Senin, April 30, 2012

Pleidoi Orang Jelek

“Kenapa perempuan lebih sering pake bedak daripada pake otak?”
            “Karena laki-laki gak pernah pake otak.”

Tanpa sadar orang Indonesia jadi manusia yang menafikan Tuhan dengan membeda-bedakan manusia dengan melihat warna kulit, bentuk wajah. Kita mungkin salah satu dari manusia Indonesia itu. Kitorang boleh tertawa. Merasa taat pada Tuhan namun memelintir ayatnya dengan membeda-bedakan kaum tertentu atau bahkan merendahan kaum tertentu juga.

Rasis ala Orang Indonesia
Tuhan tak pernah ciptakan batas antar manusia. Namun, atas nama Tuhan, manusia telah membuat tembok besar diantara manusia-manusia. Pembeda-pembeda diciptakan demi strata-strata yang tidak hanya rumit tapi juga melecehkan kemanusiaan.
            Manusia Indonesia masa kini, entah sejak kapan?, adalah manusia rasis sebenarnya.  Mau bukti, pernah di Bandara, saya melihat dua wanita berbicara dalam bahasa Jawa yang isinya saya pahami sebenarnya merendahkan orang Papua yang berkulit hitam. Mereka berdua seolah merasa ngeri dengan kulit hitam si orang Papua, yang menurut saya berwajah ramah. Betapa dua wanita Jawa itu tak punya Bhineka Tunggal Ika. Walau tiap hari mengaku bangga jadi warga Indonesia yang merasa ber-Pancasila.
            Jika sikap rasis yang menganggap aneh orang Papua tadi diteruskan, Indonesia akan bubar. Indonesia Raya hanya tinggal sebuah lagu. Kalau mengaku masih ber-Pancasila, sebaiknya bunuh sikap rasis tadi.
            Manusia Indonesia yang lain pun tak kalah rasis juga. Ini melanda pengkonsumsi infotainment dan sinetron. Ada kala dimana para penonton begitu kesengsem dengan aktor atau aktris berwajah Indo. Karena mancung, agak pirang dan lain.
Bagi mereka, yang indo tentu lebih tampan dari saudara mereka yang dari Papua. Orang-orang ini adalah orang-orang yang rindu dijajah Belanda. Meski mengaku nasionalis, pemikiran ala orientalis kolonial jaman dulu melekat kuat dalam kepala mereka. Dimana Eropa adalah segalanya dalam banyak hal.
Orang Indonesia tetap berpikir ala orientalis meski mengaku nasionalis.  Meski pun kebanyakan orang-orang Eropa sudah lama meninggalkan pemikiran usang ala orientalis kolonialis tadi. Begitulah orang Indonesia, ngaku Indonesia tapi beranggapan ras Kaukosoid Eropa adalah bagus. Sebuah sikap rasis yang aneh dan sakit. Dan orang Indonesia selalu tak sadari kerasisan yang merendahkan diri mereka. Kerasisan yang mengamini kalau Tuhan tak adil. Karena memposisikan sebuah kaum atau ras tertentu lebih tinggi.
Sampai hari ini, kitorang Indonesia akan menilai perempuan dan laki-laki berwajah Eropa lebih rupawan ketimbang orang Papua. Sebuah hal yang masih kitorang pelihara tanpa kitorang sadari.

Tentang Rendah Diri
Pramoedya Ananta Toer pernah bercerita, dia pernah bercinta dengan wanita Belanda. Pram adalah orang yang rendah diri di masa lalu. Dia mungkin pernah merasa rendah diri sebagai Inlander waktu kolonial dulu.
Sebagai pengarang, Pram pun akhirnya banyak disukai orang, termasuk kaum hawa. Suatu kali, datang kesempatan. Pram akhirnya bercinta dengan wanita Eropa. Sebuah hal yang banyak diimpikan laki-laki Indonesia. Harus diakui, kitorang Indonesia selalu merasa “Bule itu keren.”
Ketika bercinta dengan wanita itu, Pram kemudian ada merasa, diatas ranjang semuanya adalah sama. Begitulah, diatas ranjang semua bangsa adalah sama. Di atas ranjang, tak ada di si rupawan dan buruk rupa. Semua adalah semua. Rasa rendah diri Pram pun hilang.
Ranjang seperti memberi kemerdekaan. Jika saya jadi Pram, saya akan berteriak, “Merdeka!!” Ketelanjangan dan ranjang ajarkan manusia lebih manusiawi ketimbang dunia nyata yang dipenuhi pesolek rasis.

   
Si Buruk Rupa
Manusia modern adalah manusia yang rumit. Manusia modern punya criteria bagaimanakah pria tampan dan wanita cantik, juga sebaliknya yang berwajah jelek. Hidung mancung, tubuh langsing bagi wanita atau kekar bagi para pria, kulit putih bersih adalah manusia rupawan.
Hidung pesek, gemuk atau terlalu kurus, pendek adalah kriteria jelek. Tuhan menciptakan manusia memang berbeda-beda, namun Tuhan dalam kitab suci tak pernah punya firman soal kriteria rupawan atau buruk rupa.
            Manusia modern begitu senang bersolek. Dan menekankan bersolek itu perlu. Tak heran, manusia modern pun rajin pakai krim ini, pakai krim itu. Sedot lemak macam sedot tinja. Suntik silikon di sana-sini biar merangsang. Lalu manusia modern yang tak peduli pada penampilan sering dianggap berwajah jelek dan tidak keren.
            Keasyikan bersolek akhirnya melupakan kualitas diri yang lain. Bersolek juga kadang bisa jadi jurus untuk menutupi kualitas diri—baik yang berupa pemikiran dan keterampilan. Memang, orang Indonesia lebih suka lihat tampang ketimbang kualitas diri. Jangan heran jika ada dialog singkat seperti:
            “Kenapa perempuan lebih sering pake bedak daripada pake otak?”
            “Karena laki-laki gak pernah pake otak.”
            Akhirnya, tanpa disadari, muncullah kaum buruk rupa. Di Indonesia, saya termasuk kaum buruk rupa juga. Karena wajah saya jelas tidak tampan dan ceking. Dan bermimpi punya wajah macam Christian Sugiono adalah mustahil. Punya badan sekekar Chris John juga mimpi di siang bolong.
            Tentu saja, sebagai si buruk rupa, saya tidak tinggal diam. Saya akan berkampanye, kalau menjadi tampan dengan pakai krim tertentu adalah terkutuk. Minum susu biar badan kekar tak hanya terkutuk tapi juga laknat! Bukan berarti jadi kekar dilarang, bukan pula langsing dilarang, namun lebih mulia jika semuanya terjadi secara alamiah. Kita bukan actor atau aktris yang ikuti skenario film keren.
            Kini adalah waktunya untuk berhenti rendah diri jadi manusia buruk rupa (seperti standar kaum kapitalis)! Jadi jangan peduli dengan wajah kita. Jadi buruk rupa pun tak masalah. Kalau percaya Tuhan dan Humanis, harusnya kita bilang, “wajah jelek bukan kutukan.”