Minggu, Mei 31, 2015

Dari Menulis, Guru dan Siswa bikin Buku

“Yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan terbawa angin.”


Menulis adalah tahap terakhir dari seorang peneliti setelah dia menelaah apa yang diteliti atau dipelajarinya. Menulis diktat, selama ini adalah kebiasaan dosen. Namun, tak ada larangan bagi seorang guru untuk membuat diktat.
Seorang guru, sebelumnya tentu belajar banyak perihal bidang atau ilmunya masing-masing. Tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pun seseorang harus melalui skripsi. Ketika membuat skripsi pun, sejatinya sangat mirip dengan menyusun buku. Jadi, di masa sekarang para tentu sudah pernah menulis buku (alias skripsinya)—dimana sebelumnya mereka telah menulis banyak paper atau makalah dalam beberapa mata kuliah. 
                Sebagai seorang guru di era sekarang, tak mesti seorang guru harus membuat karya tulis ilmiah saja, tak ada salahnya jika membuat tulisan populer tentang ilmu atau bidang yang diajarkannya.  Tulisan populer, nyatanya jauh lebih menarik untuk baca orang lain, termasuk para siswa. Nah, tujuan guru menulis dalam konteks  ini adalah agar dibaca siswa.
                Dengan menulis seseorang akan dipaksa untuk berpikir lebih jernih dan membaca jauh lebih banyak. Membaca lebih banyak, akan membuat seseorang bertambah wawasannya.  Sejak awal, guru dituntut untuk memiliki wawasan yang luas, apalagi siswa masa sekarang saja adalah siswa-siswa yang kritis. Siswa semakin lebih sering bertanya tentang banyak hal. Tak jarang tentang hal di luar materi pelajaran, namun sebenarnya masih terkait dengan pelajaran.

Apa yang harus ditulis guru?
Sebaiknya, guru menulis tentang apa yang biasa dan harus diajarkan. Tidak harus semua materi, menulis per bagian dari materi-materi yang diajarkannya pun sudah cukup membantu.  Bahkan hal-hal di luar materi pelajaran, namun terkait pun bisa di tulis. Seumpama Anda baru saja membaca buku, tak ada ruginya Anda menuliskan resensi atau review buku tersebut. Setidaknya itu akan menambah pengetahuan siswa, syukur jika siswa tersebut membaca juga apa yang direview. Sebenarnya, apa yang ditulis guru tak hanya tulisan saja. Untuk merangsang siswa-siswa yang malas membaca, mencantumkan foto atau gambar terkait dengan materi  yang ditulis justru lebih baik, walaupun tulisannya tak banyak. Buku bergambar lebih diminati ketimbang buku yang banyak tulisannya oleh pembaca.

Bagaimana menuliskannya?
Banyak guru yang sudah membuat powerpoint sebelum mengajar. Ketika membuat powerpoint sebenarnya seorang guru sudah menulis juga.  Ada baiknya, ketika membuat powerpoint guru mencantukan sumber dari apa yang ditulis di powerpoint, pencantuman sumber akan memperkuat pendapat dan juga ikut mengajarkan pada murid tentang kejujuran.  Jika seluruh powerpoint itu dikumpulkan, lalu dikembangkan sebenarnya guru tersebut sudah bisa membuat buku tipis.Bahkan banyak guru juga punya blog pribadi bahkan punya akun di kompasiana. Saya juga percaya beberapa guru bahkan sering menulis di harian Nasional. Tak kalah dengan para dosen di kampus ternama. Beberapa buku bahkan sudah mereka terbitkan. Idealnya, guru yang menulis bisa menularkan kebiasaan itu ke siswa. Sesudah itu siswa dibimbing. Pengalaman di sekolah kami ada guru Sosiologi yang membimbing siswa menulis puisi, kebutulan sang guru yang bernama Narudin itu adalah penyair. Tak sampai setahun setelah Sang Guru menerbitkan buku puisi indie-nya, si murid yang bernama Satrio pun merilis buku puisi indie pertamanya: Tentang Biji dan Yang Lampau.

Apa yang harus dilakukan guru?
Tentu saja guru harus membimbing. Di sekolah kami, SMA Sampoerna, tahun lalu Pak Hasan Basri (guru Sosiologi) mengumpulkan puluhan esai dari hampir dua ratus esai untuk dibukukan. Beliau mencari yang terbaik, selanjutnya beliau memposisikan diri sebagai editor yang sering berkonsultasi dengan murid. Maka jadilah buku: Membentang Pita Garuda (Pengalaman Reflektif Memaknai Nilai-nilai Ke-Indonesiaan), yang diterbitkan penerbitan indie Sibuku dari Jogja.
Tahun ini, Bu Udan Bitteraty (guru Bahasa Indonesia), juga melakukan hal yang sama seperti Pak Hasan di tahun sebelumnya. Bedanya, beliau ikut melibatkan beberapa siswa yang aktif dalam dunia penulisan dalam proses pra-produksi. Ada yang menjadi editor, illustrator, cover design dan lay-outer. Sedangkal pengalaman saya, dengan formasi yang dimiliki beliau itu sebuah penerbitan bisa berjalan, alias mereka bisa bikin penerbitan sendiri, meski mereka baru tahapan belajar. Nah, dari proyek bersama tahun ini, lahirlah buku: Terra Incognito yang diterbitkan penerbitan indie Garudhawaca.  
Tidak mesti seorang guru. Guru-guru ilmu humaniora dan Bahasa harusnya bisa ikut memberi bimbingan. Diantara para guru itu bisa mengadakan proyek bersama. Dimana sebuah tugas siswa bisa dievaluasi dan dinilai oleh beberapa guru bidang studi yang berbeda.  Untuk tema, diantara guru-guru itu haruslah memiliki benang merahnya. Jika tidak ada halangan, tahun depan guru Bahasa, Kewarganegaraan dan sejarah berusaha berkolaborasi.

Harus Kemana Tulisan Itu Kemudian?
Sudah banyak guru yang meng-upload  karya-karyanya di blog pribadi. Dimana banyak orang bisa mengakses karya-karya itu, termasuk para siswa tentunya.  Jika tak puas di blog pribadi, yang sulit menjaring banyak pembaca, karya-karya itu bisa disalurkan ke Kompasiana.com atau academia.edu. dia dua media online tadi, karya-karya Anda bahkan bisa mendapat respon bahkan kritik, dimana dengan kritik kita bisa membenahi karya kita. Dengan kritiklah guru, peneliti dan penulis bisa maju dan berkembang.  Di Academia.edu, Anda tak hanya bisa meng-upload artikel pendek. Naskah panjang  seperti buku pun bisa Anda upload. Karya Anda akan bisa diakses oleh banyak orang disini.
Jika Anda percaya diri dengan buku yang Anda tulis, Anda bisa mengirimnya ke penerbit buku komersil.  Jika Anda tidak yakin dengan penerbit besar, sementara Anda ingin menerbitkan naskah Anda, penerbit-penerbit indie sudah menjamur. Bahkan ada penerbit yang mau menerbitkan naskah Anda, dengan modal Rp 400.000 saja.  
Beberapa murid sering bertanya pada saya: kemana harus mengirim naskah? Saya sarankan ke mereka kirim ke jalur komersil (penerbit besar) yang ketat dan orientasi pasarnya yang  luar biasa, dan mereka saya sarankan cari penerbit indie  juga macam: Sibuku, Garudhawaca dan NulisBuku.com—hanya itu yang saya tahu walau ada banyak penerbitan indie diluar sana. Beberapa minggu silam saya terkejut menemukan buku

Harapan Ke Depan
Guru yang menulis cenderung dihormati oleh para siswanya, apalagi yang ditulis adalah buku yang berkualitas dan dibaca oleh banyak orang diluar sekolah.  Seorang guru kadang menyuruh siswanya menulis, jadi guru harus memulainya. Meski jaman sudah banyak berubah, tetap saja murid masih mengikuti apa yang dilakukan gurunya. Sudah seharusnya, bangsa Indonesia terus mengembangkan tradisi menulis.
Guru yang menulis juga akan membuat siswa-siswa yang punya minat untuk menulis untuk belajar lebih dalam menulis. Bahkan bisa jadi akan membuat siswa lain yang tidak berminat menulis kemudian mau untuk menulis juga.  Jika perlu bentuklah club menulis di sekolah atau diluar sekolah yang melibatkan para siswa. 
                Harapan ke depan, adalah ikut memajukan dunia kepenulisan dan perbukuan di Indonesia yang sebenarnya sedang lesu.  Pengalaman menulis, toch akan berguna bagi siswa kelak ketika menyusun tugas akhirnya. Dan syukur akan ada murid Anda yang jadi penulis masa depan dengan karya yang lebih baik daripada kita semua.
Setidaknya, dengan menulis Anda akan selalu dingat murid Anda, bahkan bahkan setelah  Anda mati. Kata pepatah Yunani: Scripta Manen Verba Volant (Yang tertulis akan mengabadi dan yang terucap akan terbawa angin). Dan, “yang terekam tak pernah mati,” kata The Upstair. Begitu juga yang tertulis.
Petrik M, Guru Sejarah dan Penulis