Sabtu, Oktober 27, 2012

Yang Kelam di Kemaro

Meski menyimpan sisi kelam, Kemaro tetap Pulau yang teduh. Tanpa harus "lupa" atas pembantaian 1966, biarkan semuanya damai.

Pagi 30 Juli 2011, saya masih orang baru di kota Palembang. Sangat penting bagi saya untuk mempelajari sejarah kota Palembang. Bersama Daniel, Ansor, Reza, murid-murid saya, maka saya sempatkan diri mengunjungi tempat-tempat bersejarah di kota Palembang. Pertama menyusuri Jembatan Ampera dengan berjalan kaki. Awalnya, Daniel sempat protes. Kenapa kami harus turun angkot sebelum jembatan? Begitu ambil gambar jembatan Ampera dan berjalan perlahan, Daniel pun paham perlunya jalan kaki susuri jembatan. Entah bagaimana Daniel memaknainya? Daniel bisa menikmati belajar sejarah sambil jalan-jalan. Tentu saja dia ambil foto dirinya di jembatan itu.    


Daniel dan Reza di atas Ampera

Kami berempat lalu ke Museum Sultan Mahmud Badarudin.Tidak terlalu mahal tarif masuknya.  Menikmati artefak kebudayaan Sumatra Selatan--khususnya Palembang. Ini pertama kalinya saya masuk Museum di Palembang. Museum terbilang ramai, meski tak seramai candi Borobudur. Hampir satu jam kami di dalam Museum. Sebenarnya, Museum ini cukup bisa dibanggakan. Setelahnya, saya sering mengunjungi Museum ini. Bersama murid-murid yang lain jika libur sekolah.

Ansor dan Raza di depan BKB


Dari Museum kami menuju Benteng Kuto Besak yang hanya bersebelahan dengan di batasi jalan saja dari Museum Sultan Mahmud Badarudin. Kami hanya berjalan kaki saja. Seperti biasa sambil berbincang-bincang dan bersenda-gurau saja. Kami berencana masuk tapi kami harus kecewa. Ternyata, kami tak bisa masuk. Benteng Kuto Besak yang seharusnya bisa menjadi situs cagar budaya yang bisa diakses warga kota dan siapa saja, harus menjadi tempat tertutup. Ini pemerkosaan terhadap ilmu pengetauan dan kebudayaan. Kenapa para pejabat berwenang atas situs itu, sampai tahun 2012, masih belum jadikan tempat itu situs bersejarah yang bisa diakses semua orang. Siapa yang tidak berbudaya sekarang?


Tak lama kami kecewa. Setelah ambil foto, Reza, Daniel dan Ansor kasih saran ke saya untuk ke Pulau Kemaro. Mereka seperti bocah yang ingin tunjukan pulau harta karun pada bajak laut macam saya. Saya iyakan saja ajakan mereka. Kami harus susuri Sungai Musi, kira-kira 6 kilometer.Melewati Psar 16, Pelabuhan Boom Baru, Komplek Pupuk Sriwijaya.Sepanjang jalan, bisa disimpulkan Palembang jelas kota niaga yang mengandalkan ssungai sedari dulu. Dan masihberlangsung hingga sekarang.

Bukan hal mudah buat saya. Saya tidak bisa berenang. Alasan klise yang bikin saya ogah masuk Akademi Angkatan Laut. Saya tidak mau semboyan AL yang semula di laut kita jaya menjadi di laut kita tenggelam. Sepanjang perjalanan jantung saya naik turun. Perahu bermesin yang disebut ketek,kami tumpangi, selalu goyang kanan dan goyang kiri. Entah kenapa orang  Palembang menyebutnya ketek? Jantung merasa hampir copot dan keringat dingin tiap ada gelombang menghantam ketek kami. Tapi syukur kami selamat.

Akhirnya kami sampai juga. Bocah-bocah SMA itu pun sumringah tunjukan pemandangan Pulau Kemaro. Mungkin dalam imajinasi mereka itu pulau seperti kota yang hilang. Di pulau ini ada kelenteng Hok Cing Rio. Dimana bangunan megah mirip Pagoda berdiri megah. Murid saya di kelas selalu bercerita tentang legenda pulau ini. Tentang turunan putri Tiongkok yang bernasib naas di jaman Musi dipenuhi bajak laut.   Ketika hari makin siang kami putuskan kembali ke kota. Naik ketek lagi. Sport jantung lagi. Tak banyak yang saya tangkap dari Pulau Kemaro saat itu. Hanya Klentang, legenda putri Tiongkok dan sport jantung saja. Itu pengalaman pertama susuri Musi.

Legenda Pulau Kemaro

Sekitar November 2011, saya kunjungi lagi pulau itu. Kali dengan rombongan yaang lebih banyak. Ada Pak Nanang Adi Prayitno, Bu Uthe alias Ukhti Ciptawati, Bu Sally Kharisma Putri, Bu Indriyaningsih, Bu Hesti, Bu Karen, enam murid dari Australia, juga murid-murid saya yang lain. Saya agak lupa siapa saja murid saya yang ikut waktu itu, tapi ada Fikri, Atira dan Area. Saya tidak terlalu sport jantung saat itu. Ukuran kapal lebih besar dan tahan gelombang. Kami lebih ramai dan penuh tawa.  Menyusuri Musi jelas menyenangkan sebenarnya. Kita bisa membayangkan bajak-laut bajak-laut di masa lalu bersemayam di sekitar sungai Musi. Bisa dibayangkan betapa amannya Palembang yang letaknya tidak persis di tepi laut. Pengalaman susuri Musi bisa dilakukan dengan menumpang jet foil ke Bangka. Saya pernah melakukannya lagi bersama Bu Sally, Bu Erma Retnowati (Kepala Sekolah) kami dan Bu Indri.

Pintu masuk ke Klenteng Pulau Kemaro

Akhir Mei 2012, saya kunjungi Pulau Kemaro lagi. Kali bersama Azizi, Nabilla dan Ansor. Ini kedua kalinya bersama Ansor. Kami banyak ambil foto. Ini masa terakhir jalan-jalan di SMA bagi Azizi dan Ansor yang akan pergi kuliah taun depannya. Kami sempat ambil gambar Pagoda, Klenteng, dermaga dan sungai Musi. Tapi, saya kaget, kenapa banyak foto Nabilla yang diambil Azisi. Saya dan Ansor seperti mengantar orang pacaran saja. Maklum Azizi dan Nabilla baru jadian. Dasar anak SMA. Ya sudahlah. Kami tetap ingin kunjungi pulau itu lagi dalam kesempatan yang lebih baik. 

Trio Kwek Kwek Nabilla, Azizi dan Ansor

8 Oktober 2012, Saya terkejut ketika membaca Tempo edisi Algojo (7 Oktober 2012). Saya tidak lagi di Palembang. Saya terkejut membaca salah satu artikel. Pulau Kemaro pernah menjadi ladang pembantaian. Sungai yang saya potret bersama Ansor adalah tempat pembuangan mayat-mayat korban pembantaian orang-orang yang dituduh komunis. Saya tak pernah punya kesan jika pulau ini dulunya ladang pembantaian. Kami pun tak temukan bekas kamp tahanan politik 1966 bagi orang-orang yang dituduh komunis. Dimana hanya karena komunis mereka dituduh tak bertuhan. Tuduhan MUI Sumatra Selatan yang mengatakan komunis itu atheis juga tak bisa dibenarkan.

Sungai depan dermaga besar Pulau Kemaro


Muchtar Effendi salah satu tokoh sosial di Palembang pernah punya pengalaman pahit di Pulau ini hanya lantaran dia dituduh komunis.  Dia tidak sendiri. Banyak yang lebih malang lagi. Ada yang disiksa sampai mati. Pernah ada penyusutan dalam tiga malam, ratusan orang dihabisi hingga tinggal 17 orang. Mungkin Muchtar Effenddi termasuk di dalamnya. Kemaro mungkin indah bagi orang-orang masa kini, tapi mimpi buruk yang pahit bagi Muchtar Effendi. Muchtar Effendi mengisahkannya dalam sebuah buku, Perjuangan Mencari Ridho Tuhan: Catatan Tiga Zaman dari Balik Terali  Penjara Rezim Tirani Suharto.

Beranjak Pulang dari Kemaro. Sport Jantung lagi.

Saya paham kenapa Pulau ini dijadikan tempat wisata yang dipenuhi mitos yang terkait dengan Tionghoa. Di satu sisi sangat baik dan perlu bagi orang-orang Tionghoa yang ingin beribadah. Di sisi lain menjadikannya tempat wisata bisa membuat para algojo tingkat atas untuk "cuci tangan" atas pembantaian ratusan orang yang dituduh komunis. Cerita perjalanan saya pun jadi kelam di pulau yang sebenarnya indah. Seketika jadi rusak dalam benak saya karena rezim membuat tempat itu jadi kamp pembantaian. Mengerikan sekali berbagi cerita kejam itu. Tapi tak membaginya pada murid-murid saya jelas dosa besar buat saya. Maaf Anak-anak :(

Penguasa memang jago membuat orang "lupa" soal kekejaman mereka. Meski sulit terima kenyataan suram itu, tetap saja kami harus berpikir bagaimana tak ada kamp penyiksaan lagi di masa depan. Suatu hari, kami harus mengunjunginya lagi. Setidaknya sekedar mengingatkan pada siapa saja agar tak ada lagi kamp penyiksaan lagi. Tetap saja saya berterimakasih pada Ansor, Daniel dan Reza yang pertama kali mengantar saya pertama kali ke pulau itu, agar saya selalu ingat untuk melawan "lupa." Mari buat semua lebih baik Boy ;)

Jumat, Oktober 26, 2012

Bermain dan Sekolah

Tak anak yang tidak bermain dan belajar. Dalam belajar mereka tampak dan tergoda untuk bermain, tapi sebenarnya dalam bermain pun mereka belajar.


Tak ada masa yang seru selain masa bocah. Tak perlu berpikir serius, cukup menikmati permainan, maka hidup pun indah. Asal bisa bermain hidup pun indah. Di masa lalu, anak-anak kecil tak seperti sekarang. Mereka tidak bermain Video Game atau semacamnya. Mereka bermain di alam terbuka. Membuat pikiran mereka lebih jernih dan dekat dengan alam. Apa yang mereka mainkan, biasanya dekat dengan alam. Mainan mereka kadang agak nakal. Berburu burung dengan ketapel. Alam menyediakan mainan untuk mereka.

Main ketapel

Setelah lelah bermain, biasanya seorang anak kecil akan disuruh pergi ke surau. Untuk sembahyang dan mengaji. Pengaruh pesantren biasanya kuat di Indonesia. Pesantren lebih tua usianya dibanding sekolah-sekolah yang berdiri di Indonesia. Sebelum Islam datang, cikal-bakalnya Guru-kulosudah berkembang di jaman Hindu-Budha. Sistem pendidikan lama tadi, banyak memberi peluang bagi anak untuk bermain dan belajar dari alam.  

Belajar mengaji di surau. Banyak anak-anak kampung yang melakukannya. Terutama di aerah Jawa, Sumatra, Sulawesi dan lainnya yang kuat agama Islamnya.

Seperti di masa kini, tak semua anak punya banyak waktu bermain. Di masa lalu pun ada juga anak-anak yang sulit bermain. Mereka kadang harus bekerja membantu orang tua mereka. Ikut berladang; kerja di perkebunan dengan upah kecil; atau ikut berjualan. Yang bekerja di perkebunan mungkin yang paling malang. Jam kerja mereka cukup panjang. Bagi yang membantu orang tua di kebun masih bisa bermain di sela-sela membantu orang tua mereka. Banyak yang bisa mereka mainkan di ladang.


Bocah yang ikut berdagang bunga


Gadis kecil buruh batik

Di masa lalu, ketika Indonesia belum merdeka, di sekolah murid-murid sekolah dasar diajarkan mainan tradisional. Kata para budayawan dan pemerhati pendidikan, permainan tradisional banyak terkandung nilai-nilai kearifan lokal. Di masa sekarang, mulai banyak permainan tradisional yang hilang. Entah karena maraknya video game atau terlalu banyaknya jam pelajaran yang membuat anak-anak SD sulit bermain dan belajar bersama alam.

Anak sekolah bermain ular-ularan

Dalam buku pelajaran sejarah, orang-orang Belanda digambarkan sebagai orang jahat. Sementara raja-raja pribumi yang melawan Belanda serta keturunannya yang punya moral bejat dijadikan pahlawan. Orang Belanda, memang bermaksud cari kekayaan ke Indonesia. Tapi, bukan berarti mereka hanya sekedar mau kaya dan tidak peduli pada orang-orang Indonesia. Kita bisa ambil contoh Boscha pemilik perkebunan teh Malabar. Apapun niatnya, dia telah meninggalkan Obsevatorium Boscha yang punya peran penting dalam ilmu pengetahuan. Dia juga ikut dirikan sekolah buat anak-anak pribumi.

Siswa sekolah dasar di perkebunan Malabar

Jaman dulu, jumlah sekolah tidak banyak tentunya. Jaraknya kadang cukup jauh. Banyak anak-anak pribumi yang harus berjalan kaki berkilo-kilo dan berjam-jam. Kadang harus menyeberangi sungai. Dewasa ini, kondisi seperti ini masih ditemui di Pulau Jawa, apalagi di daerah terpencil lainnya. Jika anak orang terpandang, mereka bisa naik sado atau mobil. Rupanya, mobil jemputan sudah ada di masa kolonial. Kita akan teringat lagu Koes bersaudara, "Bis Sekolah."

Bis sekolah pun sudah ada di masa kolonial



Jaman kolonial dulu, sekolah adalah lembaga yang rasis. Sekolah ditentukan dari wara kulit. Bukan sekedar seberapa tebal kantong orang tua seperti yang masih terjadi di masa sekarang. Mungkin ini yang disebut kemerdekaan. Merdeka untuk menjadikan sekolah sebagai ajang cari uang. Rasisme yang berlaku kadang bisa diakali. Misal, ada anak pembesar pribumi yang bisa masukan anaknya ke sekolah untuk orang-orang Eropa.

Para siswa HCS
Orang-orang Jawa bisa masukan anaknya ke sekolah Belanda untuk anak-anak Jawa alias Hollandsche Javasche School  (HJS). Orang-orang Tionghoa, bakal masukan anaknya ke sekolah Belanda khusus anak-anak . Anak anak Ambon yang anak militer atau pegawai kolonial akan dimasukan keAmbonsche Burgerschool.  Sebagai anak tangsi atau anak kolong, sekolah ini  siswanya nakal-nakal. Mereka kadang hanya hormat pada guru Ambon saja. Banyak dari mereka sepertinya masuk KNIL. Anak pribumi biasa, seperti Jawa, Sumatra dan lainnya, bisa masuk Holllandsch Inlandsche School  (HIS).  Bagi anak-anak Eropa diadakanEurope Lager School. Ini adalah SD paling elit di jaman kolonial.

Murid HIS latihan kepanduan

Di masa lalu, anak-anak yag bisa sekolah jelas orang beruntung. Bisa masuk sekolah desa saja sudah cukup untung. Meski sudah bisa membaca dan menulis mereka tak terlalu bangga. Meski dengan ijazah sekolah desa yang lamanya bisa tiga sampai lima tahun, mereka bisa kerja di perusahaan perkebunan. Tapi jangan mimpi kuliah. Harus masuk MULO dan AMS dulu.

murid-murid sekolah desa


Pergi sekolah bisa jadi hal menyenangkan bagi anak-anak. Mereka bisa bertemu kawan merekayang seusia. Sudah pasti akan pulau sekolah sambil bermain. Kalau uang saku lebih, mereka bisa beli mainan. Sedari dulu sudah ada pedagang mainan yang digemari anak-anak sekolah dasar. Penjual mainan selain di sektiara sekolah, sering ditemui ketika ada keramaian macam pasar malam.

Pedagang mainan yang diminati anak-anak

Begitu kira-kira bocah-bocah dari masa lalu. Dimana pun dan kapan pun kebutuhan anak-anak adalah bermain dan belajar. Jangan dikira sekolah hanya tempat belajar. Sekolah juga tempat bermain. Kenapa anak-anak harus bermain, karena dalam bermain pun, tanpa disadari mereka sebenarnya belajar. Jadi, tak ada anak yang tak belajar dan bermain

















Sumber foto: tropenmuseum (http://collectie.tropenmuseum.nl)

Jaman Merdeka Jaman Susah

Jaman revolusi jaman susah. Tak ada kata merdeka bagi yang lapar.

Kata merdeka jelas begitu indah bagi orang-orang anti kolonial.Tapi, masih membingungkan bagi orang-orang yang sulit membedakan antara terjajah dan tidak terjajah. Perang Pasifik sudah selesai, Proklamasi Indonesia boleh berkumandang, tapi orang miskin tetap hidup miskin. Revolusi itu proses. Proses yang menyakitkan bagi banyak orang. 

Orang miskin menidurkan anaknya di jalanan Jakarta (Februari 1947)

Kedatangan serdadu Balatentara Jepang, tak membawa kebaikan bagi banyak orang. Kedatangan serdadu Jepang, bikin orang Indonesia susah tanam padi. Kelaparan pun jadi bencana di depan mata. Sebagian besar orang miskin harus rela pakai baju dari karung goni. Beras jadi barang langka. Meski kondisi sulit, ratusan pemuda mendadak punya seragam dan bedil. Dimana seragam dan bedil itu membuat mereka selalu ingin selalu pegang bedil dan jadi penguasa. Dan ketika pemuda-pemuda ini jadi pemimpin dalam rezim Suharto, tentara Indonesia pun mirip serdadu balatentara Jepang, punya komando teritorial. Pemuda-pemuda bermental fasis bisa makan sedikit lebih enak daripada rakyat miskin. 

Di masa pendudukan Jepang dan masa revolusi, orang miskin merasa lebih baik menidurkan anaknya yang lapar. Agar anaknya tidak merasa lapar. Ketika si anak bangun dan minta makan karena lapar, si anak ditidurkan lagi. Berharap si anak tidur lama, bahkan bisa tidur selamanya, karena lapar. Si anak, bisa bermimpi makan enak dalam tidurnya. Sebelum perih di perut mereka berontak atau barangkali maut menjemput karena lapar.

Seorang Ibu yang bersusah payah cari makanan dan memasaknya demi menngganjal perutnya yang lapar(1945-1949)

Setelah serdadu Jepang kalah dan angkat kaki, orang miskin tetap miskin. Merdeka jadi tak berarti lagi buat mereka. Bagaimana teriak lantang merdeka dengan perut lapar. Pemerintah Republik yang baru lahir sulit berbagi beras dan mengenyangkan perut orang miskin tadi. Jaman 45, itu bisa dimaklumi tapi bukan berarti kondisi itu harus berlangsung selamanya. Meski jaman perang sudah lama berlalu, orang miskin dan lapar masih jadi pemandangan di kolong-kolong jembatan. 

Serdadu-serdadu Belanda membagi makanan mereka pada anak-anak. (1 Januari 1947-28 Februari 1947)

Ketika Republik tak bisa urusi orang-orang kelaparan, maka ada juga orang-orang asing yang peduli. Orang-orang Belanda atau Inggris atau Australia yang jadi tentara kadang rela berbagi makanan pada penduduk miskin yang lapar. Terutama pada anak-anak kecil yang begi mereka lucu. Tentu orang-orang nasionalis akan berprasangka sinis, yang kadang salah kadang betul, "Ah orang-orang Belanda itu kan cuma cari simpati." Seperti calon anggota legislatif yang sedang kampanye. 

Seorang anak perempuan menikmati makanannya. Dunia terasa damai baginya ketika makan.(1947)

Tidak penting apa niat mereka dibalik bagi-bagi makanan buat anak-anak. Yang pasti tak boleh ada anak-anak kelaparan. Apapun alasannya, membiarkan anak-anak kelaparan adalah dosa besar. Keceriaan anak kecil adalah segalanya bagi masa depan. Dunia yang dalam bermula dari sini. Perkara niat terselubung serdadu Belanda yang katanya cari simpati itu, biarkan jadi urusan mereka dengan Tuhan.

Sumber foto: tropenmuseum (http://collectie.tropenmuseum.nl)

Selasa, Oktober 23, 2012

Akhir Riwayat Soumokil

Soumokil tak jauh beda dengan pemberontak lain yang telah ditangkap. Hukuman mati pun datang padanya.
Soumokil muda di masa kuliahnya di Leiden.
Soumokil adalah praktisi hukum dan ketika peristiwa Andi Azis berlangsung masih menjabat Jaksa Agung dajn mengepalai kepolisian NIT. Sejak pemerintah kolonial Hindia masih berkuasa, Soumokil tidak masuk dalam arus pergerakan nasional seperti sebagian intelektual bumiputra lainnya.


Soumokil muda sebagai ahli hukum dan pegawai pemerintah

Sebagai orang pribumi yang berstatus gelijkgesteld—yang berarti sama secara hukum dengan orang-orang Belanda—Soumokil juga mendapat tentangan dari kawan-kawan Maluku-nya ketika dirinya akan diangkat menjadi anggota Volksraad pada tahun 1938. Sebagai orang Ambon terpelajar, Sounokil tidak bergabung dalam Serikat Ambon atau organisasi lain. Mungkin ini didasari status gelijkgesteld-nya yang membuatnya ekslusif hidup dalam lingkungan kolonial Hindia Belanda.[1]


Soumokil yang mapan dalam karirnya di bidang hukum.


Soumokil adalah orang yang mengimpikan orang yang mengimpikan adanya otonomi daerah. RMS mungkin puncak dari cita-cita otonominya—dimana bukan tidak mungkin  cita-cita itu sudah diimpikannya sejak masa kolonial dimana dia akan menjadi penguasanya. Keberadaan NIT sebenarnya tidaklah bertentangan dengan cita-citanya. Walau hanya sebuah negara bagian saja, setidaknya tidak ada dominasi kaum Republik. Soumokil nyatanya sangat menjaga jarak, baik sebelum dan sesudah pendudukan Jepang dan puncaknya mulai terlihat dalam NIT.



Sebelum RMS dihabisi

Permusuhan terbesarnya dengan kaum Republik begitu nyata ketika Soumokil menjadi Jaksa dalam persidangan yang mendudukan Walter Mangisidi sebagai tersangka—dengan tuduhan teroris dalam wilayah NIT. Dalam persidangan itu, Walter Monginsidi dijatuhi hukuman mati.[2] Vonis itu dijatuhkan beberapa bulan sebelum NIT dibubarkan. Ketika Walter Mangisidi dihukum mati pada September 1949 di Makassar, sedang berlangsung gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda.


Soumokil dan gerilyawan sisa-sisa RMS yang masih bertahan di Pulau Seram


Setelah pasukan Andi Azis yang berontak  dikalahkan di Makassar, Soumokil berangkat ke Manado, dimana sebuah pemberontakan disiapkan oleh Soumokil. Di Menado, Soumokil memanfaatkan kaum Persatuan Timur Besar (PTB). Persatuan Timur Besar itu, menurut Ibrahim Ohorila—bekas Menteri Persediaan Makanan RMS yang menyerahkan diri ditahun 1951—terbentuk dari hasutan –hasutan kaum kolonial Belanda yang propagandanya selalu bersifat menentang Republik  Indonesia dan selanjutnya ingin berdampingan dengan negeri Belanda sebagai provinsi ke-13. Tapi usaha pemberontakan Soumokil di Menado inipun menemui kegagalan. Setelah pemberontakan yang  gagal itu, Soumokil lari ke Ambon. Soumokil menumpang pesawat  pembom B-25 milik Militer Belanda. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Militer Belanda, kepegian Soumokil bukanlah  dengan cara yang diistimewakan. Kepergian Soumokil sendiri memancing kecurigaan di kalngan pemerintah NIT di Makassar. Karena hal ini, Soumokil diskor dari jabatannya sebagai Jaksa Agung NIT.[3]



Perahu membawa Soemokil yang tertangkap.



Di Ambon, Soumokil juga mempengaruhi berbagai kalangan untuk menolak keberadaan RIS di Ambon. Para raja, Partai Timur Besar, pasukan  Baret dan tentu saja orang-orang KNIL di Ambon. Keberadaan pasukan baret ini sangat menguntungkan gerakan Soumokil di Ambon. Walau bukan orang Militer, Soumokil tentu mengerti kemampuan pasukan Baret yang telah merepotkan posisi pasukan republik selama Revolusi. Berbeda dengan di Makassar, kali ini gerakan TNI akan sulit sekali untuk melawan RMS yang dipimpinannya. Kasus Makassar, kekuatan Pmeberotakan hanya terdiri kalngan KNIL dan KL yang jarang bertempur. Berbeda denga pasukan Baret yang telah terlatih dan berpengalaman. Bila ini perhitungan Soumokil dalam pengunaan bekas Pasukan Baret Belanda adalah tepat, terbukti TNI kerepotan hinggga mengorbankan perwira TNI.


Soumokil dalam kawalan TNI


Soumokil pastinya mengerti kondisi pansanya Ambon karena sebagai Jaksa Agung yang membawahi Kepolisian NIT, Soumokil memperoleh banyak laporan mengenai perkembangan kondisi di Ambon. Apalagi dalam kepololisian NIT banyak terdapat orang-orang Belanda yang berpangkat  Inspektur maupun Komisaris—umumnya mereka adalah orang-orang Belanda reaksioner.[4]



Soumokil dan Manusama juga sering  melakukan agitasi-agitasi ke publik yang bersifat menentang eksistensi Republik. Mereka berdua mendesak diadakannya sebuah rapat umum yang dipimpin oleh Han Boeng Hiong dari Parlemen NIT.  Rapat umum ini dihadiri setidaknya 2.000 orang yang terdiri dari kaum militer dan sipil di Ambon. Diantara orang-orang Sipil itu terdiri atas orang-orang dari Persatuan Timur Besar yang hadir dengan pakaian hijau dan sedikit orang-orang biasa yang datang karena dipaksa. Pada rencana awal, Soumokil yang sudajh berada di Ambon untuk sementara tidak langsung tampil kemuka , seperti dalam rapat besar itu.[5]



Soumokil dimintai keterangan setelah penangkapannya



Penyelesaian dua kekacauan oleh orang-orang kontrarevolusi itu memberi waktu bagi Soumokil dan gerakan dadakan-nya untuk menyusun kekuatan. Masalah Andi Azis di Sulawesi Selatan, sudah cukup untuk mengalihkan perhatian  dan kekuatan pemerintah untuk tidak menghiraukan Maluku. Proklamasi RMS baru terjadi 25 April 1950, ketika kota Makassar masih belum aman. Hal ini berarti pasukan Republik masih jauh untuk menghadapi RMS. RMS sendiri dibantu oleh pasukan baret yang pernah dilatih Westerling di Batujajar. Letak Maluku yang jauh ke timur dan harus dijangkau melalui laut selama beberapa hari. Jelas waktu yang tepat bagi kekuatan militer RMS yang terdiri bekas KNIL untuk bersiap.  Dengan susah payah, pasukan RMS yang terlatih akhirnya bisa ditumpas oleh TNI. Beberapa bekas RMS diampuni dan masuk TNI.


Meski kekuatan militer RMS terbesar telah dihabisi, tetap saja Soumokil tak pernah berhenti. Soumokil ikut bergerilya di pedalaman pulau Seram. TNI baru menangkap Soumokil pada 2 Desember 1963. Setelah 13 tahun bererilya di Seram. Soumokil bertahan cukup lama. Padahal 12 gembong RMS lain, Seperti Samson, Sopacua dan lainnya, sudah lama menyerah. Soumokil tentu yang paling gigih bertahan.



Bendera RMS dan orang-orang RMS

Keluarga Soumokil yang keluarga dari hutan

Soumokil duduk mendengar

Pengadilan Soumokil yang menjatuhkan padanya hukuman mati



Ada kabar jika Soumoki akan diampuni oleh Soekarno. Setidaknya Soumokil bisa dijadikan penerjemah kitab hukum kolonial, dari bahasa Belanda ke Bahasa Indonesia. Maklum, Soumokil ahli hukum keluaran Leiden.  Nyatanya bukan itu yang terjadi, hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan pada Soumokil.

Istri Soumokil yang merasa tak bisa terima putusan atas suaminya


Soumokil menuju tempat eksekusi


Soumokil dipasang di tiang eksekusi


Petugas eksekusi menjalankan tugasnya.


Tembakan terakhir untuk Soumokil



Isteri Soumokil almarhum, yang pertama adalah wanita Belanda Bercerai. Ketika bergerilya di Ceram bertemulah gembong KMS ini dengan wanita yang pandai sekali memanjat pohon kelapa, yang waktu itu umurnya sekitar 20-an. Istri Soumokil tampak ada dendam dan marah pada pemrintah RI, katanya: "Kalau pemerintah Indonesia tidak bunuh suami saya, mungkin ada perasaan lain di dalam hati bangsa Maluku".[6]
RMS masih hidup di Negeri Belanda dengan segala perubahannya. Soumokil tetap legenda mereka. Kematian Soumokil tak surutkan mereka pada mimpi tentang "Republik yang dijanjikan" bernama Republik Maluku Selatan.

Note: 
[1] William H. Frederick & Soeri Soeroto (ed), h. 371. Richard Zakariaz Leirissa, Pemberontakan Republik Maluku Selatan, PRISMA th 7 no 7 Agustus 1978., hlm. 26-39. 
[2] Ibid. 
[3] Agoes Anwar, Soumokil Dan Hantjurnja RMS, Medan, C.V. Pudja Sakti, 1964. hlm. 41-42.
[4] Ibid.,, hlm. 42-42 A
[5] Han Boeng Hiong  di pengadilan setelah RMS ditumpas justeru mengakui tidak mengerti apa-apa tentang hal itu. Beredar cerita rapat umum ini dihadiri 9.000 orang. Saat itu Soumokil masih belum tampil didepan melainkan masih dibelakang layar untuk mengatur sebuah rencana besar setelah rapat besar itu. (Agoes Anwar, hlm.  42 A)
[6] Indonesia Musuh Sampai Tua, Tempo, 6 Maret 1976

Teekensoldij

Tak perlu uang pelican! Langsung teekensoldij dan Anda jadi KNIL.

KNIL boleh hancur dan menanggung malu karena kalah dengan balatentara Jepang. Tapi, riwayat KNIL belum selesai sepenuhnya. Masih ada sisa-sisa KNIL yang bertahan di Australia. Bahkan beberapa regu KNIL sempat bergerilya melawan serdadu Jepang di Saumlaki dan sekitarnya. Julius Tahiya salah satunya.
Sebelum Perang Pasifik selesai, KNIL dibentuk lagi di Australia. Mereka dari KNIL terdahulu yang ikut menyeberang ke Austalia sebelum serdadu-serdadu Jepang mendarat dan mengalahkan mereka di Jawa. Itu Batalyon Infanteri pertama. Setelahnya dibentuk lagi di Tarakan dan Balikpapan setelah Jepang mulai dikalahkan.
Di Indonesia KNIL mengambil bekas tawanan dari kamp interniran Jepang sebagai serdadu. Orang-orang  pribumi pun dibujuk untuk bergabung di KNIL. Mantan serdadu pun dipanggil lagi. Ada juga orang muda yang jadi serdadu untuk direkrut.
KNIL rela melatih orang muda dari nol. Di masa lalu, banyak KNIL tak bisa membaca bisa masuk. Bagi yang sudah bisa membaca akan ada kesempatan jadi kopral. Jika tak bisa baca tulis paling bisa jadi fuselier atau spandrig saja. Itu sudah cukup sangar bagi orang-orang di Bagelen. 



Serdadu KNIL di Batavia dapat pelajaran di dalam kelas

Orang-orang Bagelen dari bukit gersang akan bisa membaca setelah teekensoldij. Serdadu KNIL termasuk orang-orang yang menerima “pembaratan” selain para nyai dan priyayi. Kalau para priyayi menerima pembaratan di sekolah atau di kantor; para nyai di kasur, sumur dan di dapur; dan kalau serdadu di tangsi. Serdadu KNIL agen “pembaratan” dalam sejarah juga sebenarnya. 
Ada beberapa alasan kenapa pemuda Indonesia jadi serdadu KNIL. Serdadu adalah pekerjaan hina bagi kalangan keluarga terpandang. Kehidupan mereka keras. Kadang dekat dengan maksiat.
Orang yang bergabung dengan KNIL biasanya orang yang berasal dari daerah gersang. Dimana mereka tak bisa bertani. Uang adalah alasan. Demi bertahan hidup. “Saya menjadi KNIL demi perut, tampaknya beberapa rekan saya pun begitu. Mereka menjadi alat pemerintah kolonial bukan karena ideologi, tapi untuk memenuhi kebutuhan hidup.”kata Didi Kartasasmita.[1]
Bagi sebagian orang, jadi serdadu berarti bisa hidup di jaman kolonial. Mereka bisa dapat gaji yang cukup buat hidup. Juga foya-foya bagi yang muda dan galau. Juga bisa buat beristri. Di masa kolonial, tak hanya berdasar pangkat tapi juga berdasar warna kulit. Jadi KNIL militer yang sangat diskriminatif.[2]

Serdadu Belanda dan keluarga kecilnya sebelum perang. Serdadu ini sepertinya berpangkat diatas diatas sersan.

Keluarga serdadu yang berbeda warna kulit tentu kesejahteraannya berbeda. Keluarga serdadu rendahan pribumi hanya bisa sekolahkan anak mereka disekolah ongko loro. Anak Indo bisa akan lebih baik karena bisa ke  sekolah macam Holandsch Inlandsch School (HIS) atau Europe Lager School (ELS). Jika si anak bersekolah di HIS atau ELS maka jika masuk KNIL dia bisa jadi Sersan—seperti Gatot Subroto. Sementara lulusan sekolah ongko loro hanya bisa jadi kopral—dan jika bagus juga bisa jadi sersan seperti Suharto.


Serdadu KNIL pribumi dari Indonesia timur mengayun anaknya bersama istrinya.

Kehidupan di KNIL, secara ekonomis agak lebih baik daripada jadi kuli di perkebunan tentunya. Anak kolong, yang terbiasa dengan kehidupan tangsi biasanya akan mengikuti jejak ayahnya. Di dalam tangsi, anak kolong akan punya pemikiran soal posisi serdadu. Itu bukan pekerjaan hina. Itu adalah sesuatu yang mendarah daging. Apalagi jika si anak sekolah di Ambon School yang dipenuhi anak tangsi yang bandel.

Seorang bocah, anak sersan mayor KNIL di Pelaihari membersihkan revolver anaknya.

Di masa revolusi, banyak anak bekas KNIL yang bergabung dengan ketentaraan. Bagi yang terpengaruh semangat kemerdekaan akan memilih masuk BKR/TNI. Bagi yang memiliki dendam atau tidak suka pada orag-orang Republik akan memilih masuk KNIL seperti ayah mereka. Banyak anak KNIL di Jakarta dan Bandung masuk KNIL karena keluarga mereka diganggu orang pro Republik yang seenak udel menganiaya, bahkan membunuh keluarga mereka atas nama Revolusi pada “masa bersiap.”
Ada juga orang-orang yang pernah ikut tentara Indonesia terpaksa bergabung dengan KNIL. Biasanya karena tertinggal, ditinggalkan atau meninggalkan diri dari tentara Republik ketika kota diduduki tentara Belanda. Mereka adalah orang-orang yag buta politik.
Hasil dari serdadu didikan KNIL Belanda cukuplah baik. Mereka dianggap lebih terlatih daripada bekas. Biasanya mereka sering dijadikan pelatih di TNI, daripada jadi komandan tempur. 


Sersan Klees yang bekas KNIL sedang melatih pasukan.

Cerita bekas KNIL yang dijauhi kadang hal biasa dalam ketentaraan Indonesia. Di tahun 1960an masih terasa. Z.A Maulani pernah alami hal itu. Dia punya atasan setingkat lebih tinggi pangkatnya. Si atasan dulunya bekas KNIL. Gerrits Kakisina adalah lulusan Kader  School Gombong sebelum perang dunia II. Dia ikut mengungsi ke Australia. Sebagai Sersan II KNIL, dia dilatih  tentara Amerika untuk tugas Field Combat Intelliegence untuk menyerbu Asia Tenggara. Konon, Gerrits pernah bertugas di front Pasifik juga. Setelah Jepang menyerah, Gerrits adalah anggota NEFIS. Gerrits masuk ke Surabaya pada November 1945.
Gerrits buta politik. Dia hanya berpikir dirinya serdadu yang harus professional yang harus jalankan apapun perintah komandan. Bukan mengikuti perkembangan politik. Selama di Australia, atasan-atasan Belandanya mengatakan yang akan dihadapinya di Indonesia adalah Ektrimis.
Ketika bertugas di TNI, di tahun 1960an, dengan pangkat Letnan Satu, di Sumatra Selatan. Gerrits tidak begitu disukai. Bahkan dijauhi. Karena dirinya bekas musuh TNI di masa revolusi. Gerrits tak banyak bicara.  Dia pensiun dengan pangkat Kapten.[3] Ketika KNIL bubar dirinya juga punya pilihan untuk ikut KL ke Belanda. Tapi itu tidak dipilihnya. Masih ada orang seperti Andi Azis. Dia juga kemudian memilih mundur, sebagai bekas KNIL dirinya jelas kurang dihargai dalam ketentaraan Indonesia.


Serah terima KNIL ke TNI

Mantan KNIL pasca kemerdekaan masih bisa sampai jenderal, tapi tak akan pegang jabatan strategis walau pintar. Kesalahan mereka hanya teekensoldij.Tentu saja, di Negara yang katanya nasionalis ini, orang yang bergabung dengan tentara Belanda di jaman revolusi dianggap pengkhianat. Tidak sepaham atau beda, di negeri ini dianggap musuh. Itulah orang Indonesia masa kini, mungkin juga dulu. 
Jika ditelisik, ada banyak alasan dulu ketika jaman revolusi banyak orang Indonesia yang bergabung dengan KNIL. Pertama, Republik Indonesia, nyatanya identik dengan Jawa walau orang macam Hatta dan Syahrir jadi pemimpin juga. Kedua, tak dijelaskan dalam proklamasi mana saja wilayah Indonesia itu. Di jaman pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga bagian. Daerah timur beda penguasa militer dengan Jakarta.  Ketiga, tidak semua orang tahu berita proklamasi dan juga tak paham apa itu Indonesia. Keempat, kebanyakan pendukung Republik di awal kemerdekaan tak beda dari kaum fanatik yang main pukul dan tak bersahabat.  Ini hal paling fatal karena banyak pengikut republik menghabisi bekas orang yang bekerja pada Belanda. Kelima,Republik Indonesia adalah Negara baru yang dianggap belum mapan. Tak heran jika banyak orangtua dimasa itu terkesan tak berpihak karena opurtunisme mereka.


Pasukan TNI pasca penyerahan KNIL

Di masa lalu, orang Bagelen biasa teekensoldij di Gombong. Orang sekitar Indonesia Timur bisa ke Ambon atau Manado buat teekensoldij. Tak semua orang Indonesia mau teekensoldij. Sebagian besar orang Bugis atau Makassar merasa malu jadi serdadu kompeni alias Belanda. Hanya segelintir dari mereka yang mau jadi serdadu.
            Jika Anda hidup di jaman ratu Belanda, meski tak bisa baca tulis tak apa. Anda bisa teekensoldij buat jadi serdadu. Apalagi Anda sangar!  Itu lebih baik. Barangkali Marsose akan terima Anda. Cukup Teekensoldij saja.

Endnote:

[1] Tatang Sumarsono, Didi Kartasasmita:Pengabdian Untuk Republik, Jakarta, Pustaka Jaya, 1993, hlm. 39.

[2] A. Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas (Kenangan Masa Muda), Jakarta, Gunung Agung, 1982, hlm. 46-47.

[3] Z.A. Maulani, Melaksanakan Kewajiban Kepada Tuhan danT anah Air (Memoar Seorang Prajurit TNI),Jakarta, Desata, 2005, hlm. 132-134.