Senin, Desember 13, 2010

Pasifikasi ala Westerling di Zuid Celebes

Pasifikasi ala Westerling di Zuid Celebes


Sebagian pasukan DST dalam Kampanye Pasifikasi Westerling Di Sulawesi Selatan. Mereka menerapkan Pengadilan lapangan atas rakyat sipil yang dituduh pro geriluawan kemerdekaan.
Zaman permulaan revolusi Indonesia di Sulawesi Selatan tidak kalah panasnya. Perlawanan gerilya pro republik di Sulawesi Selatan membuat perwira tertinggi KNIL disana frustasi dan menghubungi Spoor. Harus ada solusi atas perlawnan gerilya yang sengit dan membuat Sulawesi Selatan menjadi daerah, yang bagi Belanda, paling tidak aman di luar Jawa.
Spoor akhirnya memerintahkan pasukan Westerling untuk turun tangan. Pasukan Westerling itu belum lama dibentuk. Mereka melakukan berbabgai latihan militer khusus. Sepertinya penerjunan pasukan Westerling ke Sulawesi Selatan itu seolah menjadi ujicoba pasukan Komando baru itu. Ini tentu hal baru, sebab metode pelatihan yang digunakan Westerling adalah yang didapatnya di Inggris—metode bertempur Komando yang dirancang untuk wilayah Eropa.
Mereka berangkat 5 Desember 1946. Dan Aksi mereka mulai sejak 11 Desember 1946. Aksi mereka baru berakhir 3 bulan kemudian. Dengan menumpahkan banyak darah orang yang belum tentu bersalah juga.
Pasukan yang mengikuti tugas Westerling di Sulawesi Selatan itu terdiri dari 123 prajurit komando—yang sudah dilatih Westerling. Seabian besar kompi Westerling itu adalah orang-orang Ambon yang diambil dari kesatuan KNIL. Mereka juga diambil dari Batalyon X KNIL sebelum PD II yang memang militan.
Mungkin ada perbedaan medan Eropa dengan medan tropis Indoensia. Ini tantangan sendiri bagi Westerling—dimana dia harus menyesuaikan metode yang didapatnya di inggris dengan mengadaptasikannya dengan medan tropis Indonesia. Selalu ada kesamaan dalam dunia pasukan komando antara satu dan yang lain. Mereka selalu dilatih untuk meminimalisir penggunaan senjata api dan berusaha beradaptasi untuk bertempur disegala medan. Hanya saja, sebuah pasukan komando selalu dilatih dengan menyesuaikan diri disegala medan dan keadaan yang tidak selalu nyaman. Pasukan yang diberi pelatihan ini pernah diturunkan dalam kampanye Pasifikasi Belanda Di Sulawesi Selatan, dimana Westerling menjadi komandan pasukan dan operasi yang membanatai banyak nyawa orang-orang Sulawesi Selatan itu.
Pasukan Westerling yang ikut dalam kampanye pasifikasi itu adalah pasukan yang sangat loyal kepada Ratu Belanda. Selama di Jakarta, mungkin sebelum direkrut dalam DST, orang-orang itu sering terlibat baku hantam dengan pemuda-pemuda pro republik.Kebencian mereka terhadap hal berbau republik menjadi tersalur dengan kekejaman mereka di Sulawesi Selatan. Dalam mendapatkan informasi tentang gerilyawan, mereka berlaku kejam terhadap rakyat sipil—yang dimata mereka adalah orang republik yang tidak layak dihormati.
Westerling berangkat ke Sulawesi Selatan bersama 120 prajurit komando yang selesai dilatihnya. Sebelum Westerling dalam rombongan besar berangkat, sebuah tim pendahuluan telah dikirim terlebih dahulu. Tim yang terdiri 20 prajurit DST ini dipimpin oleh Letnan Satu Vermeulen. Tim pertama ini melakukan tugas-tugas intelejen untuk melacak keberadaan pimpinan republik di Sulawesi Selatan.
Aksi (pasukan) Westerling ini tidak peduli status sosial dalam menghabisi korban. Seorang bengsawan Bugis pro republik Datu Suppa juga dijadikan korban. Dalam tulisan Ricklefs tercatat sedikitnya 3.000 orang tebunuh karena aksi Westerling dan pasukannya ini.
Selama penugasan di Sulawesi Selatan, Westerling sama sekali tidak berpedoman pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionale Taak van het Legel (VTPL)—pedoman pelaksanaan bagi tentara untuk tugas politik dan polisional—dimana terdapat petunjuk mengenai pelaksanaan tugas intelejen dan bagaimana memperlakukan penduduk dan tahanan. Westerling telah mengulang apa yang dilakukan van Daelaan di Aceh dan Tanah Gayo. Kitab VTPL dianggap kuno oleh Westerling dan hanya taktik komando yang berlaku dalam melakukan Counter Insurgency (menghadapi pemberontak).
Pasukan ini tentu saja melakukan tugasnya seperti mesin perang. Mereka sudah memiliki latar belakang sebagai orang-orang yang akan membela Ratu Belanda untuk menguasai Indonesia kembali. Mereka merasa mereka hanya membunuh para gerilyawan saja dan merasa tidak peduli dengan hukum perang dan kemanusian.
Belum empat bulan aksi Westerling di Sulawesi Selatan, Spoor menarik Westerling dan pasukannya ke Jakarta. Terlepas dari berbagai kecaman orang-orang sipil peduli HAM, dimata petinggi militer, pasukan Westerling itu dinilai sukses di Sulawesi Selatan.
Keberadaan Westerling di daerah Jakarta yang tergolong aman oleh militer Belanda tentu bukan untuk bersantai di tangsi. Bersama para stafnya, Westerling tentu harus melatih terus pasukannya, baik yang lama apalagi y ang baru. Melatih pasukan semacam ini tentunya tidak bisa langsung dalam jumlah besar. mereka dipilih berdasar kemampuan sebagai seorang militer. Dari sekian ratus calon prajurit komando dari berbagai kesatuan militer Belanda, hanya beberapa orang saja yang terpilih. Mereka dilatih dalam sebuah kamp khusus di Jakarta dan Jawa Barat.
Kegilaan Westerling tidak berhenti di Sulawesi Selatan. Westerling selalu berambisi untuk menangkap orang-orang pemerintah RI. Westerling berserta pasukan khususnya pernah melakukan pembunuhan terhadap orang sipil—sekitar 150 orang di Cikalong, selatan Tasikmalaya; 200 orang yang dituduh preman dan melukai 200 lainnya di Karawang. Selain menewaskan 150 orang, pasukan Westerling yang kala itu sudah bernama Korps Speciale Troepen, di Cikalong juga menghancurkan 165 rumah dan membakar 980 ton padi—tujuannya tidak lain untuk memperlemah perlawanan gerilyawan yang ada di sekitar Cikalong. Aksi KST itu terjadi sekitar bulan Mei 1947.
Aksi pasukan Westerling juga menimbulkan protes dari kalngan pemuda wajib militer dan sukarelawan KL. Melalui Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 Resimen Infanteri di Tasikmalaya, ulah Westerling dan pasukannya itu dilaporkan kepada Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen. Pengaduan Schill itu menyebutkan bahwa tanpa alasan yang jelas, 10 orang penduduk dibantai pasukan DST dan membiarkan 10 mayat itu dibiarkan begitu saja dipinggir jalan. Setelah diusut, disimpulkan bahwa DST telah mengalami kemerosotan moral dan Westerling paling disalahakan dalam hal ini.
Menurut Batara Hutagalung, Jenderal Spoor mengambil langkah aman dengan me-nonaktif-kan Westerling dari pasukan Khusus untuk menghindari penyelidikan lebih lanjut—yang menurut Spoor tidak baik bagi jalannya peperangan Belanda di Indonesia. Akhirnya Westerling dinonaktifkan sejak 16 November 1948 oleh Jenderal Spoor, orang yang paling mengandalkannya untuk merebut ibukota RI. Dalam biografinya, Westerling justru mengaku bahwa dia dinonaktifkan oleh Spoor bukan karena kasus HAM-nya, melainkan karena menolak perintah Spoor untuk memimpin operasi ke Yogyakarta.
Terjadi simpangsiur berapa sebenarnya korban pembantaian alias pasifikasi ala Westerling ini. Ada yang menyebut 40.000 jiwa. Yang mana sebagian orang Sulawesi Selatan sendiri meragukan jumlah ini. Mereka percaya jumlahnya pasti banyak ribuan orang. Sulit menghitungnya. TNI AD yang pernah membuat penyelidikan menyatakan jumlahnya sekitar 1.700 jiwa. Saya hanya bisa perkirakan, meski bukan angka pasti, jumlah korban hanya ribuan, tidak sampai puluhan ribu. Dengan melihat waktu pembantaian dan personil pembantainya yang tidak terlalu banyak. Jadi saya ragu dengan angka 40.000 jiwa.

Tjeritera dari Peng Gepeng

Tersebutlah seorang botjah bernama Tjipto. Tjukup Broken Home didjamannja. Ajahnja djadi kriminil lantaran tjuri duit dari sebuah onderneming (Perkebunan, Belanda). Ibunja pun kawin lagi dengan orang Madura. Tjipto jang awalnja sekolah di Europe Leger School (ELS)--jang elite itu--lalu pindah ke sekolah jang lebih rendah drajatnja. Ajah tiri Tjipto tjukup kedjam djuga padanja. Hingga kelujuran djadi djurus mudjarab biar tidak ketemu dia punja ajah tiri jang galak itu.

Tjipto tinggal di Situbondo kala itu. Kemungkinan tidak djauh dari Kampung Panjie jang luas itu. Situbondo banjak dihuni orang-orang berbahasa Medura. Ja, mereka itu memang orang Medura pastinja. Seperti djuga ajah Tjipto jang tiada tara galaknja itu.

Bukan botjah djika tidak suka kelajapan. Tjipto suka kelajapanan pastinja. Tjipto punja perdjalanan heibat. Suatu hari. djika tidak salah masih diawal abad lalu, abad XX. Sekitar 90 taun silam rasanja. Tjipto berdjalan menudju sebuah bukit. Orang biasa sebut itu Bukit Ulama. Dengan smangat botjah-nja Tjipto susuri djalan jang pastinja tidak semulus djaman kita sekarang. Kemungkinan, Tjipto mulai perjalannja tidak lama sehabis petang.

Langkah botjah seusia Tjipto biasanja ketjil. Dan tidak bisa tjepat sepertinja. Dia berdjalan bersama prempuan-prempuan dewasa. Prempuan-prempuan itu djuga aken menudju itu bukit. Mereka bawa sadjen. Mereka, para prempuan itu tentu akan djiarah kubur. Bersama prempuan-prempuan itu, Tjipto berdjalan slama satu djam. Setelah bersusah pajah, tibalah mereka di sebuah bukit. Itulah jang di sebut orang djaman itu sebagai Bukit Ulama.Tempat dimana orang biasa minta berkah kehidupan.

Setiba disana, Tjipto disidik sama pendjaga makam. Laiknja seorang orang asing mentjurigakan. Pendjaga makam mungkin merasa aneh dengan botjah Tjipto ini. Mengapa kelujuran ke makam jang agak djauh dari kampung itu? Malam-malam pula. Rupanja si pendjaga makam tidak ambil pusing djuga akhirnja. Dan Tjipto pun bebas kelujuran disitu.

Tjipto menjaksikan pemandangan bagus disitu. Dia tidak tjuma liat makam--jang rupanja makam Panji Anom Prangkusumo--jang dianggep makam pendiri kampung Panjie itu. Ketika Tjipto menghadap arah barat daja, Tjipto liat gemerlapnja Situbondo di kala malam.

Soal Panji Anom Prangkusumo, ada jang sebut ini orang adik dari Djoko dari Medura. Kemungkinan besar, Panji Anom dari Medura djuga. Dia pendiri kampung Panjie di Situbondo.Tidak banjak tjatetan tentang Panji Anom. Panji Anom beserta keluarganja memang dimakamkan di makam itu djuga.

Meski bukan perdjalanan pandjang, tapi ini perdjalanan tjukup heibat untuk anak seumur Tjipto. Mungkin kala itu, Tjipto baru berumur 11 taun. Usia dimana dia sudah bisa batja tulis. Diantara orang bumiputra, dia tentu tergolong pintar djuga.Bagi botjah seperti Tjipto pemandangan Situbondo kala itu begitu heibat karena dia belum banjak jelajahi kota lain.

Tjipto kemudian bikin cerita soal perdjalanan hebatnja itu. Dalam sebuah naskah. Ben Anderson mengetahui naskah itu. Dan memang menarik mendengar apalagi membatja ceritera Tjipto itu. Menurut Ben, kisah masa ketjil jang dimasukan dalam sebuah memoar 90 taun silam adalah hal langka di Hindia Belanda. Kemungkinan Tjipto orang Bumiputra jang pertama kali melakukannja.

Beruntung Tjipto pernah bercerita pada kita tentang Bukit Ulama. Saat ini tidak seorang pun di Situbondo jang mengerti ada tempat jang bernama Bukit Ulama. Mereka hanja mengerti Penggepeng. Sebuah bukit dimana masih tersisa sebuah makam kuno. Makam jang sama sekali tidak berbau Islam. Meski dulu itu disebut Bukit Ulama.

Tidak sulit menemukannja. Djika anda di Situbondo, silahkan pergi ke Panjie lalu tanja dimana Penggepeng. Maka orang aken menundjukan sebuah bukit. Dimana berdiri tiang sutet. Nah makam itu disebelah tiang sutet itu. Nama makam itu berbau Madura memang. Penggepeng.

Jumat, November 26, 2010

Yang Terlupakan di Baret Merah




Orang hanya mengenal Prabowo Subianto atau Benny Murdani sebagai tokoh penting dalam sejarah pasukan komando Indonesia. Ternyata ada banyak orang yang membangun korps yang ditakuti dan disegani ini. Beberapa dari tokoh dalam sejarah pasukan komando Indonesia, memang nyaris terlupakan.


Apapun yang terjadi, serta siapapun yang berkuasa, nama mereka harus masuk dalam sejarah militer Indonesia. Walau mereka pernah bersebrangan dengan pemerintah. Ataupun mereka bukan berdarah Indonesia. Orang asing yang berjasa pada militer Indonesia diantaranya adalah Hunzhohl di Marinir (KKO) atau Rokus Bernadus Visser.



Andi Azis: Orang Indonesia Pertama



Dia memang bukan anggota Kopassus. Namun pengalamannya sebagai orang Indonesia yang pernah dilatih sebagai pasukan khusus oleh tentara Inggris cukup menarik. Andi Azis sendiri hanya sebentar di TNI sebelum berontak. Jika masih berdinas di TNI dia tentu akan ditempatkan di pasukan khusus karena pengalamannya bertempur ala komando di Eropa.

Andi Abdul Azis asli Bugis putra orang Bugis. Andi Azis lahir tanggal 19 September 1924, di Simpangbinangal, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Andi Azis memulai pendidikan dasarnya di Europe Leger School namun tidak sampai tamat. Europe Leger School adalah sekolah dasar kolonial yang memiliki gengsi paling tinggi dibanding Holandsche Inlandsch School. Sekolah ini diprioritaskan untuk anak-anak Belanda atau Eropa. Walau begitu banyak juga anak-anak pribumi terpandang yang belajar disekolah ini. Andi Azis tidak lulus sekolah ini bukan karena dia tidak mampu secara akadenis maupun finansial, melainkan karena dibawa ke Negari Belanda sebelum lulus—ketika dibawa ke Negeri Belanda usianya sekitar 11 tahun.[1]

Andi Azis lalu diangkat sebagai anak dibawa seorang pensiunan Asisten Residen bangsa Belanda ke negeri Belanda. Di Negeri Belanda tahun 1935 ia memasuki Leger School dan tamat tahun 1938, selanjutnya meneruskan ke Lyceum sampai tahun 1944.[2] Sebenarnya Andi Azis sangat berhasrat untuk memasuki sekolah militer di negeri Belanda untuk menjadi seorang prajurit Belanda pada masa damai. Tetapi niat itu tidak terlaksana dengan baik karena pecah Perang Dunia II. Namun Andi Azis jadi anggota militer juga. Andi Azis memasuki Koninklijk Leger (KL), Tentara Kerajaan Belanda di Negeri Belanda.

Di KL, Andi Azis bertugas sebagai tim pertempuran bawah tanah melawan Tentara Pendudukan Jerman (NAZI). Dari pasukan bawah tanah kemudian Andi Azis dipindahkan kebelakang garis pertahanan Jerman, untuk melumpuhkan pertahanan Jerman dari dalam. Karena di Eropa kedudukan sekutu semakin terjepit, maka secara diam-diam Andi Azis dengan kelompoknya menyeberang ke Inggris, daerah paling aman dari Jerman—walaupun sebelum 1944 sering mendapat kiriman bom Jerman dari udara.[3]

Di Inggris kemudian Andi Azis mengikuti latihan pasukan komando di sebuah Kamp sekitar 70 kilometer di luar London. Andi Azis lulus dengan pujian sebagai prajurit komando. Selanjutnya mengikuti pendidikan Sekolah calon Bintara di Inggris dan menjadi sersan kadet (1945).[4] Di bulan Agustus 1945 karena SEAC dalam usaha mengalahkan Jepang di front timur memerlukan anggota tentara yang dapat berbahasa Indonesia, maka Andi Abdul Azis kemudian ditempatkan ke komando Perang Sekutu di India, berpindah-pindah ke Colombo dan akhirnya ke Calcutta dengan pangkat Sersan.[5]

Andi Azis mungkin satu-satunya orang Indonesia yang mendapat latihan pasukan komando di Inggris. Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut menjadi bagian, walau tidak secara langsung, dari kelahiran pasukan-pasukan komando dunia seperti SAS milik Inggris dan KST Belanda. Andi Azis, seperti halnya Westerling, merupakan orang-orang yang luar di negeri Belanda yang ikut membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman. Seperti Halim Perdana Kusuma, Andi Azis juga orang Indonesia yang ikut serta dalam perang Dunia II di front Barat Eropa.

Setelah Jepang menyerah tidak syarat pada sekutu, Andi Azis diperbolehkan memilih tugas apakah yang akan diikutinya, apakah ikut satuan-satuan sekutu yang akan bertugas di Jepang atau yang akan bertugas di gugus selatan (Indonesia). Dengan pertimbangan bahwa telah 11 tahun tidak bertemu orang tuanya di Sulawesi Selatan, akhirnya ia memilih bertugas ke Indonesia, dengan harapan dapat kembali dengan orang tuanya di Makassar.

Pada tanggal 19 Januari 1946 satuannya mendarat di Jawa (Jakarta), waktu itu ia menjabat komandan regu, kemudian bertugas di Cilinding. Dalam tahun 1947 mendapat kesempatan cuti panjang ke Makassar dan mengakhiri dinas militer. Tetapi di Makassar Andi Azis merasa bosan. Ditinggalkannya Makassar untuk kembali lagi ke Jakarta dan mengikuti pendidikan kepolisian di Menteng Pulo, pertengahan 1947 ia dipanggil lagi masuk KNIL dan diberi pangkat Letnan Dua. Selanjutnya menjadi Ajudan Senior Sukowati (Presiden NIT), karena Sukowati berhasrat memiliki Ajudan bangsa Indonesia asal Sulawesi (Makasar), sedang ajudan seniornya selama ini adalah Kapten Belanda totok. Jabatan ini dijalaninya hampir satu setengah tahun, kemudian ia ditugaskan sebagai salah seorang instruktur di Bandung-Cimahi pada pasukan SSOP—sekolah pasukan payung milik KNIL bernama School tot Opleiding voor Parachusten—(Baret Merah KNIL) dalam tahun 1948.

Pada tahun 1948 Andi Azis dikirim lagi ke Makasar dan diangkat sebagai Komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu dengan 125 orang anak buahnya (KNIL) yang berpengalaman dan kemudian masuk TNI. Dalam susunan TNI (APRIS) kemudian Ia dinaikan pangkatnya menjadi kapten dan tetap memegang kompinya tanpa banyak mengalami perubahan anggotanya.[6]

Tentu saja pasukan dari kompi yang dipimpinnya itu bukan pasukan sembarangan. Kemampuan tempur pasukan itu diatas standar pasukan reguler Belanda—juga TNI. Daerah Cimahi, adalah daerah dimana banyak prajurit Belanda dilatih untuk persiapan agresi militer Belanda II. Ditempat ini setidaknya ada dua macam pasukan khusus Belanda dilatih: pasukan Komando (baret hijau); pasukan penerjun (baret merah). Andi Azis kemungkinan melatih pasukan komando—sesuai pengalamannnya di front Eropa.

Pasukan Andi Azis ini menjadi salah satu punggung pasukan pemberontak selama bulan April sampai Agustus di Makassar—disamping pasukan Belanda lain yang desersi dan tidak terkendali. Apa yang terjadi dalam pemberontakan APRA Westerling yang terlalu mengandalkan pasukan khusus Belanda Regiment Speciale Troepen—yang pernah dilatih Westerling—maka dalam pemberontakan Andi Azis hampir semua unsur pasukan Belanda terlibat terutama KNIL non pasukan komando. Westerling kurang didukung oleh pasukan KNIL—Westerling lebih menaruh harapan pada RST yang desersi. Pasukan lain non RST hanya pasukan pendukung semata. Pemberontakan Andi Azis, tulang punggung pemberontakan adalah semua pasukan tanpa melihat kualifikasi pasukan.



Alex Kawilarang: Pendiri Kopassus

A.E. Kawilarang mengikuti jejak sang ayah, menjadi perwira KNIL. Jalur yang ditempuh Alex berbeda dengan yang ditempuh sang ayah. Sang ayah masuk KNIL ketika masa damai lewat Inlandsche Officieren School, sedang Alex menjalani sesuatu yang baru di Hindia Belanda, Akademi Militer. Saat itu Belanda terjepit oleh ancaman Jepang.

Beberapa pemuda Indonesia di beri kesempatan belajar di KMA untuk dijadikan perwira KNIL. Pemuda-pemuda itu tentu bukan pemuda sembarangan. Mereka setidaknya harus lulusan sekolah menengah. Seperti diakui Alex Kawilarang, “kedudukan orang tua memungkinkan saya masuk HBS-V Bandung.” Ayahnya adalah pensiunan Mayor KNIL. Setamat HBS 5 tahun itu di Bandung itu, Alex memilih masuk CORO sebelum akhirnya masuk KMA Bandung.[7]

Mengikuti jejak sang ayah adalah hal biasa bagi seorang anak. Hal yang lumrah jika kemudian Alex Kawilarang masuk KNIL sebagai perwira. Tahun 1940 Alex masuk CORO dan sembilan bulan lamanya saya dilatih dan belajar disitu. Waktu itu pemerintah Belanda mempercepat mengisi kebutuhan akan perwira-perwira. Pada tingkat pertama semua menjadi milisi biasa. Pada tingkat kedua diadakan seleksi. Yang terpilih jadi bintara-bintara militer. Setelah itu mereka diseleksi lagi dan yang terpilih lagi menjadi taruna-taruan (kadet) dan langsung duduk ditingkat kedua KMA. Selebihnya menjadi vaandrig (pembantu letnan calon perwira) milisi. Beberapa ratus pemuda Belanda dan beberapa belas pemuda Indonesia diterima menjadi siswa milisi CORO di Bandung. Kebutuhan perwira juga prajurit membuat petinggi militer di Hindia Belanda berpikir cepat untuk mengisi tenaga pertahanan.

Tahun 1941 Alex diterima masuk di KMA. Diantara kami ada tujuh orang Indonesia disiapkan menjadi Infanteri, yaitu A.H. Nasution, Aminin, Rachmat Kartakusuma, Mantiri (yang bersama ayah Alex Kawilarang A.H.H Kawilarang pada tanggal 18 September 1944 tenggelam din Laut Hindia dekat Muko-muko, perbatasan Bengkulu-Sumatra Barat, sebagai tawanan Jepang) Liem King Ien, Lim Kay Hoen dan saya. Satu orang di Arteleri, Askari. Dan dua orang untuk administrasi, yakni Samsudarso dan Tan. Waktu latihan kami sangat berat, sehingga terbatas sekali waktu untuk rekreasi. Ada dua ratus siswa KMA dalam dua tahun pendidikan yang dibagi dalam enam seksi itu. Alex termasuk diantara yang seratus orang yang duduk dikelas tertinggi.”[8]



Masuk CORO tidaklah mudah, seleksi diadakan ketat sekali. Menurut T.B Simatupang, seleksi masuk KMA. Ada beberapa tahapan bagi calon kadet yang akan belajar di KMA dengan masuk CORO terlebih dahulu. Pertama, orang-orang pribumi yang mendaftar menjadi sukarelawan akan dites selama dua sampai tiga bulan, jika lulus mendapat pangkat brigadir. Dengan pangkat Brigadir mereka akan menjalani masa uji coba lagi pada tahap dua. Jika lulus dalam tahap dua mereka akan menyandang pangkat sersan. Para sersan ini dimasukan ke CORO di Bandung. Pendidikan CORO berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu akan ada seleksi tahap tiga untuk para sersan CORO itu. Jika lulus, mereka akan dimasukan ke KMA dengan pangkat sersan-kadet.[9]

Pendidikan di KMA bagi kadet yang pernah dilatih di CORO dimulai dengan kurikulum tahun kedua. Begitu juga bagi yang telah menjalani wajib militer atau Dienstplicht. Mantan kadet pelatihan CORO atau wajib militer yang telah menjalani pendidikan dan pelatihan militer di KMA Bandung selama dua tahun diluluskan dengan pangkat vaandrig (calon perwira atau pembantu Letnan).[10]

Alex Evert Kawilarang (lahir di Jakarta 22 Februari 1920). Semasa kemerdekaan Alex Kawiralang bergabung dengan kesatuan Siliwangi. Ketika pertama kali bergabung dalam TKR, karenan pernah menjadi kadet KMA Bandung, dia memperoleh pangkat Mayor. Awal 1946, sebagai komandan Brigade II dengan wilayah operasi Cianjur, Bogor dan Sukabumi, dengan pangkat Letnan Kolonel. Tahun 1948 Alex dikirim ke Sumatra untuk menjadi komandan Sub Teritorial VII/Tapanuli/Sumatra Timur dan Selatan.

Setelah pengakuan kedaulatan, Alex diangkat sebagai Panglima Tentara & Teritorial Sumatra Utara, tanah dimana Ayahnya dulu bertugas sebagai komandan kompi KNIL. Ketika Peristiwa Andi Azis meletus, Alex ditunjuk sebagai komandan operasi-nya dengan ikut menggunakan pasukan Letnan Kolonel Soeharto. Andi Azis, selesai Alex dikirim lagi ke Maluku, untuk menghantam RMS. Setelah tugasnya di Indonesia Timur selesai, pada November 1951, Alex diangkat sebagai Panglima Tentara & Teritorial/III Jawa Barat.

Selama di Jawa barat ini, Alex ikut memimpin penumpasan DI/TII Jawa Barat yang dipimpin langsung oleh Kartosuwiryo. Dari pasukan Siliwangi ini, Alex ikut memprakarsai pendirian KKAD—yang lalu bermetamorfosa menjadi RPKAD, Kopasanda, Kopassus. Semasa rezim Soekarno berkuasa, Alex Kawilarang bersebrangan dengan pemerointah pusat-nya Soekarano, sehingga dia ikut terlibat dalam PRRi/Permesta, saat itu Kawilarqang sedang menjadi atase militer RI di Washington. Tahun 1959, Kawilarang dicantumkan sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Permesta. Dua tahun kemudian, setelah posisi Permesta terjepit, Kawilarang menyerah.[11]

Alex Kawilarang nyaris hilang namanya karena dia terlibat Permesta. Ada rumor menyebutkan bahwa ketika menjadi atasan Suharto, dia pernah menampar Suharto di Makassar. Dan ini mungkin alasan yang membuatnya hilang dari sejarah baret merah Indonesia. Padahal dia yang berjasa dalam pendirian korps ini.



Mochammad Idjon Djanbi: Komandan Pertama

Terlahir di Kanada sekitar tahun 1915, dengan nama Rokus Bernardus Visser. Dia putra seorang petani Tulip yang sukses. Selepas menyelesaikan kuliahnya, Visser muda membantu ayahnya berjualan bola lampu di London. Ketika itu perang dunia kedua dimulai dan karena tidak bisa pulang ke Belanda yang dikuasai oleh Jerman, Visser mendaftarkan pada dinas Ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Britania dan membentuk kekuatan baru disana. Setelah itu dia ditugaskan menjadi sopir Ratu Wilhemena.

Setelah setahun di post tersebut dia mengundurkan diri dan mendaftarkan diri di sebagai operator radio (Radioman) di pasukan Belanda ke 2 (2nd Dutch Troop). Bersama dengan pasukan sekutu, Visser merasakan operasi tempurnya yang pertama, yaitu Operasi Market Garden pada bulan September 1944, saat itu pasukan Belanda ke 2 bagian dimana Visser berada, dimasukan dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Diterjunkan melalui pesawat layang Visser dan teman-teman Amerikanya mendarat di bagian dengan konsentrasi pasukan Jerman tinggi. Dua bulan kemudian saat dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu yang lain dan melakukan operasi pendaratan amphibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan.[12]

Karena dianggap berprestasi maka dia disekolahkan di Sekolah Perwira sebelum di kirim ke Asia. Selanjutnya Viser dikirmkan ke Sekolah Pasukan Para di India dan dimaksudkan bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia. Kekalahan pasukan Jepang pada 1945 mengakhiri perang dunia ke 2 dan Jepang mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirimkan ke Indonesia. Mundurnya Jepang dari Indonesia membuka peluang kepada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Karena keadaan di Belanda sedang kacau dan mereka tidak mampu mengirimkan pasukan dari Eropa ke Indonesia, maka mereka berusaha membentuk kesatuan unit khusus di India dengan mendirikan School voor Opleiding van Parachutisten (sekolah pasukan terjun payung) dan pasukan ini dikirim ke Jakarta pada 1946. dibawah pimpinan Letnan Visser, sekolah ini kemudian di pindah ke Jayapura (Hollandia) di Irian Jaya yang waktu itu dinamakan Dutch West Guinea oleh Belanda , menempati sebuah bangunan rumah sakit Amerika yang telah ditinggalkan oleh pasukan Jenderal Douglas Mc Arthur.

Dengan segala kondisi yang ada Visser ternyata menyukai hidup di Asia,sehingga dia meminta istrinya (wanita Inggris yang dinikahinya semasa perang dunia 2) dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia. Ketika istrinya menolak, Visser memilih untuk bercerai. Saat kembali ke Indonesia pada 1947, Sekolah pimpinannya sudah dipindah ke Cimahi, Bandung dan Viser dipromosikan naik pangkat menjadi Kapten. Selama tahun 1947 sampai akhir 1949 , Sekolah pimpinan Kapten Visser terus melahirkan tentara terjun payung sampai saat dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaaanya kepada Republik Indonesia. Karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten Visser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena walaupun dia bukan termasuk pasukan baret hijau belanda yang dikenal sangat kejam (Visser sendiri berbaret merah), tapi tidak ada yang bisa meramalkan bagaimana keamanan seorang mantan perwira penjajah di negara jajahanya yang baru saja merdeka.[13]

Akhirnya dia menetapkan keputusannya untuk tinggal di Indonesia, pindah ke Bandung, bertani bunga di Pacet, Lembang, memeluk agama islam, menikahi kekasihnya yang orang Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon djanbi. Dalam hidupnya, Visser hanya mengenal dua macam pekerjaan, sebagai petani maupun sebagai prajurit. Selama tidak menjadi tentara dia bertani.[14]



[1] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI, Jakarta, Disjarahad TNI AD. 1979. h. 97-98

[2] Andi Azis diangkat anak oleh orang Belanda itu—seperti halnya Alimin yang diangkat anak oleh seorang penasehat urusan pribumi. Sebagai anak angkat orang Belanda terpelajar mereka pastinya menikmati pendidikan modern yang hanya bisa dinikmati segelintir orang pribumi. Berbekal semua itu sebenarnya Andi Azis memiliki bakat menjadi orang berpengaruh di Indonesia Timur bila NIT masih bertahan.

[3] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973) 2 Peranan TNI AD Menegakan Negara Kesatuan RI, Jakarta, Disjarahad TNI AD. 1979. h. 97-98: Disjarahad Militer AD, Naskah Pemebrontakan PRRI Permesta, Andi Azis, RMS dan OPM, Bandung, 1972. (Manuskrip).

[4] Andi Azis bisa jadi pernah bertemu Westerling disana. Disana mereka dilatih menjadi pasukan khusus. Pendidikan disini sangat berat. Paling berat dibanding pasukan-pasukan lain yang akan terjun dalam front Eropa.

[5] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973), h. 97-98.

[6] Disjarahad, Sejarah TNI AD (1945-1973), h. 97-98.

[7] Ramadhan K.H, A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988, hlm. 14-16.

[8] Ibid.

[9] T.B. Simatupang, Membuktikan ketidakbenaran suatu Mitos Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1991. hlm. 81-82: Coen Husein Pontoh, op. cit., hlm. 15.

[10] Buku Kenang-kenangan Alumni KMA Breda, op. cit., hlm. 84.

[11] Ensiklopedia Nasional Indoneseia, Jakarta, Cipta Adi Perkasa, 1991. h. 238-239.

[12] Ken Conboy, Kopassus: Innside Indonesia’s Special Forces, Jakatarta-Singapore, Equinox Publishing, 2003, hlm. 16: Wawancara dengan Jan Linzel 5 maret 1999

[13] Ibid., hlm. 17.

[14] Ibid., hlm 17-18.

Sabtu, Oktober 23, 2010

Marsose Oh Marsose


“Biar susah satu gunung, kami tetap Marsose…”

Ketiksa saya SMP, saya pernah membaca keganasan pasukan kolonial. Konon cukup tidak beradab dalam menghabisi pemberontak—atau pembebas—pribumi. Saya mulai tertarik mengkajinya di akhir-akhir kuliah saya yang berantakan. Cerita soal Marsose masih menarik buat saya.

Bermula dari Pemerintah Kolonial yang begitu pusing menghadapi para pemberontak Nusantara. Juga Perang Aceh yang makan banyak biaya. Banyaknya korban dikalangan KNIL dalam menghadapi gerilyawan pribumi yang hanya bersenjata parang dan minim senjata api itu, maka pemerintah kolonial mencari cara mengalahkan para pemberonak.

Lalu munculah sebuah gagasan membentuk pasukan khusus yang efektif menghadapi gerilyawan. Pasukan yang beradaptasi dengan gaya perang kaum gerilyawan. Jadilah sebuah pasukan antigerilya. Jangan heran bila dalam Marsose penggunaan senjata api sangatlah minim. Prajurit Marsose lebih sering menggunakan klewang daripada karaben atau senjata api yang mereka bawa.

Sepertihalnya gerilyawan, pasukan Marsose tidak memerlukan logistik yang terlalu banyak seperti pasukan biasa. Marsose selalu hampir memasuki hutan untuk mencari para gerilyawan dan sebisa mungkin menangkap pemimpinnya—perburuan itu dilakukan selama berhari-hari.

Keberhasilan Marsose menjadi kebanggan tersendiri bagi sebagian kalangan termasuk militer Belanda—disamping kesadisannya yang juga dibenci dan membuat ngeri sebagian orang-rang Belanda sendiri. Bagaimanapun juga, pasukan ini memiliki legenda tersendiri di nusantara.

Pasukan ini dibentuk pada tanggal 20 April 1890—digolongkan oleh beberapa kalangan sebagai pasukan komando modern. Menurut Paul van’t Veer, Marsose dibentuk atas prakarsa dari Teuku Muhamad Arif, seorang Jaksa Kepala di Kutaraja, Aceh. Pastinya Teuku Muhamad Arif adalah orang Indonesia yang pro Belanda setelah pendudukan Belanda di Aceh dimulai. Dia memberi nasehat kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn juga Kepala Staf-nya J.B. van Heutsz, untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang memiliki mobilitas tinggi. Pasukan ini tentunya pasukan anti gerilya. Pembentukan pasukan ini tidaklah sulit, tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya.[i]

Konsep pasukan itu lalu dimatangkan lagi hingga menjadi pasukan Marsose yang akhirnya membuktikan diri sebagai pasukan elit karena beberapa tugas berat yang sulit dilakukan serdadu KNIL biasa berhasil mereka selesaikan. Bagaimana tidak, pasukan ini adalah pasukan pilihan dari berbagai kesatuan KNIL baik pribumi maupun Eropa.[ii]

Setiap unit Marsose terdiri dari 20 orang dengan dipimpin seorang sersan Belanda yang dibantu seorang kopral pribumi. Setiap pasukan biasanya terdiri dari satu peleton yang terdiri dari 40 orang dan dipimpin seorang Letnan Belanda. Secara keseluruhan, korps Marsose terdiri dari 1.200 orang—dari berbagai bangsa. Pasukan ini, selain dipersenjatai karaben, juga dipersenjatai dengan senjata tradisional seperti klewang, rencong dan sebagainya.[iii]

Kata Marsose berasal dari kata marechaussée yang sebenarnya memiliki akar sejarah cukup panjang. Tahun 1370, dikota Paris terdapat sebuah otoritas hokum bernama Tribunal of Constables and Marshals of France. Constables dan Marshals ini lalu menjadi Gendermarie, yang menjadi kekuatan kepolisian di Belanda dan Belgia. sebuah unit kepolisian yang berakar pada masa pendudukan Perancis di Belanda. Berdasar dekrit Republik Bataaf, bentukan Perancis, dibentuklah sebuah unit kepolisian ini pada tanggal 4 Februari 1863 dengan nama marechaussée. Hal ini tidak langsung ditanggapi oleh otoritas Belanda. Tahun 1805, barulah terbentuk satu unit Gendermarie.[iv] Ketika wangsa Oranje berkuasa di Negeri Belanda, setelah Republik Bataaf tersingkir, berdasar dekrit nomor 48 tanggal 26 Oktober 1814 Marechaussée terbentuk.[v]

Di Hindia Belanda, Marsose adalah pasukan gerak cepat dengan seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan dan leher terdapat gari merah. Dalam tugasnya, mereka dibekali senjata khas penduduk setempat, semacam klewang. Mereka memakai bedil dengan ukuran yang lebih pendek dari bedil biasa, karaben. Mereka tidak tergantung pada angkutan militer dan biasa berjalan kaki. Mereka tidak bergantung pada jalur suplai logistik.[vi]

Keberadaan Marsose di Hindia Belanda lebih berkembang sebagai pasukan tempur handal daripada pasukan polisi bersenjata seperti pendahulunya, Marechaussée, di Eropa barat. Kesamaannya di Eropa atau di Hindia Belanda, keduanya sama diseganinya. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Marsose ikut membantu Angkatan Perang Belanda. Pasukan ini berhasil menewaskan Sisingamangaraja XII di Sumatra utara.[vii]

Marsose terdiri orang-orang Belanda, Perancis, Swiss, Belgia, Afrika, Ambon, Ambon, Menado, Jawa, juga beberapa orang Nias dan Timor. Selain karaben—senapan modern berukuran pendek—mereka juga membawa klewang dalam front Aceh dan Batak. Hal ini sangat berguna dalam perang jarak dekat, man to man, seperti yang dilakukan para gerilyawan pribumi. Marsose berusaha mengikuti gaya berperang ini karena gerilya kaum gerilyawan begitu efektif menggempur KNIL yang biasa menang dalam front besar namun repot ketiuka diserang mendadak. Pasukan ini tentunya terlatih dalam peperangan di hutan menghadapi serangan gerilyawan[viii]

Marsose bukan pasukan tempur biasa seperti yang berkembang pada pergantian abad XIX ke XX. Marsose tidak seperti KNIL, mereka memiliki karakter sendiri dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan klewang mereka untuk mengahabisi lawannya dalam jarak dekat. Marsose lebih terlihat seperti jawara dibanding tentara reguler pada umumnya. Senjata api tetap mereka pegang dan akan digunakan bila keadaan terpaksa.

Kapten Hans

Hans Christofell adalah orang yang memimpin pengejaran yang menewaskan Sisingamangaraja XII dengan bantuan prajurit Belanda dari Senegal yang sangat ahli berburu. Setelah mereka menewaskan Sisingamangaraja XII, dipedalaman Sumatra Utara, Piso Gaja Dompak, pedang pusaka yang biasa dibawa bertempur oleh Sisingamangaraja XII lalu diserahkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai bukti[ix] Sisingamangaraja XII tewas ditembak seorang serdadu, asal Alfuru bernama Hamisi.[x]

Selama Pemberontakan PKI 1926-1927 yang gagal, disamping polisi, KNIL juga ikut melakukan penumpasan. Penumpasan pemberontakan PKI di Padang dan Silungkang , Sumatra Barat, beberapa brigade Marsose pimpinan Mayor (KNIL) W.V. Rhemrev, melakukan penyiksaan sadis pada kaum pemeberontak komunis. Terjadi penjagalan dalam usaha meredam pemberontakan kaum komunis itu. Tubuh korban dirusak, kepala korban ditusuk dengan tongkat lalu diarak keliling kampung. Tujuannya tidak lain untuk menebar teror di kalangan penduduk biasa. Berita kesadisan Marsose itu terdengar sampai di Eropa tanpa dapat disangkal.[xi]

Marsose, dalam banyak catatan, lebih banyak melakukan tugasnya sebagai pasukan kontra-gerilya di Aceh dan Tanah Batak. Dua daerah itu sangatlah sulit dikuasai pemerintah kolonial hingga awal abad XX. Marsose dalam jumlah besar dibutuhkan disana untuk waktu tugas yang lama. Bahkan setelah perang melawan orang-orang Batak di Pedalaman Sumatra dan Aceh itu berakhir, perlawanan kecil kadang masih terjadi. Seperti dialami bekas komandan Marsose, Letnan Kolonel W.B.J.A Scheepens, yang tertusuk rencong orang Aceh.

Marsose sebenarnya tidak hanya ditugaskan di dua daerah itu, tapi juga dibeberapa tempat seperti di kepulauan Nusa Tenggara juga Sulawesi—walau dengan personil yang tidak terlalu banyak. Cerita kekejamana pasukan Marsose lebih banyak didengar di Aceh saja dan tanah Gayo saja.

Kolone Macan

Kehadiran Marsose sebagai pasukan khusus yang sedemikian handal itu, rupanya masih dirasa belum cukup oleh petinggi militer Belanda. Perwira-pwerwira Belanda itumembentuk lagi sebuah unit didalam pasukan Marsose bernama Kolone Macan.. Seperti halnya Marsose, Kolone Macan juga dipimpin oleh perwira-perwira dari orang-orang Eropa. Salah satunya adalah perwira asal Swiss bernama Hans Christofell. Dia sangat tersohor karena berjasa kepada pemerintah kolonial dalam peperangan di Sumatra bagian utara itu. Dia membentuk pasukan khusus baru lagi, dimana anggotanya adalah anggota-anggota Marsose yang terpilih.[xii]

Ada perwira Marsose yang lebih tinggi pangkatnya dibanding Christoffel, Kapten Scheepens. Setelah lewati berbagai pertimbangan, pembuat kebijakan militer Belanda sampai pada kesimpulan, pekerjaan algojo yang sadistis tidaklah cocok bagi Scheepens—walaupun Scheepens tergolong orang bersedia mengerjakan tugas militer yang berat sekalipun seperti bertempur berhari-hari dalam hutan. Dimata pembuat kebijakan itu, Christoffel dianggap lebih cocok untuk memimpin sekelompok algojo. Akhirnya Christoffel diberangkatkan ke Cimahi—dimana berdiri sebuah garnisun pasukan Belanda disana. Disini Christoffel berttemu dengan banyak Marsose kawakan dan memiliki pengalaman bertempur di Aceh. Keberadaan mereka di Cimahi adalah dalam rangka istirahat setelah peperangan berat di Aceh selama berbulan-bulan.[xiii]

Dia menghimpun anggota Marsose yang beringas, jago berkelahi. Pasukan ini dinamakan Kolone Macan. Pasukan ini dilatih oleh Christoffel di Garnisun Cimahi. Pakaian mereka berwarna hijau kelabu yang kerah bajunya terdapat dua lambing jari berdarah. Tentu saja ikat leher warna merah agar nampak lebih lebih menyeramkan. Mereka dikenal sebagai pasukan yang menyeramkan dengan julukan ‘pembunuh berdarah dingin’.[xiv]

Setelah beristirahat dalam waktu yang lama, para Marsose itu merasa ingin kembali berperang di Aceh lagi. Dunia Marsose jelas bukan dunia tangsi yang damai, dunia mereka adalah peperangan dalam hutan, seperti di Aceh. Selama di tangsi Cimahai yang damai itu, para Marsose itu juga diberikan teori peperangan, namun hal itu kurang direspon pleh marsose yang berpendidikan rendah. Mereka tidak butuh teori dalam peperangan, melainkan pertempuran. Wajar bila teori perang itu tidak sekalipun dicerna prajurit Marsose. Mereka lebih tahu dan senang bertempur. Rutinitas lain yang mereka benci di tangsi adalah beberapa kali dalam sehari harus apel. Latihan marsose bukanlah menembakan senapan, melainkan memainkan klewang.[xv]

Di Cimahi, Christoffel mengamboil beberapa komandan brigade—yang biasanya berpangkat sersan—terbaik Marsose. Mereka yang bosan hidup di garnisun jelas menjadi prioritasnya. Pasukan ini terdari dari 12 brigade marsose yang sudah dilatih lagi di Cimahi. Betapa terlatihnya mereka sekarang. Barisan depan pasukan Kolene Macan adalah para Marsose jejaka. Jelas mereka bisa lebih leluasa bertempur karena tidak akan memikirkan anak istrinya.[xvi]

Cara kerja pasukan ini lebih kejam dari Marsose sebelumnya. Mereka melakukan eksekusi ditempat. Hal ini tergolong gila, seperti yang dirasakan salah seorang komandan Marsose Schriwanek. Walau dia tergolong kasar, namun dia melihat cara kerja Kolone Macan, dirasa oleh perwira itu, benar-benar keterlaluan ketika melakukan Sweeping. Mereka membersihkan gerakan gerilyawan perlawanan rakyat dengan kejam sejak dari dataran rendah. Mereka lakukan kerja mereka dengan singkat dan tuntas.[xvii]

Reaksi keras atas cara kerja Kolone Macan muncul juga dari kalangan militer Belanda sendiri. Peperangan yang mereka jalankan di Aceh terbilang keterlaluan. Reaksi ini datang dari perwira Belanda yang bukan berlatar belakang dari tentara bayaran. Akhirnya komando atas daerah Aceh dirubah dari van Daalen kepada Swart. Karena hal pergantian komando itu, cara kejam Kolone Macan perlahan dihilangkan. Pasukan yang pernaha dilatih dan dipimpin oleh Christoffel itu kemudian beralih komando pada van der Vlerk. Komandan baru ini, seperti tuntutan sebagian perwira Belanda yang benci kebengisan van Daalen dan Christoffel, mulai merubah sifat pasukan Kolone Macan. Pasukan ini lama-lama menghilang dan hanya menjadi Marsose biasa.[xviii]

Kolone Macan adalah bagian terkejam dari korps bernama Marsose dan hanya terjun di front Aceh saja. Pemerintah Kolonial rupanya tidak menginginkan adalah sepasukan algojo terorganisir, bagi pemerintah kolonal, cukup hanya marsose saja pasukan terkejam yang mereka miliki. Bagaimanapun perlawanan terhadap kebijakan kolonial tidak bisa ditebak kapan terjadinya dan inilah alasan mengapa Marsose terus dipertahankan walaupun perannya semakin meredup sinarnya. Marsose tidak terdengar kehebatannya lagi ketika Jepang mendarat di Indonesia. akhir sejarahnya mungkin saat perang Aceh saja lalun hilang adan tanpa terlihat taringnya yang tajam seperti pada Perang Aceh.

Cerita-cerita Marsose Pribumi.

Walau, Marsose pasukan elit, bukan berarti pasukan ini hanya terdiri orang Belanda maupun Eropa lain. Banyak orang pribumi yang menjadi anggota Marsose. Orang pribumi bahkan bisa menjadi Marsose yang baik dibanding orang-orang Eropa yang menjadi serdadu KNIL umumnya tidak bisa menyesuaikan diri dengan iklim tropis. Banyak diantara Marsose adalah orang-orang dengan kemampuan seperti jawara yang ada di Banten yang ahli dalam berkelahi.

Satu dari banyak anggota Marsose pribumi yang cukup diakui jasanya adalah W.C. Ferdinandus. W.C. Ferdinandus adalah pemuda kelahiran 19 Februari 1883 di Haruku, Saparua. Seperti banyak pemuda disana yang ingin bertualang sebagai serdadu KNIL, Ferdinandus pada tanggal 1 Maret 1906 mendaftarkan diri sebagai KNIL di Ambon—teeken soldadu istalahnya pada waktu itu.[xix]

Pagi hari tanggal 12 Desember 1908 di Dondo—sebuah daerah di Nusa tenggara Barat sekarang ini—sekelompok Marsose bergerak. Salah satu dari mereka adalah W.C. Ferdinandus bergerak dibawah komando dari Letnan Satu de Vries untuk menyerang markas pemberontak di pantai utara. Marie Langa, pimpinan pemberontak itu membangun kubu pertahanan didekat Watoe Ngere. W.C. Ferdinandus adalah salah satu dari sekian banyak pasukan dari Letnan Satu De Vries. Pasukan yang dipimpin De Vries itu terdiri dari tiga brigade Marsose dengan kekuatan 50 karaben. Dan sekelompok strapan yang terdiri dari tiga puluh orang.

Pasukan beserta strapannya itu berangkat ke Nio Panda, mereka tiba pukul 2 sore. Mereka beristirahat, sebelum bergerak pada pukul 22.00 malam. Malam itu, De Vries, memimpin pasukannya mengintai benteng musuh itu dari atas. Dalam kegelapan malam mereka bergerak. Mereka melintasi jalan yang berat dan terjal. Mereka mencapai daerah tujuan mereka denganm susah payah dan dari jauh mengintai lawan mereka dalam kegelapan malam itu.

Pada pukul 8 pagi, 12 Desember 1908, Letnan Satu de Vries membagi tiga pasukannya, satu pasukan dibawah sersan van Rijen, satu pasukan dibawah pimpinan sersan Ambon dan satu pasukan lagi dibawah pimpinan Kopral Katuuk. Ketiga pasukan itu bergerak mengelilingi benteng diam-diam. W.C. Ferdinandus adalah Marsose pertama yang menaiki benteng. Didalam benteng, W.C. Ferdinandus dan penyerang lain berhasil menembak tiga musuh dalam benteng dan membuat gerilyawan lain melarikan diri ke utara, sementara itu di utara sudah menunggu pasukan pimpinan Kopral Katuuk. Akhir dari serangan itu adalah, beberapa musuh melarikan diri dan benteng direbut. Majalah Trompet juga pernah menampilkan profil salah prajurit marsose lain, salah satunya dalah Robert Talumewo. Pemuda dari Langoan kelahiran 11 September 1882 dan teeken soldadu pada 6 Agustus 1904 di Manado. Karena keberaniannya ketika menjadi serdadu reguler biasa di KNIL, dia akhirnya dimutasikan ke Marsose[xx]

Ada Marsose Jawa bernama Redjakrama. Pemuda kelahiran Kedungwaru, Bagelen—Kabupaten Purworejo sekarang—tahun 1867. Diusianya yang ke-18, tahun 1885 dia teeken soldadu di Gombong. Setehun kemudian Redjakrama dikirim ke Aceh untuk pertama kalinya. Tahun 1887 Redjakrama ditempatkan di Sulawesi. Tanggal 21 Desember 1888, Redjakrama resmi menjadi kopral dan 2 Oktober 1890 sudah menjadi seorang sersan. Sebuah prestasi hebat untuk seorang pemuda kampung yang tidak terpelajar macam dirinya. Pada 2 Oktober 1901, Redjakrama dimutasikan ke Marsose. Sebagai Marsose Redjakrama telah menunjukan keberaniannya—seperti yang dimuat dalam majalah Trompet. Pada 26 Juni 1904, Sersan Redjakrama ditugaskan di daerah Beureuleueng, Pidie—Nangroe Aceh Darussalam sekarang.

“Sementara berkelahi ini, maka satu bahagian dari kumpulan musuh darai Pang Andah tahan sekuat-kuatnya didalam dua rumah dari sini mereka pasang pada Marsose. Cuma dengan pendek saja, pasangan dari musuh dibalas oleh Marsose, lantas Marsose tarik jatuh dinding dari kedua rumah. Ini pekerjaan dikerjakan oleh brigade, dimana terdapat sesan Redjakrama yang telah enam bulan lamanya pegang komando dari brigade ini yang telah menunjuk gagah beraninya. Ini onderofficer biasa terdapat ditempat-tempat yang ada dan sikapnya ada satu contoh yang bagus buat soldadu-soldadu. Yang perlu sabar dan tiada hilang otak sehat, sebab brigade terdiri dihadapan musuh yang tahan dengan sekuat-kuatnya dirumah-rumah dimana seperti dekking, musuh memakai karung-karung dengan beras. Contoh yang gagah berani dari sesan Redjakrama yang pertama kali masuk rumah, ada sebegitu rupa sehingga dituruti oleh brigade, yang bikin kalah musuh dan sesungguh-sungguhnya.”[xxi]

Cerita keberanian yang juga dimuat di Majalah Trompet adalah Simon Leiwakabessy. Ia pensiunan kopral yang tinggal di Ambon. Leiwakabessy lahir di Tial, Ambon pada 25 Januari 1870 dan teeken soldadu di Ambon pada 8 Maret 1894. sebelum ditempatkan di Marsose, Leiwakabessy termasuk anggota pasukan dari Batalyon 3 yang beberapa kali pindah tugas dibeberapa tempat di Indonesia.

“Overvalling musuh disebelah selatan dari Cot Bamboton (Troeseb Pidie) pada tanggal 24 Agustus 1903. Agar supaya menyemu musuh, maka keluarlah Letnan Darlang pada tanggal 24 Agustus jam 3 pagi dari Didok dengan satu brigade ke selatan dari Troeseb yang terdapat di terrain yang berbukit-bukit. Yang lain brigadenya mendapat opdract pada jam 7 pagi marsch ke lapang, disebelah dari kaki utara dari bukit-bukit dan disana diajak musuh dengan vurren yang biasa dari pihak itu mereka pasang pada compagnie. Waktu pagi hari, maka Letnan Darlang 2 orang Aceh Aceh disatu cot boleh jadi ini 2 orang ada Wachtpost dari musuh. Dengan tiada diketahui oleh musuh, maka brigadenya Letnan Darlang di itu bukit dan dengan ati-ati naik keatas. Sampai dekat diatasnya bukit, maka kelihatan 10 orang Aceh, yang ada tidur ditanah. Tempo satu dari diantara musuh bangun dan berdiri dan tunggu lama tiadalah baik, bertentangan dengan mereka boleh lihat di compagnie maka Darlang dan beberapa Marsose-nya storm pada musuh. Marsose Leiwakabessy yang oleh sebab kurang kader dan juga oleh sebab gagah berani-nya dan cepat biasanya ditunjuk seperti komandan dari spits lari kemuka dengan lewati 2 temannya dan sekonyong-konyong berada ditengah-tengah dari musuh yang lari. 2 orang musuh ditembak mati oleh Leiwakabessy. Tempo Leiwakabessy lihat, bahwa lain-lain musuh lari kebawah, maka dengan beberapa temannya dari spits ia ambil jalan pendek dan potong pas dari musuh. Dengan ini, maka ia tembak lagi 4 orang musuh mati. Oleh sebab gagah beraninya dari Leiwakabessy, maka jatuh didalam tangan kita 6 orang musuh dengan senjata-senjatanya, 3 beamont dan 3 senapan voorlaad.”[xxii]

Stephanus Melfibossert Anthony pemuda kelahiran 3 Juni 1872 di Ambon dan teeken Soldadu tanggal 27 Agustus 1890 di Ambon. S.M. Anthony terpilih untuk dimasukan ke korps Marsose pada 13 April 1897 lalu terlinbat dalam ekspedisi militer KNIL di beberapa tempat seperti Aceh, Timor juga Sulawesi Selatan. Dia memiliki cerita keberaniannya sebagai seorang Marsose dalam benteng Sala Banga di daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Peristiwa oitu terjadi pada 20 Oktober 1914.

“Waktu bestorming benteng tersebut, maka naiklah kopral Anthony, biarpun musuh tahan dengan begitu kuat dan lawan pada compagnie dengan gagah berani stormladder dan biasa pertama dimuka waktu bongkar rintangan-rintangan dimana pekerjaan ini menuntut banyak kekuatan. Sesudahnya dengan banyak susah pekerjaan lamanya satu setengah jam dikerjakan dan satu lubang diborstwering dibikin, maka dengan segera Anthony storm kemuka dengan lagti 3 militairen lain kedalam benteng. Sesudahnya itu ia pasang pada musuh yang dekat padanya, sehingga mereka tiada bisa apa lagi, sehingga troep dibelakang bisa mendapat kesempatan ke borstwering.”[xxiii]

Masih banyak lagi cerita heroik yang menggambarkan keberanian para Marsose pribumi—dimata masyarakat kolonial—yang termuat di majalah Trompet. Marsose-marsose pribumi tadi telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang prajurit yang membela bendera Ratu Belanda. Bagaimanapun, Marsose pribumi adalah bagian penting dalam korps Marsose, dari segi jumlah pastinya lebih banyak dan sebagai prajurit rendahan mereka siap melakukan hal-hal berat yang mungkin saja tidak mau dilakukan oleh perwira maupun bintara Belanda. Sebagai prajurit mereka siap untuk melawan siapa saja yang menajdi musuh ratu Belanda di Hindia Belanda. Mereka tidak takut melawan siapa saja termasuk gerilyawan di Aceh. Perang Aceh dan gerilyawannya yang tidak kenal menyerah adalah bagian terpenting dalam sejarah Marsose selain korps dan anggota Marsose itu sendiri.

Disarikan dari buku Pasukan Komando: Pengukir Sejarah Indonesia (Media Pressindo, Yogyakarta, 2008)

Catatan Kaki

[i]Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid X, Jakarta, Cipta Adi Perkasa, 1990. h. 167.

[ii] Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid X, h. 167.

[iii] Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid X, h.167-168.

[iv] Polisi Lapangan bersenjata seperti Brigade Mobil di Indonesia sekarang.

[v] (Batara Hutagalung, Mardijkers, Marechaussěe, Tentara Kontrakan, Belanda Hitam Dan KNIL, http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/mardijkers-marechaussee-tentara.html Diakses pada tanggal 29 Maret 2007, pukul 09.38 wib.)

[vi] R.P. Suyono, Peperaqngan Kerajaan di Nusantara, Jakarta, Grasindo, 2003. h. 336.

[vii] Batara Hutagalung, Mardijkers, Marechaussěe, Tentara Kontrakan, Belanda Hitam Dan KNIL, Dalam: http://batarahutagalung.blogspot.com/2006/04/mardijkers-marechaussee-tentara.html Diakses pada tanggal 29 Maret 2007, pukul 09.38 wib

[viii] Walter Bonar Sidjabat, Ahu Sisingamangaradja XII, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1982, h. 245.

[ix] Sibarani, Perjuangan Pahlawan Nasional Sisingamangaraja XII, Jakarta, Ever Ready, tanpa tahun. h. 210-218: W. Bonar Sidjabat, h. 17.

[x] W. Bonar Sidjabat, h. 290-295.

[xi] Imam Soedjono, Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Yogyakarta, Resist Book, 2006. h. 37.

[xii] Sibarani, h. 204

[xiii] H.C. Zentgraaff, Aceh, ab. Firdaus Burhan, Jakarta, Depdikbud Direktorat Jarahnitra, 1983. h. 177.

[xiv] Sibarani,. h. 204

[xv] H.C. Zentgraaff, h. 178.

[xvi] H.C. Zentgraaff, h. 178.

[xvii] H.C. Zentgraaff, h. 179.

[xviii] H.C. Zentgraaff, h. 179.

[xix] TROMPET (organ van den Bond van Inheemsche Gepensionereerd Militairen) no 72 tahun ke 6, edisi Januari 1940. h. 4-5.

[xx] TROMPET no 72 tahun ke 6, edisi Januari 1940., h. 4-5.

[xxi] TROMPET no 73 tahun ke 6, edisi Februari 1940., h 6-7.

[xxii] TROMPET no 70tahun ke 6, edisi November 1939., h 4-5.

[xxiii] TROMPET no 81 tahun ke 6, edisi November 1940, h . 5

Jumat, Oktober 08, 2010

Bang Pie’i van Senen


Dialah jagoan Senen legendaris. Bukan sekedar sangar-sangaran belaka, tapi berjuang demi Republik juga walau kemudian dicap hitam karena jadi pengikut Sukarno.

Salah satu penghuni khas Pasar Senen adalah orang orang dunia hitam dari kelompok Cobra. Ini adalah sebuah organisasi ala mafia jaman dulu, yang dibentuk oleh Bang Pi’i, asli Betawi. Syafei nama aslinya, yang hidup sejak kecil sebagai anak gelandangan di jalanan jalanan Pasar Senen. Sejak umur lima tahun sudah menjadi anak yatim. Ia yang mencari makan untuk adik-adiknya. Sejak umur lima belas tahun ia sudah mengorganisir ribuan preman, pencopet, penjambret. [1]



Iman syafei lahir Agustus 1923, di Kampung Bangka, Kebayoran baru. Syafei sudah berkegiatan di Senen sebelum pendudukan Jepang. Konon, ia berasal dari keluarga sederhana dan nasionalis. Imam Syafei pernah menghuni LOG, sebuah penjara khusus untuk anak-anak nakal pada masa Hindia Belanda. [2]

Mendirikan perkumpulan, Kumpulan 4 sen—dimana dia mengumpulkan para rakyat kecil seperti pedagang kecil, pedagang sayur, pedagang asongan, pedagang kali lima, sais andong, tukang becak, kuli angkut dsb. Perkumpulan ini mengadakan iuran, yang didigunakan untuk membantu para begundal sekiar senen agar tidak membuat onar bagi para pedagang.

Syafei sudah anti Belanda sejak dia bermukim di Senen. Dia pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial karena pencurian. Safei semula adalah pencuri di pasar sayur Senen. Ia beroleh kekuasaan di Senen setelah membunuh jagoan Senen, Muhayar—yang berasal dari Bogor. Syafei yang bertubuh pendek harus naik lapak sayur untuk bisa menusuk pisau ke perut Muhayar. Hingga dirinya mengendalikan pasar Senen dan sekitarnya. Dirinya pun kesohor sebagai Preman teresar di zaman itu. menurutHusni, bekas anak buah syafei, ”kalau orang menguasai Senen, dia juga menguasai sekitarnya.” Selama pendudukan Jepang, Syafei dan organisasinya membantu keluarga korban romusya. Syafei sempat ditangkap, namun berhasil melarikan diri ketika terjadi kebakaran. Kemudian tertangkap lagi dan dipenjara ke Ambarawa, namun dia berhasil kabur lagi.[3]

Juni 1945, dia membentuk Oesaha Pemoeda Indonesia yang kemudian berhasil menculik serdadu-serdadu Jepang. Syafei juga memimpin sebuah laskar yang merupakan bagian dari Barisan bambu runcing—yang aktif dalam pertempuran melawan sekutu-Belanda diakhir tahun 1945. Ada kisah yang menyebutkan bahwa Syafei pernah mengejar jip tentara Belanda dengankuda putihnya. Ia lalu meninggalkan Jakarta, untuk memimpin mundur pasukannya dan berjanji akan kembali ke Jakarta. April 1946, dirinya masuk TNI karena laskar-laskar telah identik dengan ekstrimis.

Syafei merasa bahwa perannya adalah sah dan terhormat hingga ia memiliki pangkat resmi. Ketika ada konflik antara laskar dengan TNI, Imam Syafei berhasil meyakinkan sebagian laskar untuk bergabung dengan TNI dan membentuk sebuah resimen Perjuangan yang terdiri dari para penduri dan pencopet sebagai anggotanya.

Tahun 1948, ketika terjadi Madiun Affair, Imam Syafei dan pasukannya terlibat dalam operasi penumpasan para pemberontak yang identik dengan PKI itu.

Kata orang, Bang Pi’i seorang yang sakti mandraguna. Jaman revolusi kemerdekaan ia bisa menerobos pertahanan Belanda dengan cara ‘ menghilang ‘. Benyak yang melihat Bang Pi’i sambil naik kuda sambil memegang kelewang mengejar jeep Tentara belanda di sepanjang jalanan Senen dan Galuh. Ketika di tembaki ia tidak mempan. Mirip, adegan film film action Hongkong besutan John Woo. Misbach Jusa Biran, orang film pernah mendesak Bang Pi’i untuk membuat film mengenai perjuangannya dulu melawan Belanda. Ia menolak, Jawabnya “ Siapa yang mau percaya, nanti orang bilang ane ngibul “.[4]

Syafei terkenal militan dan tidak takut mati. Pasca agresi Militer Belanda II, Syafei memimpin gerilya dari Karawang ke Jakarta. Imam syafei yang buta huruf masih menjadi anggota TNI dengan pangkat Kapten dan menjabat komandan batalyon. konon, karena buta huruf itu pula dia tidak menyandang pangkat Mayor selaku komandan Batalyon, hingga pangkatnya setingkat lebih rendah daripada komandna batalyon pada umumnya. [5]

Setelah KMB, sejumlah organisasi preman mengendalikan kota. awal tahun 1950an, Cobra didirikan Imam Syafei, yang bisa disebut pahlawan perang yang memulai hidup baru pasca perang.

Saat APRA berlangsung Syafei diketahui memiliki organisasi rahasia juga yang bergerak di Jakarta. Namun gerakan batalyon ini sendiri sepengatuan pihak militer republik di Jakarta. Nama kelompok ini adalah batalyon P4 (Pembasmi Pengatjau Perundingan Pemerintah).[6] Nampak jelas bahwa Syafei pendukung setia pemerintah RI dari golongan dunia bawah Jakarta.

Setelah perang kemerdekaan, reorganisasi militer membuat sebagian besar anak buah Bang Pi’I yang buta huruf dipecat. Bang Pi’i sebenarnya juga buta huruf, namun dia dibiarkan tetap di TNI sementara anak buahnya ditampung dalam organisasi yang menjaga keamanan sekitar Pasar Senen. Namanya organisasi ini dibuat seram. Cobra.[7]

Alasan tidak dipecatnya Syafei dikarenakan untuk menghindari sakit hati jika semua bekas pejuang itu dipecat, padahal mereka berjasa bagi revolusi. Sebagai mantan pejuang yang biasa bertempur maka akan muncul penjahat-penjahat yang terlatih dan sulit diatasi. Keberadaan Syafei di TNI dianggap akan menentramkan hati anak buahnya yang bekas pejuang sekaligus bekas orang-orang dunia bawah tanah.[8]

Bukan hal aneh jika orang-orang geng Cobra sudah diatur. Di belakang Syafei, anak-anak buahnya itu kadang susah dikendalikan. Namun jika mereka tahu ada syafei mereka akan bersikap tenang. Syafei berusaha agar anak buahnya tidak membuat onar dan mengganggu pedagang di Senen. Jika ada yang ketahuan membuat onar atau kepergok membuat onak, maka Syafei akan menghajar si anak buah itu. Syafei berusaha memberikan kenyamanan pada pedagang untuk beroperasi di Senen karena mereka membayar uang keamanan. [9]

Dia (Imam Syafei) kembali ke Senen. teman-teman pada datang. ”Gimana kita nggak dikerjakan.” Muncul ide: tolong dikoordinir. Akhirnya dikordinir oleh Imam Syafei, dibuatkan sebuah organisasi barisan keamanan atau kelompok keamanan kampung yang namanya Cobra. teman-teman bekas seperjuangan ini akhirnya direkrut, jadi anggota Cobra. (pengakuan Husni)[10]

Cobra dianggap oleh sebagian pihak dari akronim Korps bambu Runcing. Kelompok ini lahir untuk mengawasi suatu wilayah, juga lahan kerja untuk kaum veteran. Seolah ada kewajiban bagi Imam Syafei cs. Dimana Syafei berharap agar kawan-kawan seperjuangannya tidak jadi penjahat. Organisasi macam ini bukan hal baru bagi syafei, mirip dengan Kumpulan 4 Sen. Cobra berhasil menghimpun jagoan-jagoan Jakarta di Tanah abang, pasar rebo, Jembatan Lima (barat Glodok), Meester Cornelis (Jatinegara) sampai kebayoran lama. setiap kecamatan terdapat anggota geng cobra. geng cobra kerap mendapat perlawanan dari geng lain.

Anggota Cobra adalah sebagian besar adalah orang-orang Betawi, namun ada juga orang Batak, Ambon dan Makassar dsb. anggota kesohor adalah Mat Bendot yan kerap menunggang kuda dan memegang cemeti ekor ikan pari. Ia mengendalikan tanah tinggi. Ia menjadi penyedia perlengkapan preman. cek dien, preman asalah Palembang, membuka bisnis kasino di rumahnya. mereka adalah kepala kelompok—yang biasa melaporkan diri ke Senen sebagai markas besar Cobra. ada hukuman bagi anggota yang bersalah dengan cabukan ekor ikan pari.

Organisasi ini menjadi dekat dengan aparat angkatan bersenjata, karena Imam Syafei sebagai boss besar adalah kapten TNI. Syafei disegani karena ia jagoan yang nekad dan ia bersenjata api. pendapatannya berasal dari upeti pertokoan milik orang Tionghoa yang ada stiker ular kobra berdiri. selain itu, perjudian dan kasino menjadi pemasukan syafei.[11]

Dia kerap bekerjasam adnegan orang China yag buka kasino di Glodok, senen dan jatinegara. Tahun 1959, Cobra bubar karena permintaan Komando Militer jakarta setelah adanya persaingan dengan kelompok lain, seperti Ular Belang. Meski cobra bubar, syafei tetap memiliki pamor. dia masih menjadi perwira TNI. dia masih menjadi tokoh penting di Jakarta, karena mampu menggerakan massa untuk berdemontrasi, mungkin juga untuk berbuat rusuh. inilah yang membuat dirinya memiliki posisi tawar dimata penguasa.

Dalam kabinet seratus menteri, Syafei diangkat menjadi menteri Urusan Keamanan yang mengurusi masalah keamanan Jakarta. jabatan itu dipangku sejak 24 februari hingga 28 maret 1966. Dia mendapat tugas menghamabt demonstrasi mahasiswa angkatan 1966—yang menuntut Soekarno turun. Syafei, yang pernah menumpas perlawanan PKI Madiun, lalu dituduh komunis hingga dirinya ditangkap pada 18 Maret 1966. jelas dia bukan komunis, karenanya dia dibebaskan beberapa bulan kemudian. menurut Misbach Yusra Biran, ”dia tidak tahu apa-apa tentang politik. dia hanya setia pada soekarno. [12]

Cerita tentang Syafei susah ditelusuri karena dia terlanjur dicap komunis. bekas anak buah syafei, Husni, mengaku pernah membakar dokumen tentang syafei karena takut bermasalah dengan orde baru, apalagi sampai dituduh subversif.[13]



Bang Pi’i yang konon kebal peluru ini meninggal karena sakit di RSPAD Gatot Soebroto tahun 70 an. Setelah selama sembilan tahun meringkuk dalam penjara.
Sejarah memang selalu mengajarkan sisi lain yang menarik. Jika Bang Pi’i hidup dalam jaman sekarang, ia pasti menjadi caleg atau setidaknya Ketua Partai.[14]

Tahun 1980, dalam keremangan pagi, ia harus menerima hantaman peluru regu tembak, bukan dari jejeran serdadu musuh tapi prajurit sebangsanya sendiri. Kusni yang di era revolusi tergabung dalam Batalyon Rampal Malang harus menerima risiko dari pilihan hidupnya sebagai perampok. Tiga puluh tahun sebelum Kusni, Suradi Bledeg, pejuang pemberani dari Merbabu juga harus meregang nyawa di depan Polisi Klaten karena membegal.

Lain lagi dengan cerita beberapa tokoh militer di masa selepas pengakuan kedaulatan RI. Sebagian di antara para perwira menjalani hidup dengan peran ganda. Hadap kanan sebagai pejuang, hadap kiri sebagai dedengkot dunia hitam. Seolah menjadi prototipe dwifungsi yang tengah mencari-cari bentuk.

Mantan komandan Front Bandung Utara, Kolonel Sukanda Bratamanggala, usai revolusi mendirikan geng preman yang menguasai pasar-pasar, terminal dan pusat keramaian di Bandung. Namanya Geng Kobra, akronim dari pangkat dan namanya sendiri, Kolonel Bratamanggala. Geng inilah motor dari aktivitas okem di Bandung.

Melintas ke Jakarta, bekas tokoh kelaskaran di Betawi, Letkol Imam Syafei justru mencatatkan dirinya sebagai menteri negara dalam Kabinet Dwikora di penghujung pemerintahan Soekarno. Sementara dalam panggung yang lain, Bang Pi’i - demikian namanya kerap disebut - punya singgasana di Pasar Senen tempat ia bertahta sebagai raja copet se-Djakarta Raya.[15]



Organisasi Cobra akhirnya menguasai dunia hitam Jakarta tidak hanya di sekitar Pasar Senen. Mulai dari Ancol ke Tanah Abang, sampai cawang yang waktu itu masih pinggiran Jakarta. Cobra jadi tempat berlindung para pencopet, penjambret sampai penyanyi orkes melayu.

Kalau ada yang kecopetan di Pasar Senen, tinggal bilang kepada tokoh Cobra, maka dalam waktu singkat barang akan kembali. Semua tunduk pada Bang Pi’i. Padahal sosok Bang Pi’i bertubuh kecil dengan wajah ramah. Namun galaknya minta ampun terhadap anak buahnya yang melanggar aturan. Kalau ada anggota Cobra buat onar disebuah toko, maka Bang Pi’i akan menggamparnya habis habisan. Tentu saja, karena toko toko, warung selama ini harus membayar iuaran keamanan pada Bang Pi’i.[16]

Kadang kala Bang Pi’i suka jalan jalan dengan mobil mewah Cabriolet dengan kap terbuka. Semua orang akan menggangguk hormat. Para brandal yang sedang mabuk di pinggir jalan, tiba tiba mendadak sadar seketika. Sesekali ia turun dari mobil lalu dengan simpatik bergabung bermain kartu atau ngobrol ngobrol dengan para seniman yang sedang makan di rumah makan Padang Mera pi.

kabinet dwikora

Pelantikan para menteri dengan Presiden Sukarno. Imam Syafei yang dianggap penguasa Jakarta dijadikan Menteri oleh Sukarno untuk mengamankan Jakarta dan sudah pasti untuk mengamankan kekuasaan Sukarno juga.



Pangkatnya sudah Letnan Kolonel. Dalam kabinet Dwikora II - seratus menterinya - Bung Karno, ia masuk sebagai Menteri negara khusus Keamanan. Satu satunya menteri yang buta huruf dalam sejarah Indonesia. Agak aneh, struktur jabatannya. Mungkin Bung Karno mengganggap sebagai tokoh dunia hitam, Bang Pi’i bisa mengatasi demontrasi mahasiswa atau situasi situasi yang mulai merongrong kekuasaan Bung Karno.[17]

Zaman memang berubah. Saat Bung Karno jatuh, Bang Pi’i juga terseret masuk tahanan orde baru. Ia ditawan di penjara Nirbaya berbarengan Omar Dhani, Oei Tjoe Tat, Sri Mulyono Herlambang dan lain lain. Namun Bang Pi’i tetap sosok yang disegani. Walau dipenjara dia sering seenak udelnya memanggil petugas CPM tentara untuk membelikan nyamikan makanan dari luar penjara, atau minta dibukakan pintunya karena ia ingin jalan jalan mencari udara segar.

Ada petugas sipir yang mencoba keras terhadap Bang Pi’i ternyata suatu hari rumahnya kerampokan. Setelah ia meminta maaf, keesokan harinya, barang barangnya kembali lagi.[18]

Imam Syafei pernah menjadi sasaran amukan angkatan 66. Semua karena posisinya sebagai menteri dan sudah pasti karena loyalitasnya pada Soekarno. Dimata Mahasiswa, Imam Syafei dianggap sebagai ketua bajingan Jakarta, ketua perkumpulan copet Jakarta, ahli teror (berpengalaman tentunya), dan yang tidak bisa disangkal lagi dia ikut menguasai dunia bawah tanah Jakarta yang penuh kekerasan.Dia adalah salah satu dari sekian menteri yang harus ditahan dalam daftar menteri-menteri Gestapu.[19]

Ada orang bernama Syafei pernah menjadi orang kepercayaan Nasution. Dia menjadi staf pribadi Nasution bahkan. Meski pendidikan dasar tidak tinggi, Syafei pernah mengikuti Seskoad Bandung dan mampu lulus dengan baik. Syafei terlibat revolusi setelah ia kontak dengan sebuah laskar. Dia baru saja terlibat perampokan sebelum bergabung di TNI. Dia pernah bergabung di Siliwangi dan ikut serta dalam penumpasan PRRI Sumatra.

Setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno, pada 7 Januari 1962 di Makassar, maka Imam syafei ditahan untuk dikorek keterangan tentang pembunuhan itu. Karena Nasution dianggap terkait dengan kasus percobaan pembunuhan ini. Namun Syafei kemudian dibebaskan juga.[20]

Disinyalir Soe Hok Gie dalam catatannya, Imam Syafii selaku orang penting dunia bawah Jakarta, telah mengerahkan banyak preman untuk menghadang aksi demontrasi mahasiswa. Dimana orang-orang Syafii itu siap main pukul bila berhadapan dengan mahasiswa demonstran. Mereka, jika perlu, akan membuat kerusuhan di beberapa tempat penting Jakarta untuk merusak perjuangan mahasiswa yang ingin menggulingkan Sukarno.

Alasan pemilihan Syafei sebagai menteri juga politis untuk menjaga kestabilan Jakarta dari para pengguling Sukarno. Apa yang dilakukan Syafei adalah bentuk loyalitasnya pada Soekarno dan berakibat buruk pada Soekarno. Nama Syafii pun buram di masa orde baru karena ini.Dia pun jauh dari kekuasaan rezim orde baru. Untuk urusan dunia bawah, rezim Suharto tidak pakai Syafii. Syafei pun tampak loyal kepada Nasution. Syafei pun tampaknya selalu setia pada atasannya, pada nasution lalu kepada Sukarno. Meski memiliki kekuatan di Senen, dia tampaknya tidak ingin mengkhianati atasannya meski itu bisa dilakukan.




[1] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553

[2] Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jlid 4 (Masa Pancaroba Kedua), Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 395.

[3] Jerome Tadie, Les territories de la violence a Jakarta, ab. Wilayah Kekerasan Jakarta, Masup Jakarta, 2009, hlm. 237.

[4] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 111.

[5] Ibid, hlm. 238.

[6] Laporan Djawatan Kepolisian Negara bagian PAM Yogyakarta, 21 Februari 1950. Nomor Polisi 278/A.R./PAM/DKN/50.

[7] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553

[8] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 110-111.

[9] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 111.

[10] Ibid, hlm. 241.

[11] Ibid, hlm. 243.

[12] Ibid, hlm. 244.

[13] Ibid, hlm. 236-237.

[14] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553



[15] Teguh Budi santoso http://anusapati.com/?p=31



[16] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 111.

[17] Misbach Yusa Biran, Kenang-Kenangan Orang Bandel, Jakarta, Komunitas Bambu, 2009, hlm. 141.

[18] Iman Brotoseno, Bang pie i http://blog.imanbrotoseno.com/?p=553

[19] Soe Hok Gie, Zaman Peralihan, Yogyakarta, Bentang, 1996, hlm. 10.

[20] Abdul Haris Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas jlid 4 (Masa Pancaroba Kedua), Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 395.

Kamis, September 30, 2010

Ranukumbolo Fun Tracking



Sabtu, 18 September 2010

Hari yang kami tunggu telah tiba. Meski diiringi hujan, kami tetap meninggalkan Jogja juga menjelang malam. Tentu saja dengan sebuah apel kecil penuh makna dari kawan-kawan Madawirna—begitu nama komunitas mahasiswa pecinta alam bekas kampus saya, UNY.

Kami meninggalkan Jogja dengan sebuah bis AC tujuan Surabaya. Suasana lebaran menguras kantong kami. Kami harus bayar tiket sedikit lebih mahal dari biasa. Sekitar pukul 21.00 lewat banyak bis kami meninggalkan Jogja.

Rombongan kami berjumlah 14 orang. Beberapa diantaranya, tidak berstatus sebagai mahasiswa. Namun masih berjiwa muda tentunya. Masih suka menikmati alam. Awal perjalaan, rombongan kami adalah pembuat gaduh di bis. Dengan nyanyian tidak jelas tentunya. Setelah itu, kami tertidur pulas beberapa jam hingga mendekati Surabaya.



Minggu, 19 September 2010

Hari masih gelap ketika bus kami tiba di Surabaya. Turun dari bus, kami menggendong carrier kami yang besar. Orang awam pasti bisa menebak kami tukang naik gunung. Kami tidak langsung mencari bus tujuan Malang. Kami singgah ke kamar kecil dahulu.

Setelah urusan dengan kamar kecil selesai, kami lalu mencari bis AC ke Malang. Ketika meninggalkan Surabaya, Matahari mulai terlihat perlahan. Sebagian dari kami melanjutkan tidur, namun ada juga yang menikmati pemandangan di sepanjang yang kami lewati. Salah satu pemandangan itu tentunya danau baru hasil karya tak terduga dari Lapindo di daerah Porong.

Sampai Malang, kami naik mikrolet ke Tumbang. Menuju sebuah homestay yang cukup nyaman disinggahi. Disini kami bersiap, melengkapi isi carrier, makan, mandi dan gosok bagi yang terbiasa.

Selesai bersiap dan isi perut. Kami naik sebuah hardtop yang berisi 15 orang termasuk supir dan carrier kami tentunya. Perjalanan kami menuju Ranupane—desa terakhir menuju Semeru—memakan waktu sekitar 2 Jam. Kami menyematkan diri sebentar ke kantor pengelola Taman Nasional semeru-Bromo-Tengger. Setelah itu jalan lagi. Sampai Ranupane pimpinan rombongan mengurus perizinan. Setelah itu, kami bersiap, berdoa lalu mulai berjalan.

Jalur menuju puncak Mahameru, terbilang menyenangkan namun cukup panjang. Butuh waktu maksimum 10 jam perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak dari Ranupane.

Awalnya kami bisa berjalan bersama-sama tanpa ada yang tertinggal. Namun, pelan-pelan rombonaan terbagi. Saya termasuk yang tertinggal di belakang. Jujur saja, saya tidak sekuat kawan-kawan Madawirna yang baru beberapa tahun bergabung. Mereka jauh lebih muda dari saya. Mereka, harus saya akui, jauh lebih terbiasa naik gunung di banding saya.

Dalam perjalanan di hari pertama ini, kami sering berpapasan dengan pendaki lain yang sedang turun gunung. Kami dengar, mereka tidak dapat mencapai puncak Mahameru karena hujan yang sering turun. Banyak pendaki merasa kecewa dengan perubahan cuaca ekstrim di Semeru. Cuaca memang tidak lagi bisa ditebak seperti dulu. Kami semua bisa memakluminya.

Dalam perjalanan, kami melihat satwa primate yang disebut lutung. Kelompok terakhir, hanya melihat dua ekor saja. Binatang liar itu tidak mengganggu kami. Hanya menonton dari atas dahan. Kami pun berhent berjalan dan balik menonton sang lutung. Kami saling bertukar pandang sebentar. Sebelum akhirnya lutung itu pergi dengan begitu aktraktifnya. Berpindah-pindah seperti Tarsan.

Kami, kelompok terakhir makin tertinggal dari kelompok depan. Kami terlalu menikmati perjalanan. Kelompok pertama berhasil mencapai Ranukumbolo sebelum senja. Kami harus merasakan gelap di jalan dan harus emakai senter. Dan saya dengan senter pinjaman, karena tidak membawa senter.

Setelah merasakan gelap di jalan sekitar 1 jam. Akhirnya kami, kelompok terakhir, melihat cahaya dari kejauhan. Kami yakin, Ranukumbolo sudah di depan. Untuk mencari kawan-kawan yang pertama tiba kami harus mengitari seperempat danau. Melelahkan juga.

Belum sampai tenda yang dibangun tim pertama, hujan turun. Dan beberapa meter sebelum tiba di tenda hujan pun turun makin deras. Segera carrier saya dibongkar untuk membangun tenda.

Lelah, basah dan tentu saja lapar melanda kami. Untung saja, kawan-kawan yang lebih dulu tiba sudah memasak beberapa waktu sebelum kelompok terakhir alias tim hore. Dan makanan pun juga nikmat. Saya tidak rasakan lagi apa rasanya. Tetap nikmat disantap pastinya. Setelah makan, kami menyuruput coklat panas. Dan acara naik gunung kali ini makin nikmat saja.

Dingin, hujan dan tentu saja karena sudah malam, kami memantapkan diri untu tidur. Meski sebagian tenda bocor. Tetap saja kami tertidur, meski terbangun juga tengah malam untuk menyeruput kopi. Setelah itu tidur lagi setelah melewati hari minggu panjang yang seru.



Senin, 20 September 2010

Hari mulai terang ketika hujan masih belum reda. Hujan membuat kami terus makan dan minum minuman hangat. Dan kami semakin malas saja bergerak. Hari ini hujan turun berkali-kali.

Hujan membuat peralatan dan pakaian kami basah. Karenanya kami memutuskan menunggu cerah agar bisa mengeringkan pakaian dan peralatan kami. Rencana hari ini adalah beragkat menuju Kalimati. Jika cerah. Namun kami tidak mendapat cerah yang kami tunggu.

Baru saja berkemas dan memindahkan posisi tenda ke pondokan yan agak besar dan bebas hujan, ternyata hujan deras datang lagi. Kami terpaksa batal berangkat ke Kalimati. Hujan deras ini membuat saya separuh frustasi. Dan saya putuskan untuk bertahan saja di Ranukumbolo. Saya pun tidak peduli lagi dengan rencana muncak di Mahameru.

Beruntung, Ranukumbolo mempesona saya.



Selasa, 21 September 2010

Kawan-kawan memutuskan traking ke Kalimati. Tidak sampai puncak. Saya memutuskan bertahan di Ranukumbolo saja. Bersama Mr Bag—salah satu sesepuh rombongan selain Mas Paryono. Saya lebih tertarik pada Ranukumbolo siang itu. Saya tidak peduli pada apapun.

Pagi itu saya sempatkan menaiki sebuah tanjakan. Hanya sekedar olahraga pagi. Saya menaiki tanjakan itu seperti orang berlari dengan nafas tersengal-sengal. Dengan bersusah payah sampai juga diatas. Setelah itu saya menengok ke belakang dan menikmati indahnya Ranukumbolo. Air beningnya, terlihat menyala di tanjakan yang biasa disebut Tajakan Cinta itu. Nama yang aneh dan menggelikan.

Hanya ada sedikit orang hari ini di Ranukumbolo. Hanya ada sedikit pendaki berlalu-lalang. Ada yang berwajah cerah karena bisa mencapai puncak. Tidak seperti pendaki yang saya temui tempo hari.

Setelah kawan-kawan pergi traking, saya dan Mr Bag memulai agenda kami, memasak. Nasi dan sayur—yang entah apa namanya—hari itu harus kami buat sebelum kawan-kawan kembali dari trakingnya. Kami bergerak cepat. Hari ini saya seperti ibu-ibu, mengupas kentang dan memotong sayuran lalu memasaknya. Selain memasak, kami juga harus mencuci alat-alat makan dan masak. Air di botol-botol pun kami isi. Seelum jam 1 semua beres. Saya dan Mr Bag bebas menimati danau.

Hari itu, orang-orang seperti emilih menjauh dari Ranukumbolo yang indah. Saya makin senang. Artinya hari itu Ranukumbolo milik saya siang itu. Mungkin bersama dengan Mr Bag. Sebenarnya saya tidak rela berbagi dengannya, tapi mau bagaimana lagi?

Saya duduk di kursi sambil memegang alat tulis. Mungkin seperti penyair. Tapi saya bukan penyair dan saya tidak seproduktif dulu dalam menulis puisi. Seperti zaman SMA atau awal-awal kuliah. Menulis puisi gombal picisan saja tak mampu.

Ketika saya duduk di bibir danau, seekor burung yang entah apa namanya, mendeketi saya. Burung itu nampak berani, hingga jarak saya dengannya 2 meter saja. Tidak seperti biasanya ada burung sedekat itu dengan saya. Dan kicau burung seharian saya dengar di Ranukumbolo. Pengalaman menyenangkan tentunya. Kabut berkali-kali melewati Ranukumbolo dengan cepat.

Meski tidak bisa mencapai Mahameru, saya tidak sedih. Meski Mahameru belum memberi damainya, namun Ranukumbolo membuat saya damai. Saya merasa nyaman tanpa gangguan. Benar-benar tanpa tekanan. Itu yang saya rasakan. Di dunia ini, damai tersisa di tempat sepi yang jauh dari jangkauan kebanyakan manusia.

Di sekitar Ranukumbolo, terdapat beberapa nisan. Sebagai peringatan pada pendaki yang tewas dalam pendakiannya. Mereka seperti Soe Hok Gie, yang wafat disekitar Mahameru karena terhisap gas beracun bersama Idhan Lubis 16 Desember 1969.

Seperti juga Gie, pendaki-pendaki yang dinisankan itu juga mati muda juga seperti Gie. Muda adalah masa dimana seseorang begitu polos dan naïf menjalani kehidupan. “Masa muda, masa yang berapi-api,” kata haji Rhoma Irama dalam lagunya darah Muda. Pernah ada yang berpendapat, mati muda adalah keberuntungan. Entahlah mereka yang mati di gunung adalah manusia muda beruntung barangkali.



Rabu, 22 September 2010

Ini hari terakhir di Ranukumbolo. Tempat saya bisa tidur nyenyak. Makan nikmat seadanya. Menjadi menusia damai. Dan entah apalagi. Dengan berat hati, Ranukumbolo harus kami tinggalkan.

Setelah berkemas, pagi itu juga kami berfoto dipinggir danau. Juga dengan latar Tanjakan Cinta. Selesai berfoto, kami mulai berjalan. Saya pun dengan berat hati menoleh danau indah ini. Ini adalah tempat menunggu paling indah. Selama masih ada cadangan makanan tentunya.

Bagaimanapun kami harus pergi dari Ranukumbolo. Dengan carrier dipunggung, kami melewati jalan yang kami lewati ketika pergi. Tiga hari tinggal di Ranukumbolo membuat saya berkhayal. Dimana saya ingin sekali memiliki Ranukumbolo dan sekitarnya. Entah bagaimana caranya!? Saya akan buat aturan baru, tidak ada orang yang boleh melihat dan menikmati Ranukumbolo kecuali saya. Ya khayalan yang serakah juga.

Butuh waktu sekitar 4 jam perjalanan dari Ranukumbolo ke Ranupane. Sampai Ranupane, kami singgah sebentar di Ranuregulo.Sisa waktu sebelum ke Surabaya, kami gunakan mengunjungi Bromo. Perjalanan dari Ranupane menggunakan mobil hardtop yang mengantar kami kemarin. Perjalanan ke Bromo seperti offroad. Jadi cukup seru. Perjalanan pulang dari Ranukumbolo diiringi hujan juga hingga Tumpang.

Meski gagal ke Mahameru, perjalanan tetap menyenagkan dan saya masih ingin mengulangnya lagi. Suatu hari...

Rabu, September 29, 2010

Rumah Kaca Itu Bernama Hindia Belanda



Hampir semua orang pergerakan Indonesia pernah dikuntit Politieke Intelingen Dienst (PID). Pramudya Ananta Toer, pernah menyinggung dalam seri terakhir dari tetralogi Buru, Rumah Kaca. Dimana ada seorang perwira polisi bernama Pangemanan yang rajin menguntit Minke yang hidupnya sudah dihancurkan pemerintah kolonial.
PID pastinya bisa dianggap sebagai badan intelejen pemerintah. Dimana mereka bisa membuntuti siapa saja yang mereka angap berbahaya. Di Zaman Hindia Belanda, kaum pergerakan adalah kaum berbahaya.
PID ada demi menjaga ketentraman pemerintah Kolonial. Pemberontakan tentu sangat dihindari pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Karenanya, segala gerak-gerik kaum pergerakan harus terus diawasi
PID Menguntit
Mengawasi kaum pergerakan begitu efektif setelah PID dibentuk. Gagasan pembentukan organisasi ini muncul pada tahun 1914, ketika PD I meletus. PID dibentuk sebagai satu divisi KNIL. Sebuah kantor dinas intelejen pun berdiri di Batavia tahun 1914. Tujuan organiasi ini adalah untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang aktifitas agen Jepang di Hindia Belanda.
Secara resmi PID baru berdiri pada 6 Mei 1916. Dengan fungsi lebih luas dibandingkan satu divisi KNIL. Mengawassi dan mengontrol organisasi pergerakan radikal adalah salah satu tugas utamanya. Mekanisme kerja PID berhubungan erat dengan kantoor voor Chineesche Zaken, Adviseur voor Inlandsch Zaken en Arabische Zaken. PID memusatkan perhatian pada organisasi dan peristiwa yang sama.
Semasa PD I berakhir, secara khusus PID memusatkan perhatian pada SI dan ISDV. Setelah itu aktifitas PID berhenti sementara pada 1919. Namun tidak lama setelah itu Jaksa Agung menulis surat pada Gubernur Jenderal agar PID diaktifkan. Ini dikarenakan, si Jaksa melihat, gerakan-gerakan kebangkitan akan meluas.
Data untuk mengkualifikasikan orang orang atau organisasi dianggap membahayakan rust en orde sangat diperlukan. Selain itu, dibentuk pula badan baru dalam dinas kepolisian dengan fungsi intelejen pada 1919 yang bernama Gewestelijke Recherche Bureau. Sebagaian besar anggota badan ini adalah bumiputra. Pada 1930, ketika dikonsolidasikan GRB telah beranggotakan 800 orang pribumi yang tersebar dalam 100 lokasi berbeda di Jawa dan Madura.
Selain badan-badan tadi, di tubuh kejaksaan juga terdapat badan intelejen sendir yang bernama Algemene Recherche Dienst. Organisasi ini keberadaannya tidak ada pemberitahuan resminya.
PID pastinya membayangi gerakan kiri yang rajin mogok dan melakukan mimbar bebas pada decade 1920an. Tindakan anarkis kaum kiri ini gagal oleh PID dalam aksi mogok buruh kereta api tahun 1923.
Pada Desember 1931, Pemerintah Jepang melakukan devaluasi mata uang Yen. Segera Hindia Belanda dibanjiri barang-barang buatan Jepang yang laku keras karena murah harganya. Hal ini tentu membahayakan kepentingan pemodal Hindia Belanda yang lain. Selain itu, banyak orang Jepang masuk ke Hindia dan segera membuka toko mereka. Dimana mereka merekrut orang pribumi sebagai pembantu di toko. Kecemasan petinggi Belanda, membuat Menteri Urusan Tanah Jajahan Colijn memerintahkan De Jonge untuk mengumpulkan laporan-laporan intelejen yang sempurna, sistematis dan sangat rahasia mengenai kehadiran orang-orang Jepang di Hindia Belanda. Selain cemas dengan ekspansi dagang orang Jepang, pemerintah kolonial juga cemas dengan aksi spionase agen-agen Jepang—yang mulai membangun negaranya yang militerisme-fasis dan membahayakan. Ketakutan pemerintah kolonial yang lain adalah pengaruh dari mata-mata Jepang terhadap kaum pergerakan, pers bumiputra dan raja-raja local di tanah jajahan. Pendekatan terhadap kaum pergerakan dibidang penerbitan adalah pemasangan iklan besar-besaran dengan syarat adanya artikel pro Jepang.
Kegiatan spionase di Hindia Belanda juga mendapat dukungan dari Angkatan Laut Jepang, departemen penerangan, dan Departemen Luar Negeri Jepang. Biro riset Ekonomi Jepang di Asia Timur juga menyiapkan dan mendidik mata-mata. Kegiatan penerbitan orang-orang Jepang juga mendapat perhatian khusus dari PID. Dan orang-orang Jepang, diantaranya juga merasa diawasi PID hingga membuat pengalihan dengan memindah-tangan penerbitan ke orang-orang Indonesia. Seperti dalam kasus Kubo Affair, dimana Tjahaja Pesoendan, dipindah tangan kepada Djojopranoto, yang sebelumnya milik Kubo. Dimana Djojopranoto dan Saerun—keduanya jurnalis kenamaan zaman itu—akhirnya dipenjara terkait dengan kasus Kubo yang ingin mengadakan propaganda pro Jepang dengan jalan penerbitan.
Semakin meningkatnya kebutuhan informasi akan Hindia Belanda, maka penyebaran agen mata-mata dilakukan pada decade 1930an. Di Batavia, kegiatan mata-mata yang kemudian terkenal adalah Nanyo Warehousing Company. Dimana salah satu karyawan disitu adalah Naujo Aratame yang seorang perwira Angkatan Laut Jepang—yang mendapat tugas spionase. Dia juga ditempatkan di konsulat Jenderal Jepang di Batavia. Sesudah tahun 1939, kegiatan spionase Jepang juga ditingkatkan. Dimana hamper semua karyawan Jepang diberbagai perusahaan Jepang di Hindia Belanda, dijadikan agen mata-mata yang mengumpulkan data-data militer, organisasi sabotase, dan mencoba menyuap orang-orang sipil dan militer. Hotel dan tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pengumpulan informasi. Sebagian orang pergerakan menganggap keberadaan Jepang bukan sebuah bahaya.
Sejak 1933, De Jonge melarang para pegawai masuk organisasi pergerakan. Dinas intelejen diefektifkan untuk meneror kaum pergerakan. Pemerintah kolonial makin refresif setelah pemberontakan kapal Zeven Provincien. Prinsip tindak terror pemerintah dan alat intelejennya itu didasarkan pada Rust en Orde. Selain PID, polisi rahasia dan reserse juga aktif. Setiap pejabat pamong praja bahkan memiliki mata-mata sendiri untuk mengawasi daerah wewenangnya.

Kematian Husni Thamrin
Thamrin adalah tokoh penting pergerakan di Jakarta karena dia adalah anggota Volksraad dari fraksi Nasional. Dia adalah keturunan Indo-Inggris dari pihak ayah. Thamrin berasal dari keluarga pangrehpraja yang cukup berpengaruh di Sawah Besar Batavia pada pergantian abad XIX-XX.
Sejak muda Thmarin sudah menjadi orang dewan. Dimulai ketika dia menjadi Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia. Dia terhitung anggota paling muda dari kalangan pribumi. Selain sibuk sebagai Gemeenteraad, Thamrin juga aktif dalam dunia pergerakan. Mulai dari Kaoem Betawi hingga Partai Indonesia Raya.
Ketika Hindia Belanda hampir tumbang, Thamrin didekati oleh orang-orang Jepang di Indonesia. Hingga kemudian Thamrin dianggap membahayakan. Thamrin sendiri meninggal di rumahnya dalam kondisi penuh tekanan dari polisi kolonial dan pejabat Hindia Belanda yang menganggap Thmarin berkolaborasi dengan Jepang. Bukan tidak mungkin Thamrin juga dicurigai dan diintai oleh PID.

Bayang-bayang NAZI
Orang Belanda tampak takut pada orang-orang Jerman—karena dikira mereka itu pro NAZI. Di Hindia Belanda juga terdapat kaum fasis yang tergabung dalam NSB. Ketika Jepang akan mendarat, orang-orang Jerman memang ditangkapi untuk dimasukan kamp tahanan.
Fobia akan NAZI di Hindia Belanda cukup menarik. Pernah ada seorang siswa MULO di Malang yang harus berurusan dengan polisi kolonial karena telah menggambar lambang swastika di toilet tempat umum di kota Malang.


Dibawah Pengawasan Spionase
Tan Malaka adalah oran yang hidup dibawah intaian banyak intel sejak muda. Karenanya Tan Malaka pun menjadikan dirinya seperti bunglon untuk menghindari intaian intel-intel imperialis.
Tidak hanya kaum pergerakan, taruna KMA Bandung seperti Nasution juga tidak lepas dari intaian intel Belanda.
Pasca gagalnya pemberontakan komunis 1927, banyak orang-orang komunis dari Indonesia yang lari ke Eropa, termasuk ke Negeri Belanda. Pengawasan berlebih trhadap kadet Indoensia bisa jadi semakin ditingkatkan. Bukan tidak mungkin seorang kadet pribumi terpengaruh komunis. Hal ini berbahaya karena seorang perwira bisa mempengaruhi bawahannya dalam ketentaraan. Komunisme dalam KNIL di masa depan tentunya akan membahayakan pemerinah kolonial Hindia Belanda. Pengawasan terhadap kadet Indonesia bisa jadi tidak jauh berbeda seperti halnya PID mengawasi orang-orang pergerakan. Pengawasan-pengawasan itu tentunya membuat para kadet Indonesia lebih berhati-hati. Salah satu cara adalah denan menjauhi mahasiswa Indonesia, yang kemungkinan besar adalah anggota Perhimpunan Indonesia.
Soejarso Soerjosoerarso adalah kadet yang telah mendapat pengawasan dari pimpinan KMA. Semua ini bermula ketika Soejarso masih sekolah di HBS Bandung. Saat itu diadakan pemutaran film. Saat dinyanyikan lagu kebangsaan Belanda—Wilhelmus van Nassau—untuk menghormati Ratu Wilhelmina, Soejarso tidak mau berdiri padahal semua hadirin berdiri. Ketika menjadi KMA Breda, Soejarso sebenarnya sudah mulai berhati-hati. Inilah salah satu cara pemerintah kolonial membersihkan KNIL dari pengaruh nasionalis dimasa depan.

Rabu, September 15, 2010

Muhamad Husni Thamrin: Dari Betawi Untuk Indonesia


Adalah Muhamad Husni Thamrin. Tokoh elit Betawi zaman kolonial yang memiliki kepedulian besar pada Jakarta. Pada penduduknya, pada lingkungannya, juga pada banjirnya yang datang tiap musim hujan. Tidak hanya pada Jakarta, Thamarin juga berjuang untuk Indonesia dan rakyatnya, yang kala itu disebut Inlander oleh kaum muka pucat.

Perjuangan Thmarin bukan tanpa resiko. Sudah pasti, keberpihakan pada kaum pribumi, yang umumnya, miskin akan berakibat adanya permusuhan atas dirinya dari kalangan penguasa. Kematian, menyisakan banyak kecurigaan. Thamrin meninggal dalam penahanan di rumahnya. Ketika itu Thamrin dalam kondisi sakit. Sebelum sakit, ditahan dan meninggal, Thamrin dicurigai memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Jepang yang diam-diam memusuhi pemerintah kolonial, sebelum Jepang mendarat dan mengalahkan Hindia Belanda di tahun 1942.

Terlahir sebagai anak dari keluarga berada, Thamrin sempat menikmati bangku sekolahan. Namun, Thamrin tidak sempat meluluskan sekolahnya di KW III—sebuah sekolah menengah yang hanya bisa dinikmati segelintir orang pribumi—dengan alasan ingin bekerja. Pergaulannya ketika dewasa dengan kaum intelektual yang kritis terhadap pemerintah mendorong Thamrin untuk menjadi anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) maupun Volksraad (Dewan Rakyat).

Muda dan Bergerak

Pertemuan Thamrin dengan Daan van der Zee di KPM, tempat Thamrin pernah bekerja, lalu berlanjut dengan perbincangan di rumah van der Zee adalah peristiwa penting yang menntukan jalan hidup Thamrin muda. Dua tokoh yang saling mengagumi ini akhirnya bekerja sama memeperbaiki kondisi kampung-kampung Betawi Batavia yang tidak tersentuh oleh pemerintah kolonial.

Thamrin telah masuk dalam kehidupan politik sejak dini. Setidaknya setelah dia berkawan dengan Daan van der Zee, sekretaris Gemeenteraad Batavia. Pergaulannya dengan kaum Intelektual Belanda yang peduli dengan kondisi Hindia saat itu adalah salah satu pendorong Thamrin untuk duduk dalam kursi Gemeenteraad maupun Volksraad. Diusianya yang ke-25 tahun Thamrin sudah terlibat dalam pembangunan kota Batavia dengan duduk sebagai anggota Gemeenteraad. Sebagai anggota dewan rakyat Thamrin selau berada dibelakang kepentingan rakyat.

Lingkup perjuangan Thamrin semakin luas ketika dia masuk Volksraad. Thamrin tidak hanya membela rakyat Betawi tetapi seluruh masyarakat Hindia yang menderita karena tekanan Pemerintah kolonial. Pergulatannya membela rakyat tertindas kemudian mengantarkannya terlibat dalam dunia pergerakan nasional. Kasus besar yang menjadi kemenangan Thamrin selama duduk di Volksraad adalah Poenale Sanctie yang kemudian dihapuskan menyengsarakan para kuli kontrak di Sumatra.

Thamrin terkenal solidaritas yang tinggi dengan sesama kaum pergerakan. Setidaknya Thamrin pernah membantu perjuangan Soekarno yang gerakanya dipangkas pemerintah kolonial. Thamrin dengan kapasitasnya sebagai Volksraad kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pernah mengajukan pemindahan Soekarno ke tempat yang lebih baik dalam hukuman pembuangannya.

Ketika sekolah swasta milik kaum pergerakan ditekan oleh Wilde Schoolen Ordonantie (ordonansi sekolah liar), Thamrin juga memberikan pembelaannya terhadap sekolah swasta tanpa subsidi pemerintah dengan menentang kebijakan pemerintah kolonial itu. Thamrin juga memperjuangkan hal-hal yang sangat tidak disetujui pemerintah kolonial seperti masalah pengunaan bahasa Indonesia, merubah nama Hindia Belanda menjadi Indonesia. Bahkan menuntut diadakannya parlemen di Hindia Belanda.

Thamrin juga konsisten dengan perjuangannya. Dia berkali-kali berusaha menyatukan seluruh unsur pergerakan dalam satu wadah baik yang koperatif maupun non koperatif. Hal ini sangat sulit karena sering terjadi konflik antar golongan ditubuh federasi organisasi pergerakan (PPPKI) yang dia bentuk. Sebagai manusia Thamrin tidak lepas dari kegagalan dan hujatan.

Sebagai anggota Volksraad beberapa tuntutannya banyak yang tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah. Tuntutan terbesar Thamrin terhadap pemerintah adalah diadakannya sebuah parlemen bagi Hindia Belanda yang mulai diajukan sejak petisi Soetardjo. Tuntutan ini sebenarnya akan membawa perubahan susunan pemerintahan di Hindia Belanda dalam kurun waktu selama sepuluh tahun. Thamrin juga memperjuangkan pengunaan bahasa Indonesia di Volksraad dan mengajukan perubahan nama Hindia Belanda menjadi Indonesia. Tentu saja permintaan itu ditolak pemerintah kolonial.

Dalam dunia pergerakan Thamrin juga pernah dihujat bahkan digolongkan sebagai Kaoem Senang oleh sesama orang pergerakan dari Gerindo. Biasanya Thamrin akan menanggapinya biasa saja. Dia hanya akan beraksi luar biasa didalam sidang Volksraad. Thamrin selalu menyimpan energinya untuk perjuangan di Volksraad. Dari bebberapa sumber tentang dirinya dapat ditarik kesimpulan bahwa Thamrin tidak pernah lepaskan energinya untuk berdebadat habis-habisan denga sesama tokoh pergerakan.

Ketika tokoh pergerakan lain berjalan sendiri dalam pergerakan maka Thamrin berusaha mempersatukan semua golongan dalam dunia pergerakan dalam sebuah federasi untuk malakukan aksi bersama menuntut sebuah perubahan dalam susunan pemerintahan di Hindia Belanda. Jadi Thamrin bukan tokoh pergerakan biasa, dirinya bahkan telah menampilkan diri sebagai pemimpin besar dalam pergerakan nasional Indonesia. Setidaknya Thamrin telah dua kali menyatukan kaum pergerakan dalam satu wadah. PPPKI adalah yang pertama dan Gapi adalah yang kedua dan terus berjalan setelah Thamrin wafat. Kepada kemajuan kota Batavia, Thamrin telah memberikan dedakasinya dalam memperbaiki kampung dan menanggulangi banjir. Sayangnya apa yang diperjuangkan Thamrin itu belam tercapai sampai sekarang. Kaum miskin kota di Batavia juga telah diperjuangkan kemudahan hidupnya oleh Thamrin dan ini juga belum terpenuhi sampai sekarang. Banyak yang menjadi cita-cita Thamrin yang belum terpenuhi sampai sekarang.

Dibawah Cengkraman Hindia Belanda

Dimata pemerintah kolonial, pada awalnya Thamrin adalah tokoh yang tenang, lama kelamaan apalagi setelah PNI di tindak pemerintah kolonial pada tahun 1929, Thamrin mulai bersikap keras terhadap pemerintah. Lama kelamaan Thamrin semakin dianggap berbahaya saja dimata pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial kemudian memgunakan sebuah dokumen untuk menjebak Thamrin. Karenanya Thamrin dikenai tahanan rumah dan meninggal dalam tahanan. Kepergiannya diantar oleh 20.000 orang yang setia kepada cita-cita pergerakan. Thamrin pergi tanpa pernah mengerti bagaimana Indonesia yang dia perjuangkan sekarang ini. Terbukti tidak pernah ada anggota parlemen Indonesia yang mampu mengikuti jejaknya dengan baik. Selama ini anggota parlemen Indonesia hanya mengurus dirinya sendiri dan tidak peduli dengan kepentingan rakyat. Mereka tidak pernah mau tahu di zaman kolonial dulu Husni Thamrin adalah pembela kepentingan rakyat yang gigih.

Thamrin telah menampilkan diri sebagai anggota dewan yang konsisten membela rakyat (di Volksraad maupun Gemeenteraad), tokoh pergerakan yang menuntut sebuah perubahan radikal dalam susunan pemerintahan di Hindia Belanda, tokoh pergerakan yang berusaha menyatukan kaum pergerakan dalam satu wadah untuk menuntut perubahan di tanah Hindia. Thamrin dan pendukungnya menginginkan sebuah parlemen bagi Indonesia. Hal yang paling sering dilupakan orang adalah perjuangan Thamrin yang didukung Parindra-nya dalam merubah nama Hindia Belanda menjadi Indonesia dan Inlander menjadi Indonsische. Dengan begitu Thamrin telah berusaha mempertinggi derajat rakyat pribumi yang direndahkan dengan sebutan Inlander menjadi orang Indonesia yang merdeka.

Masalah banjir di Jakarta, juga menjadi salah masalah yang dihadapi Thamrin sejak muda. Begitu juga masalah lingkungan pada perkampungan rakyat di sekitar kota Jakarta. Thamrin adalah salah satu tokoh penting Jakarta yang memiliki kepedulian besar pada Jakarta. Meski sistem di Hindia Belanda yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil, Thamrin sebenarnya bisa berusaha memperjuangkan rakyat kecil.

Harusnya, Thmarin adalah teladan bagi anggota parlemen yang kini dijuluki wakil rakyat. Banyak orang melihat bahwa wakilakyat masa kini lebih banyak disibukan dengan urusan pribadinya daripada urusan rakyat kecil. Dalam keterbatasan, Thamrin bisa melakukannya, namun tidak banyak wakil rakyat yang mau seperti Husni Thmarin.