon, Manado, dan suku-suku lainnya. Jika ada yang menyebut jumlah serdadu Ambon lebih banyak ketimbangyang lain, maka itu jelas mitos, karena yang terbanyak jelaslah  orang Jawa.
Dalam sejarahnya KNIL eksis sejak era van den Bosch jadi Gubernur Jenderal  1830, bersamaan dimulainya tanam paksa (Cultuur Stelsel) dan mungkin untuk memuluskan tanam paksa itu juga. Setelah banyak menghabisi banyak perlawanan—seperti kata BukuGedenkschrift Koninklijk Nederlandsche Indische Leger 1830-1950—danbubar memalukan ketika Hindia Belanda menyerah pada balatentara Jepang, lalu pada 26 Juli 1950, KNIL tamat riwayatnya di nusantara.
Serdadu KNIL dicap ganas pada para pemberontak. Serdadu-serdadu KNIL, terutama dari korps Marsose sering menghabisi beberapa kampong di sekitar Aceh dan Gayo Alas selama Perang Aceh berlangsung.
Biasanya, anggota-anggota KNIL, terutama KNIL Ambon, mereka dicap garang. Dan, anak-anak serdadu KNIL yang disebut anak kolong pun bukan main nakalnya. Itu berlaku di banyak tempat yang dulu disebut Hindia Belanda ini.
KNIL adalah ujung tombak penjaga rust en orde (keamaan dan ketertiban) di jaman kolonial. Ketika polisi tak mampu lagi turun tangan, maka KNIL akan dikerahkan. Termasuk dalam menghabisi pemberontakan orang komunis di Banten dan daerah ain pada 1926/1927. Sebenarnya, menjaga tahanan cukup dikerahkan pada polisi saja, namun jika menjaganya di Boven Digoel, jelas sebuah pengecualian. KNIL harus berjaga disana, demirust en orde
Menjaga Para Digulis
Boven Digoel terletak nyaris di tengah belantara Papoea. Mendengar kata Papoea pun orang akan ketakutan, apalagi dibuang kesana. Boven Digoel atau Tanah Merah, awalnya hutan belantara. Orang buangan, yang disebut Digulis itu, tak datang dalam kondisi kamp Boven Digoel siap pakai. Mereka harus buka lahan dan bangun sendiri rumah-rumah—dengan dana yang disediakan pemerintah kolonial.
Konon, seperti tertulis dalam Digul: Bumi Pahlawan Kemerdekaan Indonesia karya A. Hasmji, “Kapten Becking goyang-goyang kepala,” melihat alam Papua yang harus mereka buka dan tinggali itu. Konon, Kapten Becking menilai, pemerintahnya (Hindia Belanda) sama sekali tak mempunyai perikemanusiaan, kejam dan ganas.
Apa boleh buat, bagi militer: perintah adalah perintah. Dan wajib hukumnya melaksanakan perintah atasan. Jadi, Kapten Becking sebagai seorang Kapten KNIL harus tunduk pada perintah atasannya, entah dari Legercommandant (panglima tertinggi) KNIL maupun Gubernur Jenderal di Batavia. Sekonyol apapun perintah itu, haram hukumnya kalau membangkang.
                Sebelumnya, Kapten Becking termasuk komandan KNIL yang ikut menghabisi pemberontakan komunis tahun 1926 di Banten. Bersama pasukannya, Becking berhasil menangkap banyak orang di Banten. Diantaranya, banyak juga yang ikut dibuang ke Boven Digoel. 

Sebagai pemenang perang, dalam penumpasan orang komunis di Banten, Becking harusnya boleh sombong. Namun, setelah pakai lagika (otak)nya, mungkin juga ada kerendahan hati juga, Becking bukannya jadi seorang semena-mena. Setidaknya, saya belum temukan catatan tentang kebencian orang-orang buangan, yang sebagian jelas bekas musuh, pada kapten Becking ini. Orang-orang buangan itu hanya benci setengah mati pada pemerintah kolonial.
Menurut Sejarawan Jepang, Takeshi Shiraisi, rombongan pertama orang buangan tiba di Digoel sekitar bulan Maret 1927. Sejak Januari 1927, Kapten L Th Becking dan rombongannya yang terdiri dari tawanan pekerja tiba di Digoel lebi dulu. Mereka babat alas. 
Meski ada sedikit rasa tidak suka di kalangan orang buangan, karena disuruh membuka hutan Boven Digoel, kapten Becking tetap berhasil memimpin pembukaan Boven Digoel secara besar-besaran. Hingga jadilah kamp Tanah Merah. Gubernur Jenderal harus berterimakasih sebesar-besarnya pada serdadu KNIL dibawah pimpinan Kapten Becking itu. Karnanya, jadi sudah kamp pembuangan yang pernah menampung 1.308 orang buangan anti pemerintah itu.
Hidup di Boven Digoel tak hidup diantara dinding-dinding tebal. Pemandangan dominan hanya hutan-hutan hijau, beserta sungai Digoel yang tak sebutek sungai-sungai di Kalimantan.  
Orang buangan di Boven Digoel, tak perlu dirantai ketika berkeliaran. Orang-orang buangan itu pun tak perlu dikurung dalam sel. Mereka boleh berkeliaran, tapi hanya di sekitar Tanah Merah saja. Namun, tetap saja hidup mereka diatur,Besluit (surat keputusan) dari Gubernur Maluku no BB 52/1/1 tanggal 17 Maret 1928, menyebut: orang-orang buangan hanya boleh berkeliaran dalam radius 30 kilometer, begitu pengakuan mantan Digulis bernama Bondan dalam biografinya yang ditulis istrinya yang bule Australia.
Radius 30 KM di Tanah Merah hanyalah hutan belukar. Mereka boleh lenggang kaki dalam radius itu, namun jika lebih dan penjaga (baik yang polisi dan tentara) tahu, maka mereka akan dikejar. Bebas dari kamp Tanah Merah alias Boven Digoel adalah mimpi yang amat sangat indah. Dari ratusan orang di Tanah Merah, hanya sedikit yang bermimpi mau kabur.
Serdadu KNIL di Boven Digoel, tak perlu bersikap keras pada orang buangan, jika ingin menyiksa orang komunis. Berada di Boven Digoel saja sudah siksaan luar biasa buat orang buangan. Boven Digoel tempo doeloe sudah sangat ganas, tak perlu lagi mengganasi orang komunis yang buang itu.
Beberapa penjaga, bahkan tak ragu bergaul dengan orang buangan atau tahanan. Disiplin penjaga penjara agak longgar. Suatu kali, Chalid Salim pernah melewati penjara dan melihat: pintu tahanan terbuka, seorang penjaga main kartu dengan tahanan, petugas jaga lain tertidur. Namun tak ada satu pun yang kabur. Ketika pengawas Belanda datang, permainan kartu berhenti sejenak. Para tahanan masuk dengan manis ke sel tahanan mereka. Pada si pengawas, penjaga hanya bilang, “tak ada hal khusus yang perlu dilaporkan, Tuan.”

 Para tentara atau polisi hanya akan repot jika ada tahanan yang kabur, karena harus mencari dan mengejarnya. Bagi tahanan yang ingin kabur, mereka harus berhadapan dengan ganasnya alam Papoea yang sudah kesohor itu. Ancaman serius manusia asli Papua yang masih Kanibal pun ancaman yang tak bisa acuhkan.Belum lagi binatang buasnya. Sungai Digoel bukan sungai bebas buaya, jika ada yang kabur memakai perahu.
Jika pun orang buangan itu kabur hingga keluar batas wilayah daerah koloni Hindia Belanda, maka tak ada negara atau lingkungan di sekitar Papua yang bisa menerima pelarian tadi.Semua wilayah di sekitar Papua adalah daerah koloni dari Negara-negara barat sekutu dari Kerajaan Belanda. 
Garnisun KNIL di Digoel, semula hanya terdiri dari lima regu, lalu ditambah menjadi tujuh regu. Setiap regu tadi, dipimpin seorang Sersan pribumi atau Eropa. Tugas mereka hanya menjaga rust en orde di Boven Digoel.  Mereka juga patroli di sekitar kamp tahanan di Tanah Merah (yang terbesar dimana mayoritas internir tinggal) dan Tanah Tinggi (yang hanya dihuni puluhan internir). Para militer penjaga itu tinggal dalam barak yang di area yang bukan tempat internir. Mereka tinggal terpisah dari internir-internir yang tinggal dalam kampung-kampung.
Untuk mencapai Tanah Merah, yang menjadi pusat dari Boven Digoel, dari Merauke  kapal yang digunakan untuk mengantar penumpang, baik tahanan maupun pegawai sipil atau militer, adalah kapal uap Formalhout. Pihak militer yang punya tugas tambahan untuk mengawasi tahanan, berurusan dengan kapal uap Formalhout.

Om Bintang dan Thomas Najoan
Tersebutlah seorang mantri polisi, yang bersama KNIL, menjaga rust en orde, dia nampaknya oran baik juga. Orang-orang buangan sering sebut namanya. Kadang terkait dengan Thomas Najoan. Reputasi Thomas Najoan yang doyan kabur tentu sohor di kalangan digulis, dia pernah kabur sampai Australia, namun ketangkap polisi disana, lalu dengan murah hatinya pemerintah Australia kembalikan Thomas Najoan si permata digul yang hilang itu.
Dalam kepulangan terkutuknya ke Digoel, dalam kondisi tangan dan kaki di rantai, Thomas Nayoan masih bisa bercanda ketika ditanya kawan lainnya, “Kenapa kau kembali?” kurang-lebih Thomas yang tersenyum pun bilang, “Oom Bintang kangen padaku.”
Oom Bintang adalah pensiunan bintara KNIL yang menjadi mantri polisi di Tanah Merah Boven Digoel. Tak jelas siapa nama aslinya, hanya diketahui dia adalah orang Ambon. Dia pernah terlibat dalam perang Aceh, dimana dia mendapat bintang (medali kehormatan militer dari kerajaan).Itulah kenapa dirinya dipanggil Oom Bintang. Orangnya diperkirakan tidak muda lagi.
                Dalam kesempatan lain, soal pelarian pertamanya yang ‘sukses-suksel gagal’ (berhasil kabur tapi tertangkap lagi), ketika sedang berkumpul dengan kawan-kawan sesama orang buangan lain, Thomas Najoan pernah ditanya kenapa dulu dia bisa kembali ke Digoel? Najoan berkelakar: “Australia tak suka padaku, maka kembalilah ke Oom Bintang!”
                Menyebut nama bekas bintara KNIL Ambon, yang selalu berurusan dengannya itu membuat Najoan panjang umur. Karena bisa tertawa bersama-kawan Digulis lainnya.
                Dulu, sebelum kabur, Kapten Becking pernah meminta Thomas Nayoan bikin percobaan dengan berbagai benih tanaman untuk dibudidayakan. Najoan pun bersedia melakukan percobaan itu. Namun, beberapa lama setelah si kapten memberi perintah, Najoan membawa sebuah kertas rancangan pembangunan  Proefstation Boven Digoel (Tempat penelitian pertanian Boven Digoel). Dimana dirinya bakal menjadi direktur Proefstation itu.
Rupanya Kapten Becking tak punya dana untuk proefstation itu. Namun Najoan tetap boleh melanjutkan percobaan benih-benih tadi. Najoan kecewa lalu tak pernah bicara itu lagi. Mungkin, itu kenapa Thomas Najoan kabur dan OomBintang harus pusing cari orang sosialis Indonesia generasi pertama ini.


“Tak Ada Orang Galak di Digoel”
Mantan bocah didikan Digoel, yang kini sepuh dan menghabiskan masa tuanya di Tangerang, waktu saya datangi dua minggu lalu bercerita pada saya, “tak ada orang galak di Digoel.” Trikoyo Ramidjo nama mantan bocah Digoel itu. Dia analah anak dari Kiai Dardiri Ramidjo alias Kiai Anom dari Purworejo.Trikoyo bangga sebagai bocah Digoel yang selalu berusaha ‘apa adanya.’Dia pernah terbitkan cerita-cerita masa kecilnya dalam buku yang berjudul: Kisah-kisah Dari Tanah Merah (Ultimus, 2009).  Mungkin, KNIL di Boven Digoel adalah KNIL-KNIL baik hati.Karena Trikoyo tak pernah menemukan KNIL galak.
                Mantan anak Digoel lain, Siti Rahmatun, putri dari Digulis asal banten bernama Muhamad Amin, yang saya datangi tahun lalu bersama Rudolf Mrazek, bilang pada saya, dia juga punya kawan anak militer. “Kalau kebetulan saya ke rumah wedana sering ketemu.Ada anakManado kalau kemana-mana ayahnya pergi dia ikut.”
                Karena, daerah sekitar kampong dan sungai adalah taman liar tempat mereka bermain, bukan sesuatu yang aneh jika anak orang buangan bisa bertemu anak-anak serdadu KNIL alias anak kolong itu, mungkin bermain bersama Tanah Merah (Boven Digoel). Jarak antara kampong-kampung orang buangan dengan rumah orang-orang Belanda maupun tangsi KNIL memang tidak jauh.
Jika anak-anak Digulis bersekolah di HIS milik Gubernemen (pemerintah), maka anak-anak Digulis itu akan kenal anak-anak kolong yang bersekolah disana. Nampaknya, diskriminasi kolonial tak terasa di Boven Digoel.“Kita tidak ada perbedaan,” kata Siti Rahmatun. Jika ada anak Digulis yang berobat ke klinik bernama Wilhelmina Ziekenhuis,  mereka akan melewati tangsi tentara.
Trikoyo yang pernah punya pengalaman jadi tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, karena jadi wartawan Harian Rakyat, pernah membandingkan: kamp pembuangan Boven Digul, jauh lebih beradab ketimbang pulau buru. Pemerintah tak pernah begitu saja membiarkan orang buangan di Digul kelaparan dan sakit.Toch, klinik disediakan.
Tiap bulan semua orang buangan, bahkan yang masih bersikap keras sekalipun setidaknya dapat beras.Orang buangan pun tak ada kewajiban untuk kerja paksa. Padahal, di kamp tapol Pulau Buru, atau Moncongloe mungkin kamp tapol orde baru lain, seorang tawanan harus bekerja menggarap lahan milik anggota TNI tanpa bagi hasil dan jatah makan yang jelas. KNIL tidak melakukan itu di Boven Digoel.

KNIL Tak Perlu Kerja Keras
Tak adanya catatan tentang galaknya serdadu KNIL pada orang buangan, mungkin dikarenakan KNIL-KNIL itu merasa, jika mereka bersikap keras pada orang buangan, maka bisa melahirkan pemberontakan baru yang mungkin bisa memunuh mereka sendiri.
Seratusan KNIL, jika diserang serempak oleh 1000an orang nekad macam orang-orang tanah merah yang keras dan siap mati, tak akan bisa selamat. Toch, menunggu bala bantuan dari Merauke mungkin terlalu jauh dan pastinya butuh waktu lama sekali karena hanya Formalhout saja yang biasa pergi dan paham daerah sunga Digoel.
Dari beberapa foto tua tentang KNIL di Boven Digoel, jelas KNIL-KNIL itu bersenjatakan senapan laras panjang dan sudah bersepatu. Musuh KNIL di Boven Digoel jelas bukan orang-orang buangan. Sejatinya, Boven Digoel yang sekarang pun cocok untuk melatih nyali seorang serdadu-serdadu muda untuk bisa hidup di alam Papoea.
Mungkin, dibutuhkan serdadu-serdadu yang bisa tahan dari ancaman sunyi Digoel yang bisa bikin orang macam Thomas Najoan galau dan nyaris mengakhiri hidupnya. Mungkin, serdadu korps khusus antigerilya macam Marsose pasti punya daya tahan bagus terhadap hutan Papoea, namun, bisa jadi akan sulit akur dengan orang buangan komunis. Jadi, KNIL biasa mungkin lebih baik.
Bisa dibilang, KNIL-KNIL  di Boven Digoel tak terlalu sulit rust en orde. Mereka hanya perlu kejar orang buangan yang kabur. Sebab, kata Mrazek, ada jaringan mata-mata pemerintah kolonial di kalangan orang-orang buangan. Mata-mata ini dari kalangan orang buangan yang ingin cepat bebas, atau dapat uang tambahan. Organisasi ini disebut Rust en Orde Bewaarder (ROB)yang sering kirim laporan tentang kegiatan pada pemerintah kolonial dalam bahasa Melayu.
Orang buangan di Boven Digoel sudah dihancurkan dari luar oleh alamPapoe yang jauh dari keramaian dan perpecahan di kalangan orang buangan sendiri. Dan, KNIL di Boven Digoel lebih banyak menganggur, mirip orang-orang berkemah—namun untuk waktu yang lama sekali.