Rabu, Februari 17, 2010

Dibalik Ronta


Selalu ada cerita menarik mengapa seseorang jadi pemberontak. Sudah pasti cerita-cerita itu tidak menyenangkan. Juga selalu ada alasan personal, yang tidak jarang juga bisa menjadi alasan kolektif, pencetus pemberontakan.

Arung Palakka dari Bone harus melawan Ayam Jantan dari Timur alias Sultan Hasanuddin, karena ingin membebaskan Bone dari cengkraman Gowa. Bone tidak akan merdeka dari Gowa seandainya Arung Palakka diam saja dan membiarkan banyak orang Bone dihinakan dalam sebuah kerja paksa untuk Gowa. Memberontak tentu sebuah solusi penting bagi Arung Palakka. Berontak bukan kata hina dan tidak bisa begitu saja disamakan dengan pengkhianat. Arung Palakka kemudian sukses, walau dia kemudian dicap pengkhianat dalam buku pelajaran sekolah karena bersekutu dengan VOC. Sementara, fakta imperialis Gowa sebagai penjajah tetangganya tertutupi dalam buku sekolah. Sejarah selalu dibuat mudah oleh penguasa. Politik selalu tidak menyenangkan bagi yang berkuasa

Ketika tanah leluhurnya di Tegalrejo dijadikan jalan kereta, maka Pangeran Diponegoro pun melawan. Masalah sengketa tanah itu pun menjadi sebuah Perang Besar yang menguras dalam kantong pemerintah kolonial. Diponegoro akhirnya kalah juga setelah memberi perlawanan hebatnya. De Kock dengan licinnya menjerat Diponegoro di Magelang lalu membuangnya ke Sulawesi. Saat ini, tanah sengketa itu menjadi jalur kereta api yang sering kulewati ketika menuju Jakarta dari Jogja. Rel itu memakan banyak darah. Tidak sia-sia, karena kita bisa belajar bahwa melawan itu perlu walaupun akhirnya kalah. Juga belajar agar tidak kalah dan ditindas lagi.

Nasionalisme, selalu jadi jawaban mengapa Sukarno melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Apa hanya karena itu? Entahlah. Ada cerita menarik. Ketika remaja Sukarno yang puber menyatakan cinta pada seorang gadis Belanda. Malangnya Sukarno ditolak. Gadis itu mungkin menyesal di kemudian hari, begitu tahu pria yang dulu dia tolak jadi Presiden. Jika ini adalah alasan Sukarno, karena merasa direndahkan kebangsaannya oleh penolakan gadis Belanda itu, maka ini bukan alasan yang buruk, meski lucu.

Kelas juga jadi alasan seseorang berontak. Seorang anak Dokter Jawa, bernama Maruto Darusman mengalami nasib naas. Lamarannya ditolak ayah gadis pujaannya. Konon, alasannya Darusman bukan orang kaya yang tidak sepadan dengan gadis pujaannya itu. Padahal keluarga dokter jawa bukan keluarga miskin dimasa itu. Darusman lalu ke Belanda dan jadi seorang komunis militan yang rasakan ngeri Perang Eropa. Dia kembali ke Indonesia sebagai seorang komunis, yang kemudian ditembak mati bersama Amir Syarifudin. Sebelum kematiannya untung saja Darusman menikah juga, walau bukan dengan gadis pujaannya yang dulu. Sebagai komunis samapDarusman dan Amir

Cerita-cerita tadi, bukan lagi cerita baru. Anda-anda tentu akan menerima cerita-cerita lain yang berbeda namun dengan inti sama, ketidakpuasan. Karena masih banyak cerita tidak menyenangkan lain yang jadi sebeb pemberontakan di Indonesia. Mulai dari enggan kerja paksa untuk pemerintah, ditolak masuk tentara, kemelaratan maupun karena kekecewaan lainnya. Sebenarnya tidak perlu teori macam-macam yang rumit untuk berontak. Cukup dengan ketidakpuasan, tenaga dan militansi maka meledaklah.

Didedikasikan untuk semua Pemberontak
Terimakasih telah warnai sejarah dan dunia…

Senin, Februari 15, 2010

Thomas Nayoan Tak Pernah Lelah Untuk Kabur


Kabur adalah tindakan pengecut, kata banyak orang. Tapi Nayoan kabur sebagai seorang pemberani. Ini adalah perlawana gigihnya terhadap politik kolonial.

Digul, banyak yang bilang Boven Digul (pedalaman Digul). Tempat ini begitu terkutuk. Ganas malarianya. Tidak ada yang bisa lolos darinya. Nyamuk disini tidak kenal kelas. Siapa saja dia gigit. Tempat ini makin terkutuk lagi dengan manusianya. Dulu, mereka manusia penuh semangat melawan Gobernemen. Mereka tampak mulia kala itu. Sekarang, mereka saling mangsa antar sesama, yang dulu sama-sama lawan Gubernemen. Waktu dan kamp terkutuk ini menggilas semangat mereka.
Pemerintah Gubernemen menyebut mereka kaum merah. Kaum yang dihabisi setelah mengamuk di tahun 1926-1927. Dengan mesin perangnya, Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL), pemerintah Gubernemen berhasil menyikat pemberontakan itu.
Banyak yang bilang, orang Menado adalah antek Belanda. Nyatanya tidak juga. Di Digul pun ada orang Menado juga. Tidak kalah merahnya dengan orang Jawa. Thomas Nayoan namanya. Tidak banyak cerita tentangnya. Apalagi dibuku sejarah. Nayoan seperti tidak dianggap penting. Dia memang bukan ketua partai oposisi terhadap pemerintah Gubernemen. Dia bagian dari pemberontakan PKI 1926. Tidak ada cerita detail tentang dirinya, juga bagaimana ceritanya hingga dia bisa menjadi seorang komunis.
Nayoan, yang dari Menado itu berada di Surabaya menjelang pemberontakan PKI 1926. Tidak ada catatan bagaimana posisi dia di partai. Rasanya dia seperti tokoh penting dan terpelajar. Hari itu, 7 Oktober 1926, Thomas Nayoan, ditangkap di Surabaya oleh oppas kolonial. Kemudian Najoan dikirim lagi ke Manado dan harus menjalani hukuman 3 bulan penjara lamanya. (Pandji Poestaka, 12 Oktober 1926)
Hukumannya tidak berhenti disitu. Akhirnya dia harus dikirim juga ke Digul. Sebuah pembuangan bagi kaum merah di Papua Barat. Banyak yang bilang jauh dari peradaban. Orang-orang merah itu, akan dibuat gila ditempat itu. Berharap orang merah itu kapok untuk melawan. Dan benar, orang-orang di pembuangan itu makin menggila. Entah karena malaria atau perpecahan antar mereka. Luar dalam, Digul pun semakin mengerikan saja.
Mereka yang menyerah dan tidak kuat pada tekanan alam Digul maupun politik kolonial tentu jadi gila. Yang menyerah pada Gubernemen, tentu bisa sedikit labih nyaman disana. Tapi alam Digul tetap tak kenal ampun.
Tekanan dan perpecahan diantara orang-orang merah terus mendera penghuni Digul. Ditengah kegilaan ini, tinggal Nayoan yang punya kegilaan sendiri. Dia selalu punya rencana kabur dari kamp Digul terkutuk itu. Dia mencoba kabur tiga kali, dan tiga kali pula gagal. Itulah yang ditulis oleh Sejarawan John Ingleson dalam bukunya "Jalan Ke Pengasingan".
Dalam pelarian keduanya, Nayoan sukses mencapai Australia dengan berperahu. Meski sukses melewati sungai-sungai Digul, yang katanya buaya sering berkeliaran, namun malangnya Nayoan tidak bisa menerabas hukum Australia—yang punya perjanjian Ekstradisi dengan Hindia Belanda. Tidak lama menikmati bebas dari politik kolonial, Nayoan dikapalkan lagi ke Digul.
Kembali ke Digul tentu bukan hal menyenangkan. Artinya harus kembali lagi menikmati tekanan politik kolonial seperti penghuni kamp lainnya. Mungkin saja ada ejekan bernada pujian dari sesama penghuni karena sukses kabur mencapai Australia walau kemudian tertangkap lagi.
Sebagai tukang kabur yang sering gagal namun hebat, Nayoan tentu tidak terlibat perbedaan paham antar penghuni kamp. Dia terhindar kegilaan tanpa arti penghuni kamp. Kabur lebih punya arti bagi Nayoan. Kabur lebih baik daripada berselisih seperti kawan-kawan merahnya di Digul. Kabur sering diidentikan sebagai tindakan pengecut dan bodoh oleh banyak orang. Nayoan rasanya tahu bahwa aparat kolonial akan terus mengejarnya. Namun, kebebasan adalah hal penting bagi Nayoan. Karenanya dia menjadi tukang kabur legendaries di kamp Digul. Ada impian menuju bebas ketika dia bergabung dengan PKI dan terlibat dalam pemberontakan. Impian menuju bebas itu terus walau dia semakin ditekan.
Dalam pelarian terakhirnya Nayoan mengambil jalan berbeda. Dalam palarian sebelumnya, yang kearah selatan, maka pelarian terakhir Nayoan ini menuju arah utara. Nayoan belajar bagaimana negeri di selatan bernama Australia tidak akan menerimanya, karena ada perjanjian ekstradisi. Karenanya Nayoan kabur ke arah utara. Dimana alam Papua yang ganas harus dinikmatinya.
Aparat kolonial, yang pasti memburunya, lalu tidak menemukan jejak Nayoan sama sekali. Setelah itu tidak ada lagi kabar tentang Thomas Nayoan. Berbagai spekulasi muncul. Ada yang bilang dia jadi korban kanibal suku asli yang masih liar pedalaman Papua. Hal ini tentu saja menakuiti penghuni kamp jika mereka berani kabur seperti Nayoan. Tapi kali ini Nayoan tidak tertangkap aparat kolonial lagi. Bagaimanapun nasibnya, Nayoan benar-benar bebas lagi dari tekanan Gubernemen. Perlawanan Nayoan terhadap politik kolonial pun sukses bagi dirinya.