Jumat, Juli 29, 2011

Melawan Lupa dengan Tidak Menghafal

Pertama yang terbesit bagi orang-orang yang pernah belajar sejarah di sekolah adalah menghafal. Banyak yang mengamini belajar sejarah adalah pelajaran yang menghafal. Jadilah pelajaran sejarah sebagai pelajaran yang dihindari di sekolah. Hebat juga orang yang membuat siswa harus menghafal. Akhirnya, esensi sejarah untuk berkaca dari masa lalu untuk menghadapi masa depan hanya omong kosong. Mungkin ini yang diinginkan dunia pendidikan di Indonesia.


Menghafal

Semua orang sepakat pelajaran sejarah adalah pelajaran menghafal. Menggali hal-hal menarik berupa nilai-nilai kemanusiaan bukan lagi hal penting. Anak-anak SMA tentu merasa sejarah adalah pelajaran menghafal tanggal-tanggal.

Karena tuntutan menghafal, membuat banyak orang yang awalnya agak tertarik dengan pelajaran sejarah jadi bosan dan kehilangan rasa tertarik itu. Sejarah memang untuk mengobati rasa penasaran. Bukan berarti harus menghafal detilnya saja. Tapi mencari esensi dibalik peristiwa itu. Rasanya yang diinginkan pejabat pendidikan Indonesia hanya generasi yang bisanya hanya menghafal. Dan bukan generasi yang bisa belajar dari masa lalu. Kita tahu, para siswa dibuat menghafal menjelang ujian dan kemudian lupa karena tidak membekas sama sekali. Kita tahu banyak hal yang kita lupa setelah kita berjuang keras menghafal.


Memang banyak orang yang belajar sejarah bisa hafal—dalam jangka waktu—beberapa hal dalam sejarah tertentu. Biasanya itu bukan karena memaksakan diri untuk menghafal, tapi lebih karena membaca santai dan tidak dalam tekanan. Setidaknya itu pengalaman saya dan beberapa kawan (sejarawan) muda saya yang bergelut dengan sejarah. Mereka hanya membawa tanpa menekan diri mereka untuk hafal. Kami tak terlalu berniat menghafal, tapi entah mengapa akhirnya kami hafal? Bagi kami menghafal bukan hal penting, yang terpenting bagi kami adalah menggali esensi dari sebuah peristiwa atau tokoh sejarah.


Harus diakui, sejarah adalah pelajaran paling gila. Betapa tidak semua anak sekolah dari SD hingga SMA harus menghafal semuanya. Tidak penting menggali nilai-nilai yang ada dalam sejarah. Selalu diarahkan untuk menghafal. Dan hafalan itu akan keluar dalam ujian. Dan ujian sejarah seperti Who Wants to Be a Millionaire. Bedanya ujian bertujuan untuk menentukan nilai siswa untuk lulus, sedang Who Wants to Be a Millionaire kita dijanjikan uang banyak jika bisa jawab pertanyaan.


Yang terus menjadi pertanyaan saya, pentingkah menghafal sesuatu dan kemudian lupa begitu saja? Jujur saja, saya lupa apa saja yang saya jawab waktu ujian di sekolah saya. Jika pun saya bisa mengingat sesuatu itu bukan karena menghafal, tapi lebih karena saya menggelutinya—sekedar membacanya tanpa tekanan.


Pertanyaan lain, siapakan sebenarnya yang untung dari memaksakan siswa untuk menghafal isi pelajaran sejarah yang begitu banyak? Terutama fakta-fakta yang sebenarnya masih bisa diperdebatkan. Apakah siswa untung? Rasanya siswa alami itu hanya sebagai fase untuk lulus sekolah.

Melawan Lupa

Teringat Milan Kundera, jika megucap berjuang melawan lupa. Hidup adalah berjuang. Termasuk berjuang melawan lupa. Dimana sejarah adalah media untuk berjuang melawan lupa. Orang-orang berpikiran maju biasanya orang-orang yang tidak ingin dibohongi oleh siapa saja. Termasuk oleh pemimpinnya. Orang-orang berpikiran maju tentu saja orang berjuang untuk tidak menjadi orang yang amnesia terhadap sejarah.



Kita tahu banyak penguasa dunia berusaha membangun sejarah yang begitu herois, dimana menampilkan sosok si penguasa sebagai pahlawan yang harus senantiasa didukung. Dan pelajaran sejarah di sekolah pun dijadikan media propaganda semacam itu. Semua orang Indonesia rasanya sudah mengerti hal itu. Dimana semua orang dibuat percaya heroisme penguasa (sejarah) melalui banyak hafalan. Rasanya kebenaran sejarah, yang sebenarnya relatif, menjadi bukan hal penting. Yang terpenting, versi penguasa selalu benar bagi mereka yang mendukung pemerintah. Begitulah pembodohan di Negara Dunia Ketiga.


Dengan membuat generasi muda tidak suka sejarah dengan menghafal yang sedemikian rupa, maka sebuah rezim sukses membuat sebuah amnesia sejarah bagi generasi di masa depan. Juga menjadikan jurusan sejarah sebagai kampus buangan adalah ide yang bagus untuk menjaga wacana sejarah, yang katanya selalu benar itu.

Yang terjadi memang banyak siswa enggan belajar sejarah karena enggan menghafal banyak data yang diantaranya kebenarannya masih diragukan. Ditambah lagi dalam pelajaran sejarah di sekolah gagal mengajak siswa untuk menangkap esensi dari peristiwa atau teladan dari pelaku sejarah dengan jujur.


Sepertinya, ada sebuah ketakutan jika siswa-siswa di sekolah belajar menggali sejarah masa lalu. Bisa jadi kebusukan sejarah sebuah rezim penguasa akan terbongkar dan image si penguasa akan jatuh di mata rakyatnya. Ketakutan akan kebohongan itu terbongkar tentu disiasati dengan memaksakan fakta-fakta yang dimaui si penguasa untuk di hafal generasi muda.


Kebosanan dalam pelajaran sejarah, karena terus dipaksa menghafal, tentu akan membuat siswa yang awalnya suka jadi tidak suka. Belajar sejarah, membuat seseorang menjadi ditektif yang terus menemukan fakta baru, tidak jarang faktu itu begitu memalukan bagi sebuah rezim. Itulah kenapa Suharto dan pengikutnya tidak ingin melawan lupa. Sudah pasti agar kebusukan mereka dimasa lalu tertutupi dan hanya mengumbar sisi baiknya saja agar bisa terus berkuasa. Rezim semacam itu tentu takut dengan orang-orang yang berjuang melawan lupa.


Orang-orang yang berjuang melawan lupa itu bisa siapa saja, tidak harus sejarawan. Mereka bisa pelajar-pelajar di sekolah atau orang-orang yang punya minat terhadap sejarah. Orang-orang semacam ini biasanya adalah orang-orang jujur yang apolitis. Mereka hanya ingin tahu yang benar. Mereka adalah orang yang berbahaya bagi sebuah rezim. Karenanya sebuah rezim tidak menginginkan orang-orang seperti ada. Bagi sebuah rezim, sangat penting untuk menjadi lupa. Dan bagi yang jujur dan berpikiran maju akan memilih menjadi orang yang berjuang melawan lupa.


Senin, Juli 25, 2011

Mercy’s dan Lagu-lagu Manisnya

Dekade 1980an, Rinto Harahap memang identik dengan lagu-lagu sendu—kalau tidak boleh disebut cengeng. Nama Rinto di musik pop Indonesia sudah begitu dikenal sebagai musisi, entah sebagai pencipta lagu maupun pemain musik. Rinto Harahap, dimasa mudanya adalah musisi.

Di dekade 1970an, semua pemuda penggila musik pop tahu The Mercy’s. Banyak hit yang dihasilkan band ini. Mereka punya banyak album yang berupa piringan hitam dan kaset pita. Orang-orang yang hidup ditahun 1970an, sebagaian hafal dengan hit-hit mereka. Hingga beberapa dekade setelahnya lagu-lagu mereka terus diingat dan dinyanyikan ulang oleh musisi lain.

Menuju Jakarta

Bermula, awal 1969 di kota Medan, Sumatra Utara, sekelompok anak muda memulai sebuah band. Terdapat dua bersaudara bermarga Harahap—Erwin dan Rinto—dalam band ini. Mereka bertolak dari Jakarta menuju Medan membentuk band pesta. Selain Erwin dan Rinto, awalnya mereka digawangi oleh Rizal Arsyad pada Gitar Rythem, Iskandar alias Bun pada Keyboard dan Reynold Panggabean pada Drum. Belum setahun terbentuk, band ini sudah dapat tawaran manggung di Malaysia. Namun Bun keluar. Setelah Bun keluar karena ingin kuliah kedokteran, maka Charles Hutagalung pun masuk menggantikan. Bun kemudian memang menjadi dokter bedah syaraf.

Pada band mereka, mereka pilih The Mercy’s. Nama The Mercy's sendiri secara spontan terbesit, karena menyukai naik mobil bermerk Mercy. Dalam bahasa Prancis, Mercy's artinya kasihan atau bisa juga terima kasih. Seperti band pop Indonesia lain, band ini juga mengikuti tren perkembangan musik mancanegara. Mereka sering mengacu pada band The Beatles, The Bee Gees, The Hollies, C.C.R maupun Monkeys—yang menjadi band paling berpengaruh kala itu.

Charles memiliki karakter suara yang unik. Suara Rinto pun melengkapi vokal band ini. Seperti Bee Gees, The Mercy’s punya lebih dari satu vokalis. Selain suara instrusmen musik yang khas ala 1970an, suara vokal pun menjadi sesuatu yang menarik.

Band melejit lagi setelah Charles menciptakan Tiada Lagi. Mereka tampil di sebuah club di Malaysia. Dimana mereka menetap selama enam bulan sebelum akhirnya kembali ke Medan. RRI medan lalu merekam lagu Tiada Lagi. Sebuah lagu yang cukup melankolis namun memiliki komposisi musik yang bagus, untuk ukuran jamannya.

Band ini beberapa akan tampil di negara Asia lain, namun rencana selalu kandas. Meraka hijrah ke Jakarta. Sebuah kota yang tepat untuk karir musik mereka. Mereka pun menjadi band papan atas yang sejajar dengan The Rollies. Mereka berhasil merekam album pertama mereka, pada Agustus 1972. Beberapa hit dalam album itu adalah Untukmu, Hidupku Sunyi, Love, dan Kisah Seorang Pramuria. Dua perusahaan rekaman—Remaco dan bergabung untuk merekam album pertama The Mercy’s itu.

Penjualan Album itu menyaingi dua band papan atas di zaman itu, Koes Plus dan Panbers. Hit mereka juga menjadi lagu yang sering diputar oleh radio-radio swasta Indonesia. Mereka pernah konser bersama Koes Plus, Panbers, The Favourite di Jakarta. Penonton pun membludak melebihi kapasitas.[1] Artinya band ini dasyat juga di zamannya.

Legenda Pop Juga

The Mercy’s pun jadi legenda musik pop Indonesia. Band ini selalu disebut juga dalam sejarah musik pop Indonesia. Orang-orang pun masih juga menikmati musiknya hingga kini. Kini personil-personil yang dulu berambut gondrong ini sudah beranjak tua. Charles Hutagalung pun sudah lama meninggal beberapa tahun silam. Tentang Charles, Rinto punya kesan, “Sebenarnya The Mercy's masih ada dan dari kami pun belum ada pernyataan resmi bubar. Namun, tidak dapat dipungkiri The Mercy's dikenal karena keberadaan Charles Hutagalung. Kami ini hanya sebagai pelengkap saja.” Rinto tampak rendah hati. Meski Rinto dan yang lainnya punya jasa dalam The Mercy’s. Mereka tampak menghargai Charles.

Setelah masa jayanya, Band ini sempat vakum oleh proyek-proyek individu. Charles dengan solo albumnya. Reynold dengan OM Tarantula-nya. Rinto juga banyak mengorbitkan banyak penyanyi baru seperti Christine Panjaitan atau Eddy Silitonga. [2] Sudah pasti dengan lagu-lagu yang cengeng. Intinya mereka tetap berkarya.

The Mercy’s juga identik dengan penyanyi-penyanyi Batak. Gereja membuat orang-orang batak memiliki olah vokal yang baik. Dan musik menjadi hal yang biasa dan penting bagi kehidupan mereka sehari-hari, juga dalam kegiatan religius. The Mercy’s adalah bagian penting dari sekian banyak musisi Batak lainnya.

Meski tidak akan pernah tampil lagi, karena kehilangan personil, tetap saja Band ini punya peninggalan yang masih bisa dinikmati oleh generasi sekarang. Orang-orang akan ingat lagu-lagu manisnya. The Mercy’s terus dikenang.



[2] http://ms.wikipedia.org/wiki/Kumpulan_The_Mercys: Rinto Harahap: Jangan Sakiti Hatinya, http://nasional.kompas.com/read/2010/11/07/03493533/ (Minggu, 7 November 2010 | 03:49 WIB)