Kamis, Juni 10, 2010

Joka-joka ke Barru


Barru, Pagi 8 Juni 2010.
Dengan modal sangat terbatas, saya putuskan untuk mengunjungi Sulawesi Selatan. Banyak hal yang menarik dari jazirah itu. Baik kebudayaan orang Bugisnya, dan juga sejarahnya. Meski berkali-kali menulis tentang kejadian di Sulawesi Selatan, sebelumnya tidak pernah sekalipun saya menginjakan kaki saya di tanah itu. Saya hanya mengerti sedikit soal Sulawesi Selatan hanya dari buku, maupun dari pergaulan dengan kawan-kawan saya yang berasal dan memiliki darah Sulawesi Selatan.
Kapal menjadi pilihan saya untuk mencapai Sulawesi Selatan. Selain murah, kita juga akan menikmati pemandangan laut biru. Bagi saya, kapal bukan pilihan yang buruk. Meski dibutuhkan waktu 24 jam untuk tiba di Pelabuhan Makassar, dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kapal akan melewati Selat Makassar yang indah pada malam hari.
Ketika kapal angkat jangkar dan bersiap berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, tampak diselatan Pelabuhan Jembatan Suramadu, yang menghubungkan antara kota Surabaya dengan Pulau Madura. Ketika kapal sampai di lepas pantai, pemandangan laut begitu menyenangkan untuk dilihat. Saya jadi ingat jika lautan Indonesia begitu luas dan kaya.
Setelah menyeberangi Selat Makassar, saya pun tiba di kota Makassar. Begitu turun dari kapal, saya sengaja tidak mencari angkutan, maupun penginapan. Saya memilih berjalan kaki menyusuri kota Makassar. Sebuah hal menyenangkan bagi backpacker.
Kota Makassar, sudah tampak ramai pada pukul 19.30. Dimana kehidupan malamnya sudah dimulai. Tempat hiburan sepanjang satu kilometer, baik café maupun Karaoke Dang-dut, yang terletak diseberang Pelabuhan Makassar sudah tampak berdenyut. Terlihat wanita pekerja malam sudah bersiap dengan pakaian seksinya. Meski belum banyak pengunjung datang.
Kaki saya terus melangkah ke sudut kota yang lain. Dimana jalanan kota Makassar masih dilalui banyak kendaraan bermotor. Melewati Lapangan Karebosi lalu terus ke arah utara. Dimana saya melihat betapa megahnya Masjid Al Markaz.
Karena hari sudah malam, saya lalu memutuskan berhenti berjalan. Selain kaki saya lelah, saya juga harus online di warnet di Jalan Masjid Raya. Penjaga warnetnya, Bang Meank, yang baik hati itu menawarkan saya tidur di warnetnya. Kami ngobrol soal Sulawesi sambil mendengar musik cadas, Avanged Sevenfold. Tanpa sadar saya pun terlelap di warnet hingga pagi.
Begitu pagi tiba, saya terbangun dan mengemasi barang saya. Tentu saja backpacker lagi. Kaki saya menyusuri utara kota Makassar. Setelah berjalan sekitar 2 KM, saya putuskan untuk naik mobil angkutan menuju terminal. Awalnya saya agak risih memasuki terminal. Perlahan rasa risih itu hilang, ketika orang-orang di terminal dengan ramah mengajak saya ngobrol. Saya pun jadi belajar lagi soal keramahan orang Bugis.
Saya menilai mereka begitu tulus dan tanpa maksud tertentu ketika saya mengobrol dengan saya. Mereka begitu ramah dan akrab sebelum mobil Panther yang akan menuju Barru berangkat. Karena penumpang di mobil sudah penuh, mobil pun berangkat. Tentu saja acara ngobrol di terminal harus selesai.
Tidak biasanya saya betah berlama-lama menunggu di terminal. Ternyata orang Bugis membuat saya betah berlama-lama di terminal tanpa sedikitpun khawatir. Saya jadi semakin yakin jika orang Bugis ramah dan menyenangkan.
Jalan ke Barru, di Maros, Pangkajane Kepulauan, Barru sendiri, dipenuhi dengan poster-poster calon Bupati dan calon wakil Bupatinya. Saya sadar, pilkada akan berlangsung. Perjalanan sangat menyenangkan. Mungkin karena ini adalah perjalanan pertama saya di Sulawesi Selatan.
Pak Ahmad, supir saya adalah orang yang ramah. Dia tahu saya dari Jogja yang jauh dari tanah Sulawesi. Beliau bahkan mentrakir saya makan siang di Pangkep, ketika singgah di sebuah rumah makan. Sebuah rezeki yang tidak bisa saya tolak. Setahu saya, orang Bugis tidak pernah membiarkan tamu atau kawan—yang dengan cepat dia anggap saudaranya—kelaparan.
Saya tiba di Barru pukul 12.30 siang. Tentu saja saya memutuskan berjalan kaki lagi. Setelah jalan sebentar saya beristirahat sebentar di pos ronda.sekedar duduk dan minum air mineral saya. Saya lalu berjalan lagi menyusuri Jalan Ahmad Yani. Belum jauh berjalan, saya menghampiri Seorang penjual Es Teler yang baik hati. Saya hanya sekedar bertanya awalnya, namun dia menwarkan saya untuk duduk di kursi. Lagi-lagi saya tidak bisa menolak.
Kami tidak saja mengobrol soal Barru, tapi Beliau juga menyuguhkan saya Es Teller buatannya. Cukup menyenangkan juga. Karena kemudian anak dan cucu dari Bapak penjual Es Teller itu datang dan mengobrol dengan saya. Kepada Bapak penjual Es Teller itu, saya bertanya arah pantai, karena saya akan ke pantai. Setelah ngobrol hamper 2 jam, saya putuskan untuk pamit. Ketika akan membayar Es Teller, Bapak tadi menolaknya dengan senyum. Saya jadi tidak enak. Dan saya hanya bisa ucapkab terimakasih dan tersenyum. Lalu saya berjalan lagi.
Dalam perjalanan ke pantai saya putuskan untuk tidur di pos ronda saja. Karena Barru sudah sangat nyaman buat saya. Sampai di pantai, saya duduk dan tertidur sebentar dibawah pohon asam. Bangun tidur saya langsung mandi. Saya sadar sudah dua hari saya belum mandi. Setelah mandi dan menjemur pakaian basah saya pergi ke rumah Andi Idris di Sumpang Binangae, salah satu kampong tua di Barru.
Awalnya, saya hanya bisa bicara dengan putra Andi Idris saja, namun kemudian saya bertemu juga dengan Andi Idris. Karena Beliau baru saja pulang. Saya bicara banyak dengan beliau. Tentu saja bicara soal Abang Beliau, Kapten Andi Azis—sosok hebat prajurit Indonesia yang pernah saya tulis dalam dua buku saya yang terbit tahun lalu. Ketika saya mengobrol sebentar dengan Putra Beliau, saya simpulkan bahwa wacana sejarah putra beliau saya piker cukup baik, apalagi untuk orang yang tidakKetika saya mengobrol sebentar dengan Putra Beliau, saya simpulkan bahwa wacana sejarah putra beliau saya piker cukup baik, apalagi untuk orang yang tidak pernah kuliah sejarah.
Pada saya Andi Idris bicara soal penyakit stroke yang menimpanya. Dia uga bicara soal masa mudanya. Masa-masa sekolahnya di Jogja. Dimana dia tinggal di Asrama Latimojong, bermain band dan merasakan rekaman di Lokananta, Solo. Juga soal ketekunannya dalam olahraga Judo. Hingga bisa menjadi juara nasional di Surabaya ketika mewakli kontingen Jogja. Sayangnya, sekolah Andi Idrus berantakan karena kegiatan hebatnya itu. Beliau lalu dipulangkan ke Barru. Dimana beliau pernah 10 tahun menjadi Kepala Desa Sumpang Binangae. Pengaruhnya yang besar di kampong juga membuatnya ditarik sebuah Partai berkuasa untuk menjadi anggota DPR.
Tidak lupa Andi Idris juga bercerita soal penembakan orang-orang Bugis di Sumpang Binangae, yang dituduh Extrimis oleh Tentara Belanda zaman revolusi. Karena ketika itu Andi Idris masih kecil, Beliau tidak ingat tahun berapa kejadiannya. Diperkirakan peristiwa ini terjadi setelah tahun 1947. Selain itu tentara Belanda juga berusaha membakar orang-orang Bugis, yang mungkin mereka tuduh Extrimis. Hal ini lalu dicegah oleh Andi Azis (kakak tertua Andi Idris) dan Andi Juana (Ayah Andi Idris)—yang pernah menjadi Sullewatang (semacam perdana menteri atau wakil raja) di Barru.
Pada saya, Andi Idris juga menwarkan saya menginap di rumahnya dan putra Beliau bahkan dengan sukarela akan mengantarkan saya ke Makam Andi Aziz. Dengan senang hati tawaran itu saya terima. Saya pun bisa tidur nyaman lagi setelah pada malam-malam sebelumnya hanya tidur di bis, malam berikutnya di kapal dan semalam yang lalu di warnet.
Orang-orang Bugis yang saya temui, umumnya mengakui jika bahasa dan cara mereka kasar. Namun, sebenarnya mereka sangat terbuka dan ramah. Dan tentu saja baik hati. Rasanya, selama ini orang Bugis memang tidak pernah mengecewakan saya. Ketika bersama mereka pun saya selalu merasa aman dan nyaman.
Sejauh ini Sulawesi Selatan masih sangat menyenangkan.

Bang Ali, Makasih Ye Tempat Pacarannye


Saya temukan kutipan yang menggelikan di tabloid Bataviasche Nouvelles, yang tidak pernah terbit lagi. Yakni pengakuan Ali Sadikin. Setahu saya dia mantan perwira KKO dan Gubernur Jakarta. Begini bunyinya:

“Saya bangun Lapangan Monas, saya bangun Ancol. Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Awas lu ya, kalau mengganggu. Kalau melacur tidak boleh. Tapi kalau pacaran, itu Anugrah Allah.
Sudah pernah pacaran? Kan senang, bahagia….. Makanya tidak boleh diganggu. Sebab apa? Di kampung tidak bisa pacaran.
Coba, disini anak saya bisa pacaran, ruang tamu kosong, halaman besar. Tapi kalau you (kamu) masuk kampung, satu kamar berjejal dari kakek, nenek, sampai cucu jadi satu dimana mau pacaran? Orang sedang bercinta-cintaan ketahuan.
Ini saya hayati. Berikan tempat untuk berhibur. Nah orang tidak mengerti bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata. Dus, pikiran kita harus sampai kesana.”


Memang menggelikan gaya bahasanya. Tapi cukup mengena dizamannya. Kita bisa menilai betapa pedulinya orang yang biasa disapa Bang Ali ini. Pembangunan Jakarta, tidak melulu bangun gedung megah atau rumah-rumah gedongan (rumah mewah) semata. Ali Sadikin, telah mengenal medan Jakarta yang padat oleh manusia. Seperti lagu Gang Kelinci-nya Titik Puspa.

Bahkan perhatian Ali Sadkin harus dibilang jauh kedepan juga. Sampai pada tempat pacaran anak muda. Dia sadar tidak semua anak Jakarta bernasib seperti anaknya. Artinya, Ali Sadikin mengerti anak muda. Sebuah contoh langka di Indonesia, sosok pemimpin yang membangun kota tanpa menghiangkan sisi kemanusiaan warga kotanya. Juga kepada anak mudanya, yang sedang asyik pacaran. Anak muda Jakarta harus bangga pernah punya Gubernur macam Ali Sadikin.

Saya bukan orang Jakarta, tapi jika saya warga Jakarta, atau kebetulan sedang pacaran di Ancol atau taman Monas, saya mau bilang ke Ali Sadikin, “Bang Ali, makasih ye tempat pacaran-nya.”

Bangkit Dari Apa Sekarang?


102 tahun yang lalu sekelompok pemuda bangkit—dan merasa bosan dengan status mereka sebagai pribumi terjajah. Mereka memulai sebuah perbaikan penting dari sebuah kampus kedokteran bernama STOVIA. Kebangkitan Nasional itu lalu menjadi mitos yang diskralkan di negeri sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Meski banyak perdebatan kapan sebenarnya Kebangkitan Negeri ini dimulai?
Sudah berpuluh-puluh tahun, Kebangkitan Nasional diperingati. Hasilnya, banyak orang mengerti bahwa dirinya adalah “terjajah” dan melawan. Hingga mereka bertindak berani menyatakan diri merdeka sebagai Indonesia, ketika Perang Dunia II, menggilas banyak bangsa Imperialis Eropa.
Berpuluh kali dperingati, penjajahan tak pernah berhenti. Artinya kondisi tdak berubah, meski penjajah lama, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, telah pergi. Penjajah hanya bersalin rupa. Kulitnya tidak lagi putih, kulitnya sawo matang. Berlaku layaknya wakil atau utusan rakyat.
Apa ukurun ketertindasan sekarang? Nyatanya pelayanan publik masa kini begitu mengecewakan. Banyak warga—yang seharusnya dilayani dengan baik—banyak yang merasa kecewa. Birokrasi makin rumit dan gila hormat. Kita tahu banyak birokrat, dari yang kecil hingga yang paling tinggi, gila hormat dan selalu ingin disembah layaknya priyayi zaman Kolonial. Artinya ada semacam feodalisme terselubung yang ingin dipelihara di sektor pelayanan publik. Intinya Birokrasi, yang harusnya melayani malah menindas. Apakah ini harus disebut kemerdekaan?
Sebagai pelayan publik, pemerintah Indonesia masa kini gagal dan semakin gagal saja dengan tersiksanya mereka yang mengurus berbagai perizinan dan kegiatan yang sebenarnya untuk kemaslahatan publik. Artinya “kemerdekaan” yang mereka dengungkan pada kita tidak memberi perbaikan hidup bagi banyak orang Indonesia. Orang miskin masih tetap ada, bahkan diantaranya masih dan terus dimiskinkan.
Apakah penjajah bersawo matang ini harus dilawan? Kata buku-buku disekolah, birokrasi—sebagai bagian dari Negara tidak boleh dilawan. Karenanya setiap yang melawan sama dengan pengkhianat. Pemberontak selalu salah, kata mereka. Sementara penindasan terselubung mereka semakin menjadi-jadi saja. Hanya perlu membuang jauh-jauh mental feodal mereka saja yang dibutuhkan, dan menggantinya dengan jiwa pelayan rakyat. Bagaimanapun birokrat adalah pelayan rakyat!
Pertanyaan saya sekarang adalah, akan kita apakan penjajah terselubung ini? Apa perlu sebuah kebangkitan untuk melawan mereka? Menerima atau bangkit melawan mentalitas mereka? Pastinya kita tidak ingin revolusi sosial, seperti yang terjadi di Brebes, Tegal dan Pekalongan pada awal kemerdekaan terjadi lagi tentunya? Atau akan ada kebangkitan yang lain?